Rabu, 13 Mei 2015

Pendidikan Manusiawi

Sanggar Anak Alam, Nitripayan Kasihan Bantul | Rabu 13 Mei 2015 | Penyaji: Ibu Sri Wahyaningsih

Mendung menggelayut di langit Jogja, jam setengah satu siang penDuduk Selingkar beranjak dari Krapyak menuju Nitripayan, Kasihan, Bantul. Hanya butuh sepuluh menit perjalanan untuk sampai di tempat tujuan kami, yakni kediaman Ibu Sri Wahyaningsih di lingkungan Sanggar Anak Alam (SALAM).

Rabu siang (13/05) itu memang kami agendakan untuk berkunjung sinau ke sebuah tempat inspiratif. Lembaga pendidikan alternatif di tengah persawahan kampung Nitiprayan, Sanggar Anak Alam atau disingkat SALAM. Saat kami tiba di sana, nampak anak-anak dan beberapa orang tua sedang berbenah untuk pulang, karena jam sekolah memang sudah usai, dan giliran anak-anak belajar di rumah bersama orang tua masing-masing. Suasana asyik lingkungan SALAM bisa kita lihat melalui video ini: ‘Lentera Indonesia: Sanggar Anak Alam’

Setelah melewati parit dan hamparan sawah, kami sampai di halaman SD-SMP SALAM, di sana kami disambut Mas Yudhistira, ketua Pusat Kelompok Belajar Masyarakat SALAM. Tentang obrolan kami bersama beliau beberapa waktu lalu sudah tertuang di tulisan ‘Sekolah Kehidupan di Sanggar Anak Alam’

Setelah bertegur sapa dengan Mas Yudhis, kami langsung menuju rumah Bu Wahya, sang pendiri sekolah, yang sekaligus menjadi kelas Playgroup SALAM. Sekitar lima puluh meter sebelah utara sekolah, rumah beliau berdiri dikepung sawah dan kolam ikan. Di situlah Bu Wahya tinggal bersama suami beliau, Pak Toto Raharjo dan putra-putrinya. Pak Toto sudah menulis buku berjudul ‘Sekolah Biasa Saja’, menjelaskan filosofi dan praktek pendidikan yang diterapkan di SALAM, resensinya bisa kita baca di sini: ‘Sekolah Biasa Saja Yang Luar Biasa’

“Dari mana ini temen-temen?” sambut Bu Wahya sambil mempersilakan kami duduk melingkari meja Playgroup warna warni. Kami memperkenalkan diri sebagai klub diskusi santai Selingkar yang punya kegiatan utama: wira-wiri sinau mengunjungi sumber-sumber ilmu dan pengalaman-pengalaman para pejuang kehidupan.

Ada Afi dan Anis, dua mahasiswi pascasarjana pendidikan. Ada Nisa dan Rahma yang sedang tertarik dengan pendidikan kritis sebagai bahan skripsinya. Ada Sulaiman, Adieb, Mukid dan Irfan, para koboy kampus yang tak lulus-lulus. Ada Abidin dan Khotib, dua pemuda yang bergiat sebagai bakul buku. Ada Hartawan dan Adam, dua ustadz muda pengemong anak-anak yang menyusul datang. Ada pula Mas Firman, Mas Teguh beserta istri dan kedua anaknya, yang kebetulan sama-sama sedang dolan di lokasi.

SEKOLAH RELIJIUS

“Pernah ada beberapa mahasiswa UIN seperti kalian bikin skripsi di sini. Sudah ada tiga skripsi. Salah satu hasil penelitian mereka malah mengatakan bahwa SALAM ini adalah sekolah yang islami,” kata Bu Wahya mengawali perbincangan, “Padahal di sini nggak ada pelajaran agama lho,” lanjutnya sambil ketawa.

Memang, di SALAM tidak ada mata pelajaran agama sebagai rangkaian asupan materi untuk anak didik. Mengapa? Alasannya jelas: pengajaran agama adalah tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Sedangkan di sini, sekolah lebih berperan sebagai wadah bagi anak-anak untuk membiasakan diri dengan sikap-sikap relijius, bukan sekedar materi-materi reliji.

Di sini, anak-anak dibimbing oleh fasilitator. Sedangkan gurunya adalah semua orang yang terlibat di dalam proses belajar. Entah itu fasilitator, siswa sendiri, orang-orang di lingkungan sekitar, terutama orang tua atau wali siswa.

Orang tua sangat dilibatkan dalam proses belajar anak-anak, baik di sekolah maupun di rumah, supaya tidak terjadi pengingkaran terhadap fitrah si anak. Maksudnya, ketika di sekolah anak-anak belajar tentang kejujuran, maka nilai kejujuran pun harus dipraktekkan orang tua di rumah. Atau ketika di sekolah belajar tentang makanan sehat, di rumah pun orang tua musti sadar tentang makanan sehat.

“Sampai-sampai ada orang tua cerita,” kata Bu Wahya, “Musti nunggu anaknya tidur dulu baru bisa makan mie instan. Emang udah kebiasaan sejak zaman kuliah makan mie instan. Soalnya kalau ketahuan anaknya, bisa diprotes habis-habisan. Tapi ya lambat laun si orang tua justru makin sadar kesehatan.”

Forum orang tua murid menjadi wadah rutin bagi fasilitator dan orang tua untuk membahas hal-hal tentang pendidikan anak-anak. Tak hanya itu, sebulan sekali diadakan program belajar di rumah. Yakni satu kelas mengambil lokasi belajar di rumah salah satu siswa. Kesempatan itu diisi oleh orang tua si tuan rumah sebagai fasilitator untuk berbagi ilmu atau keterampilan apapun yang dimiliki.

“Misal ada anak yang orang tuanya tukang parkir. Ya di situ anak-anak belajar markir, jadi anak-anak pegang peluit sambil mengayun-ayun tangan begitu,” jelas Bu Wahya yang pernah berjuang bersama Romo Mangun di bantaran Kali Code.

Komunitas SALAM meyakini bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah cukup di dalam ruang kelas saja. Diperlukan proses beljar secara holistik, melibatkan orang tua dan lingkungan setempat. Belajar merupakan gerakan untuk menemukan nilai-nilai serta pemahaman hidup yang lebih baik, itulah hakekat ‘Sekolah Kehidupan’.

RISET EMPAT PERSPEKTIF

Memang tidak ada penjadwalan mata pelajaran di SALAM ini. Namun pembelajaran yang terjadi dalam suatu objek bisa mencakup banyak materi pelajaran. Misal, ketika anak belajar tentang kecebong di sawah, di situ dia belajar bahasa dengan menulis dan mengucapkan segala yang berkaitan tentang kecebong. Dia juga bisa belajar seni dengan menggambar dan mewarnai apa yang dia lihat. Dia juga bisa belajar berhitung dengan sampel si kecebong. Dia juga bisa belajar materi IPA hingga agama dengan mengamati kecebong.

 “Proses pembelajaran di sini adalah memberi pengalaman bagi anak-anak. Yakni dengan riset. Bagi yang pra-sekolah, kami lebih fokus kepada penguatan panca indera. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu rasakan, bagaimana interaksi dengan teman. Dari itu semualah sumber belajarnya. Jadi, untuk anak-anak pra sekolah, fokusnya bukan kepada pengetahuannya, melainkan kepada rasa ingin tahunya,” ungkap Bu Wahya.

Beliau menyayangkan anak-anak TK yang sudah diajari matematika, membaca, menulis, berhitung dan berbagai macam asupan kognisi yang belum sesuai. Tak demikian dengan SALAM, di sini anak-anak belajar hadap masalah melalui panca indera mereka, yakni dengan melihat, mendengar dan mengamati.

“Kemudian buat kelas 1 sampai kelas 3,” lanjut Bu Wahya, “Kami fokuskan kepada membaca, menulis dan berhitung. Nah, tentang apa yang dibaca, apa yang ditulis, dan apa yang dihitung, disesuaikan dengan empat perspektif. Yakni: pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Jadi, semua aktivitas belajar mengarah pada kesadaran tentang pangan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial budaya.”

“Caranya bagaimana, Bu?” sahut Afi.

“Dengan riset,” jawab Bu Wahya.

“Riset?”

“Iya riset. Tapi jangan bayangin kayak riset mahasiswa yang rumit lho ya,” jelas Bu Wahya, “Riset itu ‘kan penelitian, atau bahasa Jawanya; niteni, ilmu titen. Misal, anak meneliti tentang pohon Talok, bagaimana bentuknya, dimana letaknya, apa warnanya, pokoknya melihat dan mengamati objek itu. Lalu dibimbing bagaimana menulis ‘ini talok’, menggambar talok, dan menghitung jumlah daun talok. Jadi mereka tidak diajari dengan model ‘ini Budi, ini Ibu Budi’ semacam itu.”

“Jadi nggak pak kurikulum dari pemerintah ya Bu?” tanyaku.

“Kurikulum yang dari pemerintah itu ya sekedar pegangan aja. Misal, kira-kira anak kelas 1 ditarget menguasai angka 1 sampai 100, ya anak-anak dibimbing ngubek-ubek angka 1 sampai 100 di sawah, di pohon, di pasar, di kali, dimanapun. Mereka bisa belajar satuan, puluhan, dengan mengikat ranting atau lidi atau kerikil di sekitar. Pokoknya semua proses belajar di sini harus ada peristiwanya.”

“Bu, saya permisi dulu,” sela Abidin.

“Oh, mau kemana?”

“Ada acara,” jawab pemuda tangguh yang sudah beranak tiga ini.

“Kemudian,” lanjut Bu Wahya, “Kelas 4 sampai 6 sudah mulai mengaplikasikan kemampuan membaca, menulis dan menghitung. Lebih menjurus ke praktek, misalkan menanam dan mengamati padi. Bagaimana menanamnya, akarnya bagaimana, perkembangannya seperti apa, pengolahannya bagaimana. Di sini anak-anak akan mulai wawancara dengan petani. Begitu juga dengan praktek membuat kompos, lalu bagaimana produksi makanan sehat, dan sebagainya.”

“Jadi setiap hari riset ya Bu?”

“Iya, tapi ‘kan nggak selalu terjun ke lapangan. Riset di sini ada alurnya.”

“Alur risetnya bagaimana, Bu?”

“Setelah anak-anak mengamati dengan inderanya, mengalami, maka kemudian dia dibimbing untuk bisa mengungkapkan. Yakni menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya. Itu tahap riset pertama. Lalu kedua, menganalisis, yakni mengkaji sebab-sebab dan kaitan-kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut. Ketiga, menyimpulkan pemahaman yang didapatkan dari proses analisa atas pengalaman. Lalu tahap terakhir adalah melakukan, tahapan inilah yang bersifat eksperimental. Kalau istilah jawanya: niteni, niru, nambahi. Yaitu meneliti dan mengamati, menirukan dan mengaplikasikan, lalu kemudian berinovasi.”

Bu Wahya kemudian mengisahkan riset bersama anak SMP SALAM. Kala itu mereka belajar tentang transportasi, mereka meneliti di terminal, bertemu komunitas pencinta bis, komunitas kereta api. Banyak yang bisa mereka amati, salah satu kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa alat transportasi saat ini lebih mewakili gengsi daripada fungsi. Maka tak heran jika hal ini menyebabkan kemacetan dan polusi jalanan.

Pernah pula anak-anak belajar tentang silsilah keluarga. Dari situ mereka bisa sampai memahami jaring-jaring kekerabatan, pernikahan antar-etnis, hingga kasus kerusuhan Mei ’98. Pernah kelas 2 belajar berhitung dengan menghitung inventaris rumah masing-masing. Ternyata ada anak yang di rumahnya punya garasi sampai dua ruang, ada pula anak yang di rumahnya bahkan tak punya dapur. Akhirnya fasilitator mengarahkan pemahaman sosial agar tidak terjadi iri dan kesenjangan.

“Misal, kita belajar berhitung dengan meneliti ikan. Tadinya ada dua ikan, sekarang tinggal satu. Berarti ‘kan berkurang ya. Tapi kita tidak berhenti pada 2-1=1, kita bertanya; apa sebab jumlah ikan itu berkurang? Kalau dicuri, bagaimana dampaknya. Kalau dihadiahkan, apa akibatnya. Nah, belajar ilmu pasti pun bisa menjurus ke ranah sosial. Proses pembelajaran pada satu objek jadi punya banyak perspektif, tidak hanya textbook. Jadi, anak-anak bisa belajar dari sesuatu yang riil, bukan takhayul,” kata Bu Wahya.

TANGGUNG JAWAB

SALAM tak seperti sekolah-sekolah pada umumnya yang penuh dengan aturan-aturan ketat, mulai dari busana hingga kehadiran. Di sini, aturan disepakati oleh anggota kelas. Tiap kelas punya aturan sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kondisi kelas masing-masing. Aturan-aturan kesepakatan yang dibuat selaras dengan tiga asas, yakni bagaimana agar menjaga diri sendiri, menjaga teman, dan menjaga lingkungan.

“Di sini anak memang merdeka, namun tentu ada aturan yang disepakati agar kemerdekaan diri sendiri tidak melanggar kemerdekaan orang lain,” tutur Bu Wahya.

Tahun lalu, 12 anak SD SALAM lulus, 4 anak melanjutkan di SMP SALAM, 8 lainnya ke sekolah formal di luar. Di luar, delapan anak itu baru merasakan sekolah yang ada rankingnya dan empat di antaranya ranking 1, dan rata-rata aktif di keorganisasian semisal OSIS dan lain-lain.

“Aturan-aturan kondisional yang disepakati di sini menumbuhkan sikap bertanggung jawab. Ya memang sifat anak-anaknya masih ada, namun tanggung jawabnya sudah dewasa,” terang Bu Wahya.

Beliau menceritakan pengalaman salah seorang orang tua. Anak pertamanya sekolah di luar, sedangkan anak kedua sekolah di SALAM. Suatu ketika ada air tumpah di lantai, sementara kakak beradik sedang santai di ruangan itu. Si Kakak hanya melihat lalu menyingkir. Sedangkan Si Adik langsung mengambil kain pel dan mulai membersihkan tumpahan air itu. Dari sini sudah terlihat perbedaan tentang bagaimana melihat dan merespon sesuatu.

“Tentang merespon, ada pengalaman menarik waktu anak-anak kami ajak jalan-jalan ke Taman Pintar,” Bu Wahya berkisah, “Sampai di sana, anak-anak protes: katanya Taman Pintar, tapi kok banyak Junk Food! Karena memang di situ banyak yang lagi makan Pop Mie. Pernah juga kami ikut suatu acara pameran bertema lingkungan, tapi di pintu masuk sudah ada promo mie instan yang jadi sponsor. Terang saja anak-anak kesal, mereka protes. Akhirnya anak-anak itu janjian audiensi dengan pengelolanya, dan mereka betul-betul menyampaikan protes itu.”

Menyusul Abidin, Hartawan pun pamit pulang, sudah kangen dengan anak-anak TPA asuhannya.

UJIAN

Kadang pengelola SALAM juga meminjam soal-soal yang digunakan di sekolah formal. Pernah suatu ketika anak-anak kelas 3 SD SALAM mengobservasi soal-soal itu.

“Mereka malah ketawan-tawa,” kata Bu Wahya, “Lha banyak bentuk soal yang konyol. Misal, ada gambar lemari, piano, dan kompor. Kemudian di sampingnya ada pertanyaan: benda di samping yang yang bisa berbunyi adalah.., lha ya jelas bisa berbunyi semua dong kalau dipukul. Banyak bertebaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang memasung dan menjerumuskan anak-anak pada pola pikir sempit.”

“Di SALAM ini ada ulangan juga Bu?”

“Ada. Tapi beda bentuknya, karena di sini mereka riset, maka ujiannya ya membuat laporan. Jadi di akhir riset itu nanti anak-anak membuat presentasi, pameran, workshop, atau pementasan. Dan itu mengundang orang tuanya. Nah di akhir semester ada Gelar Karya, di situ nanti ada fotografi, tari, teater, musik, macem-macem. Setiap tiga bulan ada juga Pasar Pangan Sehat. Ada juga pasar buat anak-anak, namanya Pasar Senen Legi. Di situ pakainya uang kesepakatan, bukan uang Bank Indonesia, kami sebut dengan Uang Salam. Jadi ada penukaran khusus buat Pasar Senen Legi itu. Setiap peserta pasar bisa jualan barang atau menawarkan jasa.”

KEDAULATAN

Tentang pasar ini, Bu Wahya bercerita dengan penuh semangat. Di pasar SALAM, dipraktekkan seperti halnya pasar-pasar global pada umumnya. Ada transaksi barang dan jasa, ada bank plecit juga. Bedanya, bank plecit di sini melayani peminjaman tanpa paksaan dan ikatan bunga yang mencekik. Berbeda dengan Bank Dunia yang begitu memenjara dan mendikte kliennya.

Praktek pasar SALAM dengan ‘uang kesepakatan’ ini menjadi salah satu wahana belajar untuk menumbuhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi bagi anak-anak. Terutama dalam hal pemenuhan pangan.

“Kita ini kaya bukan main, tanah subur dan kaya sumber daya. Tapi kok lucu, bahan makanan pokok saja sampai impor,” keluh Bu Wahya, “Belum lagi berbagai variasi jajanan lokal yang kebanyakan dari kita sudah nggak kenal. Kalah sama junk-food junk-food dari luar itu.”

Di sini, SALAM berhati-hati dengan tawaran kerjasama dari luar negeri, sangat membatasi. Biasanya di antara tawaran itu ada yang membawa kontrak-kontrak tertentu, mulai dari promosi produk hingga pemahaman sok yes.

“Misal, ada program multicultural school, lha padahal di budaya kita sudah ada tepa salira. Ada juga program sekolah adil gender, lha menurut kami itu nggak perlu, karena di SALAM, semua ya harus mendapat keadilan,” jelas Bu Wahya, “Yang penting kita jangan jadi orang kagetan, gumunan. Budaya kita udah tinggi sekali. Jadi orang Jawa ya Jawa sesungguhnya. Sumatera ya Sumatera yang sesungguhnya.”

Sikap kritis berdaulat semacam inilah yang dibudayakan melalui SALAM. Semestinya hal semacam ini pula yang didapatkan mahasiswa melalui bangku kuliah, yakni membuka wawasan dan meneguhkan jati diri. Bukan justru penyeragaman sikap dan penerimaan habis-habisan terhadap ide-ide impor tanpa sikap kritis.

“Eh, silakan lho diminum tehnya, kuenya juga dicicipi, ini buatan sendiri lho,” kata Bu Wahya.

“Buatan sendiri Bu?” sahut Mukid, “Enaak..”

“Iya, kami juga buat kopi, jajanan, cemilan sehat, kecap, kaos, macem-macem pemberdayaan ekonomi.”

MASA WIRAGA

“Dengan gaya belajar semacam ini, apakah lulusan SALAM bisa bersaing dengan lulusan sekolah-sekolah di luar sana, Bu?” tanya Khotib.

“Satu hal yang musti dipahami adalah bahwa di SALAM ini kami tidak menganut konsep persaingan dan unggul-unggulan. Nggak ada begituan,” papar Bu Wahya.

“Lalu rangsangannya apa, Bu?”

“Ya apresiasi,” tegas Bu Wahya, “Di sini anak-anak betul-betul diapresiasi atas pengalaman dan karyanya masing-masing. Kami berusaha memanusiakan manusia sebagai dirinya sendiri, bukan dengan ukuran-ukuran orang lain yang distandarkan. Selain itu ada juga reward dan punishment. Nah, untuk punishment atau hukuman ya harus menyesuaikan kondisi si anak. Karena walau bagaimanapun, hukuman akan mempengaruhi kondisi psikis anak. Misal, ada dua anak, satu masih kelas 3, satunya kelas 6, keduanya menyakiti temannya masing-masing, tentu penanganan dan hukumannya berbeda.”

SALAM meyakini bahwa pendidikan dasar merupakan pondasi penting untuk meletakkan sistem berpikir dan bersikap yang harus dibangun sejak anak-anak, yakni untuk memahami potensi dan problematika serta realitas kehidupan. Bukan sebagai lahan unggul-unggulan dan jatuh menjatuhkan ala konsep persaingan.

“Kadang sekolah-sekolah di luar itu kelihatan sibuk banget, tapi sebenarnya apa yang dilakukan?” kritik Bu Wahya, “Di sini kami kelihatannya cuma nemenin anak main-main saja, namun sebenarnya kami melakukan hal yang sangat esensial.”

Apa yang dikatakan Bu Wahya tentang esensialitas bukan omong kosong, karena hal ini cocok dengan konsep Ki Hadjar Dewantara tentang Wiraga-Wirama. Windu pertama, yakni usia 0-8 tahun adalah masa Wiraga, masa bergerak atau aktivitas fisik. Tapi di sekolah-sekolah pada umumnya, justru anak-anak dipasung dengan banyak aturan. Misalnya, dipaksa memakai seragam yang membatasi gerak mereka, memakai rompi dan kemeja, padahal mereka butuh banyak bergerak dan butuh busana kasual yang nyaman. Anak-anak pada masa itu sedang dalam masa bisa meniru mengeksplor dan mengeksplor apa saja.

“Maka semestinya sekolah harus memberi ruang seluas-luasnya pada masa Wiraga ini. Itulah mengapa pada masa ini kita musti ‘Tut Wuri Handayani’, tidak menggurui, tapi memberikan topangan dengan fokus anak itu sendiri,” jelas Bu Wahya, “Makanya, anak-anak di sini dibebaskan belajar di alam terbuka. Dan konsep belajarnya adalah dengan riset.”

Windu kedua, usia 9-16 tahun, adalah masa Wirama. Yakni ketika anak masih bergerak banyak, namun sudah paham aturan, tahu jadwal. Maka dengan pembimbingan pendidikan yang tepat, semestinya anak usia 17 tahun sudah kenal potensi dirinya, paham kebisaan dan arah kecenderungan bakatnya. Setelah masa itu ada masa Mangkupraja, dan seterusnya. Pada usia 40 tahun, kepribadian seseorang semestinya sudah matang tak tergoyahkan.

“Jadi, kalau ditanya bagaimana output dari SALAM ini,” tukas Bu Wahya, “Ya biar anak menjadi dirinya sendiri, tidak menjadi orang lain. Yakni memilih jalannya bukan atas paksaan orang tua, bukan obsesi orang lain, juga bukan menjadi korban tren. Misalnya, kalian yang kuliah keguruan karena hati nurani, bukan sebab pelarian atau karena nggak keterima di jurusan lain. Sebab tak sedikit pola hidup manusia modern terjebak dalam dorongan-dorongan prestis.”

KEMANDIRIAN

“Kalau misal kepribadian anak sudah mengenali potensi diri, tapi ternyata bertentangan dengan obsesi orang tua, itu bagaimana solusinya Bu?” tanya Mas Firman.

“Maksudnya?”

“Yaa misalkan si anak ingin dagang, tapi orang tuanya ingin anak itu jadi PNS, begitu.”

“Yaa kuncinya komunikasi. Bagaimana kita menyampaikan, bagaimana kita memahamkan orang tua,” jawab Bu Wahya. “Dan yang terpenting adalah, apapun pilihan kita asal kita bertanggung jawab dan membuktikan kemandirian kita. Di Indonesia ini masih sangat luas bidang pekerjaannya lho, Mas. Kami dan teman-teman di forum orang tua murid banyak yang justru meninggalkan pekerjaannya dan malah bekerja di lingkungan SALAM ini. Ya memang konsekuensinya tidak mudah, tapi ada kepuasan.”

Tidak ada bantuan dari pemerintah sama sekali dalam pendirian SALAM. Awalnya hanya ada playgroup dan TK yang berlokasi di ruang tamu keluarga Bu Wahya. Kemudian berkembang menjadi SD dan SMP, banyak pula diadakan pelatihan dan workshop, serta muncul berbagai kegiatan pemberdayaan ekonomi. Itu semua tanpa uluran pemerintah.

Posisi ini menguntungkan SALAM. Maksudnya, tidak ada tuntutan apa-apa yang perlu dipenuhi SALAM kepada atasan. Berbeda dengan sekolah-sekolah atau instansi pendidikan yang bernaung di ketiak pemerintah. Pemberian amplop dari kepala sekolah kepada penilik adalah pemandangan wajar di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.

“Kami sering membuat aktivitas yang bisa mendanai acara itu sendiri. Jadi ya, nol rupiah,” kata Bu Wahya, “Aktivitas yang kami gelar di sini bukan dengan pendekatan proyek. Misal, besok ada acara Konser Boleh Salah, yakni ajang apresiasi bakat anak-anak. Tiket masuknya jajan tradisional minimal lima bungkus. Nah, acara itu sekaligus bisa menjadi ajang kampanye makanan sehat yang variatif, dan mengakrabkan.”

Dua bocah lucu menghampiri Bu Wahya minta salaman. Mereka anak-anak Mas Teguh dan istrinya yang pamit pulang.

“Apakah bisa, model pembelajaran di SALAM ini diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang sudah kadung eksis dengan gaya konvensional?” tanya Adam, merujuk pada lembaga yang ia pegang.

“Bisa saja!” tegas Bu Wahya, “Asalkan ada keselarasan antarpelaku proses pendidikan di lembaga itu. Yakni guru atau fasilitator, orang tua siswa, dan pengelolanya. Pernah ada guru yang ikut pelatihan di sini untuk diterapkan di kelasnya. Dia pun mengajak anak-anak jalan-jalan sambil belajar di luar kelas, pas saat itu ada penilik sedang mampir dan kepala sekolah tak bisa menjelaskan. Ya akhirnya dia diskors oleh kepala sekolahnya. Berarti ‘kan belum selaras antar pengelola pendidikan. Nah, kita nggak mau terjadi hal kayak gitu.”

Terakhir, beliau mengkritik banyaknya persekolahan yang memiliki spirit 'mencetak', memperlakukan anak didik bukan sebagai manusia yang membawa potensi, melainkan sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi produk komoditas. Mulai dari taman kanak-kanak yang siap mencetak anak agar bisa baca tulis, hingga kampus yang dalam sekian tahun menjamin siap kerja.

“Itu sekolah atau pabrik buruh? Edan tenan!”

Tak terasa, tiga jam sudah kami berbincang dengan Bu Wahya. Beliau begitu bersemangat menulari kami virus tentang pendidikan yang manusiawi. Hujan deras yang sedari tadi mengguyur sudah mereda. Kami pun berpamitan.

Bu Wahya mempersilakan kami untuk hadir dalam event-event yang akan digelar SALAM, seperti Konser Boleh Salah, pasar Senen Legi, Gelar Karya, dan lainnya. Tidak anya hadir, kami juga dipersilakan ikut berdagang kalau berminat. Lebi dari itu, beliau juga membuka kesempatan bagi siapapun yang mau belajar di SALAM dengan menjadi fasilitator.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami tanyakan, masih banyak pengalaman yang ingin kami gali, namun keterbatasan waktu mengharuskan kami undur diri. Jam setengah lima sore kami pulang dengan membawa semangat yang begitu cerah, secerah langit Jogja selepas hujan.
[o]

0 komentar:

Posting Komentar