Sabtu, 29 Desember 2012

Singularisme Agama-agama

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 29 Desember 2012 | Penyaji: Zia Ul Haq
Keberagaman agama di Indonesia tidak terlepas dari faktor sejarah dan sosial budaya. Fenomena yang terjadi dalam keberagaman itupun tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek sosial budaya yang melingkupinya. Adanya konflik atau pergesekan antar umat beragama merupakan suatu obyek kajian yang harus dicermati secara detail, apakah terjadi murni karena faktor agama itu sendiri, ataukah karena faktor-faktor eksternal berupa politik maupun ekonomi.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita betapa pahitnya akibat dari konflik-konflik sosial bernuansa keagamaan. Hal ini tidak hanya terjadi di masa kontemporer tetapi juga di zaman klasik ketika nama “Indonesia” belum mengikat keanekaragaman bangsa di Nusantara. Konflik antara Kesultanan Islam Demak dengan Kraton Hindu-Buddha Majapahit misalnya, telah menyisakan kerugian yang tidak sedikit selama beberapa abad setelahnya.

Belum lagi jika kita mencermati beberapa persinggungan antaragama di zaman kontemporer ini. Konflik antara umat Islam dan Kristen di Poso sekiranya bisa menjadi sampel. Konflik di poso adalah salah satu konflik di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso.

Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut. Tampak sekali bahwa aktor-aktor dalam konflik sebenarnya sangat kompleks, melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, di samping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan kekuasaan.

Begitu pula dengan insiden Ketapang pada tahun 1998 terhadap gereja-gereja Kristen yang barangkali merupakan satu faktor penyebab peperangan Kristen-Islam di Ambon, yakni adanya hasutan antara orang Betawi (penduduk Jakarta asli). Sejak tahun 1990 telah terjadi serangan-serangan terhadap gereja dengan peningkatan momentum, mencapai klimaksnya pada insiden yang mengerikan tahun 1996 dan 1997 di Surabaya, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian timur Indonesia telah terjadi serangan terhadap masjid-masjid. Serta berbagai bentrok di penjuru tempat di Indonesia yang sayangnya diperparah oleh faktor politik, secara parsial dari TNI dan Polri serta orang-orang yang datang dari luar dan melibatkan diri di dalamnya.

Budaya kekerasan dan anarkisme yang didemonstrasikan oleh berbagai bentuk konflik di atas bisa berkembang setidaknya karena empat faktor.

Pertama, faktor modernisasi dan globalisasi.  Kedua, faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat. Ketiga, mengguritanya budaya kekerasan di masyarakat. Keempat, faktor sosial politik.

Mari kita lihat konsep utama dasar keimanan agama-agama resmi di Indonesia:

Pokok-pokok ajaran Hindu tertuang dalam Panca Sraddha, yakni:

Percaya terhadap adanya Brahman (Sang Hyang Widhi); Percaya terhadap Atman yang merupakan percikan dari Atman tertinggi yakni Brahman; Percaya terhadap Hukum Karmaphala (balasan perbuatan); Percaya terhadap adanya Punarbawa atau lingkaran kelahiran kembali;Percaya terhadap adanya Moksa atau kelepasan jiwa dari ikatan duniawi.

Nilai-nilai kemoralan untuk umat awam Buddha dikenal dengan Pancasila:

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup; Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan; Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila; Aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta; Aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Rukun Islam ada 5:

Mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah; Mendirikan salat wajib lima kali sehari; Berpuasa pada bulan Ramadan; Membayar zakat; Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu. Umat Islam meyakini doktrin bahwa Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah bentuk Kasih Sayang-Nya terhadap alam semesta atau rahmatan lil ‘aalamiin. Juga terkait dengan tugas diutusnya Nabi Muhammad yakni sebagai pembenah moralitas manusia secara keseluruhan.

Dalam Kristen, maupun Yahudi, dikenal adanya Sepuluh Perintah Tuhan (Dekalog):

Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu; Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; Kuduskanlah hari Tuhan; Hormatilah ibu-bapamu; Jangan membunuh; Jangan berzinah; Jangan mencuri; Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; Jangan mengingini istri sesamamu; Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Dalam Kong Hu Cu, ada beberapa konsep, yakni;

Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu: Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian); Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De); Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming); Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen); Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi);  Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo); Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu); Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao);

Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang); Ren – Cintakasih, Yi – Kebenaran / Keadilan / Kewajiban, Li – Kesusilaan dan Kepantasan, Zhi – Bijaksana, Xin - Dapat Dipercaya;

Lima Hubungan Sosial (Wu Lun): Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan; Hubungan antara Suami dan Isteri; Hubungan antara Orang tua dan anak; Hubungan antara Kakak dan Adik; Hubungan antara Kawan dan Sahabat

Delapan Kebajikan (Ba De): Xiao - Laku Bakti, Ti - Rendah Hati, Zhong – Setia, Xin - Dapat Dipercaya, Li – Susila, Yi – Bijaksana, Lian - Suci Hati, Chi - Tahu Malu.

Maka pesan moral normatif inilah yang semestinya diidentifikasi dari setiap agama untuk digarisbawahi kesamaan tujuannya. Secara rinci, setidaknya ada tujuh hal pokok yang dikandung oleh semua agama, yakni;

1.       Adanya realitas transenden, yakni Tuhan Yang Maha Suci.

2.       Realitas yang transenden itu adalah immanen di lubuk hati manusia.

3.       Realitas transenden tersebut adalah kebaikan tertinggi, mutlak.

4.       Realitas ketuhanan ini adalah cinta sejati yang mewujud di dalam kehidupan.

5.       Jalan manusia menuju Tuhan adalah menyerahkan diri, disiplin diri dan ritual.

6.       Semua agama tidak saja mengajarkan tentang jalan menuju Tuhan, tetapi secara bersamaan juga mengajarkan cara bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

7.       Cinta merupakan jalan yang paling tinggi menuju Tuhan.

Hal ini juga menunjukkan secara jelas bahwa agama yang sebenarnya menguatkan keberadaan pengalaman spiritual yang unik dan bersifat individual dari seorang pemeluk agama. Pengalaman spiritual itulah yang mendorongnya untuk memiliki pemahaman yang mendalam secara bersama-sama antar berbagai orang dari seluruh sistem keagamaan yang ada. Agama yang sebenarnya bertindak sebagai ‘kendaraan’ atau ‘alat’ untuk mengungkapkan rasa pelayanan (pengabdian) yang tulus dari seluruh penganutnya. Pengabdian tersebut ditujukan kepada Tuhan, lalu dimanifestasikan pula kepada eksistensi kosmik berupa alam semesta ini.

Di akhir pembahasan ini, ide utama dari nilai-nilai moral agama-agama di Indonesia setidaknya terrangkum di dalam ungkapan al-Bantani. Beliau menyatakan bahwa intisari dari perintah dan larangan di dalam kitab-kitab suci hanya dua hal saja, yakni mewujudkan keharmonisan dengan al-Khaliq (Pencipta) dan mewujudkan keharmonisan pula dengan al-Makhluq (ciptaan, semesta alam kosmik).

~

Meskipun diskusi dengan tema "Memahami Pesan-pesan Moral Agama demi Mewujdkan Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia" pada Selingkar Kamis (20/12/2012) lalu masih terasa belum tuntas, masih sekedar kulit dan agaknya perlu dilanjutkan lagi kapan-kapan, namun para penduduk tetap antusias;

Muhammad Adami: "Lakum diinukum wa liya diin.. Untukmu agamamu, untukku agamaku.. yang disebutkan di sini adalah 'agamamu' terlebih dahulu, baru kemudian 'agamaku', berarti di sini ditekankan bahwa kita harus menghargai orang lain."

Bastian Ev: "Ketika melihat perbedaan-perbedaan, kesanku adalah; Ah, biasa wae, dan tidak perlu diperruncing."

Saikhul Semangat: "Sepenangkapan saya, aslinya 'agama' itu tidak ada, yang ada ya hanya Dia, Tuhan, yang menjadi tujuan semua agama."

Muhammad Abdulloh: "Realita yang ada menunjukkan bahwa kita begitu plural, beragam, maka suatu keharusan bagi kita untuk saling menghargai."

Santosa Teguh: "Dahulukan kesemanusiaan daripada kegolonganan apalagi kealiranan atawa kesukuan serta keseagamaan."

Pramono: "Setiap hal ada sisi baik dan sisi buruknya. Jika kita hanya melihat sisi buruknya, ya yang terlihat hanya jeleek terus. Namun bila kita mau melihat sisi-sisi baik, maka kita akan lebih bisa menghargai hal tersebut."

Mahfut Khanafi: "Pahami dahulu, arifi dahulu, baru kemudian kita bisa menilai."

Irfan Wahyu Adi Pradana: "Hidup tidak hanya tentang mempertahankan sesuatu keyakinan, tetapi juga menghargai keyakinan lain."

Matthew Befahmy: "Ada tuhan (dengan 't' kecil) dan Tuhan (dengan 'T' besar) dalam kehidupan beragama kita. Sayangnya, kita sering menjadikan agama kita masing-masing sebagai tuhan, itulah 't' kecil. Padahal semua agama adalah 'sekedar' jalan untuk menuju Tuhan, 'T' besar. Inilah bagaimana agar kita tidak menuhankan agama, melainkan mengendarai agama menuju Tuhan."

Milyun Noor: "Jika kita ingin memahami titik temu agama-agama, maka sudah seharusnya kita menelaah fakta-fakta sejarah, historical approach."

Zia Ul Haq: "Semua ritual maupun keyakinan di dalam semua agama-agama, selain bertujuan untuk mematangkan pribadi seorang hamba di hadapan Tuhannya, juga untuk mempersiapkan si hamba agar bisa berperan di lingkungan kehidupannya."

Sayd Nursiba: “Selalu menarik memperbincangkan agama dalam kehidupan nyata para pemuja dan penghambanya yang setia dan komitmen. Dalam konteks sosial, agama tidak semata dimaknai sebagai ritus, liturgi, doa dan pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik, namun juga hadir dengan fungsi manifest dan laten yang kadang dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Disatu sisi, agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, dan komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangunan, dan pemeliharaan perdamaian dan kedamaian. Namun hal ini juga sekaligus instrumen yang cukup efektif bagi disintegrasi sosial, menciptakan konflik, ketegangan, bhkan perang, memandang outsider sebagai ‘kafir’ yang harus diproselitiasi secara paksa di sisi lain.

Agama tampaknya selalu hadir dalam wajah ganda, ambivalensi yang sulit diurai dan dimengerti lebih-lebihan bila penganutnya menempatkan diri sebagai aktor sekali dan selamanya. Bukan pengamat apalagi peneliti, bukan kritikus tapi pembela dan wacthdog tradisi ortodoksi. Satu lagi perdebatan-perdebatan mutakhir tentang sikap ambivalensi agama dan penganutnya, adalah opini publik yang terbuka untuk digugat, tidak saja melalui forum diskusi dan seminar, tapi juga pertemuan informal.

Tampaknya selingkar merupakan media refleksi kritis dan mengispirasikan saya dalam memotivasi menulis dan membaca buku. Terima kasih kawan-kawan yang begitu komitmen dalam mempertahankan budaya berfikir ini semoga tetap langgeng. Hehehehe. Semangat!”

Bastian Ev:

“Masih terkait dengan postingan ini, cobalah teman-teman ke kampus Sanata Dharma, Paingan (deket stadion), masuk lewat gerbang politeknik mekatronika, lewat depan juga gak apa-apa. Coba ke kantinnya, di salah satu pojok kios ada seorang gadis bening berjilbab yang jualan disitu. Kalau sedang kalut cobalah ke situ.”

Zainal Muhidin: “Wow, Bastian.. ini baru solusi untuk masalah seluruh dunia..”

Sayd Nursiba: “Haha. Saran Bastian membuatku ingin ke sana!”

Bima Shakty: “Ide bagus Bas!”

Kasbi Saja: “Nabi Ibrahim diingatkan oleh Allah ketika Ia hendak memberikan makanan kepada fakir miskin tetapi beliau mensyaratkan si duafa ini haruslah seorang muslim. Itu artinya: berilah manfaat kepada siapapun tanpa memandang agamanya apa. Life's most urgent question is: What are you doing for others? [Martin Luther King, Jr.]”

Adam Pertama: “Jan jane ki iso rukun nek Islam kui tegak. Neng nek Islam mung dijumputi sebagian-sebagian yo ketok medheni bro. Karepe damai tapi ngedol aqidah. Karepe urip penak tapi anti syari'at. Entuk bedho mung bedho sek dientukke. Kudu podho babagan sek kudu podho. Islam kui ora mung opo sek ono neng pikirane awake dewe, tapi ono panduane. Monggo mengkaji Islam luwih adoh luwih jero ben reti lan paham opo karepe Islam.”

M Saikhul Anwar: “Sebenarnya, apakah mungkin syariat Islam itu bisa diterapkan sepenuhnya di negara kita yang sangat kental dengan perbedaan ini?”

Milyun Noor: “Yang harus digarisbawahi, Indonesia adalah negara demokrasi bro, dan perbedaan ini gak lantas membuat kita takut untuk gak bisa melaksanakan tugas kita sebagai muslim, kalau kita takut, nanti dikira akidah kita lemah. Dan mungkin sepertinya Gusti kita menciptakan perbedaan supaya saling mengenal dan dapat wawasan baru. Ayate; walau sya'allah laja'alakum ummatan wahidatan dan seterusnya.”

Sayd Nursiba: “Adam dan Zia, mari-mari kita lotse alias negak khomer. Mari-mari kita freesex. Mari kita mencuri. Mari kita tipu menipu. Cius, cius, cius, semua umat Islam pastinya sepakat dalam fakta sejarah kelahiran Islam meluruskan hal-hal demikian.

Yang tadinya suka minum khomer karena kebanggaan supaya dipandang dermawan oleh masyarakat sekitar, ternyata secara logis dan runtut Islam hadir memerintahkan untuk menjauhinya ketika akan munajat pada Sang Khaliq. Lalu setelah terbiasa baru diharamkan dengan alasan perbuatan kerusakan (setan) dan menimbulkan permusuhan jika mabuk-mabuk terus.

Lalu orang yang msh suka mabuk ditanya apakah mau meninggalkannya? Mbeh sungguh indah tenan cara Allah melalui utusan-Nya mengajarkan manusia. Lebih indah lagi jika membaca Kitab Al-Qur'an dengan bahasa Arabnya dan mengetahui asbabul nuzul, perkataan Kanjeng Nabi Muhammad yang menjelaskannya.

Yang kedua,  mengenai zina atau sexfree, haha, ini hal yang sangat umum diketahui manusia modern saat ini, bagimana Allah mengajarkan manusia menikmati kodrat manusia yang jika berhubungan badan itu nikmat, karena nikmat maka diaturlah supaya tidak ada perselisihan dengan boleh bersetubuh dengan bebas, berbagai gaya, kanan atau kiri atas atau belakang bebaslah-bebas tapi nikah dulu yaw, hahaha. Nikah yang bagaimana? Kita sudah tau secara umum. Inilah kehadiran islam, Islam menjaga kehidupan manusia supaya tidak terjadi kerusakan. Syari'at adalah hukum yang ditujukan kepada mukalaf yang mengatur hubungan antara manusia dan Khaliq, antara manusia dan mahluk lainnya. So bagaimana kalau Al-Qur'an dan hadist menjadi sumber hukum? Setujukah? Lalu bagaimana menerapkannya? Hahahaha.”

Absurd!

[o]

Sabtu, 15 Desember 2012

Manunggaling Kawula Gusti

Selasar Teatrikal FTIK, Kamis 15 Desember 2012 | Penyaji: Irfan Wahyu Adi Pradana

Militansi penduduk Selingkar Kamis (13/12/2012) kemarin patut diacungi jempol, meskipun memang bukan suatu hal yang luar biasa untuk dipiagamkan atau dipialakan dalam penghargaan-penghargaan absurd, setidaknya semangat penduduk untuk istiqomah berdiskusi sebagai salah satu dari sekian banyak cara mengaktivasi potensi diri pantas menjadi sebab berbungah hati.

Memang partisipan yang ikut berdiskusi kemarin tidak sebanyak biasanya, namun kegayengan diskusi santai tetap kental seperti biasanya. Diskusi yang awalnya digelar di trotoar kantin Tarbiyah harus dipindahkan ke selasar teatrikal Fakultas Tarbiyah karena guyuran hujan.


Dari satu setengah jam berdiskusi tentang Pengaruh Makrifat Siti Jenar dalam Teologi Rakyat Pinggiran, para penduduk menyimpulkan idenya dengan bahasa serta sudut pandang masing-masing;

Rohmat: "Anak TK jangan dijejali dengan pelajaran pelajar SMA, hal yang diajarkan kepada seseorang haruslah disesuaikan dengan kemampuan daya tangkapnya."

Yasin Syafii Azami: "Terlepas dari benar salah konsep teologi Manunggalnya, gerakan yang diusung oleh Siti Jenar merupakan langkah revolusioner yang inspiratif."

Milyun Noor: "Apa yang dipahami dan dinisbatkan kepada Siti Jenar tentang Manunggaling Kawulo Gusti pasti dipahami pula oleh tokoh-tokoh wali yang lain. Namun dalam langkahnya, Siti Jenar memilih menempuh jalan yang ekstrim. Al-Junaid mengatakan; seandainya pikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalmnya pada masakah tauhid, maka akan berakhir dengan kebingungan. Abu Bakr as-Shiddiq berujar; Mahasuci Allah yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya mengenal-Nya, melainkan dengan ketidakmampuan mengenal-Nya."

Zainal Muhidin: "Manunggallah dalam Gustimu dengan cara menjadi kawula-Nya."

Yusuf Kun: "Hal yang disampaikan oleh Siti Jenar tentang Manunggaling Kawulo Gusti sudah merambah ranah 'Irfani, bukan sekedar pendekatan Burhani yang rasional. Namun, kondisi masyarakat saat itu belum mapan dan sebetulnya belum siap menelan doktrin 'Irfani tersebut."

Pramono: "Silakan memiliki pandangan atau pendapat apapun, asalkan mau dan mampu mempertanggungjawabkan pemikiran tersebut di khalayak agar tidak menimbulkan gonjang-ganjing di masyarakat."

Rey Himura: "Ilmu Manunggaling Kawulo Gusti ala Siti Jenar merupakan obyek yang multitafsir. Maka alangkah baiknya bila seseorang ingin mengajarkan ilmu yang tinggi-tinggi dan wah-wah, ajarkan dulu dasar-dasar pijakan yang berkaitan dengan ilmu tersebut."

Sayd Nursiba: "Memang, sesosok bayi yang seharusnya masih mengonsumsi air susu belum siap untuk dijejali pisang atau makanan padat lainnya."

Irfan Wahyu Adi Pradana: "Dalam hal apapun, khususnya beragama, manusia harus melek sosio kultural di lingkungan sekitarnya, sehingga bisa menjaga kondusivitas dengan memelihara estetika (keindahan) simbol-simbol dalam pergaulan."

[o]