Sabtu, 29 Juni 2013

Kesatuan Tanpa Keseragaman

Pendopo LKiS Sorowajan, Sabtu 29 Juni 2013 | Penyaji: Habib Ismail Fajrie Alatas
Sabtu lalu, 29/06/2013, pukul 19.40 kami para penDuduk Selingkar baru sampai di lokasi diskusi, yakni Pendopo LKiS di Sorowajan, padahal acara telah dimulai satu jam sebelumnya. Beberapa gadis manis kader IPPNU menyambut kami di meja tamu. Setelah mengisi buku tamu atas nama Selingkar [o], mengambil beberapa gelas teh dan kopi, serta mencomot beberapa piring kwaci, tahu dan roti, kami langsung memosisikan diri di pendopo panggung selatan, karena pendopo utama sudah penuh oleh pengunjung.

Saat itu Habib Aji sudah sampai pada pembahasan tentang cakupan Islam yang tidak hanya di ranah spiritual dan etika, tetapi juga tatar fisik ritual. Maksudnya, berbagai macam aturan yang terkait dengan fisik dalam agama merupakan ‘persiapan’ wujud wadag (body) sebagai bejana Cahaya Ilahi. Berbeda dengan pandangan aliran pemikiran liberal yang mengusung spirit religio-ethic Islam tetapi hendak menolak dan meninggalkan tata ritual fisik.

Dalam kesempatan ini Habib Aji menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan lokalitas budaya umat dan pluralitas sosial keagamaan, khususnya dalam cakupan Islam. Para ulama, menurut beliau, tidaklah cukup hanya menguasai dan memahami tradisi tekstual keagamaan saja, melainkan juga harus memahami kondisi kontekstual masyarakat dengan segala adat budayanya. Sehingga ia mampu mengakomodasi khazanah keilmuan Islam, fiqh misalnya, untuk disosialisasikan di tengah masyarakat dengan bahasa yang mudah dicerna dan meresap.

Seperti seluk beluk mistisme masyarakat lokal, spirit possesion (kesurupan), dan hal-hal lain semacam itu juga seharusnya tidak luput dari perhatian ulama-ulama lokal di masing-masing daerah.

Sehingga para ulama yang terjun di masyarakat tidak hanya mumpuni dalam masalah-masalah keagamaan, tetapi juga bisa menegosiasikan tradisi teks historis dari generasi salafussalih dengan lokalitas yang dihadapi secara riil. Hal ini meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan hukum yang khas di setiap daerah yang berbeda secara geografis maupun waktu. Keislaman di suatu daerah di Afrika bisa saja berbeda dengan keislaman masyarakat di pelosok Aceh, atau di sudut Jawa Timur, misalnya.

Namun keberagaman itu tetap dapat disatukan, salah satunya dengan tetap dilestarikannya rantaian sanad keilmuan dari murid ke guru, guru ke gurunya, terus bersambung hingga Rasulullah saw. Sanad keilmuan ini bisa menyatukan keberagaman itu karena bersifat trans geografis dan trans historis.

Beginilah keadaannya sehingga Islam bisa menjadi roh di setiap generasi dan peradaban. Beliau juga menyampaikan telaah kritis terhadap pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang memosisikan Islam sebagai objek. Ketika Islam ditempatkan sebagai objek, maka asumsinya Islam bisa diperlakukan sebagai ‘korban’ oleh manusia, bukan sebagai roh, di luar diri. Muncullah anggapan bahwa Islam adalah suatu agama yang bisa bangkit, runtuh, dihina, dibela, dipuji, dicaci, dan kini harus dibangkitkan kembali dalam lintas sektor kehidupan berskala global secara formal.

Pandangan semacam ini, menurut beliau, tidak sepenuhnya tepat. Karena, selain paradigma ini merupakan pola pikir antropolog orientalis, juga suatu kenyataan bahwa Islam sejak awal merupakan jiwa dan poros gerak umat, bukan sebagai objek, bukan pula produk. Apalagi jika paradigma seperti ini ditindaklanjuti dengan upaya penyeragaman hukum Islam secara global di daerah-daerah yang memiliki kearifan lokal berbeda-beda.

Dengan dimoderatori oleh Gus Irwan Masduqi, Lc. (Mlangi), beberapa peserta diskusi dipersilakan mengajukan tanggapan dan pertanyaan.

Menanggapi pertanyaan salah seorang peserta tentang clash yang terjadi sesama umat Islam karena alasan perbedaan. Habib Aji berpendapat tidak perlu ada penyatuan aliran-aliran yang berbeda. Namun di sisi lain, konsepsi kita terhadap makna persatuan harus ditata. Di sinilah pentingnya dialog intensif antara negara sebagai ranah kekuasaan mentah dan ulama yang bersifat konsultatif. Sehingga benar-benar terwujud kesatuan tanpa keseragaman.

Dalam tanggapannya, Alissa Wahid (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian dan Dewan Pembina Wahid Institute) menyampaikan apresiasi terhadap aktualitas tema yang diangkat dalam diskusi malam itu. Mbak Lisa, begitu ia disapa, juga mempertanyakan bagaimana implementasi yang efektif atas hasil-hasil diskusi di forum-forum semacam ini di tengah masyarakat.

Habib Aji menawarkan gagasan pentingnya implementasi ide secara praktis di dalam individu maupun komunitas kita sendiri, khususnya NU. Ia mengatakan bahwa problem yang dihadapi mayoritas kaum muda NU adalah keengganan untuk bergerak, namun baru bersikap reaktif ketika ada pihak luar yang merongrong akidah maupun amaliah. Inilah titik di mana kaum muda NU harus melakukan introspeksi.

Menurut pandangan beliau, tidak sedikit anak-anak muda NU yang mengidap penyakit gengsi ketika sudah membahas perkara-perkara pelik keagamaan atau mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modern. Mereka mulai malas untuk terjun di tengah masyarakat dalam rangka memahamkan hal-hal dasar yang sederhana, merasa bukan kelasnya.

Dalam hal ini, Habib Aji mencontohkan sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Habib Aji, Gus Dur adalah sosok yang tidak hanya mampu berdialog kritis dengan para filsuf kelas dunia, tetapi juga bisa menjalani peran sebagai kiai kampung dengan apik dan berbicara dengan masyarakat yang buta huruf sekalipun.

Gus Dur itu, menurut Habib Aji, bukanlah tokoh pemikiran modern progresif, melainkan sepenuhnya merupakan model tokoh tradisonalis. Sebab itulah keadaan khalayak yang merasa sebagai makhluk modern tidak bisa memahami jalan pikir beliau. Namun Habib Aji juga mengkritik istilah ‘Pribumisasi Islam’ yang sering disandarkan kepada sosok Gus Dur. Menurutnya, istilah ‘pribumisasi’ menyatakan seakan-akan ada Islam yang asli di suatu tempat dan zaman kemudian ‘diturunkan nilainya’ agar berkesesuaian dengan lokalitas pribumi. Hal ini tidak berbeda dengan konsep Islam sebagai objek sebagaimana  telah diulas di atas.
Banyak lagi poin-poin mencerahkan yang disuguhkan Habib Aji, khazanah keilmuan Islam Afrika-Asia, thariqah, konsensus fiqh (ijma’), konsep Instansiasi, Manifestasi, hubungan negara-agama, kasus Habib Utsman bin Yahya Mufti Betawi, Derrida, Adorno, al-Ghazali, hingga keterbatasan epistemologi dalam memahami realita ontologi. Mengenai hal yang terakhir ini Habib Aji mengajukan suatu pertanyaan sederhana,

“Dalam ilmu Nahwu, kita pakai yang paling dasar: Jurumiyyah, apa itu pengertian al-kalam? Al-Kalamu huwa al-lafdzu al-murokkabu almufiidu bi al-wadh’ie. Kalam (kalimat) adalah susunan kata-kata yang memiliki makna dan muncul secara concious . Lalu bagaimana dengan ‘Alif Laam Miim’ di ayat pertama surah al-Baqarah itu, bisakah disebut sebagai kalam menurut definisi kalam ala ilmu Nahwu?”

Gelitikan semacam ini menggambarkan bahwa betapa terbatasnya sistem epistemlogi manusia untuk bisa memahami realitas ontologi, seperti halnya dalam memahami Kalam Tuhan dan Tuhan itu sendiri. Sehingga para ulama di setiap kali mengakhiri tulisannya dalam buku-buku klasik maupun kontemporer selalu membubuhkan pernyataan yang penuh kesadaran bahwa tidak ada yang benar-benar memahami realita sejati selain Allah subhanahu wa ta’ala, yakni dengan menorehkan;

Wa Allahu A’lam. Allahlah yang paling tahu.

[o]