Kamis, 26 September 2013

Radikalisme Fundamental

Taman Masjid Kampus, Kamis 26 September 2013 | Penyaji: Sayd Nursiba
Di media, kita sering disodori berbagai macam istilah yang membelenggu, mendikotomi alias mengkapling-kaplingkan, bahkan terkesan memversuskan. Yakni antara fundamental, moderat dan liberal.

Katanya, fundamental berarti pendirian mendasar. Atau secara luas bisa dimaknai sebagai pendirian yang keukeuh terhadap suatu nilai tertentu. "Nggak boleh pacaran!" atau "Harus pacaran!" adalah dua kalimat berbeda yang sama-sama mencirikan sikap fundamentalis; yakni 'mengharuskan'.

Sedangkan orang liberal dimaknai sebagai pihak yang bebas dan seakan lepas dari nilai yang dipegang teguh fundamentalis. Kita tahu, terang Zia, hak orang lain adalah batas kebebasan kita. Jadi, ketika ada orang yang menghancurkan kuburan berkijing di tanah orang lain karena dianggap tidak sesuai dengan ideologi yang dianutnya, orang tersebut bisa juga disebut 'Liberal' karena dia bertindak 'bebas' menerjang batas. Hayoh.

Sedangkan sikap moderat diartikan tengah-tengah; meskipun ia bebas tetapi masih mengikatkan diri terhadap asas-asas yang ada. Posisi inilah yang -katanya- susah. Bagi fundamentalis, orang moderat bisa dianggap liberal. Bagi orang liberal, orang moderat bisa disebut fundamental. Atau bahkan sering disebut hipokrit.

Lalu sebenarnya apa makna 'fundamental', 'moderat', dan 'liberal'? Bagaimana memosisikan istilah itu dengan tepat dan indah? Demikian gugat Lutfi.

Ya embuh, tanggap Yasin, si High Quality Jomblo. Walaupun anggapan orang lain tidak penting, mau liberal kek, moderat kek, fundamental kek, koslet mental kek, you are who you are. Tapi rasa-rasanya penting juga bila kita obrolkan tentang hal ini, agar suatu hari -dimanapun dan kapanpun- kita tidak keseleo pikir dan kepeleset lisan dalam penggunaan istilah-istilah tersebut, terutama jika terpaksa melakukan apresiasi terhadap orang lain di tengah masyarakat. Kenapa penting? Karena kebanyakan kisruh sosial di tengah masyarakat muncul akibat judgement terhadap pihak-pihak tertentu oleh para provokator, sehingga menyulut reaksi lebay dari kita yang malas mikir ini. Betapa banyak sumber daya yang tersia karena konflik yang sebenarnya non-sense?

Apalagi bila dikaitkan dengan isu radikalisme agama. Semua jadi semakin blur tidak jelas.

Dewasa ini, para pemimpin, anggota dan pengikut gerakan Islamisme sedunia takut dan curiga kepada istilah radikal atau radikalisme. Jelas Irfan dengan analisa global. Hampir semua pemimpin islam berlomba-lomba mendapatkan label muslim moderat yang dikatakan beradab, damai dan pasif (disenangi oleh penguasa barat dan patuh kepada kehendak agenda Washington). Apalagi setelah radikalisme diberi suatu makna yang begitu negatif, sehingga dipersamakan dengan arogan, galak, ekstrim, brutal dan lain-lain.

Kita begitu waspada dan risau terhadap istilah radikal, sehingga kita tidak mau berhubungan apapun denganya, atau dikaitkan walau bagaimanapun. Begitu takut dikambinghitamkan dengan gelar islam radikal, sehingga gerakan-gerakan Islam sedunia dijinakkan dan dijadikan kambing hitam.

Inilah aspek komedi gerakan Islamisme dewasa ini. Pengaitan istilah radikalisme dengan fenomena negatif merupakan sesuatu yang salah! (baik dari historis dan juga logika). Dari sudut pandang etimologi, konsep itu tidak ada hubungan sama sekali dengan negatif. Yang lebih menjadi badut dari hal tersebut adalah terjadi suatu alih paradigma dan alih wacana yang menyebabkan terjadinya pengaitan antara radikalisme dan kekerasan.

Perubahan-perubahan seperti ini disebabkan oleh faktor-faktor institusi, relasi kuasa dan struktur kuasa tertenu, dan bukanlah hasil usaha geng-geng jin dan hantu pocongan yang dikhawatirkan. Agensi-agensi yang terlibat dalam peralihan wacana dan paradigma ini di antaranya golongan pers mainstream, pemerintah-pemerintah negara maju, kroni-kroni mereka di negara berkembang, dan malangnya konsep radikalisme keselipan sejumlah gerakan islamis itu sendiri.

Peralihan wacana ini tidak terjadi begitu saja. Ada sebab-sebab tertentu mengapa demikian. Untuk memahami proses ini dan sebab musababnya, kita perlu bermula dengan suatu kajian pendekatan histori, kembali kesuatu era dimana kata radikalisme tidak dianggap berbahaya, justru bernilai positif dan diagung-agungkan.

“Ya, betul,” sambung Said, pemateri gaek dari Madukismo. Pada akhir abad ke19 dan pertengahan abad 20, gerakan nasionalis dan anti kolonialis di dunia ketiga dipimpin dan diterajui oleh tokoh-tokoh radikal yang hebat dan berkepribadian tinggi serta mulia. Tokoh-tkoh Asia seperti Jose Rizal dari Filipina, Pridi Banomyong di Siam, Nguyen Cho Thactht di Vietnam, Bung Karno, Bung Hatta, Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus Salim, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy'ari dari Indonesia, mereka semua bisa dikatatakan radikal pada masa tersebut.

Mengapa? Karena mereka berusaha untuk membebaskan kampung halaman (negara) dan masyarakat dari beban hidup di bawah rezim kolonial yang tidak adil. Dalam perjuangan, mereka tidak berkompromi dengan status quo yang ada secara total. Penentang yang total inilah yang menyebabkan mereka dianggap radikal oleh pihak kolonial. Tokoh-tokoh ini sadar bahwa perubahan dan kemerdekaan yang sempurna tidak akan dicapai selagi struktur kuasa dan relasi kuasa lama masih melekat. Oleh karena itu, fokus penentangan mereka diarahkan kepada sistem politik dan institusi politik kolonial yang tidak adil tersebut.

Dewasa ini kuasa besar Amerika menggunakan pula label radikal untuk meminggirkan musuhnya (sang penegak keadilan). Aneh sekali bukan? Padahal Amerika juga didirikan oleh pemimpin-pemimpin yang dahulunya dianggap radikal. Contohnya George Washington yang memberontak menentang kerajaan Inggris pada abad 18, juga digelari radikal oleh raja inggris pada zamanya. Amerika tak mungkin ada tanpa gerakan pro kemerdekaan yang radikal. Jadi, mengapa pemimpin Amerika saat ini takut kepada aliran-aliran ide dan politik yang berwajah radikal? Apa jangan-jangan mereka dihantui bayang-bayang mimipi buruk mereka? Atau, mungkinkah mereka sadar bahwa sekarang ini Amerika bukan lagi suatu negara terjajah, tapi negara yang menjajah dan dianggap sebagai negara penjajah? Entahlah!

Mukid tetap memperhatikan ekspresi penyaji dengan penuh nafsu, Said grogi dan kebingungan.

[o]