Jumat, 27 Desember 2013

Mengadili Rokok

Angkringan Kraton, Kamis 27 Desember 2013 | Penyaji: Muhammad Iqbal Fahmi
Kamis jam sembilan malam, lalu lalang orang-orang mengeroyok pasar rakyat di Alun-alun Utara alias Altar. Malam itu masih dalam pekan-pekan perayaan Sekaten, jadi maklum jika nampak begitu ramai. Pelataran kraton yang biasa kami sulap jadi aula diskusi pun sudah dialihfungsikan jadi parkiran. Tapi tenang, masih banyak tepat lain yang asik buat duduk selingkar. Kami pilih hinggap di angkringan sepanjang trotoar, seberang museum kereta Jalan Rotowijayan.

Kali ini sembilan pemuda kurang kerjaan mengangkat tema tentang rokok. Benda mungil yang multikompleks. Setelah dua bulan magang di Djarum Foundation Kudus, Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok di forum diskusi absurd ini. Jumat 27 Desember, jam 2 dini hari. Baru selesai diskusi santai Selingkar, dan jeroan serasa makin segar. Sejak jam 9 hari Kamis kemarin, di trotoar angkringan Kraton Yogyakarta, Kadet Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok setelah dua bulan magang di Djarum Kudus. Dari selinting tembakau bisa ditelaah dan disikapi dari berbagai perspektif.
Pertama, tentang bahan baku: tembakau dan cengkeh. Kedua, tentang proses produksi. Ketiga, tentang pemasaran dan jaringan global. Keempat, tentang budaya dan kontroversi.

Pro-kontra merokok dibahas tuntas pada kesempatan Selingkar kali ini. Mulai dari asal mula budaya merokok di negeri ini, beragam jenis tembakau, proses produksi rokok, pemberdayaan masyarakat melalui kretek, korporasi global dan pencaplokan lahan, hingga mafia kapital dunia kesehatan.

Pada awalnya, penduduk Selingkar mengemukakan berbagai silang pendapat tentang rokok. Namun ujungnya, bermufakat bahwa rokok bukanlah sumber masalah yang sering disudutkan oleh berbagai pihak. Ada kepentingan ekonomi, bahkan politik, yang melatarbelakangi pro-kontra global ‘jajan tembakau’ ini.

Untuk melengkapi perbincangan mengenai rokok ini, alangkah bijaknya bila kita menziarahi salah satu penemuan anak bangsa yang cukup fenomenal. Ketika dimana-mana rokok dihujat oleh oknum dunia kesehatan, di Kudus ada rokok yang justru berpartisipasi dalam upaya penyembuhan berbagai macam penyakit.

Namanya; Divine Kretek alias Si Rokok Sehat! Kabarnya, si rokok ini berhasil membantu terapi penyembuhan lebih dari sepuluh ribu pasien dengan beragai macam keluhan penyakit berat, semisal kanker hingga autis. Bagaimana ceritanya? Mari kita telaah bersama.

[o]

Radikal bebas adalah penyebab utama hampir semua penyakit. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara, makanan, tambalan gigi amalgam, kosmetik dan sebagainya. Radikal bebas menjadi racun yang menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri tidak berjalan maksimal. Namun, selama ini yang dituduh sebagai penyebab utama penyakit adalah rokok. Padahal, nikotin rokok justru sebagai zat peluruh radikal bebas.

Demikian dikatakan Prof. Dr. dr. Sarjadi, Sp. PA (K), Guru Besar Patalogi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang juga Rektor Universitas Muria Kudus. Kata beliau, nenek moyang kita dan suku Indian misalnya, telah menjadikan tembakau sebagai obat berbagai penyakit.

Namun, sejak era industrialisasi, nikotin dalam tembakau mulai terpapar radikal bebas yang disebabkan polusi dari industri dan transportasi. Sehingga kandungan positif pada nikotin tertutup dan tercemar radikal bebas. Jika radikal bebas pada nikotin berhasil dibersihkan, maka tembakau justru menjadi obat!

Upaya membersihkan tembakau dari radikal bebas itu berhasil dilakukan oleh DR Greta Zahar (pakar fisika nuklir) dan Prof Sutiman B. Soemitro (pakar Bio Molekuler Universitas Brawijaya Malang). Melalui pendekatan Nanoteknologi, keduanya berhasil mengembangkan rokok yang bebas dari radikal bebas dan bahkan asapnya berfungsi sebagai scavenger (penangkap dan penjinak) radikal bebas. Temuan itu diberi nama Divine Kretek.

Dalam buku “Divine Kretek – Rokok Sehat” yang diterbitkan oleh MBPI (Masyarakat Bangga Produk Indonesia) dijelaskan bahwa Divine Kretek dipadukan dengan metode pengobatan balur yang juga menggunakan pendekatan nanoteknologi. Paduan keduanya selanjutnya disebut Balur Divine.

Dr Saraswati, M.Psi (Direktur Lembaga Peneletian Peluruhan Radikal bebas Malang) mengatakan; Balur Divine adalah detoksifikasi radikal bebas dengan teknik membalurkan (melulurkan) sejumlah formula menggunakan pendekatan Nanoteknologi. Detoksifikasi dengan Balur Divine mampu menghilangkan radikal bebas secara efektif, karena pendekatan nanoteknologi mampu memperkecil gelembung toksin/racun menjadi ukuran nano (seper semiliar meter), sehingga racun dapat keluar dari tubuh tanpa menimbulkan luka.

Proses balur, diantaranya dengan minum formula asam amino tertentu, yang mampu mengambangkan zat radikal dari dalam tubuh. Proses balur juga harus dilakukan di atas lempeng tembaga (Cu) yang terhubung dengan bumi (grounding) dan ditutup aluminium foil. Hasilnya, zat radikal yang keluar dari tubuh yang sarat muatan listrik negatif, akan menumbuk lempeng tembaga dan alumunium foil, lalu dialirkan dan dinetralkan ke bumi (grounded).

Dr Tony Priliono, pengelola Rumah Sehat “Griya Balur Muria” Kudus mengatakan; Balur Divine efektif meluruhkan radikal bebas penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit degenerative seperti kanker, stroke, jantung, asam urat, juga untuk mengobati anak autis. Selain di kudus, rumah sehat terapi Balur Divine sebelumnya sudah dibuka di Jakarta, Malang dan Semarang.

DR Kusnanto Anggoro (Peneliti Center for Strategic and International Studies/CSIS Jakarta) mengatakan; temuan Divine Kretek memberikan semangat dan harapan kebangkitan yang berdampak pada sosial dan politik bangsa Indonesia. Harus ada upaya menyempurnakan temuan tersebut secara berkesinambungan.

Mohamad Sobari, budayawan nasional mengatakan; temuan Divine Kretek seyogyanya bisa membuka pikiran kelompok anti tembakau yang selama ini hanyut pada stigma bahwa tembakau harus dimusihi karena dianggap sebagai sumber penyakit.

Namun sayangnya, sebagaimana masalah klasik yang sering dihadapi para jenius di negeri ini: tidak adanya dukungan energi (dana untuk riset, pengembangan, dan pemasaran) dari pemerintah, apalagi perusahaan rokok. Sebagaimana dinyatakan Dr. Sutiman;

“Kami tidak didukung oleh perusahaan-perusahan rokok.”

Salah satu penDuduk yang pernah merasakan rokok ini, Fahmi, menceritakan bahwa asap yang dihisap tidak berat di paru-paru. Saat ini baru dipasarkan terbatas untuk keperluan terapi di Kudus, Jakarta, Semarang, dan Malang.

Dari sisi kesehatan, produk rokok-jamu ini membalikkan tuduhan sumber penyakit menjadi obat penyembuh, atau dari 'madharat’ justru menjadi ‘manfaat’ dalam sisi hukum agama.Dan secaa ekonomi, tentu bila rokok-sehat ini didukung pemasarannya, tidak ada lagi rokok punya Phillip Morris beredar di pasaran dengan berbagai gambar mengerikan.

~

Nah, ada lagi rokok kesehatan dari Malang yang sudah merambah pasaran luas. Namanya; ROKOK SIN. Rokok Sin bentuknya seperti rokok pada umumnya, namun memiliki efek yang sungguh berbeda. Apabila rokok biasa terbukti berbahaya untuk kesehatan tubuh, rokok Sin justru mampu mengobati berbagai macam penyakit yang bisa jadi ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok biasa.

Rokok Sin diciptakan oleh KH. Abdul Malik asal Malang yang bergerak di bidang pengobatan alternatif. Beliau adalah Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah. Rokok Sin awalnya dibuat berkat ilham yang beliau dapatkan saat melakukan Shalat Istikharah, yaitu agar membuat rokok yang bisa dimanfaatkan sebagai obat.

Mei 2005, Kiai kelahiran Sumenep, Madura ini memulai Sejarah Rokok Sin ini dengan memproduksi rokok Sin bersama beberapa santrinya. Alhasil, rokok yang sedianya dikonsumsi terbatas untuk para jama’ah tariqahnya, mendapat respon yang positif dari masyarakat karena kemujaraban khasiatnya. Kemudian berlanjut dengan diproduksinya secara massal dan professional pada 23 Mei 2006, setelah mendapat ijin dari Pemerintah. Nama Sin diambil dari nama gunung Tursina (Sinai) di Timur Tengah.

Rokok Sin telah melalui uji ilmiah di Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang, dan salah satu pabrik rokok terkemuka di Jawa Timur yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk pengujian produk rokok. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar “Nikotin rokok Sin” sangat rendah, bahkan dinyatakan mendekati 0%. Pada Rokok Sin, efek negatif yang ditimbulkan oleh nikotin sudah dinetralisir oleh kombinasi bahan-bahan herbal lainnya yang 100% murni herbal, tanpa bahan kimia.

Hasil uji Laboratorium Resmi menunjukkan nilai TAR rokok Sin tinggi. “TAR” secara standar internasional adalah pengukuran berat material asap rokok yang mengandung racun dan bahan berbahaya lain. Umumnya apabila nilai TAR tinggi maka nafas terasa berat, sesak dan dada sakit. Akan tetapi nilai “TAR” pada rokok Sin adalah ramuan jamu terapi kesehatan yang membantu mengurangi racun dalam paru-paru dan mengeluarkannya dalam bentuk lendir, sehingga nafas terasa ringan. Pembuktian secara empiris telah banyak yang merasakan efek positifnya. Sejarah Rokok Sin membuktikan “TAR” yang dihasilkan Rokok Sin sungguh berbeda dengan “TAR” rokok biasa.

Kini, rokok Sin tersebar hampir diseluruh pelosok negeri. Dengan cukup banyak varian rokok Sin yang memudahkan memilih rasa yang cocok sesuai selera. Harganya antara 60-135 ribu per slop, tergantung jenis variannya.

Ada dua latar belakang yang menginspirasi lahir-nya rokok terapi ini: Pertama, pengembaraan spiritual yang diyakini sebagai petunjuk Allah SWT. Sebab, sejak usia muda Kiai Abdul Malik adalah santri yang menekuni dunia spiritualitas dalam rangka pencapaian ridla ilahi. Pengembaraan spiritualnya dimulai sejak usianya masih 17 tahun. Ketika masih di Madura, Kiai yang lahir 38 tahun silam ini gemar menimba ilmu-ilmu spiritual kepada ulama-ulama besar.

Ketika hendak menempuh masa kuliahnya pun Kiai Abdul MaIik meminta kepada salah seorang gurunya, Habib Husain. Atas petunjuk sang guru, Kiai Abdul Malik meneruskan pendidikannya di jurusan teknik elektro Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Selain intens berguru kepada Habib Husain, dunia spiritual Kiai yang juga insinyur ini pun ditempa oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya dari Medan.

Setelah lulus, sembari bekerja sesuai dengan diskursus ilmu yang dimilikinya, Kiai Abdul Malik juga tetap berguru kepada Habib Husain dengan istiqamah. Barulah sejak 2003, secara resmi Kiai Abdul Malik didaulat sebagai pengganti almarhum Habib Husain untuk menjadi Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah hingga sekarang.

Kedua, karena pengalaman medis Kiai Abdul Malik. Sejak 1996 Kiai Abdul Malik mendapat amanat dari Habib Husain untuk mengentaskan selalu membantu meringankan beban orang miskin dan anak yatim sesuai kemampuan. Karena salah satu kemampuannya adalah keahlian pengobatan alternatif, Kiai Abdul MaIik mulai membuka diri untuk senantiasa membantu pengobatan secara gratis kepada masyarakat kurang mampu dan mengasuh anak-anak yatim. Dari pengalaman inilah Kiai Abdul Malik merealisasikan ilham yang diterimanya dengan meracik ramuan tradisional dikombinasikan dengan tembakau yang kemudian berbentuk rokok terapi ini.

Kini, rokok yang diproduksi dalam tujuh varian ini telah tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, baik distributor internal jama’ah maupun distributor di luar jama’ah. Selain karena kemujaraban khasiatnya, ini juga disebabkan karena komitmen jama’ah tariqah Kiai Abdul Malik untuk mengem-bangkan usaha ini demi fakir miskin dan anak yatim.

Sejak awal, Kiai Abdul Malik memang berniat agar sebagian hasil penjualan rokok ini dimanfaatkan untuk kegiatan sosial. Selain dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, dalam bagian tertentu pihak pengelola perusahaan selalu mendistribusikan hasil pen-jualannya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim secara periodik. Setiap bulan selalu ditransfer sejumlah uang ke beberapa rekening yayasan atas perintah Kiai Abdul Malik.

Demikian tanggapan penDuduk Selingkar:

Sulaiman: "Sebagai non-perokok, saya kira perusahaan-perusahaan rokok harus pula melakukan upaya-upaya agar produknya terkendali. Agar tidak membahayakan konsumennya, minimal ya menyelenggarakan rehabilitasi."

Irfan: “Matamu! perusahaan rokok merehabilitasi wong ben ra ngerokok? Kui jenenge bunuh diri, Dab! Huahaha..”

Sulaiman: “Bukan begitu, Bung. Ada salah satu petuah dari bang Philip Morris yang membuat saya sangat interest sekali dengan diskusi ini; Jika ingin menghancurkan bangsa maka amunisinya adalah dengan rokok. Hahahahahahahaha. Saya sempat ketawa kecil ketika melihat sebatang rokok cilik tapi kok iso yah menghancurkan bangsa?

Ketika otak saya berrefleksi dan dibenturkan dengan pemikiran orang-orang absurd ini, maka beberapa analisis berhamburan keluar. Ringkasnya: yang dimaksud menghancurkan bangsa adalah dengan menjadikan rokok ini sebagai topik perbincangan dan perdebatan utama di setiap kalangan yang eksis di Indonesia. Mulai dari kelas kecrengan alias receh sampai kaum raja-raja.

Rokok menimbulkan problem yang dilematis. Dari hanya sebatang saja dapat ditarik ke dalam berbagai bidang yang tersebar disetiap lini. Hukum, ekonomi, budaya, sosial, politik, bahkan agama saja ikut nyangkem, pake doktrin teologi lah, dalil lah, ahhh asu lah pokoke!

Kita tilik saja dari peliknya sudut pandang kesehatan. Di satu sisi, kementerian kesehatan menjudge begitu saja bahwa pada 2004 saja mereka mengeluarkan dana sekitar Rp 127 triliun rupiah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang timbul akibat rokok, padahal sakitnya perokok tidak semua disebabkan oleh rokok itu sendiri.

Artinya, rokok bukanlah sebgai faktor utama yang menyebabkan sakit atau modar. Ada beberapa bahan konsumsi lain yang kandungan zatnya lebih medeni daripada rokok, sebut saja ‘micin’, kafein sing neng kopi, dan sebagainya. Herannya dana 127 triliun iku 7 kali lebih besar daripada devisa cukai yang masuk ke kas yang hanya 16,5 triliunan. Di sisi lain, kemenkes juga ‘logically’, menerima dana bea-cukai rokok, pastilah, kan pajak rokok devisa yang paling besar bagi negara.

Durung ditambah persoalan teologi agama yang seringkali membuat ricuh, padu karo gelut. Contohe kaya seminar di Jombang yang menyebutkan bahwa rokok itu menimbulkan syirik dan sebagainya. Akhire seminare ricuh lan pada gelut, ya kaya kue lah.

Maka, menurut saya, tidaklah pantas memperdebatkan rokok terlalu berlebihan, cukup saling hormat-menghormati saja, toleransi, dan saling menghargai. Para perokok ya tulunglah pengertian sama orang yang gak ngrokok, lan orang ang rokok ya tulunglah aja ekstrim sok-sok an mbacot rokok haram lah, sirik lah, apa lah.”

Ahlis: "Walau bagaimanapun, aktivitas merokok harus sesuai kebutuhan dan keadaan, baik fisik maupun ekonomi. Nggak boleh sembarangan, ya sama halnya dengan aktiitas-aktiitas relaksasi lainnya lah.."

Said: "Bicara rokok berarti kita bicara perputaran uang dan konglomerasi kelas kakap. Alangkah asiknya jika kita bisa turut menikmati bocoran-bocoran kapitalisme ini. Tinggal kita cari bagaimana caranya biar bisa melobangi kantong-kantong uang itu biar meluber ke orang-orang kecil."

Rijal: "Dalam setiap batang rokok ini menjadi simbol pertahanan bangsa dan negara. Jika sampai dikuasai dan dikelola oleh pihak asing, maka runtuhlah salah satu gerbang pertahanan kita."

Abdul: "Masalah rokok ini persoalan pelik, ia bisa ditarik ulur ke bidang apa saja. Politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Maka harus ada titik tengah antara blok kiri dengan blok kanan, antara pro dan kontra. Dan titik itu adalah toleransi antar keduanya."

Nasrullah: "Dalam hal rokok, apapun persoalannya pasti yang menjadi korban adalah orang-orang kecil. Mulai dari petani tembakau hingga mereka yang kere dan dituduh penyakitan karena sebab rokok."

Irfan: "Merokok memang membuat ketagihan karena enak. Tapi harus diiringi kekhusyuan."

Fahmi: "Rokok bukan candu. Itu tergantung mindset, sifatnya psikologis, psikis bukan fisik. Selain itu, tingkat keberbahayaan rokok tergantung kondisi kesehatan pengisapnya. Jika berlebihan, ya jelas berbahaya. Jika ala kadarnya, tak masalah asalkan sesuai dosis dan seperlunya, untuk relaksasi misalnya. Toh, tubuh manusia itu unik, memiliki karakteristik ketahanan sendiri-sendiri dan tak bisa disamaratakan. Masuk ke ranah kartel bisnis rokok nasional maupun internasional, ada baiknya kita memahami serta memilah hubungan antara kebutuhan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan manusia, kapitalisme perusahaan, pemasukan negara, hingga fasisme dunia kedokteran. Maka kita akan sampai pada posisi moderat: tidak anti terhadap rokok, tidak pula fanatik terhadapnya. Kita musti adil."

Zia: "Perjalanan rokok dari nyala hingga memuntung persis kisah umur manusia. Ketika rokok dibakar pertama kali bagai terlahirnya bayi, usia hidup di dunia dimulai. Dihisap atau cuma digeletakkan, rokok tetap akan terbakar habis. Begitu pula usia, dimanfaatkan atau hanya dianggurkan, ia tetap akan habis lalu mati."

 [o]

Kamis, 19 Desember 2013

Pelacur Sarkem dan Nama Tuhan

Pasar Kembang, Kamis 19 Desember 2013 | Penyaji: Bunga (bukan nama sebenarnya)
Selingkar di Pasar Kembang

“Aku mau bikin penelitian,” kata Said, “tentang hubungan antara perilaku pacaran dengan relijiusitas seseorang. Dari yang pacaran minimalis; cuma SMS dan telepon, sampai yang kurang ajar nyewa kamar. Hahaha..”

Entah serius atau memang sedang gendeng, idenya ini menjadi semacam pengantar agenda malam itu. Kamis malam Jum’at. Mengunjungi salah satu komplek lokalisasi terbesar di negara ini di samping tiga lokasi lainnya. Sarkem, akronim dari Pasar Kembang, nama tempat itu. Lokalisasi ini jauh lebih tua dibanding usia kami. Ia ada sejak zaman kolonial Belanda, 1818.

Karena sudah cukup malam, dua gadis baik hati pamitan pulang kepada sembilan pemuda gila di muka gerbang Vrederburgh. Pukul sepuluh tiga puluh kami mulai melangkah menyusur emper Malioboro. Mulai dari Nol Kilometer, Margo Mulyo, Malioboro, Margo Utomo, hingga rel tugu. Para pedagang nampak sibuk mengemas komoditi pencaharian mereka.

“Berjalan sepanjang Malioboro ini ibarat melewati kehidupan dunia,” bisik Talkhis agak filosofis, entah karena sedang ‘in’ atau memang kelaparan, “Berbagai jenis manusia dengan beragam kepentingannya ada. Kanan kiri kita lihat beraneka rupa barang-barang yang menarik. Tapi hakekatnya kita sekedar lewat saja,” ujarnya sambil lirak-lirik pecel bawal di emperan yang tak kuasa ia beli.

Seratus meter sebelum sampai di gang masuk lokalisasi, hujan mengguyur deras. Barang sejam lebih kami berteduh di halaman losmen berkelas. Tepat tengah malam, hujan mereda. Kami lanjutkan penyusuran.

“Wah, rombongan Mas? Berapa orang ini?” tanya seorang pria penjaga kotak retribusi di sudut gang.

“Sembilan, Om!” sahut Irfan sebagai tour-guide saat itu. Kalau kau butuh pemandu wisata ke Sarkem, hubungi saja dia.

“Jadinya delapan belas ribu,” kata pria itu sambil meneliti wajah-wajah kami.

Begitulah, selain penduduk setempat, ada retribusi setiap kali kau masuk kawasan ini. Apapun keperluanmu, dua ribu rupiah per kepala. Begitu masuk, kau akan melihat deretan pintu-pintu kamar di sepanjang gang, warung-warung penjual jamu kuat, serta rentetan stiker himbauan; ‘Kawasan Wajib Kondom’.

Semerbak parfum menusuk hidung. Cahaya light-box berpijaran dari ujung ke ujung, memamerkan nama-nama toko, karaoke dan kamar pergumulan. Orang-orang yang tak jelas tujuannya berlalu lalang kesana kemari. Wanita-wanita dengan busana minim menjajakan diri di pintu-pintu ‘surga dunia’. Di antara kami ada yang langsung merinding, gemetaran. Ada pula yang justru antusias menyapu pemandangan dengan bola matanya.

"Mas yang gendut itu pernah kesini kan ya?" sapa sesosok penjaja seks dengan genitnya, merayu-rayu salah satu kawan kami yang memang berbadan tambun.

Fatah, orang yang dimaksud, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil gemeridik, "Nggak, nggak," sergahnya.

"Hihihi, bohong dosa lho Mas, Yaa Allaah.." sahut si penggoda sambil ketawa geli.

Bohong dosa. Ya Allah. Kata-kata itu cukup mencengangkan benak kami. Seakan ada orang memperingatkan tentang panasnya percik api sedangkan ia sedang terbakar di dalam api unggun. Setidaknya kami bisa memahami kesepadanan; orang yang menghimbau tentang kesucian sedangkan ia asyik berkubang lumpur tak lebih dari ujaran seorang pelacur. Entah ia negarawan atau bahkan agamawan sekalipun. Setara.

Ungkapan bermuatan nama Tuhan yang terlontar secara reflek dari lisan penjaja seks komersial itu mengajari kami makna mendalam. Bahwa Dia Yang Mahatinggi bukan hanya Tuhan bagi kaum ‘suci’. Dia juga tumpuan harapan bagi orang-orang ‘kelam’ dan patah hati.

Tapi apakah yang mereka lakukan itu benar? Atau salah? Tidak. Kami tidak sedang membicarakan benar dan salah di sini. Haram tentulah haram, dosa tak perlu lagi dipertanyakan. Apa yang kami upayakan hanyalah menyecap madu-madu kebijaksanaan. Biarpun hanya sepercik.

“Sebenarnya kita ini mau ngapain kesini, Kang?” bisik Sulaiman.

“Kuliah Wisdom!” sambarku singkat.

~

Lorong demi lorong kami susuri. Degup jantung kawasan ini senada dengan sorak sorai dari bilik-bilik karaoke. Nampak pasangan-pasangan liar menari-nari di bawah kerlip lampu disko. Bibir-bibir sayu merayu-rayu.

“Mas.. kesini Mas..”

“Seribu tiga, Mas.. Ayo sini..”

Mukid tak berkedip. Said terlihat begitu bersemangat. Mengusir grogi, kuhisap sebatang rokok.

“Fan, mana koreknya?” pintaku.

“Gak punya. Tuh dibawa Said kayaknya,” timpal Irfan si pemandu wisata. Tolah toleh kucari kemana Said menghilang.

“Itu lho Mas koreknya!” seloroh seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor begitu rupa.

“Mana? Mana?” tanggapku, kaget.

“Itu lhooooo!” ucapnya sambil menelunjukkan jari tangan tepat lurus di antara selangkanganku.

“Hahaha, itu korek tanpa gesekan. Gak bakal nyala,” sahut wanita lain di seberang lorong, dengan dandanan tak jauh beda, “Sini digesek biar nyala! Hahaha!” Sial. Kena juga aku.

“Semua senyum itu palsu,” ucap Pramono, sambil berteduh di beranda rumah warga dari guyuran hujan yang kembali menderas. Ya, kawasan lokalisasi ini pada mulanya memang pemukiman warga. Dan di pintu rumah-rumah yang tak menjalankan bisnis prostitusi tertempel stiker ‘Rumah Tangga’. Jadi, kalau suatu saat kau mampir, jangan salah duga.

Kehidupan masyarakat yang termasuk dalam wilayah Sosrowijayan ini berlangsung sebagaimana kampung-kampung lain. Di himpitan ruang-ruang mesum itu ada balai Taman Kanak-kanak. Tempat bermain dan belajar bagi malaikat-malaikat kecil warga sekitar. Ada pula mushalla sederhana, sebagai tempat sembahyang para hamba.

“Apa maksudmu dengan palsu, Pram?” tanyaku heran.

“Ya hanya topeng,” sahut Pramono, “Mereka terlihat tertawa-tawa di bibir. Merayu genit dengan polah tubuh yang menggoda. Padahal mungkin hatinya menjerit pilu.”

Ada benarnya kalimat Pramono, selaras dengan sepotong kisah. Sebut saja namanya Mentari. Salah seorang wanita yang terjebak di lorong ini. Di kampungnya, ia anak pegawai negeri berada. Beberapa tahun lalu ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di sana. Entah bagaimana mulanya, sang pujaan hati begitu saja pergi. Ia ditinggalkan dalam keadaan bunting.

Menggugurkan kandungan terlalu kejam baginya. Ia rawat janin itu hingga terlahir ke alam dunia, meski tanpa gendongan hangat seorang bapak. Dengan segenap keberanian, Mentari pulang kampung. Alangkah kaget ibu bapak melihat anak gadisnya pulang menggendong jabang bayi. Tanpa suami pula. Ia tak lagi dianggap di tengah keluarga. Harga dirinya hancur dalam pandangan kerabat dan tetangga. Aduhai malang nian ia.

Merasa kasihan, seorang saudara dekat menawarkan diri untuk mengasuh bayi mungil tanpa dosa itu. Sedangkan Mentari sendiri merantau ke Yogyakarta, tanpa ada keinginan untuk kembali. Karena tak lagi mendapat kiriman dari rumah, ia bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan lagi-lagi, entah bagaimana bermula, seorang kawan menyeretnya ke pusaran prostitusi. Ya, di Sarkem ini.

Sudah terlanjur kotor, sekalian saja, katanya. Sebab pengkhianatan lelaki pujaan, penolakan keluarga, dan cemooh manusia, ia kategorikan dirinya sebagai manusia hina. Ia mengais nafkah dengan menjual diri. Dan di sini ia temukan ‘keluarga’ barunya.

~

“Sama sekali gak bikin nafsu. Malah ngeri,” celoteh Fatah sambil kraus-kraus mengunyah kacang bungkus. Jam satu dini hari, kami beristirahat di angkringan seberang PKU Muhammadiyah Kauman.

“Halah, itu kan karena kamu impoten!” seloroh Rijal, pemuda tambun level dua setelah Fatah. “Atau mungkin karena memang kamu belum terbiasa saja,” katanya sambil terus memangsa dua belas tusuk sate. Mengalahkan rekor enam tusuk sate pencapaian Pramono.

“Yaah, kalau aku malah risih di sana,” sambung Mukid dengan gayanya yang innocent, tak berdosa. “Aku risih karena nggak bawa duit. Padahal kalau mau main ‘kan setidaknya bawa lima puluh ya, hehe..”

Memang, kau bisa melampiaskan nafsu di tempat itu dengan kisaran tarif antara lima puluh sampai seratus lima puluh ribu untuk satu orang. Harga yang terjangkau bagi pelanggan. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, pegawai negeri, hingga dosen. Namun dari kunjungan singkat kami, tergambar jelas siapa pelaku dan penikmat bisnis ini.

Mereka adalah orang-orang frustasi. Mana ada wanita yang mau mengorbankan kehormatannya di atas ranjang dengan pria tak dikenal. Selain mereka yang terasing oleh saudara-saudaranya. Tertindas oleh himpitan tanggung jawab penyambung napas. Mana ada orang yang bersuka ria dan menikmati jasa hibur di tempat semacam itu jika bukan karena muak dengan kesehariannya. Bising dengan ceracau kehidupannya.

Dan juga orang-orang gila. Mana ada anak-anak muda yang mau berlarian di tengah malam, menembus hujan, kelaparan, kedinginan, terdampar di labirin gang lokalisasi, dan tak punya tujuan untuk menikmati cumbu pelukan. Selain pemuda-pemua goblok dan agak gila.

“Mereka tak akan berhenti di lorong itu, kuharap,” lanjut Talkhis, lagi-lagi agak filosofis, kali ini dalam keadaan kenyang. “Aku mungkin tak lebih mulia dari mereka. Harus terus berjalan melalui lorong gelap ini. Hingga pada akhirnya nanti berujung khusnul khotimah bersama mereka-mereka itu,” katanya. Wah, lumayan juga gembel satu ini.

Lokalisasi pelacuran adalah permasalahan kemanusiaan multikompleks. Meskipun begitu, tak ada masalah tanpa solusi. Suatu masalah tanpa solusi berarti ia bukan masalah sama sekali. Dan solusi untuk prostitusi tak bisa diincar dari satu atau dua sudut pandang saja. Kau tak akan bisa merumuskan penyelesaian hanya dari sudut pandang agama atau hukum perundang-undangan. Kau butuh lebih dari kepekaan sosial dan empati kemanusiaan.

Apa yang mereka lakoni memiliki latar belakang. Dengan latar belakang itu, mungkin kita yang terlanjur sering merasa suci ini bisa terjerumus dalam kubangan yang sama. Kami mencoba memahami itu, bukan untuk memaklumi atau meridhai. Bukan pula untuk membagi-bagi kategori manusia: si ini bejat si itu mulia. Apalagi mengentaskan, terlalu berat untuk kelas teri macam kami.

Empat belas abad yang lalu, Rasulullah, manusia suci pengabar kegembiraan dan penyampai peringatan pernah berujar;

“Ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”

Bagaimanapun kacau dan kotornya kita hari ini, semoga tidak berputus asa dan tidak pula membuat orang lain patah hati terhadap kasih sayang Ilahi. Menemui ujung hidup keduniawian kelak dalam indahnya pungkasan usia. Khusnul Khotimah.

[o]

Sabtu, 07 Desember 2013

Pemuja Mitos

Emper Burjo Glagahsari, Desember 2013 | Penyaji: Pramono
Makhluk-makhluk ganteng masih berkeliaran pada Jumat dini hari. Emper burjo di daerah Glagah menjadi semacam conference room bagi mereka untuk nDuduk Selingkar dan nyangkem, atau kerennya; diskusi santai.

“Mitos terbentuk atas kreasi orang-orang yang berkepentingan. Entah itu individual atau kolektif. Tujuannya pun beragam. Bisa komersil ataupun politis,” ujar Said, siswa ingusan di Sekolah Poker (Politik Kerakyatan), “Kalau contoh yang politis ya seperti kisah-kisah penitisan. Banyak kisah-kisah di berbagai penjuru bangsa bahwa si anu keturunan dewa ini, raja itu titisan dewa anu, dan sebagainya. Hal seperti itu sengaja dibentuk sebagai alat agar rakyat pada waktu itu menaruh kepercayaan penuh kepada pemimpinnya. Kraton punya bergudang mitos. Dalam perspektif modern, pernyataan-pernyataan presiden bisa jadi ternyata cuma mitos.” tuturnya dengan gaya yang khas memulai obrolan.

“Dan presiden jadi corong mitos kebangsaan terbesar begitu ya.. Apalagi kalo presidennya hobi galau dan curhat.. Hahaha..” tambah Talkhis, “Nama kita juga mitos kan? Ketika kita lahir ma’ ceprot dari rahim ibu, kita kan telanjang tanpa embel-embel apapun. Barulah kita disemati nama pilihan orang tua. Jono misalnya. Kemudian seiring waktu kita percaya, kita yakin, bahwa kita adalah Jono. Kemana-mana dan kepada siapapun kita bilang bahwa kita adalah Jono. Masalahnya, ketika bertemu orang lain di daerah lain yang sama sekali belum mengenal kita, belum berinteraksi, kita kehilangan identitas. Apakah menurut orang yang belum kenal kita ini masih Jono? Mereka bebas memanggil kita dengan sebutan apa saja tanpa harus meyakini bahwa kita adalah Jono. Iya, kan? Kita terjebak dalam mitos nama.”

Irfan menanggapi, “Tapi kan itu alat bantu identitas.. Dari mitos bisa berkembang menjadi sugesti. Seperti mitos di Wonosobo, anak gimbal harus dituruti segala keinginannya agar bisa sembuh dan normal lagi rambutnya, dari mitos ini muncul sugesti bagi para orang tua untuk menuruti keinginan anak-anaknya yang gimbal di sana. Begitu pula nama, mungkin memang mitos, tapi kan dari nama itu kemudian muncul sugesti, sehingga dikatakan bahwa nama itu doa. Iya to?”

“Lha iya memang,” sambung Miftah, “Mitos itu kan dibuat untuk memudahkan, mensugesti, ya semacam alat kontrol sosial begitulah. Nah ukurannya harus ditimbang dengan neraca ruang dan waktu. Seperti tragedi di Lawang Sewu dahulu, biar orang-orang ingat bahwa di sana pernah ada pembantaian, maka ditebarkanlah berbagai macam mitos tentang tempat itu. Dan di kemudian hari mitos itu nggak cuma jadi pengingat tetapi juga jadi pendatang pundi-pundi uang. Dan hal itu terjadi di banyak tempat maupun zaman, dan menguntungkan dari kacamata kapitalis. Ya mirip mitos-mitos di Alun-alun Kidul, kan mendatangkan fulus..”

“Tapi nek Lawang Sewu ncen angker tenan cuk! Berarti kalau mitos itu menguntungkan, nggak apa-apa gitu?” sambat Irfan.

 “Sik sik sik.. Ben cetho sik,” sela Pramono, “Jadi, mitos adalah anggapan-anggapan yang diakui oleh orang banyak tentang kebenaran suatu hal padahal belum tentu benar, gitu ya?”

“Ya begitulah. Iklan sabun kecantikan misalnya. Menebarkan mitos bahwa wanita cantik itu mereka yang berkulit putih dan dipercaya konsumen. Sehingga muncul ajaran bahwa ‘Putih itu Cantik’ atau ‘Cantik itu Putih’. Dari kasus ini, sabun-sabun semacam Shinzu’i itu yang diuntungkan. Maka mitos ini sebisa mungkin dipertahankan oleh produsen sabun pemutih,” terang Irfan.

“Iya iya paham. Lhah, lalu bagaimana dengan Tuhan? Wah, aku nggak berani bilang kalau Tuhan itu jangan-jangan juga mitos?” hentak Pramono.

“Hahaha.. Kalau ternyata agama, kitab suci, dan bahkan Tuhan itu mitos gimana Pram? Memangnya semua mitos itu jelek? Anggapan bahwa semua mitos itu jelek pun merupakan mitos. Mitos yang membangun tentu baik dan patut dipertahankan. Taruhlah kitab suci itu mitos, Tuhan itu mitos, tapi kan ajarannya menuntun manusia untuk menuju kebaikan, nah itu kan baik.” timpalku.

“Iya juga. Ada area hutan di Wonogiri yang penuh mitos, kata warganya, kalau babat hutan di situ maka simbaurekso hutan akan ngamuk. Dan ternyata itu efektif menjaga kelestarian hutan. Setelah beberapa tahun belakangan ada puritanisme agama yang menyudutkan adat istiadat setempat, orang-orang tidak lagi percaya kepada mitos itu, dan ironisnya, si hutan malah rusak,” tambah Said.

“Nah itu maksudku! Jadi, bagaimana kalau ternyata Tuhan pun mitos Pram?” tanyaku.

“Weh ora wani-wani aku..” bisik Pramono.

“Hahaha.. Maka dari itulah muncul upaya pembuktian,” sambungku, “Ada yang membuktikan secara rasional, ada pula yang menggunakan metode irrasional. Adanya belasan pasang sandal di luar rumah seakan-akan mengatakan bahwa pasti ada rombongan orang di dalam rumah, ada sandal highheels mengatakan ada wanita dalam rombongan itu. Adanya alam dengan berbagai macam keteraturannya sekan-akan meneriakkan bahwa ada Sang Pencipta dan Pengatur segala tatanan semesta raya. Itu upaya yang rasional, istilahnya ‘nadhor’ kalau dalam ilmu kalam. Adapula yang menggunakan metode lelaku batin, bukan dengan mikir-mikir, tapi dengan merasakan berbagai kepayahan dalam bentuk tirakat demi mencapai hakekat.”

“Jadi, lawan dari mitos itu hakekat? Kesejatian?” sela Irfan.

“Bisa jadi!” seru Mukid, “Seperti mengupas bawang. Menelaah mitos itu seperti mengupas kult ari bawang satu per satu hingga lepas semuanya. Di balik mitos ada mitos, kita kupas terus sehingga pada akhirnya kita temukan hakekat itu. Dan mitos itu tak selalu jelek dan tak selalu bagus. Kita harus benar-benar bisa memahami kepalsuan agar bisa menuju kesejatian. Wah itu berarti; mitos bukanlah musuh kesejatian, bukan lawan, hanya lapisan-lapisan tipis yang musti dikupas.”

“Nah itulah yang sedang dan harus selalu kita lakukan, proses memahami kepalsuan demi kepalsuan untuk menemukan kesejatian. Dan itu tak cuma pakai akal, harus disertai rasa. Meskipun tadi sempat mempertanyakan tentang Tuhan, aku yakin Dia senang menyaksikan anak-anak muda yang mau menggali kesejatian,” tanggap Talkhis.

Terakhir, diskusi ditutup dengan kutipan ungkapan Fakhruddin ar-Razi sang mufassir;

“Ujung kesungguhan akal manusia adalah keterbelengguan, dan kebanyakan upaya manusia justru menuju kesesatan. Kita tidak memperoleh apapun dari perbincangan kita di sepanjang usia, melainkan hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang.”

[o]

Selasa, 26 November 2013

Akal-akalan Akal

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 26 Nopember 2013 | Penyaji: Pak Kantin
Beberapa pemuda absurd nampak duduk melingkar di trotoar abu-abu. Hampir semuanya bertampang blo'on namun tak suram. Meski tampaknya mereka pengangguran kumuh, sejatinya mereka sedang belajar berpikir jernih, menyusun konstruksi pemikiran yang sehat dan 'merdeka'.

Menurut Said, ya inilah seharusnya fungsi utama kuliah; melatih cara berpikir yang sistematis menempa ketahanan mental. Tapi, tambah Irfan, hal seperti ini justru tidak didapatkan di dalam kelas yang monoton. Disana, seakan-akan, hanya disuguhkan manual suatu boneka mekanik dan bagaimana cara penggunaannya, bukan pada cara kerja serta fungsi sejati boneka itu.

Dalam episode ini mereka sedang mengakal-akali ‘Akal’. Sebenarnya apa, dimana, bagaimana, untuk apa dan sejauh mana akal bisa berfungsi? Kalimat-demi kalimat meluncur deras, celaan demi celaan terlontar dan gelegak tawa riuh merekah di sela-sela obrolan.
~

Setengah jam berlalu, nampak pria paruh baya, mengenakan caping, berkaos oblong dan celana pendek, mendekati kami setelah menutup pagar kantin dan menyusur trotoar untuk mengumpulkan gelas-gelas kotor. Ia adalah salah seorang yang kami angkat sebagai guru besar kelompok diskusi ini.

"Ngapain sore-sore masih pada disini?"

"Biasa, Pak.. Kuliah."

"Lhah kuliah kok disini?"

“Ya beginilah kuliah kami Pak, cangkeman sambil santai guyon-guyon..” jawab Bastian sambil ketawa puas.

“Hahaha.. Saya jadi inget masa-masa dahulu..” Si Bapak meletakkan gelas-gelasnya di atas paving trotoar, duduk nongkrong, dan mulai berkisah.

“Tahun sembilan puluhan sampai awal dua ribuan masih banyak kelompok-kelompok diskusi mahasiswa di kampus. Ada yang di taman masjid, di trotoar ini dulu banyak berjajar anak-anak diskusi. Kalau sekarang ya paling kumpul jalan-jalan, rapat acara kelompok, dan jajan-jajan. Kalo ada yang diskusi sampai sore begini ya cuma muka-muka kalian, sampai bosan saya.. Hahaha..”

“Ramai ya, Pak.. bedanya apa sama zaman sekarang?”

“Suasananya. Dahulu atmosfer akademis sangat terasa di sini. Sekarang kok serasa kering. Mungkin karena pengaruh teknologi juga ya,”

“Maksudnya, Pak?” sela Bimo sambil mengepulkan asap rokoknya.

“Lha iya, kalau dahulu ‘kan belum ada komputer, internet, apalagi hape. Mahasiswa lebih sering berinteraksi walaupun hanya untuk membunuh kebosanan, dan kebanyakan dari mereka lebih akrab dengan buku-buku. Kalau sekarang, kalian lebih asyik mainan gadget yang canggih-canggih itu.”

“Yaa teknologi itu ‘kan menjadi fasilitas yang mempermudah, Pak.”

“Memang teorinya begitu. Tapi apa kenyataannya begitu?”

“Hehehe. Malah terlena, Pak.”

“Lha iya! Kalau dulu orang bikin skripsi itu ya pasti hapal isi skripsinya. Lha wong ngetik pakai mesin tik manual. Revisi ya mengulangi ngetik. Beda dengan sekarang, semua serba dipermudah.”

“Tapi ‘kan dampak positifnya banyak, Pak..” sergah Pramono.

“Ya semua perkembangan pastilah ada pengaruh positifnya. Tapi juga ada efek negatifnya. Jadi manja, jadi cengeng. Dulu itu mahasiswa kuliahnya relatif lama-lama, paling cepat ya empat setengah tahun. Umumnya lima tahun. Jadi benar-benar matang karena tidak hanya kuliah di kelas, tapi juga kayak kalian-kalian ini. Kalau mahasiswa sekarang ‘kan cepat-cepat, tiga sampai empat tahun, tapi yang didapat hanya apa yang dihadapi di dalam kelas dan bisa dibilang belum matang.”

“O gitu ya Pak..”

“Lha iya, karena kuliahnya lama-lama malah jadi ada idiom; kalau kuliah sampai lima tahun lebih tapi saat wisuda tidak punya ‘pendamping’, berarti kuliahnya gagal, kalau kuliahnya sebentar sih nggak berlaku idiom itu, hahaha..” kelakar si Bapak disambut tawa ngenes kami.

“Berarti besok kalau saya lulus nggak usah ikut wisuda ya, Pak? Biar nggak disebut gagal, hehe..” selaku iseng.

“Hahaha.. Itu akal-akalan kamu saja. Saya kasih tahu ya, kamu itu bukannya nggak laku, hanya kurang atraktif saja. Kalau kamu mau sedikit beraksi, cewek mana yang nggak nempel sama jenggotmu itu?” jawab Si Bapak sambil mencoba menjambak jenggot keramatku, gemas.

~

Pengembaraan obrolan sudah sampai ke ranah psikologi, artificial intelligence pada robot, teori-teori barat dan timur, arab eropa dan jawa, penemuan aspek halus selain akal yang disebut jiwa, hubungan interaktif antara akal dan jiwa, hingga topik-topik aktual lain yang sedang hangat-hangatnya. Mulai dari persepsi kasta Jawa kuno, perkembangan politik kesultanan, hingga tingkah laku pejabat-pejabat dan presiden RI.

“Oke, pertanyaan terakhir buat kita jawab tentang Si Akal. Kalau memang fungsi akal adalah untuk mencari jawaban suatu pertanyaan, mengurai masalah yang ada di dalam rangkaian perjalanan kehidupan, menemukan hal yang belum diketahui. Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pertanyaan utama akal kita? Apa yang menjadi pencarian utama akal kita? Apakah akal hanya sekedar difungsikan sebagai alat memenuhi kebutuhan fisik berupa sandang pangan papan saja? Toh pada akhirnya raga akan berhenti berfungsi dengan kematian dan membusuk di dalam timbunan pusara, lalu tujuan utama akal itu menemukan apa?” lemparku di forum.

“Ya itu dia pertanyaan utamanya! ‘Apa tujuan kehidupan kita? Tuhankah? Keabadiankah? Atau sekedar pemenuhan kebutuhan dalam rangka mempertahankan hidup fisik selama di dunia? Nah di situlah akal kita mencari jawabannya. Dan untuk menemukan jawaban itu si akal harus bekerjasama dengan dimensi manusia yang lain berupa jiwa,” jawab Mukid, mempesona.

[o]

Kamis, 31 Oktober 2013

Para Penjaga Api

Trotoar Kantin Tarbiyah, 31 Oktober 2013 | Penyaji: Muhammad Budi Mulyawan

“Saya boleh ikut gabung ya..” ucap Pak Kantin di sela-sela obrolan sembilan anak muda nggak jelas sore itu. Ya seperti biasanya, Kamis sore di Trotoar Kantin Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Dengan lubang hidung yang kembang kempis seperti Squidward, Irfan mulai menjelenterehkan kronologi gerakan-gerakan pemuda hingga terjadilah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Lalu ia melanjutkan kisah hingga ketika kaum muda diposisikan seperti herder yang lehernya dirantai ke pasak besi. Mereka bisa menggonggong namun tak bisa beraksi. Bergerak sesenti, beredel! Sehasta, hajar! Semeter, dor! Menurutnya, perbedaan mencolok yang terlihat di antara gerakan pemuda dahulu dan sekarang adalah independensi.

“Anak-anak muda sekarang manja. Kebanyakan gerakannya tidak jelas. Bahkan tidak sedikit dari gerakan-gerakan itu yang hanya menjadi proyek materialistis. Mungkin hal seperti ini sudah jadi mindset di kepala anak-anak pergerakan jaman sekarang akibat didikan ‘kenyamanan’ ala Orde Baru. Akibat cara pandang serba materi inilah semua langkahnya salah arah. Sekencang apapun kita berlari, jika arahnya sudah salah, tentu akan tersesat dan semakin jauh dari tujuan. Dan arah itu bernama ‘materialisme’ yang beranak-pinak menjadi kapitalisme. Semua hal, fisik maupun non-fisik, dibanderol dengan harga dan mengikiskan nilainya. Sehingga potensi lokal yang berbasis kesejahteraan bersama menjadi tidak berdaya di hadapan cengkeraman kapitalis.

Banyak kumpulan atawa organisasi pemuda yang sudah lupa makna dari fungsi pengayoman budaya dan inti sosial masyarakat. Malah justru seperti sekumpulan Event Organizer, fokus acara hedon dan melupakan kesederhanaan yang dibutuhkan masyarakat.” ungkap Irfan, khas anak pergerakan.

“Betul!” sahut Mukid alias Si Wowo, “Sebenarnya, langkah yang bisa ditempuh adalah terjun langsung di tengah masyarakat secara riil, melakukan apapun yang konstruktif di tengah rakyat, sekecil apapun perannya. Dan anak-anak muda lupa itu. Hal yang perlu dilakukan orang-orang yang tidak punya akses pengaruh terhadap kebijakan pemerintah adalah dengan menjaga keayeman dan kedamaian masyarakat secara langsung. Rasa-rasanya percuma orang-orang di atas kita teriaki tapi pada kenyataannya mereka tuli. Mending langsung saja kita bergerak di akar rumput tanpa harus galau tidak diperhatikan pemerintah.”

“Nah itu dia! Bahkan pemerintah itu sejatinya nggak ada, Mas!” seru Budi, seorang bakul batik alumni Geografi UI yang sedang nyasar di Jogja. Ia berkesempatan bagi-bagi pengalamannya di forum absurd Selingkar sore itu.

“Gini Mas, kalau kita lihat realita sekarang ini, negara sudah tidak ada. Kebijakan hukum, politik, ekonomi, hingga harga-harga beredar semuanya dikendalikan oleh para kapitalis. Pemerintah alias government; is under control. Itu realita,” ungkap Budi sambil memaparkan sampel-sampel konkrit ketidakberdayaan negara di bawah komando kapitalis.

“Saya punya teori,” lanjut Budi dengan logat Tegalnya yang macho, “Di negeri ini ada lima tingkatan pemeran dalam kebijakan pemerintahan. Kita mulai dari level paling bawah, kelima, kaum intelektual; ini berisi para pakar di ranah keilmuan masing-masing, para professor, para doktor, akademisi, masuk di sini. Tapi mereka hanya punya kuasa berteori dan berkonsep. Sebagus apapun konsep yang mereka susun, tetap kalah sama kuasa tingkat keempat, yakni penguasa, politikus. Mereka punya power untuk menentukan kebijakan di lapangan. Memang tidak sedikit yang sampai di level ini sebab prestasi, namun tak sedikit pula yang menduduki level ini lewat jalan money-politic.

Nah orang-orang yang selalu cari untung dari posisinya ini tunduk di bawah sihir uang dan giuran proyek dari level di atasnya, yakni pengusaha. Inilah para pengendali pemerintahan sebenarnya, pemerintah hanya pion-pion tak berdaya. Anehnya, level ini masih ‘kalah’ dengan level di atasnya, yakni dukun. Ini beneran, pengusaha-pengusaha besar banyak yang menumpukan langkah-langkah bisnisnya di tangan para dukun lho, mulai dari penyematan nama produk bahkan sampai pengupayaan tender proyek. Edan sekali. Namun keempat level ini masih ‘kalah’ kontrol di tengah masyarakat secara riil, level peringkat pertama ini diisi oleh para spiritualis; yakni ulama, guru, atau pendeta.”

“Memang,” sambungku, “Seperti pergerakan melawan penjajah Belanda, Jepang, hingga Inggris, hampir semua bermuara dari komando para ulama. Banyak fatwa agamawan yang diakui dan disepuhkan di tengah masyarakat menjadi batu pijakan untuk melakukan gerakan-gerakan sosial militan. Resolusi Jihad yang menjadi embrio Pertempuran Surabaya menjadi contoh nyata adanya ‘kekuatan’ fatwa ulama. Namun power seperti ini seakan tidak ada lagi saat ini, atau belum muncul lagi, masih hibernasi. Dan parahnya, kalau kita mau perhatikan betul-betul, sudah banyak upaya kapitalis untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kontrol sosial level satu ini. Baik itu melalui jeratan politik hingga rayuan-rayuan gombal finansial. Namun untungnya, masih banyak ulama yang terus bertahan dengan perjuangan gerilya, melalui pesantren maupun lembaga-lembaga informal yang dibinanya, untuk menanamkan kebaikan dan perbaikan di dalam inti masyarakat bernegara; yakni keluarga.”

Beberapa detik forum hening, entah karena merenungi buncahan-buncahan kata-kata yang beterbangan di atas kepala mereka atau karena kehausan sebab gelas-gelas minum sudah kering kerontang.

Setelah beberapa kali mengembuskan asap rokok secara khas seperti bunyi kucing bengek, Sayd berujar, “Dari pemaparan Sampean, berarti kita musti sadar posisi. Pemuda itu ada dimana dalam struktur level yang Sampean buat itu? Sepertinya memang posisi pertama yang ditempati ulama adalah tempat yang tepat untuk membaurkan diri. Dan gerakan model gerilya alias bergerak bebas, independen, secara riil di tengah masyarakat adalah cara paling efisien dan efektif sekarang ini. Namun tidak seharusnya jika empat level yang lain ditinggalkan oleh pemuda macam kita ini. Jika level-level bermasalah itu bisa diisi oleh orang-orang berakal sehat, apalagi mau berintegrasi dengan kalangan spiritualis yang independen, wah pasti dampaknya luar biasa!”

“Iya!” sahut Pramono, “Agar pemuda bisa bergerak tanpa tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan busuk, maka ia harus berusaha merdeka, independen. Termasuk merdeka dari dominasi persepsi wanita. Karena tidak sedikit semangat pemuda yang tersembelih ketika berhadapan dengan segala macam tuntutan manja wanita.”

“Itu dia Mas!” sambung Budi, bersemangat. “Kualifikasi wanita terhadap calon suaminya juga mempengaruhi tingkah laku pemuda. Sekarang ini prototype pria idaman para cewek adalah mapan sukses, bermobil, kaya dan rupawan. Bila saja cewek-cewek bersikap realistis manusiawi, tidak materialistis, pokoknya mensyaratkan laki-laki yang bertanggung jawab, meskipun kantongnya tak begitu tebal, masalah kebutuhan materi diusahakan bersama. Dan cara pandang massal seperti itu akibat kebanyakan mengonsumsi tontonan dan bacaan picisan.

Betapa banyak figur-figur publik yang sedang beken di media sosial dan mempengaruhi mindset cewek-cewek jaman sekarang. Mereka mengumbar definisi kebahagiaan dan pria idaman tersendiri, sehingga menjadikan para pemuda kikuk untuk melakukan berbagai macam kreativitas pergerakan sosial. Kenapa? Karena tekanan kaum wanita, apalagi mereka yang punya pacar. Akibatnya, banyak mahasiswa galau yang nguber wisuda karena diuber kawin. Sehingga dia nggak punya energi lagi untuk mencurahkan daya pikir di ranah sosial kemasyarakatan. Ketika sudah mengemban gelar sarjana, mereka lepas dari usaha-usaha riil di tengah masyarakat yang sebenarnya sangat prospektif dan bermanfaat.

Wah, asupan-asupan dari berbagai media sangat berpengaruh bagi cara pandang pemuda-pemudi kita. Entah itu di media elektronik maupun cetak, lisan maupun tulisan, informative maupun sosial komunikatif. Dan semua itu didanai besar-besaran oleh kaum kapitalis. Contohnya, teman saya (atau mungkin dia sendiri –red.) mengatakan bahwa salah satu media kampanye cara pandang Barat terhadap wanita adalah melalui film-film bokep. Dalam adegan-adegan persetubuhan di film-film bokep bermadzhab Barat, entah Amerika, Eropa, maupun negeri-negeri Asia beraliran hardcore, selalu menempatkan wanita sebagai objek pemuasan hawa nafsu. Itu kejam. Jadi hakekatnya, ketika teman dia menonton adegan di film biru itu, sama saja sedang menonton adegan kebinatangan. Sama sekali tidak indah.

Berbeda jika pemuda mau mempelajari hal-hal vulgar semacam ini bukan dengan cara Barat, tetapi cara Timur. Apakah ada? Banyak! Karya tulis full imajinasi sudah ditorehkan oleh orang-orang terdahulu dari bangsa-bangsa Timur, entah itu India, Arab, Persia, bahkan Jawa. Di kitab-kitab ini wanita menjadi partner pria menuju puncak, bukan objek pemuasan nafsu.” Jelas Budi panjang lebar, sangat antusias.

Sambil membenahi posisi kacamatanya, mungkin masih bingung dan berimajinasi tentang teori bokep tadi, Teguh mengungkapkan kesimpulannya, “Yaa meskipun masih banyak hal-hal berseliweran di kepalaku akibat bahasan yang belum jelas, namun intinya, anak muda memang harus bersemangat. Dan obrolan semacam inilah upaya untuk menjaga semangat idealisme pemuda agar tetap menyala.”

“Benar! Tetap jaga api antum, jangan sampai padam akhi,” ujar Latif menutup pertemuan, sok imut. Senja sudah hilang, langit nampak menghitam, dan ‘api’ di dada kami makin menyala terang.


[o]

Kamis, 26 September 2013

Radikalisme Fundamental

Taman Masjid Kampus, Kamis 26 September 2013 | Penyaji: Sayd Nursiba
Di media, kita sering disodori berbagai macam istilah yang membelenggu, mendikotomi alias mengkapling-kaplingkan, bahkan terkesan memversuskan. Yakni antara fundamental, moderat dan liberal.

Katanya, fundamental berarti pendirian mendasar. Atau secara luas bisa dimaknai sebagai pendirian yang keukeuh terhadap suatu nilai tertentu. "Nggak boleh pacaran!" atau "Harus pacaran!" adalah dua kalimat berbeda yang sama-sama mencirikan sikap fundamentalis; yakni 'mengharuskan'.

Sedangkan orang liberal dimaknai sebagai pihak yang bebas dan seakan lepas dari nilai yang dipegang teguh fundamentalis. Kita tahu, terang Zia, hak orang lain adalah batas kebebasan kita. Jadi, ketika ada orang yang menghancurkan kuburan berkijing di tanah orang lain karena dianggap tidak sesuai dengan ideologi yang dianutnya, orang tersebut bisa juga disebut 'Liberal' karena dia bertindak 'bebas' menerjang batas. Hayoh.

Sedangkan sikap moderat diartikan tengah-tengah; meskipun ia bebas tetapi masih mengikatkan diri terhadap asas-asas yang ada. Posisi inilah yang -katanya- susah. Bagi fundamentalis, orang moderat bisa dianggap liberal. Bagi orang liberal, orang moderat bisa disebut fundamental. Atau bahkan sering disebut hipokrit.

Lalu sebenarnya apa makna 'fundamental', 'moderat', dan 'liberal'? Bagaimana memosisikan istilah itu dengan tepat dan indah? Demikian gugat Lutfi.

Ya embuh, tanggap Yasin, si High Quality Jomblo. Walaupun anggapan orang lain tidak penting, mau liberal kek, moderat kek, fundamental kek, koslet mental kek, you are who you are. Tapi rasa-rasanya penting juga bila kita obrolkan tentang hal ini, agar suatu hari -dimanapun dan kapanpun- kita tidak keseleo pikir dan kepeleset lisan dalam penggunaan istilah-istilah tersebut, terutama jika terpaksa melakukan apresiasi terhadap orang lain di tengah masyarakat. Kenapa penting? Karena kebanyakan kisruh sosial di tengah masyarakat muncul akibat judgement terhadap pihak-pihak tertentu oleh para provokator, sehingga menyulut reaksi lebay dari kita yang malas mikir ini. Betapa banyak sumber daya yang tersia karena konflik yang sebenarnya non-sense?

Apalagi bila dikaitkan dengan isu radikalisme agama. Semua jadi semakin blur tidak jelas.

Dewasa ini, para pemimpin, anggota dan pengikut gerakan Islamisme sedunia takut dan curiga kepada istilah radikal atau radikalisme. Jelas Irfan dengan analisa global. Hampir semua pemimpin islam berlomba-lomba mendapatkan label muslim moderat yang dikatakan beradab, damai dan pasif (disenangi oleh penguasa barat dan patuh kepada kehendak agenda Washington). Apalagi setelah radikalisme diberi suatu makna yang begitu negatif, sehingga dipersamakan dengan arogan, galak, ekstrim, brutal dan lain-lain.

Kita begitu waspada dan risau terhadap istilah radikal, sehingga kita tidak mau berhubungan apapun denganya, atau dikaitkan walau bagaimanapun. Begitu takut dikambinghitamkan dengan gelar islam radikal, sehingga gerakan-gerakan Islam sedunia dijinakkan dan dijadikan kambing hitam.

Inilah aspek komedi gerakan Islamisme dewasa ini. Pengaitan istilah radikalisme dengan fenomena negatif merupakan sesuatu yang salah! (baik dari historis dan juga logika). Dari sudut pandang etimologi, konsep itu tidak ada hubungan sama sekali dengan negatif. Yang lebih menjadi badut dari hal tersebut adalah terjadi suatu alih paradigma dan alih wacana yang menyebabkan terjadinya pengaitan antara radikalisme dan kekerasan.

Perubahan-perubahan seperti ini disebabkan oleh faktor-faktor institusi, relasi kuasa dan struktur kuasa tertenu, dan bukanlah hasil usaha geng-geng jin dan hantu pocongan yang dikhawatirkan. Agensi-agensi yang terlibat dalam peralihan wacana dan paradigma ini di antaranya golongan pers mainstream, pemerintah-pemerintah negara maju, kroni-kroni mereka di negara berkembang, dan malangnya konsep radikalisme keselipan sejumlah gerakan islamis itu sendiri.

Peralihan wacana ini tidak terjadi begitu saja. Ada sebab-sebab tertentu mengapa demikian. Untuk memahami proses ini dan sebab musababnya, kita perlu bermula dengan suatu kajian pendekatan histori, kembali kesuatu era dimana kata radikalisme tidak dianggap berbahaya, justru bernilai positif dan diagung-agungkan.

“Ya, betul,” sambung Said, pemateri gaek dari Madukismo. Pada akhir abad ke19 dan pertengahan abad 20, gerakan nasionalis dan anti kolonialis di dunia ketiga dipimpin dan diterajui oleh tokoh-tokoh radikal yang hebat dan berkepribadian tinggi serta mulia. Tokoh-tkoh Asia seperti Jose Rizal dari Filipina, Pridi Banomyong di Siam, Nguyen Cho Thactht di Vietnam, Bung Karno, Bung Hatta, Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus Salim, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy'ari dari Indonesia, mereka semua bisa dikatatakan radikal pada masa tersebut.

Mengapa? Karena mereka berusaha untuk membebaskan kampung halaman (negara) dan masyarakat dari beban hidup di bawah rezim kolonial yang tidak adil. Dalam perjuangan, mereka tidak berkompromi dengan status quo yang ada secara total. Penentang yang total inilah yang menyebabkan mereka dianggap radikal oleh pihak kolonial. Tokoh-tokoh ini sadar bahwa perubahan dan kemerdekaan yang sempurna tidak akan dicapai selagi struktur kuasa dan relasi kuasa lama masih melekat. Oleh karena itu, fokus penentangan mereka diarahkan kepada sistem politik dan institusi politik kolonial yang tidak adil tersebut.

Dewasa ini kuasa besar Amerika menggunakan pula label radikal untuk meminggirkan musuhnya (sang penegak keadilan). Aneh sekali bukan? Padahal Amerika juga didirikan oleh pemimpin-pemimpin yang dahulunya dianggap radikal. Contohnya George Washington yang memberontak menentang kerajaan Inggris pada abad 18, juga digelari radikal oleh raja inggris pada zamanya. Amerika tak mungkin ada tanpa gerakan pro kemerdekaan yang radikal. Jadi, mengapa pemimpin Amerika saat ini takut kepada aliran-aliran ide dan politik yang berwajah radikal? Apa jangan-jangan mereka dihantui bayang-bayang mimipi buruk mereka? Atau, mungkinkah mereka sadar bahwa sekarang ini Amerika bukan lagi suatu negara terjajah, tapi negara yang menjajah dan dianggap sebagai negara penjajah? Entahlah!

Mukid tetap memperhatikan ekspresi penyaji dengan penuh nafsu, Said grogi dan kebingungan.

[o]

Kamis, 01 Agustus 2013

Berani Bermimpi

Lobi FITK UIN Sunan Kalijaga, 1 Agustus 2013 | Penyaji: Bastian Febrianto
Sore di bawah panggung mendung dan di antara irama hujan, penDuduk Selingkar mencari kutub kehidupannya. Mencari magnet yang dapat menarik dirinya untuk bergerak menuju kutubnya masing-masing. Disuguhi adonan mimpi dan motivasi membuatnya terasa semanis brownis. Walau mungkin saat memakannya akan menyendat tenggorokan. Segelas air tekat, nekat, dan semangat akan segera melancarkannya. Melancarkan mimpi itu menuju usus halus kehidupan. Mencerna dan menyerapnya, hingga menjadi daya gerak bagi sang pemimpi.

Buku berjudul "Soetanto Effect" yang dikupas oleh Bastian Ev menunjukkan bagaimana pentingnya bermimpi. Lalu, apa kata penduduk tentang mimpi setelah saling berdiskusi?
Zainal Muhidin: "Kita harus tahu bahwa hidup adalah perjuangan. Dan harus tahu pula apa yang kita perjuangkan."

Pramono: "Hidup harus punya impian! Meskipun impian tidak harus selalu terwujud."

Muhammad Adami: "Bermimpilah! Tapi jangan lupa bercermin.."

Muhammad Farid: "Mimpilah setinggi mungkin, dan jika itu tak tercapai, setidaknya ada impian-impian di bawahnya yang bisa kita gapai."

Sayd Nursiba: "Seperti yang dikemukakan Sir Muhammad Iqbal; mati dalam perjuangan untuk mewujudkan mimpi-mimpi adalah kebahagiaan."

Muhammad Abdulloh: "Dalam menggapai mimpi, harus ada motivasi!"

Mahfut Khanafi: "Bermimpilah namun jangan lupakan realita. Pintarlah tapi jangan pintar sendiri. Kayalah dan jangan pula kaya sendiri."

Vendi Hermawan: "Harus nekat dalam meraih mimpi!"

Affandi: "Wajar jika terjatuh, namun jangan terpaku kepada momen kejatuhan, tapi berupayalah bagaimana caranya bangkit!"

Ayik Abdulloh Sadam Husen: "Bermimpilah!"

Saikhul Semangat: "Mimpilah yang tinggi, dan jangan takut terjatuh."

Awan Al-Lathief: "Jangan hanya punya satu mimpi besar, harus ada mimpi-mimpi lain yang beraneka ragam."

[o]

Sabtu, 29 Juni 2013

Kesatuan Tanpa Keseragaman

Pendopo LKiS Sorowajan, Sabtu 29 Juni 2013 | Penyaji: Habib Ismail Fajrie Alatas
Sabtu lalu, 29/06/2013, pukul 19.40 kami para penDuduk Selingkar baru sampai di lokasi diskusi, yakni Pendopo LKiS di Sorowajan, padahal acara telah dimulai satu jam sebelumnya. Beberapa gadis manis kader IPPNU menyambut kami di meja tamu. Setelah mengisi buku tamu atas nama Selingkar [o], mengambil beberapa gelas teh dan kopi, serta mencomot beberapa piring kwaci, tahu dan roti, kami langsung memosisikan diri di pendopo panggung selatan, karena pendopo utama sudah penuh oleh pengunjung.

Saat itu Habib Aji sudah sampai pada pembahasan tentang cakupan Islam yang tidak hanya di ranah spiritual dan etika, tetapi juga tatar fisik ritual. Maksudnya, berbagai macam aturan yang terkait dengan fisik dalam agama merupakan ‘persiapan’ wujud wadag (body) sebagai bejana Cahaya Ilahi. Berbeda dengan pandangan aliran pemikiran liberal yang mengusung spirit religio-ethic Islam tetapi hendak menolak dan meninggalkan tata ritual fisik.

Dalam kesempatan ini Habib Aji menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan lokalitas budaya umat dan pluralitas sosial keagamaan, khususnya dalam cakupan Islam. Para ulama, menurut beliau, tidaklah cukup hanya menguasai dan memahami tradisi tekstual keagamaan saja, melainkan juga harus memahami kondisi kontekstual masyarakat dengan segala adat budayanya. Sehingga ia mampu mengakomodasi khazanah keilmuan Islam, fiqh misalnya, untuk disosialisasikan di tengah masyarakat dengan bahasa yang mudah dicerna dan meresap.

Seperti seluk beluk mistisme masyarakat lokal, spirit possesion (kesurupan), dan hal-hal lain semacam itu juga seharusnya tidak luput dari perhatian ulama-ulama lokal di masing-masing daerah.

Sehingga para ulama yang terjun di masyarakat tidak hanya mumpuni dalam masalah-masalah keagamaan, tetapi juga bisa menegosiasikan tradisi teks historis dari generasi salafussalih dengan lokalitas yang dihadapi secara riil. Hal ini meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan hukum yang khas di setiap daerah yang berbeda secara geografis maupun waktu. Keislaman di suatu daerah di Afrika bisa saja berbeda dengan keislaman masyarakat di pelosok Aceh, atau di sudut Jawa Timur, misalnya.

Namun keberagaman itu tetap dapat disatukan, salah satunya dengan tetap dilestarikannya rantaian sanad keilmuan dari murid ke guru, guru ke gurunya, terus bersambung hingga Rasulullah saw. Sanad keilmuan ini bisa menyatukan keberagaman itu karena bersifat trans geografis dan trans historis.

Beginilah keadaannya sehingga Islam bisa menjadi roh di setiap generasi dan peradaban. Beliau juga menyampaikan telaah kritis terhadap pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang memosisikan Islam sebagai objek. Ketika Islam ditempatkan sebagai objek, maka asumsinya Islam bisa diperlakukan sebagai ‘korban’ oleh manusia, bukan sebagai roh, di luar diri. Muncullah anggapan bahwa Islam adalah suatu agama yang bisa bangkit, runtuh, dihina, dibela, dipuji, dicaci, dan kini harus dibangkitkan kembali dalam lintas sektor kehidupan berskala global secara formal.

Pandangan semacam ini, menurut beliau, tidak sepenuhnya tepat. Karena, selain paradigma ini merupakan pola pikir antropolog orientalis, juga suatu kenyataan bahwa Islam sejak awal merupakan jiwa dan poros gerak umat, bukan sebagai objek, bukan pula produk. Apalagi jika paradigma seperti ini ditindaklanjuti dengan upaya penyeragaman hukum Islam secara global di daerah-daerah yang memiliki kearifan lokal berbeda-beda.

Dengan dimoderatori oleh Gus Irwan Masduqi, Lc. (Mlangi), beberapa peserta diskusi dipersilakan mengajukan tanggapan dan pertanyaan.

Menanggapi pertanyaan salah seorang peserta tentang clash yang terjadi sesama umat Islam karena alasan perbedaan. Habib Aji berpendapat tidak perlu ada penyatuan aliran-aliran yang berbeda. Namun di sisi lain, konsepsi kita terhadap makna persatuan harus ditata. Di sinilah pentingnya dialog intensif antara negara sebagai ranah kekuasaan mentah dan ulama yang bersifat konsultatif. Sehingga benar-benar terwujud kesatuan tanpa keseragaman.

Dalam tanggapannya, Alissa Wahid (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian dan Dewan Pembina Wahid Institute) menyampaikan apresiasi terhadap aktualitas tema yang diangkat dalam diskusi malam itu. Mbak Lisa, begitu ia disapa, juga mempertanyakan bagaimana implementasi yang efektif atas hasil-hasil diskusi di forum-forum semacam ini di tengah masyarakat.

Habib Aji menawarkan gagasan pentingnya implementasi ide secara praktis di dalam individu maupun komunitas kita sendiri, khususnya NU. Ia mengatakan bahwa problem yang dihadapi mayoritas kaum muda NU adalah keengganan untuk bergerak, namun baru bersikap reaktif ketika ada pihak luar yang merongrong akidah maupun amaliah. Inilah titik di mana kaum muda NU harus melakukan introspeksi.

Menurut pandangan beliau, tidak sedikit anak-anak muda NU yang mengidap penyakit gengsi ketika sudah membahas perkara-perkara pelik keagamaan atau mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modern. Mereka mulai malas untuk terjun di tengah masyarakat dalam rangka memahamkan hal-hal dasar yang sederhana, merasa bukan kelasnya.

Dalam hal ini, Habib Aji mencontohkan sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Habib Aji, Gus Dur adalah sosok yang tidak hanya mampu berdialog kritis dengan para filsuf kelas dunia, tetapi juga bisa menjalani peran sebagai kiai kampung dengan apik dan berbicara dengan masyarakat yang buta huruf sekalipun.

Gus Dur itu, menurut Habib Aji, bukanlah tokoh pemikiran modern progresif, melainkan sepenuhnya merupakan model tokoh tradisonalis. Sebab itulah keadaan khalayak yang merasa sebagai makhluk modern tidak bisa memahami jalan pikir beliau. Namun Habib Aji juga mengkritik istilah ‘Pribumisasi Islam’ yang sering disandarkan kepada sosok Gus Dur. Menurutnya, istilah ‘pribumisasi’ menyatakan seakan-akan ada Islam yang asli di suatu tempat dan zaman kemudian ‘diturunkan nilainya’ agar berkesesuaian dengan lokalitas pribumi. Hal ini tidak berbeda dengan konsep Islam sebagai objek sebagaimana  telah diulas di atas.
Banyak lagi poin-poin mencerahkan yang disuguhkan Habib Aji, khazanah keilmuan Islam Afrika-Asia, thariqah, konsensus fiqh (ijma’), konsep Instansiasi, Manifestasi, hubungan negara-agama, kasus Habib Utsman bin Yahya Mufti Betawi, Derrida, Adorno, al-Ghazali, hingga keterbatasan epistemologi dalam memahami realita ontologi. Mengenai hal yang terakhir ini Habib Aji mengajukan suatu pertanyaan sederhana,

“Dalam ilmu Nahwu, kita pakai yang paling dasar: Jurumiyyah, apa itu pengertian al-kalam? Al-Kalamu huwa al-lafdzu al-murokkabu almufiidu bi al-wadh’ie. Kalam (kalimat) adalah susunan kata-kata yang memiliki makna dan muncul secara concious . Lalu bagaimana dengan ‘Alif Laam Miim’ di ayat pertama surah al-Baqarah itu, bisakah disebut sebagai kalam menurut definisi kalam ala ilmu Nahwu?”

Gelitikan semacam ini menggambarkan bahwa betapa terbatasnya sistem epistemlogi manusia untuk bisa memahami realitas ontologi, seperti halnya dalam memahami Kalam Tuhan dan Tuhan itu sendiri. Sehingga para ulama di setiap kali mengakhiri tulisannya dalam buku-buku klasik maupun kontemporer selalu membubuhkan pernyataan yang penuh kesadaran bahwa tidak ada yang benar-benar memahami realita sejati selain Allah subhanahu wa ta’ala, yakni dengan menorehkan;

Wa Allahu A’lam. Allahlah yang paling tahu.

[o]

Sabtu, 09 Maret 2013

Peran Pesantren dalam Pendidikan Nasional

Pelataran Kraton, Sabtu 9 Maret 2013 | Penyaji: Sayd Nursiba
Malam minggu selalu ramai di Jogja, khususnya wilayah Malioboro - Nol Kilometer - Alun-alun Utara. Wisatawan lokal maupun mancanegara hilir mudik menikmati eksotisme kota sejuta pesona ini. Di tengah hiruk pikuk itu, ada segerombol pemuda menggelar jamuan di selatan alun-alun, di gerbang barat pelataran keraton. Rona kebahagiaan jelas terpancar dari wajah-wajah mereka. Diawali dengan ritual santap nasi kucing bersama, dilanjutkan petikan gitar dan nyanyian porak poranda, kemudian dilanjutkan dengan diskusi santai Selingkar.

Malam itu mereka membahas Peran Pesantren dalam Membentuk Kepribadian Bangsa dalam tema Budaya. Dipaparkan oleh Sayd dengan apik;
Manusia sejak lahir memiliki kualitas yang berbeda dari mahluk Tuhan lainnya, baik fisik maupun non fisik. Sujarwa dalam bukunya, ‘Manusia dan Fenomena Kebudayaan’ mengatakan; ketika dilahirkan pertama kali, keadaan manusia sama sekali kurang matang dan dalam proses pertmbuhannya ia harus bergantung kepada sesamanya atau orang lain di sekitarnya.

Dalam proses perkembangan menuju kematangan individu sering terjadi persaingan dan konflik dalam dirinya. Hal ini menunjukkan dalam diri manusia terdapat usaha untuk membentuk dan mengubah diri agar bisa menjadi individu yang lebih baik. Olehkarena itu, pada dasarnya, manusia telah mempunya potensi baik dan buruk dalam dirinya serta diberikannya kebebasan memilih dan mengaktualisasikan dua potensi tersebut.

Dalam mengembangkan dua bentuk potensi ini manusia lebih dominan untuk dipengaruhi dan dibentuk dengan kondisi lingkungannya, karena perkembangan hidup manusia tidak cukup hanya ditentukan pengalaman pribadinya, namun lebih banyak ditentukan oleh kempuan untuk belajar dan penerima pembembelajaran. Hal ini dikerjakan dengan maksud mengembangkan dan mempersiapkan seseorang untuk kehidupan dunia dan akhiratnya.

Kebutuhan manusia untuk ruhnya yang utama adalah agama, yang teraktualisasikan dalam bentuk ibadah. Maka kesadaran beragama perlu ditanamkan sejak dini, dan harus menjadi frame bagi kehidupan manusia untuk menjiwai hidup berbudaya, berpolitik, bersosial dan beretika. Seseorang yang sejak awal diperkenalkan nilai agama maka diharapkan corak kepribadiannya diwujudkan yang bersifat islamai. Nilai-nilai agama ini sangatlah berperan dalam pembentukan sikap mental bagi seseorang.

Ditinjau dari perspektif pendidikan, yang mengemban tugas mewujudkan semua itu adalah lembaga informal, formal, dan nonformal.  Pesantren menjadi salah satu bentuk lembaga pendidikan non formal karena eksistensinya berada dalam jalur pendidikan masyarakat. Ia memiliki program-program pendidikan yang disusun sendiri, pada umumnya bebas dari ketentuan formal. Semua program ini dilaksanakan dalam proses belajar bersama lingkungan kehidupan pondok dan diawasi secra langsung oleh kyai dan para asistennya. Maka pesantren bukan hanya tempat belajar mengajar, melainkan proses kehidupan sendiri.

Peran penting dari lembaga pondok pesantren adalah sebagai alat tranformasi kultur yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Jawaban terhadap panggilan keagamaan dan pengayoman serta pendidikan kepada masyarakat yang bersedia menjalankan perintah agama dan hubungan antar mereka.

~

Setelah melalui tiga jam durasi diskusi (21.30 - 00.30). Masing-masing penduduk mengemukakan kesimpulannya;

Luqman: "Ada berbagai macam corak yang dimiliki pesantren-pesantren di Nusantara. Keberagaman inilah yang menjadi potensi dan kekuatan pesantren untuk berkiprah di masyarakat sesuai kebutuhan."

Alvin Nurkholis: "Pengaruh yang ditanamkan oleh pesantren tidak terlepas dari fitrah manusia, yakni sebagai 'abdullah (vertikal) dan khalifatullah (horisontal)."

Mahmud: "Adanya karakteristik khas di pesantren merupakan kebijaksanaan dari sosok pusatnya, yakni Kiai (pengasuh pesantren). Sehingga beliau-beliaulah yang secara tidak langsung memiliki pengaruh di masyarakat melalui lembaga pesantren dan santri-santrinya di kemudian hari. Maka bagi para calon kiai untuk bisa menempatkan diri serta melihat kebutuhan masyarakat secara riil."

Latif Himawan: "Melihat peran santri yang begitu berat ketika sudah terjun di masyarakat, maka sudah semestinya sosok santri bisa menarik hati masyarakat. Bila dahulu masyarakat hormat terhadap orang-orang alim, sekarang masyarakat tampaknya memberikan perhatian kepada hartawan. Maka perlu dipertimbangkan agar sosok santri bisa menjadi tokoh yang hartawan juga."

Sutri Cahyo Kusumo: "Apa yang dilakukan pesantren dan unsur-unsur di dalamnya tak lepas dari kaidah; menjaga hal yang baik dan mengambil hal yang lebih baik. Nah, untuk mengetahui nilai suatu hal, apakah baik atau tidak, maka diskusi semacam ini sangatlah dibutuhkan."

Irfan Wahyu Adi Pradana: "Pioneer perubahan di masyarakat, dalam hal ini adalah sosok santri, jangan agu dan takut untuk bergesekan dengan realita di masyarakat. Tantangan harus dihadapi, bukan dihindari."

Dendy Cipto Setya Budi: "Pesantren kerap kali -di zaman sekarang- tidak menyentuh dan menggarap kalangan bawah, grassroot. Keadaan ini harus di-upgrade agar pesantren tidak menjadi seperti menara gading; yakni suatu lembaga eksklusif yang justru tak bisa dijangkau oleh masyarakat awam, sehingga meskipun keilmuannya mumpuni tetapi manfaatnya tak menyebar di kehidupan bermasyarakat. Sedikit kutipan dari puisi Rendra; apalah arti berpikir bila terepas dari masalah kehidupan.."

Zia Ul Haq: "Sudah saatnya pesantren dengan unsur kiai-santrinya menjadi semacam Think-Tank bagi permasalahan-permasalahan aktual sosial kemasyarakatan, yang berhubungan dengan segala lini kehidupan, seperti budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Tidak hanya menjadi majlis pembahasan masalah-masalah ritual keagamaan an sich."

Forum diskusi santai ditutup pukul setengah satu dini hari, dan pertemuan malam itu diakhiri dengan santap nasi goreng dan sruputan kopi.

[o]