Jumat, 27 Desember 2013

Mengadili Rokok

Angkringan Kraton, Kamis 27 Desember 2013 | Penyaji: Muhammad Iqbal Fahmi
Kamis jam sembilan malam, lalu lalang orang-orang mengeroyok pasar rakyat di Alun-alun Utara alias Altar. Malam itu masih dalam pekan-pekan perayaan Sekaten, jadi maklum jika nampak begitu ramai. Pelataran kraton yang biasa kami sulap jadi aula diskusi pun sudah dialihfungsikan jadi parkiran. Tapi tenang, masih banyak tepat lain yang asik buat duduk selingkar. Kami pilih hinggap di angkringan sepanjang trotoar, seberang museum kereta Jalan Rotowijayan.

Kali ini sembilan pemuda kurang kerjaan mengangkat tema tentang rokok. Benda mungil yang multikompleks. Setelah dua bulan magang di Djarum Foundation Kudus, Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok di forum diskusi absurd ini. Jumat 27 Desember, jam 2 dini hari. Baru selesai diskusi santai Selingkar, dan jeroan serasa makin segar. Sejak jam 9 hari Kamis kemarin, di trotoar angkringan Kraton Yogyakarta, Kadet Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok setelah dua bulan magang di Djarum Kudus. Dari selinting tembakau bisa ditelaah dan disikapi dari berbagai perspektif.
Pertama, tentang bahan baku: tembakau dan cengkeh. Kedua, tentang proses produksi. Ketiga, tentang pemasaran dan jaringan global. Keempat, tentang budaya dan kontroversi.

Pro-kontra merokok dibahas tuntas pada kesempatan Selingkar kali ini. Mulai dari asal mula budaya merokok di negeri ini, beragam jenis tembakau, proses produksi rokok, pemberdayaan masyarakat melalui kretek, korporasi global dan pencaplokan lahan, hingga mafia kapital dunia kesehatan.

Pada awalnya, penduduk Selingkar mengemukakan berbagai silang pendapat tentang rokok. Namun ujungnya, bermufakat bahwa rokok bukanlah sumber masalah yang sering disudutkan oleh berbagai pihak. Ada kepentingan ekonomi, bahkan politik, yang melatarbelakangi pro-kontra global ‘jajan tembakau’ ini.

Untuk melengkapi perbincangan mengenai rokok ini, alangkah bijaknya bila kita menziarahi salah satu penemuan anak bangsa yang cukup fenomenal. Ketika dimana-mana rokok dihujat oleh oknum dunia kesehatan, di Kudus ada rokok yang justru berpartisipasi dalam upaya penyembuhan berbagai macam penyakit.

Namanya; Divine Kretek alias Si Rokok Sehat! Kabarnya, si rokok ini berhasil membantu terapi penyembuhan lebih dari sepuluh ribu pasien dengan beragai macam keluhan penyakit berat, semisal kanker hingga autis. Bagaimana ceritanya? Mari kita telaah bersama.

[o]

Radikal bebas adalah penyebab utama hampir semua penyakit. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara, makanan, tambalan gigi amalgam, kosmetik dan sebagainya. Radikal bebas menjadi racun yang menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri tidak berjalan maksimal. Namun, selama ini yang dituduh sebagai penyebab utama penyakit adalah rokok. Padahal, nikotin rokok justru sebagai zat peluruh radikal bebas.

Demikian dikatakan Prof. Dr. dr. Sarjadi, Sp. PA (K), Guru Besar Patalogi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang juga Rektor Universitas Muria Kudus. Kata beliau, nenek moyang kita dan suku Indian misalnya, telah menjadikan tembakau sebagai obat berbagai penyakit.

Namun, sejak era industrialisasi, nikotin dalam tembakau mulai terpapar radikal bebas yang disebabkan polusi dari industri dan transportasi. Sehingga kandungan positif pada nikotin tertutup dan tercemar radikal bebas. Jika radikal bebas pada nikotin berhasil dibersihkan, maka tembakau justru menjadi obat!

Upaya membersihkan tembakau dari radikal bebas itu berhasil dilakukan oleh DR Greta Zahar (pakar fisika nuklir) dan Prof Sutiman B. Soemitro (pakar Bio Molekuler Universitas Brawijaya Malang). Melalui pendekatan Nanoteknologi, keduanya berhasil mengembangkan rokok yang bebas dari radikal bebas dan bahkan asapnya berfungsi sebagai scavenger (penangkap dan penjinak) radikal bebas. Temuan itu diberi nama Divine Kretek.

Dalam buku “Divine Kretek – Rokok Sehat” yang diterbitkan oleh MBPI (Masyarakat Bangga Produk Indonesia) dijelaskan bahwa Divine Kretek dipadukan dengan metode pengobatan balur yang juga menggunakan pendekatan nanoteknologi. Paduan keduanya selanjutnya disebut Balur Divine.

Dr Saraswati, M.Psi (Direktur Lembaga Peneletian Peluruhan Radikal bebas Malang) mengatakan; Balur Divine adalah detoksifikasi radikal bebas dengan teknik membalurkan (melulurkan) sejumlah formula menggunakan pendekatan Nanoteknologi. Detoksifikasi dengan Balur Divine mampu menghilangkan radikal bebas secara efektif, karena pendekatan nanoteknologi mampu memperkecil gelembung toksin/racun menjadi ukuran nano (seper semiliar meter), sehingga racun dapat keluar dari tubuh tanpa menimbulkan luka.

Proses balur, diantaranya dengan minum formula asam amino tertentu, yang mampu mengambangkan zat radikal dari dalam tubuh. Proses balur juga harus dilakukan di atas lempeng tembaga (Cu) yang terhubung dengan bumi (grounding) dan ditutup aluminium foil. Hasilnya, zat radikal yang keluar dari tubuh yang sarat muatan listrik negatif, akan menumbuk lempeng tembaga dan alumunium foil, lalu dialirkan dan dinetralkan ke bumi (grounded).

Dr Tony Priliono, pengelola Rumah Sehat “Griya Balur Muria” Kudus mengatakan; Balur Divine efektif meluruhkan radikal bebas penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit degenerative seperti kanker, stroke, jantung, asam urat, juga untuk mengobati anak autis. Selain di kudus, rumah sehat terapi Balur Divine sebelumnya sudah dibuka di Jakarta, Malang dan Semarang.

DR Kusnanto Anggoro (Peneliti Center for Strategic and International Studies/CSIS Jakarta) mengatakan; temuan Divine Kretek memberikan semangat dan harapan kebangkitan yang berdampak pada sosial dan politik bangsa Indonesia. Harus ada upaya menyempurnakan temuan tersebut secara berkesinambungan.

Mohamad Sobari, budayawan nasional mengatakan; temuan Divine Kretek seyogyanya bisa membuka pikiran kelompok anti tembakau yang selama ini hanyut pada stigma bahwa tembakau harus dimusihi karena dianggap sebagai sumber penyakit.

Namun sayangnya, sebagaimana masalah klasik yang sering dihadapi para jenius di negeri ini: tidak adanya dukungan energi (dana untuk riset, pengembangan, dan pemasaran) dari pemerintah, apalagi perusahaan rokok. Sebagaimana dinyatakan Dr. Sutiman;

“Kami tidak didukung oleh perusahaan-perusahan rokok.”

Salah satu penDuduk yang pernah merasakan rokok ini, Fahmi, menceritakan bahwa asap yang dihisap tidak berat di paru-paru. Saat ini baru dipasarkan terbatas untuk keperluan terapi di Kudus, Jakarta, Semarang, dan Malang.

Dari sisi kesehatan, produk rokok-jamu ini membalikkan tuduhan sumber penyakit menjadi obat penyembuh, atau dari 'madharat’ justru menjadi ‘manfaat’ dalam sisi hukum agama.Dan secaa ekonomi, tentu bila rokok-sehat ini didukung pemasarannya, tidak ada lagi rokok punya Phillip Morris beredar di pasaran dengan berbagai gambar mengerikan.

~

Nah, ada lagi rokok kesehatan dari Malang yang sudah merambah pasaran luas. Namanya; ROKOK SIN. Rokok Sin bentuknya seperti rokok pada umumnya, namun memiliki efek yang sungguh berbeda. Apabila rokok biasa terbukti berbahaya untuk kesehatan tubuh, rokok Sin justru mampu mengobati berbagai macam penyakit yang bisa jadi ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok biasa.

Rokok Sin diciptakan oleh KH. Abdul Malik asal Malang yang bergerak di bidang pengobatan alternatif. Beliau adalah Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah. Rokok Sin awalnya dibuat berkat ilham yang beliau dapatkan saat melakukan Shalat Istikharah, yaitu agar membuat rokok yang bisa dimanfaatkan sebagai obat.

Mei 2005, Kiai kelahiran Sumenep, Madura ini memulai Sejarah Rokok Sin ini dengan memproduksi rokok Sin bersama beberapa santrinya. Alhasil, rokok yang sedianya dikonsumsi terbatas untuk para jama’ah tariqahnya, mendapat respon yang positif dari masyarakat karena kemujaraban khasiatnya. Kemudian berlanjut dengan diproduksinya secara massal dan professional pada 23 Mei 2006, setelah mendapat ijin dari Pemerintah. Nama Sin diambil dari nama gunung Tursina (Sinai) di Timur Tengah.

Rokok Sin telah melalui uji ilmiah di Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang, dan salah satu pabrik rokok terkemuka di Jawa Timur yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk pengujian produk rokok. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar “Nikotin rokok Sin” sangat rendah, bahkan dinyatakan mendekati 0%. Pada Rokok Sin, efek negatif yang ditimbulkan oleh nikotin sudah dinetralisir oleh kombinasi bahan-bahan herbal lainnya yang 100% murni herbal, tanpa bahan kimia.

Hasil uji Laboratorium Resmi menunjukkan nilai TAR rokok Sin tinggi. “TAR” secara standar internasional adalah pengukuran berat material asap rokok yang mengandung racun dan bahan berbahaya lain. Umumnya apabila nilai TAR tinggi maka nafas terasa berat, sesak dan dada sakit. Akan tetapi nilai “TAR” pada rokok Sin adalah ramuan jamu terapi kesehatan yang membantu mengurangi racun dalam paru-paru dan mengeluarkannya dalam bentuk lendir, sehingga nafas terasa ringan. Pembuktian secara empiris telah banyak yang merasakan efek positifnya. Sejarah Rokok Sin membuktikan “TAR” yang dihasilkan Rokok Sin sungguh berbeda dengan “TAR” rokok biasa.

Kini, rokok Sin tersebar hampir diseluruh pelosok negeri. Dengan cukup banyak varian rokok Sin yang memudahkan memilih rasa yang cocok sesuai selera. Harganya antara 60-135 ribu per slop, tergantung jenis variannya.

Ada dua latar belakang yang menginspirasi lahir-nya rokok terapi ini: Pertama, pengembaraan spiritual yang diyakini sebagai petunjuk Allah SWT. Sebab, sejak usia muda Kiai Abdul Malik adalah santri yang menekuni dunia spiritualitas dalam rangka pencapaian ridla ilahi. Pengembaraan spiritualnya dimulai sejak usianya masih 17 tahun. Ketika masih di Madura, Kiai yang lahir 38 tahun silam ini gemar menimba ilmu-ilmu spiritual kepada ulama-ulama besar.

Ketika hendak menempuh masa kuliahnya pun Kiai Abdul MaIik meminta kepada salah seorang gurunya, Habib Husain. Atas petunjuk sang guru, Kiai Abdul Malik meneruskan pendidikannya di jurusan teknik elektro Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Selain intens berguru kepada Habib Husain, dunia spiritual Kiai yang juga insinyur ini pun ditempa oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya dari Medan.

Setelah lulus, sembari bekerja sesuai dengan diskursus ilmu yang dimilikinya, Kiai Abdul Malik juga tetap berguru kepada Habib Husain dengan istiqamah. Barulah sejak 2003, secara resmi Kiai Abdul Malik didaulat sebagai pengganti almarhum Habib Husain untuk menjadi Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah hingga sekarang.

Kedua, karena pengalaman medis Kiai Abdul Malik. Sejak 1996 Kiai Abdul Malik mendapat amanat dari Habib Husain untuk mengentaskan selalu membantu meringankan beban orang miskin dan anak yatim sesuai kemampuan. Karena salah satu kemampuannya adalah keahlian pengobatan alternatif, Kiai Abdul MaIik mulai membuka diri untuk senantiasa membantu pengobatan secara gratis kepada masyarakat kurang mampu dan mengasuh anak-anak yatim. Dari pengalaman inilah Kiai Abdul Malik merealisasikan ilham yang diterimanya dengan meracik ramuan tradisional dikombinasikan dengan tembakau yang kemudian berbentuk rokok terapi ini.

Kini, rokok yang diproduksi dalam tujuh varian ini telah tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, baik distributor internal jama’ah maupun distributor di luar jama’ah. Selain karena kemujaraban khasiatnya, ini juga disebabkan karena komitmen jama’ah tariqah Kiai Abdul Malik untuk mengem-bangkan usaha ini demi fakir miskin dan anak yatim.

Sejak awal, Kiai Abdul Malik memang berniat agar sebagian hasil penjualan rokok ini dimanfaatkan untuk kegiatan sosial. Selain dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, dalam bagian tertentu pihak pengelola perusahaan selalu mendistribusikan hasil pen-jualannya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim secara periodik. Setiap bulan selalu ditransfer sejumlah uang ke beberapa rekening yayasan atas perintah Kiai Abdul Malik.

Demikian tanggapan penDuduk Selingkar:

Sulaiman: "Sebagai non-perokok, saya kira perusahaan-perusahaan rokok harus pula melakukan upaya-upaya agar produknya terkendali. Agar tidak membahayakan konsumennya, minimal ya menyelenggarakan rehabilitasi."

Irfan: “Matamu! perusahaan rokok merehabilitasi wong ben ra ngerokok? Kui jenenge bunuh diri, Dab! Huahaha..”

Sulaiman: “Bukan begitu, Bung. Ada salah satu petuah dari bang Philip Morris yang membuat saya sangat interest sekali dengan diskusi ini; Jika ingin menghancurkan bangsa maka amunisinya adalah dengan rokok. Hahahahahahahaha. Saya sempat ketawa kecil ketika melihat sebatang rokok cilik tapi kok iso yah menghancurkan bangsa?

Ketika otak saya berrefleksi dan dibenturkan dengan pemikiran orang-orang absurd ini, maka beberapa analisis berhamburan keluar. Ringkasnya: yang dimaksud menghancurkan bangsa adalah dengan menjadikan rokok ini sebagai topik perbincangan dan perdebatan utama di setiap kalangan yang eksis di Indonesia. Mulai dari kelas kecrengan alias receh sampai kaum raja-raja.

Rokok menimbulkan problem yang dilematis. Dari hanya sebatang saja dapat ditarik ke dalam berbagai bidang yang tersebar disetiap lini. Hukum, ekonomi, budaya, sosial, politik, bahkan agama saja ikut nyangkem, pake doktrin teologi lah, dalil lah, ahhh asu lah pokoke!

Kita tilik saja dari peliknya sudut pandang kesehatan. Di satu sisi, kementerian kesehatan menjudge begitu saja bahwa pada 2004 saja mereka mengeluarkan dana sekitar Rp 127 triliun rupiah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang timbul akibat rokok, padahal sakitnya perokok tidak semua disebabkan oleh rokok itu sendiri.

Artinya, rokok bukanlah sebgai faktor utama yang menyebabkan sakit atau modar. Ada beberapa bahan konsumsi lain yang kandungan zatnya lebih medeni daripada rokok, sebut saja ‘micin’, kafein sing neng kopi, dan sebagainya. Herannya dana 127 triliun iku 7 kali lebih besar daripada devisa cukai yang masuk ke kas yang hanya 16,5 triliunan. Di sisi lain, kemenkes juga ‘logically’, menerima dana bea-cukai rokok, pastilah, kan pajak rokok devisa yang paling besar bagi negara.

Durung ditambah persoalan teologi agama yang seringkali membuat ricuh, padu karo gelut. Contohe kaya seminar di Jombang yang menyebutkan bahwa rokok itu menimbulkan syirik dan sebagainya. Akhire seminare ricuh lan pada gelut, ya kaya kue lah.

Maka, menurut saya, tidaklah pantas memperdebatkan rokok terlalu berlebihan, cukup saling hormat-menghormati saja, toleransi, dan saling menghargai. Para perokok ya tulunglah pengertian sama orang yang gak ngrokok, lan orang ang rokok ya tulunglah aja ekstrim sok-sok an mbacot rokok haram lah, sirik lah, apa lah.”

Ahlis: "Walau bagaimanapun, aktivitas merokok harus sesuai kebutuhan dan keadaan, baik fisik maupun ekonomi. Nggak boleh sembarangan, ya sama halnya dengan aktiitas-aktiitas relaksasi lainnya lah.."

Said: "Bicara rokok berarti kita bicara perputaran uang dan konglomerasi kelas kakap. Alangkah asiknya jika kita bisa turut menikmati bocoran-bocoran kapitalisme ini. Tinggal kita cari bagaimana caranya biar bisa melobangi kantong-kantong uang itu biar meluber ke orang-orang kecil."

Rijal: "Dalam setiap batang rokok ini menjadi simbol pertahanan bangsa dan negara. Jika sampai dikuasai dan dikelola oleh pihak asing, maka runtuhlah salah satu gerbang pertahanan kita."

Abdul: "Masalah rokok ini persoalan pelik, ia bisa ditarik ulur ke bidang apa saja. Politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Maka harus ada titik tengah antara blok kiri dengan blok kanan, antara pro dan kontra. Dan titik itu adalah toleransi antar keduanya."

Nasrullah: "Dalam hal rokok, apapun persoalannya pasti yang menjadi korban adalah orang-orang kecil. Mulai dari petani tembakau hingga mereka yang kere dan dituduh penyakitan karena sebab rokok."

Irfan: "Merokok memang membuat ketagihan karena enak. Tapi harus diiringi kekhusyuan."

Fahmi: "Rokok bukan candu. Itu tergantung mindset, sifatnya psikologis, psikis bukan fisik. Selain itu, tingkat keberbahayaan rokok tergantung kondisi kesehatan pengisapnya. Jika berlebihan, ya jelas berbahaya. Jika ala kadarnya, tak masalah asalkan sesuai dosis dan seperlunya, untuk relaksasi misalnya. Toh, tubuh manusia itu unik, memiliki karakteristik ketahanan sendiri-sendiri dan tak bisa disamaratakan. Masuk ke ranah kartel bisnis rokok nasional maupun internasional, ada baiknya kita memahami serta memilah hubungan antara kebutuhan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan manusia, kapitalisme perusahaan, pemasukan negara, hingga fasisme dunia kedokteran. Maka kita akan sampai pada posisi moderat: tidak anti terhadap rokok, tidak pula fanatik terhadapnya. Kita musti adil."

Zia: "Perjalanan rokok dari nyala hingga memuntung persis kisah umur manusia. Ketika rokok dibakar pertama kali bagai terlahirnya bayi, usia hidup di dunia dimulai. Dihisap atau cuma digeletakkan, rokok tetap akan terbakar habis. Begitu pula usia, dimanfaatkan atau hanya dianggurkan, ia tetap akan habis lalu mati."

 [o]

0 komentar:

Posting Komentar