tag:blogger.com,1999:blog-13641268513300188942024-03-13T15:22:28.380-07:00Duduk Selingkardiskusi santai, bernaung kebersamaan, mendewasai kehidupanAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.comBlogger32125tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-53941537909142474402015-06-15T01:35:00.001-07:002015-06-15T01:35:29.989-07:00Surau dan Intan<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibtTE9meL-Etdd1oe4kQB0EbUKDTUcacTquA6qZsCVtqqZqDlUrkNc92TR_SJfnMeSeIotKosfjNNGEdB_cYFU7Mbyk9FSnDqEUQB2h0P-RjTyLPp0Wf4I2tHA-LJpZkd2d-NFMpNO85U/s1600/nurul+kawakib.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a>“Dab! Dab! Dab! Tolong aku Dab! Tolong aku!” todong Irfan tergesa menyerbu kamarku sore itu. Aku pura-pura tidur saja, seharian mencumbui papan ketik membuatku ngelu. Lagipula, paling-paling perkara absurd yang dia bawa.</div>
<br />Melihatku yang nampak tertidur pulas, Irfan mulai geser muka menghadap laptop. Entah apa yang ia cari di laptopku itu. Gelagatnya yang begitu serius dan gelisah membuatku iba. Aku pun pura-pura ngulet seakan-akan baru bangun.<br /><br />“Oaaaaahm, weh teko kapan, Pan?” gayaku.<br /><br />“Wah iki, Zi! Nduwe file iku ora?” sosor Irfan.<br /><br />“Ika iku opo? Sing genaah!” sahutku malas-malasan.<br /><br />“Konsep kurikulum Qoryah Thoyyibah utowo Salam?” lanjutnya bertanya.<br /><br />Aku termenung sejenak. Mikir. Lama. Irfan makin ndlongop menunggu jawaban. Aku makin serius mikir, bukan mikir tentang konsep kurikulum yang ia tanyakan. Melainkan tentang ocehan Pram, bahwa wajah Irpan pas bingung begitu memang persis coro.<br /><br />“Heh! Duwe oraa?!” bentaknya.<br /><br />“Wah, ora Dab,” jawabku, “Lha piye emange?”<br /><br />“Besok aku harus presentasi!”<br /><br />Jiaaaamput! Aku baru ingat. Anak muda ini memang beberapa minggu lalu bercerita bahwa akan ada beberapa ‘orang penting’ sambang ke rumahnya. Keluarga Irfan memang sedang mengelola taman pendidikan Al-Qur’an plus di rumah dan surau kecilnya. Di taman belajar yang disemati nama ‘Nurul Kawakib’ ini, anak-anak sekitar diajak ngaji Qur’an tiap petang, sambil belajar bersama tentang hal-hal baru, menyimak dan mendongeng, serta berlatih membuat kerajinan-kerajinan sederhana. Nah, ‘orang-orang penting’ itu hendak menilik pelaksanaan pendidikan di sana.<br /><br />Sudah belasan hari dia mengajakku untuk merumuskan filosofi mendasar taman belajar ini, eh baru datang sekarang, pas sore sebelum presentasi esok hari. Kacau tenan cah iki. Konsep yang dicarinya adalah bentuk pendidikan alternatif semacam Qoryah Thoyyibah (QT) atau Sanggar Anak Alam yang pernah kami kunjungi. Dia merasa cocok dengan bentuk pendidikan manusiawi semacam itu dan hendak mengikuti konsep-konsep dasarnya.<br /><br />“Tapi, Fan,” ujarku, “Kalaupun sekarang aku punya kurikulum QT atau Salam, gak bisa juga dong langsung copy paste. Tiap komunitas menghadapi masalah khasnya sendiri-sendiri.”<br /><br />“Lha iki mendesak je. Yo nggak kutiru semua, hanya garis besarnya gitu lho,” tukas Irfan gugup. Aku heran, dia ini orang yang biasa presentasi di hadapan khalayak, tapi memang sih, presentasi tanpa persiapan bisa bikin orang panik.<br /><br />“Oke, gini aja. Sekarang kita telaah surau belajarmu itu, mulai dari sejarah, proyeksi, bentuk, kegiatan, hingga kendalanya. Lalu kita rumuskan apa saja yang perlu dipresentasikan besok, gimana?” tawarku.<br /><br />“Ayo!” seru Irfan berapi-api. Lubang hidungnya yang berukuran XL jadi kelihatan lebih melar dari biasanya. Kami pun mulai berdiskusi tentang Surau Nurul Kawakib ini, sambil menggarap slide power point dan merancang presentasi.<br /><br />Taman Pendidikan Al-Quran di sekitar lingkungan Irfan tinggal memang sudah vakum, begitupun masjid-masjidnya. Selepas sekolah pagi, anak-anak kecil keluyuran tanpa ada wadah untuk belajar mempraktekkan ajaran agama. Begitu pula tingkah laku dan unggah-ungguh anak-anak yang dirasa makin merosot. Indikasi-indikasi sederhana semisal cara berjalan, sopan santun saat melewati orang tua, bahasa lisan maupun gerak-gerik, mencerminkan betapa menyedihkannya adab dan kesusilaan generasi penerus di lingkungan itu. Ini bahaya, ujar Irfan.<br /><br />Maka sejak empat tahun lalu, orang tua Irfan sekeluarga membuka rumah mereka, digelar menjadi tempat berkumpul anak-anak setiap petang. Bakda maghrib, mereka belajar beribadah dan mengeja kitab suci. Awalnya, hanya tiga-empat anak yang mau diajak ngaji. Lama kelamaan anak-anak itu mengajak teman-temannya yang lain, hingga kini sudah ada empat puluhan anak-anak kampung yang mengaji di tempat itu.<br /><br />Dari empat puluh anak, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelas kecil didampingi ibu Irfan. Kelas menengah didampingi Irfan sendiri, dan kelas besar didamping ayahnya. Dalam satu minggu, tiga kali pengajian digelar. Pada awalnya memang hanya mengaji IQRA dan Al-Quran, namun seiring waktu, pengajian juga diisi dengan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mengembangkan potensi anak-anak. Semisal berbagi dongeng, membuat kerajinan tangan, hingga belajar membaca dan berhitung bersama. Sesekali dihadirkan narasumber untuk berkisah, mendongeng, berbagi pengalaman ataupun keahlian.<br /><br />Namun sasaran utama di surau ini adalah pengarahan unggah-ungguh anak-anak. Yakni agar tetap menjaga sopan santun, bertata krama kepada orang tua dan sesama. Semua itu merupakan bentuk mendarahdagingkan akhlak islami dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitas yang disediakan berupa teras dan ruang tamu yang diluangkan, jajaran bangku-bangku mungil, alat-alat tulis dan buku-buku gambar, serta buku-buku bacaan untuk anak-anak. Di surau ini, tidak sepeserpun rupiah ditarik sebagai ‘biaya pendidikan’.<br /><br />“Di sini lebih ke aktivitas yang enjoy buat anak-anak,” terang Irfan, “Soalnya ‘kan mereka sudah dibebani berbagai materi di sekolah-sekolah masing-masing, makanya di sini kami nggak nuntut apa-apa. Absen pun nggak ada. Tapi konsekuensinya kami musti menciptakan atmosfer agar anak-anak merasa nyaman di sini, kangen, dan butuh untuk ngaji.”<br /><br />“Yang jadi ustadz cuma sekeluarga saja?” tanyaku.<br /><br />“Iya. Bapak, ibu, aku, masku ya kadang mbantu.”<br /><br />“Lhah pemuda kampungmu gimana?”<br /><br />“Wah angel, Dab. Pemuda sekarang susah diajak gerak beginian. Nggak bisa konsisten. Dianggapnya gerakan sepele, padahal sangat penting. Pernah ada yang kuajak, cuma bertahan berapa hari, terus mental,” papar Irfan.<br /><br />Tumben pikiran Si Coro ini agak njalur, pikirku. Sejak beberapa kali diskusi Selingkar di berbagai lokasi dan tema, beberapa kali kunjungan dan menggali pengalaman, memang banyak yang berubah pada diri para penDuduk. Semua itu menjadi bahan rekonstruksi berpikir kami. Khususnya tentang pendidikan dan pergerakan. Memang ada kecenderungan anak-anak pergerakan sekarang –menurut Irfan- lebih suka melakukan aksi-aksi monumental, populer, massal maupun festival sentris. Jarang yang mau terjun ke ranah pergerakan sederhana, kecil, sepele, sunyi dan melelahkan namun punya efek jangka panjang semisal pendidikan berbasis komunitas.<br /><br />Ahad, 7 Juni 2015, Irfan berdandan rapi. Tak lupa, peci hitam necis bertengger di kepala sebagai peneguh keustadzannya, hahaha. Di hadapan perwakilan Dinas Pendidikan dan pembesar Tamansiswa, Irfan mempresentasikan Surau Nurul Kawakib dengan apik. Bersenjatakan slide yang kami susun malam sebelumnya, ia memaparkan akar sejarah, filosofi, anatomi, kegiatan, hingga kendala yang dihadapi selama empat tahun mengelola taman belajar itu.<br /><br /><blockquote class="tr_bq">
<b>“Nurul Kawakib artinya cahaya bintang-bintang. Maksudnya, setiap bintang memiliki cahayanya sendiri-sendiri,” jelas Irfan mempresentasikan nama suraunya, “Meskipun mereka nampak kecil, namun nampak begitu indah di gelapnya langit malam. Begitupun dengan anak-anak. Mereka punya potensi dan karakter bawaannya sendiri, di sini kami ingin mendampingi agar setiap anak bisa bersinar terang seperti halnya bintang-bintang.”</b></blockquote>
Foto-foto kegiatan surau ditayangkan. Ekspresi keceriaan dan keakraban anak-anak memang sanggup membuat siapapun terpukau. Tak terkecuali para penilik itu. Mereka hanyut dan merasa bangga masih ada orang-orang yang peduli kepada pendidikan masyarakat. Apalagi bila dia masih muda, jomblo, kere, belum lulus kuliah pula. Lima belas rol tissue toilet habis untuk menyeka air mata mereka. Hehehe.<br /><br />“Di lingkungan tengah kota begini memang paling tepat untuk mengupayakan pendidikan adab dan kesusilaan. Namun itu tidak gampang, sangat berat. Maka saya kagum surau ini sudah empat tahun berjuang,” puji Bapak Sutikno, salah seorang tokoh Tamansiswa dan keturunan Ki Hajar Dewantara, “Semoga terus bertahan. Saya harap nanti kamu lanjut presentasi ke tingkat nasional. Dan menitikberatkan pada dua hal itu; adab dan kesusilaan, sebagaimana ajaran Kiai Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.”<br /><br />Dari lima belas wali santri yang hadir, salah seorang ibu menyampaikan kebungahannya. “Saya sangat bersyukur. Dulu saya sudah putus asa gimana caranya ngajari anak saya biar sopan. Tapi sekarang saya bahagia. Saya sampai ‘capek’ njawab salam anak. Masuk rumah, salam. Keluar sebentar, salam. Ketemu papasan, salam. Dan santunnya itu lho, duh, bahagia saya.”<br /><br />Memang perubahan drastis telah nampak setelah beberapa tahun belakangan. Geng-geng anak-anak pengacau yang sebenarnya kurang kegiatan sudah punah. Umpatan-umpatan yang biasa terlontar dari mulut mungil bocah-bocah sudah menghilang. Sebaliknya, ucap salam ditebar dimana-mana. Sikap santun bangkit kembali sebagai identitas khas Jawa. Dan tentu saja, sore hari di kampung tengah kota ini semarak oleh anak-anak yang saling sahut-menyahut berangkat ngaji. Sungguh pemandangan yang sudah semakin langka.<br /><br />“Wah wah wah, kenapa Sampean nggak ngajuin proposal, Mas? Nanti ‘kan bisa kami bantu,” tanya orang dari Dinas Pendidikan.<br /><br />“Mbok kiro aku ngemis-ngemis Pak?! Sorry la yau!” jawab Irfan dalam hati. Tentu saja dia hanya cengengas cengenges ditanya seperti itu.<br /><br />“Berarti selama empat tahun ini dari mana asal pembiayaan surau ini?” Pak Dinas bertanya lagi.<br /><br />“Ya semuanya ditanggung penuh orang tua saya,” tutur Irfan.<br /><br />“Wah! Memangnya pekerjaan orang tua apa?” gumun Pak Dinas.<br /><br />“Usaha Intan!” sambar Irfan, gagah.<br /><br />“Intan?!” Pak Dinas kaget.<br /><br />“Iya! In-tan-shurullooha yanshurukum (kalau engkau ‘menolong’ Allah maka Allah akan menolongmu). Hehehe,” sahut Irfan, santai.<br /><br />~<br /><br />Yogyakarta, 15 Juni 2015<br /><div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibtTE9meL-Etdd1oe4kQB0EbUKDTUcacTquA6qZsCVtqqZqDlUrkNc92TR_SJfnMeSeIotKosfjNNGEdB_cYFU7Mbyk9FSnDqEUQB2h0P-RjTyLPp0Wf4I2tHA-LJpZkd2d-NFMpNO85U/s1600/nurul+kawakib.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibtTE9meL-Etdd1oe4kQB0EbUKDTUcacTquA6qZsCVtqqZqDlUrkNc92TR_SJfnMeSeIotKosfjNNGEdB_cYFU7Mbyk9FSnDqEUQB2h0P-RjTyLPp0Wf4I2tHA-LJpZkd2d-NFMpNO85U/s400/nurul+kawakib.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: right;">
<blockquote class="tr_bq">
<i>Tulisan ini menjadi arsip laporan diskusi serta pergerakan penDuduk Selingkar di bidang dan wilayahnya masing-masing. Sebagaimana laporan pada umumnya, tulisan ini berfungsi sebagai wadah dokumentasi dan wacana evaluasi bagi gerakan yang diupayakan. Bukan untuk mengangkat, memproyek, maupun melebih-lebihkan si penggerak atau siapapun. Barangkali informasi yang dituangkan dalam tulisan ini bermanfaat, tentu lebih bagus lagi. Siapa tahu di antara kawan-kawan ada yang menghadapi persoalan serupa di lingkungan masing-masing, maka informasi ini bisa menjadi inspirasi, tentu dengan pembacaan masalahnya sendiri-sendiri.</i></blockquote>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-74337979466115987232015-05-17T16:01:00.000-07:002015-06-08T06:05:14.795-07:00Barat dan Timur<b>Sayd Nursiba:</b><br />
<b><br /></b>“Bagaimana tanggapan anda dengan fenomena epistemenologi berikut? Dunia barat sekarang ini telah mencpai kemajuan yang pesat. Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis dan variatif, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.<br />
<br />
Barat yang dikenal maju itu sebenarnya diwakili Amerika Utara dan Eropa Barat. Dua belahan wilayah inilah yang membwa gerbong lokomotif kemajuan Barat, sehingga kemajuan yang dicapai tersebut mempengaruhi seluruh negara dan wilayah di saentero dunia. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan di samping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya. Kemajuan Barat tersebut berupaya diadaptasi dengan melakukan modifikasi-modifikasi tanpa meninggalkan cara budaya nasionalnya sendiri, seperti yang ditempuh jepang.<br />
<br />
Ada kalanya kemajuan tersebut diadaptasi secra total walaupun gagal, seperti yang dialami Turki, terutama modernisasi yang digerakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dua negara ini menjadi objek yang menarik bukan? Karena hasilnya justru bertolak belakang. Jepang yang mempertimbngkan budaya lokal ‘ideologi samurai’ dalam mengadaptasi sains dan teknologi barat, ternyata mampu mengejar, bahkan di bidang elektro berhasil mengugulinya. Tapi, Turki yang membuang tradisinya sendiri guna mengikuti barat secara keselurahan malah justru masih ketinggalan dari Barat alias ‘bobok’. Hahaha.<br />
<br />
Kunci rahasia yang penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan epistimenologi yang dikuasai Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Temuan baru menjadi penyempurna temuan lama atau temuan baru menentang temuan lama. Epistemonologi yang dikembangkan ilmuwan Barat ini mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia dengan pengenalan sosialisasi sains dan teknologi mereka.<br />
<br />
Epistemonologi ini dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan masing-masing negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahuan dan sebagainya. Sadar atau tak sadar mereka terbelenggu oleh pengaruh yang memikat. Padahal epistemenologi yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. Seolah-olah hanya ada satu model berfikir yang mesti diikuti. Kondisi ini makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi imprealisme epistemologi Barat terhadap pemikiran masyarakat dunia.<br />
<br />
~<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Bagaimana jika saya menyebutkan ini penindasan/penjajahan intelektual kaum muslim?”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Wah! Penjajahan Pemikiran, Ghozwul Fikr.. Maka memang benar kita harus mengasah dan membenahi cara berpikir kita, agar tidak terseret arus..”<br />
<br />
Zainal Muhidin: “Wah.. Jepang itu spiritualitas, kerja keras, tanpa meninggalkan identitas..”<br />
<br />
Sayd Nursiba: “Agar bisa keluar dari penjara tahan pemikiran pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemenologi barat perlu diluruskan untk menghindari kesalah pahaman dan tindakan yang lebih parah lagi adalah membentuk epistimenologi sendiri yaitu epistemenologi Islam. Caranya gimana, Men? Mari kita bersama bahu membahu, tambal menambal dalan merekontruksi epistemenologi Islam. Diskusi Selingkar sebagai pintu gerbang menuju dunia baru Islam. Ayo piye carane ngurumuske konsepe? Hahaha..”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “1. Kenapa Barat dikonfrontasikan dengan Islam? Bukankah Islam mencakup timur dan barat, selatan dan utara, atas dan bawah? 2. Jangan-jangan sudah ada rumusan epistemologi islam??? Ayo cari tahu!”<br />
<br />
Zainal Muhidin: “Wah.. Islam itu dunia dan akhirat, Men..”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Nah, jangan-jangan, Epistemologi Barat itu juga termasuk dalam khazanah Islam?? Hayoh?”<br />
<br />
MO HA: “Kita harus belajar tenteng metode ilmiah mereka,”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Nah, maka dari itu, musti diperjelas dulu, epistemologi keilmuan Barat ki koyok opo? cirinya bagaimana? kemudian kita sandingkan dengan nilai-nilai keislaman, sesuai atau tidak. Sebagaimana ketika kita melihat hal-hal baru dalam Islam, ya disandingkan dulu dengan nilai-nilai keislaman, baru kita bisa menentukan sikap; menerima, menolak, menyaingi, membentengi diri, atau membiarkan.<br />
<br />
Sayd Nursiba: “Selama ini epistemenologi barat selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan keyakinan secara apriori. Dalam batas-batas tertentu, keunggulan sains barat dibanding kawasan-kawasan lain sekarang ini memang harus diakui secara jujur, tetapi ketika terjadi upaya membentuk keyakinan, bahwa Barat adalah segala-segalanya bagi ukuran pengetahuan yang dapat dipercaya kedalamannya, bilamana mengikuti mekanisme kerja berfikir model Barat sesungguhnya adalah upaya memasung atau mbeleh para ilmuwan pemikir.<br />
<br />
Ujung-ujungnya mereka akan terbiasa meyakini sesuatu yang dianggap baku, padahal mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa dipertentangkan dngan cara-cara kerja ilmiah model lainnya. Akibatnya Men, mereka akan terbelenggu daya kreatifitasnya dengan sekedar mengharap produk-produk sains Barat. Pendekatan-pendekatan epistemenologi Barat yang telah melakukan imprealisme masyarakat dunia dapat dilihat:<br />
<br />
a. Pendeketan skeptis; ciri skeptis adalah keraguan yang menjadi warna dasar epistemenologi Barat. Segala sesuatu harus diragukan Tuhan dan agama, manusia, langit, bumi, sosial. Kemudian jadilah teori setelah didapat kebenarannya atau kebenaran yang dapat dibuktikan.<br />
<br />
b. Pendekatan Rasional-Empirik. Dalam kerja epis barat, penggunaanya rasio menjadi mutlak dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawbkan tanpa mendapatkan pembenaran rasio.<br />
<br />
c. Pendekatan dikotomik dapat dilihat pemahaman filsafat Renaissance di Barat.<br />
<br />
d. Pendekatan positif objektif. Dipengaruhi filsafat positivisme. Bagaimana dngan epistemenologi Islam? Benar apa yang disampaikan Zia, logikanya setiap epistemenolog Barat termasuk epistemenenologi Islam tapi tidak setiap epistemonologi Islam termasuk epis Barat.<br />
<br />
Wahyu sebagai sumber mengandung kebenaran absolut, sedang sains tidak absolut atau berubah sesuai perkembangan. Usaha menyinkronkan kedua ini perlu rumusan yang benar-benar serius Men. Hahaha. Benar Zia, kita memang sudah punya epistemenologi sendiri, inilah yang perlu kita sadari. Islam itu maju bahkan jauh lebih maju dari Barat, tapi fakta praktisnya kita masih tertinggal. Apa yang menjadi faktor ketertinggalan?<br />
<br />
Irfan Wahyu Adi Pradana: “Cuk , Cukup kau tenangkan hidupmu saja dengan Pangeran..”<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Perbedaan mendasar yang perlu kita pahami tentang keilmuan Barat dan keilmuan Islam yakni keilmuan islam terdapat nilai estetika, sedangkan keilmuan Barat hanya memandang itu pada ranah empiris dan logis semata. Dan implementasi kedua wilayah keilmuan tersebut menjadi tolak ukur. Menjadi pertanyaan besar buat saya pribadi atau kita semua, mengapa keilmuan Barat lebih maju dari keilmuan Islam dan kenapa keilmuan kita sepertinya stagnan. Padahal keilmuan Islam terdapat nilai-nilai luhur, bisa dikatakan begitu, apakah konsep kita salah atau umat Islam sendiri sudah salah?”<br />
<br />
Irfan Wahyu Adi Pradana: “Pusing ya? Bersandar di pundakku sini.”<br />
<br />
Eristheo Dune: “Iya fanturbasi, plis pinjamkan pundakmu. Atau pupumu. Asal jangan anumu.”<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Berkaitan dengan terjadinya imperialisme intelektual oleh dunia Barat ke seluruh dunia dan khususnya pada dunia Islam, hal ini disebabkan periodisasi pengetahuan. Bila mana kita tengok kembali sejarah masa keemasan Islam (the golden age), dulu kenapa kita berjaya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dikarenakan saat itu pemerintahan Islam berperan besar dalam perkembangan pendidikan tapi yang paling implisit adalah para ilmuan telah mengembangkan pengetahuan dari bangsa Yunani kuno, menterjemakan kebahasa arab dan mereka menitikberatkan pada bidang filsafat.<br />
<br />
Nah ini kunci utama keberhasilan ilmu pengetahuan khusus dalam bidang sains dan teknologi. Kemudian setelah beberapa abad lamanya (berkisar 1 atau 2 abad) muncullah tokoh islam yakni Imam al-Ghazali dulunya dia adalah pakar filsafat, beliau menjadi mufti di Madrasah Nizhamiyah (madrasah yang paling terkenal pada masa itu). Pada akhir masa beliau, Imam al-Ghazali ini membuat statement secara tidak langsung untuk tidak belajar filsafat, nah ini awal mulanya pergolakan dinamika keilmuan Islam.<br />
<br />
Dilihat dari karekteristik al-Ghazali yang sufisme dan nama besar beliau yang mendunia sehingga banyak orang-orang mengikuti paradigma beliau secara garis besarnya saja. Nah setelah al-Ghazali inilah banyak permasalahan dalam bidang keilahian dan keakhiratan terus diperdebatkan. Ini membuat kemajuan pengetahuan sains dan tenologi kita stagnan dan tidak berkembang-kembang.<br />
<br />
Faktor yang lain adanya pembakaran buku dan karya-karya Islam oleh bangsa Mongol dan penjarahan buku-buku Islam oleh bangsa Barat. kemudian bangkitnya dunia Barat (Renaissance). Dunia Barat terus mengembangkan sains dan teknologinya sedangkan dunia Islam terus mengembangkan tasawufnya (perdebatkan ilmu kalam) tentang adanya Tuhan, melihat Tuhan, pahala dan dosa padahal itu adalah ranah Allah bukan ranah manusia.<br />
<br />
Kemudian para cendikiawan muslim mulai sadar akan ketertinggalan kita dari dunia barat muncullah pembaharu Islam contohnya Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Jadi mengapa kita terus tertinggal dan bangsa Barat menjadi maju, dikarenkan kita meninggalkan filsafat dan tidak mengembangkannya. Selanjutnya bahwasanya sekarang ini epistimologi barat menjadi acuan dasar keilmuan dunia dikarenakan epistimologinya empiris logis dan dapat dipertanggungjawabkan dan juga isinya mengandung nilai-nilai keislaman sehingga kita tidak bisa mengotak atik begitu saja, artinya teori-teori yang dikembangakan itu ada dalam nilai-nilai keislaman. Kita bisa mengubah hanya namanya saja dan dikasih embel-embel Islam contohnya psikologi diganti psikologi Islam dan semacamnya.<br />
<br />
Jadi perlu kajian dan teori baru untuk mengubah epistimologi Barat dan itu menjadi PR buat umat Islam khususnya generasi muda ini. Tpi yang ingin saya garis bawahi; keilmuan Islam harus mengandung unsur etika dan estetika agar menjadi pembeda dari keilmuan Barat dan etika dan estetika itu diambil dari nilai-nilai keislaman.”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Sik sik sik, mocone mumet aku, hahaha, *loading*”<br />
<br />
Zainal Muhidin: “Irfan Mashuri asuuuu, nak komen seng simpel wae! Nak kowe ra gelem dihalalke darahmu!”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Piye iki? Sayd Vandyas karo Ervan Mashoery arep dihalalke wae po darahe? Ngelak aku… *ngelap iler*”<br />
<br />
Eristheo Dune: “Cukk, nambahi mumes ndate..”<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Tadi saya telah menyinggung penyebab kemunduran kita dan bila ditelisik ini akan menjadi jawaban atas sebab musababnya, yakni faktor umat Islam sendiri yang masih meperdebatkan adanya Tuhan, dzat Tuhan, sifat-sifat-sifat Tuhan, dosa dan pahala, neraka dan surga. Nah ini menyebabkan kemunduran umat ini, kita hanya memprioritaskan bahwasanya kita akan mati besok dan tidak menyadari kita akan hidup selamanya.<br />
<br />
Kemudian terjadinya penjajahan baik material maupun intektual oleh bangsa Barat hampir di seluruh negeri Islam hingga berabad-abad membuat kita terninabobokan. Dan ketergantungan kita akan pemikiran maupun karya tokoh-tokoh Islam zaman dulu yang sedang berjaya-jayanya hingga di zaman era globalisasi ini kita masih mendapatkan kitab-kitab mereka yg masih dipelajari sehingga warnanya menjadi tambah kuning kekuningan.<br />
<br />
Maksud saya adalah kita tidak berani memperbaharui pemikiran ulama terdahulu yang sudah ketinggalan zaman dan memperbaharui pemikirannya dengan pemikiran kita yang baru ini. Suatu hal yang tabu di masyarakat bila mengkritisi pemikiran ulama terdahulu, dan melekatnya paradigma umat Islam bahwa ijtihad ulama terdahulu itu adalah bagaikan anak dari Al- Qur'an maupun Sunnah, sehingga kita tidak berani mengotak-atiknya.”<br />
<br />
Zainal Muhidin: “Iki ncen asu kabeh, A. Kenapa Barat maju? B. Kenapa Islam mundur (sedang bangkit)? Jawab: A dan B sama; TAKOKKE DEWE RO AWAKMU!”<br />
<br />
Eristheo Dune: “Kalo pengen maju, kerahkan semua rakyat untuk berpikir sama denganmu. Terserah caramu piye. Hal simpel itu tak semudah yang kita pikir.”<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Sesuatu hal yang kita pikir itu bukan hal yang simpel.”<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Nek jawabanku singkat wae; mengapa keilmuan Islam terkesan mundur? Karena kita dijejali produk pemikiran tanpa dituntun bgaimana cara berpikir (filsafat). That's all. Maka dari itu kita ber-Selingkar! *ketok palu ning ndase Mukid; tok-tok-tok*”<br />
<br />
Sayd Nursiba: “Hehehehe, asik..”<br />
<br />
Irfan Mashuri: “Mas Zia, betul sekali, berarti yang salah pendidikan kita ya, bagaimana pendapat Anda selaku cendekiawan pendidikan Islam, tentang pendidikan kita, apa yang harus direvisi dan dikritisi. Hehehehe..<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Kopet ah.. kekekekeke, yaaa gunakan 'otak', jangan hanya 'buku', that's all.”<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-81298238173789147112015-05-17T15:59:00.000-07:002015-05-17T16:03:11.200-07:00NYELINGKARBastian Ev: “Aku ki ngrasak-e manfaat e Selingkar ki akhir-akhir iki, pas ngulang mata kuliah Filsafat Pendidikan, terbiasa dengan diskusi yang ‘rumit’ membuatku malah mudah mencerna makul Filsafat, nuwun."<br />
<br />
~<br />
<br />
Zia Ul Haq: “Ya, seperti yang sudah kita sepahami bersama di awal kelahiran Selingkar [o], forum diskusi santai ini tidak menjanjikan apa-apa, entah itu keuntungan finansial, ketenaran sosial, jabatan publik, atau sertifikat akademik. Hahaha. Di sini kita hanya mengasah pola pikir agar lebih peka dan jeli dalam menghadapi fenomena apapun di masyarakat dari berbagai sudut pandang. Adapun kemudahan yang Mr. Bastian rasakan adalah bonus dari proses ini. Dan semoga para penduduk lain juga bisa merasakan hal serupa, terutama saat terjun di medan juang masyarakat, kini atau kelak.<br />
<br />
Sutri Cahyo: “SEMUA ada manfaatnya.”<br />
<br />
Zainal Muhidin: “Aku ada manfaatnya tidak ya?”<br />
<br />
Ayik Abdulloh: “Tetep lestarikan dan ajak anak semester yang sesudah kita.”<br />
<br />
Rizki Adi Prianto: “Aku ini ono makul Filsafat Pendidikan, blas gak minat soale njlimet, dosene juga bukan bidange, dadine bareng-bareng bureng, mohon pencerahan.”<br />
<br />
Bastian Ev: “Kang Rizki, sebenernya di Selingkar saya lebih sering jadi pendengar, berangkat Selingkar juga kadang-kadang. Tapi kalau pas di diskusi saat itu, saya perhatikan baik-baik pemikiran Kang Zia, Kang Irfan, Kang Mukid, Kang Said, dan temen-temen lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.<br />
Mulanya sumpah, bingung. Mereka itu seperti bilah sabit yang sudah tajam kedua sisinya. Sudah memotong pohon sana pohon sini. Sedangkan saya masih sabit tumpul yang jarang sekali memotong pohon (buku, pengalaman dan lain-lain). Tapi karena ‘dipaksa’ untuk mengikuti alur berfikir mereka, akhirnya mendengarkan juga.<br />
<br />
Nah, entah gimana, saat ngulang makul Filsafat Pendidikan yang dijelaskan dosen itu kok nyambung bahkan sama dengan yang pernah saya denger di Selingkar. Seakan-akan potongan kata-kata teman-teman Selingkar itu bersambungan jadi satu dengan apa yang dijelaskan dosen tentang idealitas, makrokosmis, mikrokosmis, realitas dan lain-lain. Menjadi satu rel, yang sebelumnya berserakan di otak saya. begitu Kang Rizki. Saya juga masih belajar kok.<br />
<br />
Rizki Adi Prianto: “Hihihi, enak yo...”<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-34124377308290463512015-05-17T15:56:00.002-07:002015-06-08T06:04:40.094-07:00NABI YANG HIPSTER<b>Oleh: Irfan Wahyu Adi Pradana</b><br />
<br />
Mungkin asing sekali kata hipster bagi kita semua, seperti nama sebuah brand atau malah seperti nama sebuah kota di luar bumi. Hipster di sini merupakan sebuah istilah yang diambil dari bahasa slank yang disematkan kepada orang orang yang menjauhi tren di lingkungan kita, bisa dikatakan menyepi dengan tren yang sedang ada di lingkungan kita(mainstream). Kita ambil contoh secara mayoritas disaat ujian para komunal mahasiswa yang membuat contekan. Biasanya mereka tulis di kertas atau dicatat di handphone.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9vjU7aoFwndmF76pFH4t0ItAqc7C29cqFKPEg2L3Vo-DGR_6Y4knITabi8Q-4tIaimLy-rcczTEhZgH5FS3Itz-RHTczGN05JPDHWMvD5I6n_rBycsZSlD3dsXbu1sHJpWM0lxck3ye0/s1600/Adolf+Hipster_0dec1d_3780939.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9vjU7aoFwndmF76pFH4t0ItAqc7C29cqFKPEg2L3Vo-DGR_6Y4knITabi8Q-4tIaimLy-rcczTEhZgH5FS3Itz-RHTczGN05JPDHWMvD5I6n_rBycsZSlD3dsXbu1sHJpWM0lxck3ye0/s400/Adolf+Hipster_0dec1d_3780939.jpg" width="292" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Adolf Hipster</i></td></tr>
</tbody></table>
Nah orang orang hipster disini berbeda dengan mahasiswa lainnya. Dia membuat contekan dengan menuliskannya di tembok. Dan contoh lain secara kasat mata dia biasanya memiliki model rambut yang sedikit nyeleneh tapi tetap trendi dan biasanya suka sok diacak-acak agar terlihat lebih asik. Kemudian dia juga gemar menggunakan pakaian yang ‘se-edgy’ (baca: unik, red) dan biasanya dipasangkan dengan sepatu Converse, Doc Marten, atau mungkin sepatu polos yang dicat sendiri. Wah, familiar kan dengan ciri-ciri fisik di atas?<br />
<br />
History….<br />
<br />
Istilah hipster sendiri muncul pada tahun 40-an saat-saat masa kejayaan musik jazz dimana muncul kata "hip" untuk mendeskripsikan antusiasme pada "pemandangan" saat itu. Meskipun masih diperdebatkan asal mula kata tersebut, sebagian berpendapat "hip" merupakan turunan "hop", a slang word for opium. Sementara yang lain percaya kata tersebut berasal dari "hipi", sebuah kata dari salah satu bahasa di Afrika yang berarti "membuka mata seseorang". Either way, setelah mendapat imbuhan -ster (like in gangster) masuklah kata hipster ke dalam bahasa sehari-hari.<br />
<br />
Pada awalnya hipster diartikan sebagai "characters who like hot jazz" yang saat itu berisi anak-anak muda kelas menengah berusaha untuk mengikuti gaya hidup musisi jazz kulit hitam yang mereka sukai. Norman Mailer dalam esainya, The White Negro, mengkarakteristikan hipster sebagai American existentialists, yang hidup dikelilingi oleh kematian - terhapuskan karena perang atom, dan tercekik oleh social conformity - dan memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat, exist without roots, then set out on that uncharted journey into the rebellious imperatives of the self.<br />
<br />
Seems cool, right?<br />
<br />
Hipster adalah…..<br />
<br />
Ada banyak sekali definisi hipster baiklah kita mulai dari terminologi, hipster berarti somebody up-to-date, yaitu seseorang yang memahami dengan baik gaya hidup terkait dengan musik, busana, serta perilaku sosial yang sedang "musim".<br />
<br />
Menurut kamus urban dictionary hipster didefinisikan sebagai;<br />
<blockquote class="tr_bq">
<i>One who possesses tastes, social attitudes, and opinions deemed cool by the cool. (Note: it is no longer recommended that one use the term "cool"; a Hipster would instead say "deck.") The Hipster walks among the masses in daily life but is not a part of them and shuns or reduces to kitsch anything held dear by the mainstream. A Hipster ideally possesses no more than 2% body fat.</i></blockquote>
Ada banyak sekali pengertian yang sering digunakan untuk menggambarkan seorang hipster. Jika kita tarik benang merah dari berbagai definisi tersebut bisa dibilang “hipster adalah sebutan untuk menggambarkan anak muda, biasanya tinggal di kota besar, berada dalam kelas ekonomi menengah dan menengah ke atas, tertarik dengan produk budaya yang bukan ‘mainstream’ seperti fashion, musik indie, film indie atau apapun asal tidak pasaran."<br />
<br />
Biasanya perlawanan terhadap produk-produk budaya mainstream tadi disebut dengan Counter-culture (budaya perlawanan). Tujuan kaum hipster mengkonsumsi hal-hal non-mainstream bisa sebagai bentuk penolakannya, tetapi bisa juga dilakukan untuk membentuk suatu identitas tertentu. Atau bahkan sekedar untuk terlihat keren di mata orang-orang sekitarnya. Semakin banyak orang yang jarang mengetahui sesuatu yang ia pakai, dengar, ataupun lihat, akan makin keren lah si Hipster.<br />
<br />
Hipster Generation…<br />
<br />
Anehnya, ketika apa yang dikonsumsi si Hipster mulai dilirik orang banyak dan menjadi mainstream, Ia akan berhenti menggunakannya dan mencari sesuatu yang berbeda dan eksklusif. Jadi bisa dibilang kaum Hipster kurang memiliki kesetiaan terhadap suatu produk budaya (musik, gaya berpakaian, film, dll, red). Jadi kita bisa mengatakan bahwa hipster adalah proses menuju mainstream walaupun diperlukan waktu yang agak lama agar kebudayaan atau tren mayoritas keil untuk diakui ke mayoritas yang lebih luas. Tapi satu hal yang muncul di pikiran saya setelah ngeliat pesatnya budaya ini berkembang adalah, hipsters are supposed to hate anything mainstream or trendy. But the look itself has gone mainstream. Do we still call it hipster?<br />
<br />
Kenapa disini saya menarik sang legenda zaman? Jadi begini .siapa yang tidak kenal dengan sosok yang penuh kasih sayang dan lemah lembut Nabi Muhammad? Beliau adalah titik cahaya yang hidup pada zaman ‘kebodohan’ (jahiliyah). Bisa dibayangkan betapa hipsternya kanjeng nabi baik dari perbuatan dan perkataannya jika dibandingkan kebiasaan mayoritas para juhala’ saat itu.<br />
<br />
Ketika anak-anak muda dari kalangan asyraf (bangsawan) banyak menghabiskan waktu dengan foya-foya, beliau tidak. Bahkan dikisahkan, suatu hari saat menggembala kambing, beliau melihat ada konser musik ala padang pasir di satu kampung, beliau penasaran dan hendak menonton, tapi di tengah jalan kok malah ngantuk, ketiduran di situ.<br />
<br />
Ketika orang-orang hiruk pikuk dengan kehidupan kota dengan segala kenyamanannya, beliau malah mengasingkan diri di sebuah goa, menyepi atau bertapa. Ketika orang-orang terpana dengan behala-berhala dan mempertahankan ikon-ikon pujaan itu demi faktor tradisi dan ekonomi, beliau keukeuh dengan monoteisme dan menghidupkan kembali ajaran leluhur dari kalangan nabi-nabi terdahulu.<br />
<br />
Ketika orang-orang dari kalangan asyraf memperlakukan budak semena-mena, mengubur bayi perempuan yang terlahir, beliau malah banyak mendorong kemerdekaan budak-budak, melarang penguburan bayi-bayi, berjalan dengan kerendahhatian bagai berjalan di jalan menurun, menengok dengan segenap badannya, membudayakan senyum kepada siapa saja.<br />
<br />
Dan ketika sudah menjadi pemimpin pun, beliau tetap tidur di atas pelepah atau dedaunan kurma kering serta sering mengganjal peut lapar dengan batu, padahal banyak pemimpin lain yang bermanja-manja dengan karpet permadani maupun kipasan pelayan-pelayan di sekelilingnya. Dan masih banyak kehipsteran baginda yang lain.<br />
<br />
Dengan kerja kerasnya yang tidak singkat, beliau dapat menularkan kehipsterannya kepada masyarakat, khususnya para pengikut beliau yang disebut: sahabat. Yang perlu dicontoh dari kehipsteran beliau adalah tetap konsisten dengan kehipsterannya walaupun ajaran beliau sudah menjadi mainstream bagi masyarakat. Beliau tetap istiqamah dengan apa yang dilakukannya. seharusnya para hipster jaman sekarang mencontoh sikap hipster beliau, tentunya dalam hal yang positif dan berguna bagi masyarakat. Nah yang saya masih bingung, Rasulullah termasuk tipikal hipster atau mainstream? Tentunya saya kembalikan kepada penduduk Selingkar sekalian.<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-67425499565598453372015-05-17T15:46:00.000-07:002015-05-17T15:46:17.579-07:00Awal dan Akhir Hari<b>Oleh: Mukid</b><br /><br />
Dahulu kala, pada zaman Purba tepatnya pada zaman Nekrofagus (bersifat pemakan bangkai) telah terjadi perselingkuhan dan hubungan gelap antara spesies Homo Kuadratus (belum pintar dan berbahu lebar/persegi) dengan spesies Homo Wajakensis (manusia purba yang sudah mempunyai bentuk seperti homosapiens) dan akhirnya melahirkan spesies baru yaitu Homo Sapiens (manusia kini yang sudah berfikir).<br /><br />
Nah, Homosapiens tersebut bernama Zia Ereksitus, seiring bertambahnya usia, Zia Ereksitus menjadi seorang filsuf terkenal seantero jagat, bahkan dia adalah filsuf pertama dan satu-satunya pada saat itu. Suatu hari Zia Ereksitus sedang berfilsafat untuk menentukan awal dan akhir dari hari, setelah melakukan pengamatan yang cukup lama akhirnya Zia Ereksitus mempunyai beberapa kesimpulan, dimana kesimpulan itu dia paparkan kepada juru tulisnya yang bernama Irfan Idiotus, Irfan Idiotus termasuk spesies Homo Kuadratus yang lugu dan agak bodoh.<br /><br />
Zia Ereksitus bertanya, “Kamu tahu awal dan akhir hari?”<br /><br />
“Ha.. .. apa.. .. hari??” jawab Irfan Idiotus dengan mata yang lebar sembari mengusap iler dan ingus yang setia mempertampan wajahnya.<br /><br />
“Ah, percuma saja bicara denganmu, lebih baik kamu tulis saja omonganku,” perintah Zia Ereksitus sembari meggaruk-garuk p*nt*tnya.<br /><br />
“Baik, Kakak..” jawabnya masih diiringi lelehan ingus di hidungnya.<br /><br />
“Hari, hari itu adalah...,” Zia Ereksitus memulainya dengan agak bingung.<br /><br />
“Hari adalah gelap dan terang, gelap ketika bola cahaya hilang di sebelah sana, dan terang ketika bola cahaya kembali lagi dari sana,” jelasnya sembari menunjuk-nunjuk arah, “Sebelum terjadi gelap dan terang adalah sebuah remang-remang.”<br /><br />
“Haa, remang-remang? Aku suka remang-remang.. hohoho,” celetuk Irfan Idiotus dengan menyipitkan mata dan lobang hidung yang membesar. Zia meneruskan ceritanya,<br /><br />
“Dan sekarang aku akan memutuskan bahwa awal hari adalah..,” Zia Ereksitus berhenti. Irfan Idiotus juga bengong menunggu lanjutan kesimpulan darinya.<br /><br />
“Sebentar,” kata Zia Ereksitus. Irfan Idiotus hanya diam sembari bermain ingus dengan hidungnya. Zia Ereksitus berfikir, kalau awal hari adalah terang maka aku akan terlambat menjalani hari, karena aku selalu bangun ketika hari sudah terang, dan tak pernah melihat bola cahaya muncul. Tapi kalau awal hari adalah gelap maka aku tidak akan mampu menjalani hari, karena sebelum gelap itu berakhir aku pasti lebih dulu tidur, jadiii... emmm..<br /><br />
“Jadi aku putuskan AWAL HARI adalah SAAT AKU BANGUN TIDUR, dan AKHIR HARI adalah SAAT AKU TIDUR!”<br /><br />
Zia pun tersenyum puas, membuat mukanya yang berbulu menjadi sedikit lebih tampan. Irfan juga berdiri dan menepuk-nepukan tangan kedadanya yang lebar dan penuh bulu-bulu kasar, kemudian diikuti juga dengan zia. Mereka memukul-mukul dada dan berteriak;<br /><br />
“AAAAAUUUWWWOOOOWWWW...!!”<br /><br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-35907125630422582872015-05-13T10:37:00.000-07:002015-06-08T10:43:37.865-07:00Pendidikan Manusiawi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTVj12r_i_zHr0bRrCKv0Ovm-aTBHTOfH9WhtyAfxOMbm6Az0EdOzgfuMXR0bGQkAxeST0_W7IcnF_mszD8IlGyieLgT9jvHOYqAAKz-Knhi6snEU7mYUipaeVwuFU5PGIXd0mMLoBaOI/s1600/selingkar+19+-+Copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a></div>
<b>Sanggar Anak Alam, Nitripayan Kasihan Bantul | Rabu 13 Mei 2015 | Penyaji: Ibu Sri Wahyaningsih</b><br />
<br />
Mendung menggelayut di langit Jogja, jam setengah satu siang penDuduk Selingkar beranjak dari Krapyak menuju Nitripayan, Kasihan, Bantul. Hanya butuh sepuluh menit perjalanan untuk sampai di tempat tujuan kami, yakni kediaman Ibu Sri Wahyaningsih di lingkungan Sanggar Anak Alam (SALAM).<br />
<br />
Rabu siang (13/05) itu memang kami agendakan untuk berkunjung sinau ke sebuah tempat inspiratif. Lembaga pendidikan alternatif di tengah persawahan kampung Nitiprayan, Sanggar Anak Alam atau disingkat SALAM. Saat kami tiba di sana, nampak anak-anak dan beberapa orang tua sedang berbenah untuk pulang, karena jam sekolah memang sudah usai, dan giliran anak-anak belajar di rumah bersama orang tua masing-masing. Suasana asyik lingkungan SALAM bisa kita lihat melalui video ini: <a href="https://www.youtube.com/watch?v=GZu0Oh7ft6g" target="_blank">‘Lentera Indonesia: Sanggar Anak Alam’</a><br />
<br />
Setelah melewati parit dan hamparan sawah, kami sampai di halaman SD-SMP SALAM, di sana kami disambut Mas Yudhistira, ketua Pusat Kelompok Belajar Masyarakat SALAM. Tentang obrolan kami bersama beliau beberapa waktu lalu sudah tertuang di tulisan <a href="http://gubuk-cahaya.blogspot.com/2015/04/sekolah-kehidupan-di-sanggar-anak-alam.html" target="_blank">‘Sekolah Kehidupan di Sanggar Anak Alam’</a><br />
<br />
Setelah bertegur sapa dengan Mas Yudhis, kami langsung menuju rumah Bu Wahya, sang pendiri sekolah, yang sekaligus menjadi kelas Playgroup SALAM. Sekitar lima puluh meter sebelah utara sekolah, rumah beliau berdiri dikepung sawah dan kolam ikan. Di situlah Bu Wahya tinggal bersama suami beliau, Pak Toto Raharjo dan putra-putrinya. Pak Toto sudah menulis buku berjudul ‘Sekolah Biasa Saja’, menjelaskan filosofi dan praktek pendidikan yang diterapkan di SALAM, resensinya bisa kita baca di sini: <a href="https://www.caknun.com/2015/sekolah-biasa-saja-yang-luar-biasa/" target="_blank">‘Sekolah Biasa Saja Yang Luar Biasa’</a><br />
<br />
“Dari mana ini temen-temen?” sambut Bu Wahya sambil mempersilakan kami duduk melingkari meja Playgroup warna warni. Kami memperkenalkan diri sebagai klub diskusi santai Selingkar yang punya kegiatan utama: wira-wiri sinau mengunjungi sumber-sumber ilmu dan pengalaman-pengalaman para pejuang kehidupan.<br />
<br />
Ada Afi dan Anis, dua mahasiswi pascasarjana pendidikan. Ada Nisa dan Rahma yang sedang tertarik dengan pendidikan kritis sebagai bahan skripsinya. Ada Sulaiman, Adieb, Mukid dan Irfan, para koboy kampus yang tak lulus-lulus. Ada Abidin dan Khotib, dua pemuda yang bergiat sebagai bakul buku. Ada Hartawan dan Adam, dua ustadz muda pengemong anak-anak yang menyusul datang. Ada pula Mas Firman, Mas Teguh beserta istri dan kedua anaknya, yang kebetulan sama-sama sedang dolan di lokasi.<br />
<br />
SEKOLAH RELIJIUS<br />
<br />
“Pernah ada beberapa mahasiswa UIN seperti kalian bikin skripsi di sini. Sudah ada tiga skripsi. Salah satu hasil penelitian mereka malah mengatakan bahwa SALAM ini adalah sekolah yang islami,” kata Bu Wahya mengawali perbincangan, “Padahal di sini nggak ada pelajaran agama lho,” lanjutnya sambil ketawa.<br />
<br />
Memang, di SALAM tidak ada mata pelajaran agama sebagai rangkaian asupan materi untuk anak didik. Mengapa? Alasannya jelas: pengajaran agama adalah tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Sedangkan di sini, sekolah lebih berperan sebagai wadah bagi anak-anak untuk membiasakan diri dengan sikap-sikap relijius, bukan sekedar materi-materi reliji.<br />
<br />
Di sini, anak-anak dibimbing oleh fasilitator. Sedangkan gurunya adalah semua orang yang terlibat di dalam proses belajar. Entah itu fasilitator, siswa sendiri, orang-orang di lingkungan sekitar, terutama orang tua atau wali siswa.<br />
<br />
Orang tua sangat dilibatkan dalam proses belajar anak-anak, baik di sekolah maupun di rumah, supaya tidak terjadi pengingkaran terhadap fitrah si anak. Maksudnya, ketika di sekolah anak-anak belajar tentang kejujuran, maka nilai kejujuran pun harus dipraktekkan orang tua di rumah. Atau ketika di sekolah belajar tentang makanan sehat, di rumah pun orang tua musti sadar tentang makanan sehat.<br />
<br />
“Sampai-sampai ada orang tua cerita,” kata Bu Wahya, “Musti nunggu anaknya tidur dulu baru bisa makan mie instan. Emang udah kebiasaan sejak zaman kuliah makan mie instan. Soalnya kalau ketahuan anaknya, bisa diprotes habis-habisan. Tapi ya lambat laun si orang tua justru makin sadar kesehatan.”<br />
<br />
Forum orang tua murid menjadi wadah rutin bagi fasilitator dan orang tua untuk membahas hal-hal tentang pendidikan anak-anak. Tak hanya itu, sebulan sekali diadakan program belajar di rumah. Yakni satu kelas mengambil lokasi belajar di rumah salah satu siswa. Kesempatan itu diisi oleh orang tua si tuan rumah sebagai fasilitator untuk berbagi ilmu atau keterampilan apapun yang dimiliki.<br />
<br />
“Misal ada anak yang orang tuanya tukang parkir. Ya di situ anak-anak belajar markir, jadi anak-anak pegang peluit sambil mengayun-ayun tangan begitu,” jelas Bu Wahya yang pernah berjuang bersama Romo Mangun di bantaran Kali Code.<br />
<br />
Komunitas SALAM meyakini bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah cukup di dalam ruang kelas saja. Diperlukan proses beljar secara holistik, melibatkan orang tua dan lingkungan setempat. Belajar merupakan gerakan untuk menemukan nilai-nilai serta pemahaman hidup yang lebih baik, itulah hakekat ‘Sekolah Kehidupan’.<br />
<br />
RISET EMPAT PERSPEKTIF<br />
<br />
Memang tidak ada penjadwalan mata pelajaran di SALAM ini. Namun pembelajaran yang terjadi dalam suatu objek bisa mencakup banyak materi pelajaran. Misal, ketika anak belajar tentang kecebong di sawah, di situ dia belajar bahasa dengan menulis dan mengucapkan segala yang berkaitan tentang kecebong. Dia juga bisa belajar seni dengan menggambar dan mewarnai apa yang dia lihat. Dia juga bisa belajar berhitung dengan sampel si kecebong. Dia juga bisa belajar materi IPA hingga agama dengan mengamati kecebong.<br />
<br />
“Proses pembelajaran di sini adalah memberi pengalaman bagi anak-anak. Yakni dengan riset. Bagi yang pra-sekolah, kami lebih fokus kepada penguatan panca indera. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu rasakan, bagaimana interaksi dengan teman. Dari itu semualah sumber belajarnya. Jadi, untuk anak-anak pra sekolah, fokusnya bukan kepada pengetahuannya, melainkan kepada rasa ingin tahunya,” ungkap Bu Wahya.<br />
<br />
Beliau menyayangkan anak-anak TK yang sudah diajari matematika, membaca, menulis, berhitung dan berbagai macam asupan kognisi yang belum sesuai. Tak demikian dengan SALAM, di sini anak-anak belajar hadap masalah melalui panca indera mereka, yakni dengan melihat, mendengar dan mengamati.<br />
<br />
“Kemudian buat kelas 1 sampai kelas 3,” lanjut Bu Wahya, “Kami fokuskan kepada membaca, menulis dan berhitung. Nah, tentang apa yang dibaca, apa yang ditulis, dan apa yang dihitung, disesuaikan dengan empat perspektif. Yakni: pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Jadi, semua aktivitas belajar mengarah pada kesadaran tentang pangan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial budaya.”<br />
<br />
“Caranya bagaimana, Bu?” sahut Afi.<br />
<br />
“Dengan riset,” jawab Bu Wahya.<br />
<br />
“Riset?”<br />
<br />
“Iya riset. Tapi jangan bayangin kayak riset mahasiswa yang rumit lho ya,” jelas Bu Wahya, “Riset itu ‘kan penelitian, atau bahasa Jawanya; niteni, ilmu titen. Misal, anak meneliti tentang pohon Talok, bagaimana bentuknya, dimana letaknya, apa warnanya, pokoknya melihat dan mengamati objek itu. Lalu dibimbing bagaimana menulis ‘ini talok’, menggambar talok, dan menghitung jumlah daun talok. Jadi mereka tidak diajari dengan model ‘ini Budi, ini Ibu Budi’ semacam itu.”<br />
<br />
“Jadi nggak pak kurikulum dari pemerintah ya Bu?” tanyaku.<br />
<br />
“Kurikulum yang dari pemerintah itu ya sekedar pegangan aja. Misal, kira-kira anak kelas 1 ditarget menguasai angka 1 sampai 100, ya anak-anak dibimbing ngubek-ubek angka 1 sampai 100 di sawah, di pohon, di pasar, di kali, dimanapun. Mereka bisa belajar satuan, puluhan, dengan mengikat ranting atau lidi atau kerikil di sekitar. Pokoknya semua proses belajar di sini harus ada peristiwanya.”<br />
<br />
“Bu, saya permisi dulu,” sela Abidin.<br />
<br />
“Oh, mau kemana?”<br />
<br />
“Ada acara,” jawab pemuda tangguh yang sudah beranak tiga ini.<br />
<br />
“Kemudian,” lanjut Bu Wahya, “Kelas 4 sampai 6 sudah mulai mengaplikasikan kemampuan membaca, menulis dan menghitung. Lebih menjurus ke praktek, misalkan menanam dan mengamati padi. Bagaimana menanamnya, akarnya bagaimana, perkembangannya seperti apa, pengolahannya bagaimana. Di sini anak-anak akan mulai wawancara dengan petani. Begitu juga dengan praktek membuat kompos, lalu bagaimana produksi makanan sehat, dan sebagainya.”<br />
<br />
“Jadi setiap hari riset ya Bu?”<br />
<br />
“Iya, tapi ‘kan nggak selalu terjun ke lapangan. Riset di sini ada alurnya.”<br />
<br />
“Alur risetnya bagaimana, Bu?”<br />
<br />
“Setelah anak-anak mengamati dengan inderanya, mengalami, maka kemudian dia dibimbing untuk bisa mengungkapkan. Yakni menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya. Itu tahap riset pertama. Lalu kedua, menganalisis, yakni mengkaji sebab-sebab dan kaitan-kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut. Ketiga, menyimpulkan pemahaman yang didapatkan dari proses analisa atas pengalaman. Lalu tahap terakhir adalah melakukan, tahapan inilah yang bersifat eksperimental. Kalau istilah jawanya: niteni, niru, nambahi. Yaitu meneliti dan mengamati, menirukan dan mengaplikasikan, lalu kemudian berinovasi.”<br />
<br />
Bu Wahya kemudian mengisahkan riset bersama anak SMP SALAM. Kala itu mereka belajar tentang transportasi, mereka meneliti di terminal, bertemu komunitas pencinta bis, komunitas kereta api. Banyak yang bisa mereka amati, salah satu kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa alat transportasi saat ini lebih mewakili gengsi daripada fungsi. Maka tak heran jika hal ini menyebabkan kemacetan dan polusi jalanan.<br />
<br />
Pernah pula anak-anak belajar tentang silsilah keluarga. Dari situ mereka bisa sampai memahami jaring-jaring kekerabatan, pernikahan antar-etnis, hingga kasus kerusuhan Mei ’98. Pernah kelas 2 belajar berhitung dengan menghitung inventaris rumah masing-masing. Ternyata ada anak yang di rumahnya punya garasi sampai dua ruang, ada pula anak yang di rumahnya bahkan tak punya dapur. Akhirnya fasilitator mengarahkan pemahaman sosial agar tidak terjadi iri dan kesenjangan.<br />
<br />
“Misal, kita belajar berhitung dengan meneliti ikan. Tadinya ada dua ikan, sekarang tinggal satu. Berarti ‘kan berkurang ya. Tapi kita tidak berhenti pada 2-1=1, kita bertanya; apa sebab jumlah ikan itu berkurang? Kalau dicuri, bagaimana dampaknya. Kalau dihadiahkan, apa akibatnya. Nah, belajar ilmu pasti pun bisa menjurus ke ranah sosial. Proses pembelajaran pada satu objek jadi punya banyak perspektif, tidak hanya textbook. Jadi, anak-anak bisa belajar dari sesuatu yang riil, bukan takhayul,” kata Bu Wahya.<br />
<br />
TANGGUNG JAWAB<br />
<br />
SALAM tak seperti sekolah-sekolah pada umumnya yang penuh dengan aturan-aturan ketat, mulai dari busana hingga kehadiran. Di sini, aturan disepakati oleh anggota kelas. Tiap kelas punya aturan sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kondisi kelas masing-masing. Aturan-aturan kesepakatan yang dibuat selaras dengan tiga asas, yakni bagaimana agar menjaga diri sendiri, menjaga teman, dan menjaga lingkungan.<br />
<br />
“Di sini anak memang merdeka, namun tentu ada aturan yang disepakati agar kemerdekaan diri sendiri tidak melanggar kemerdekaan orang lain,” tutur Bu Wahya.<br />
<br />
Tahun lalu, 12 anak SD SALAM lulus, 4 anak melanjutkan di SMP SALAM, 8 lainnya ke sekolah formal di luar. Di luar, delapan anak itu baru merasakan sekolah yang ada rankingnya dan empat di antaranya ranking 1, dan rata-rata aktif di keorganisasian semisal OSIS dan lain-lain.<br />
<br />
“Aturan-aturan kondisional yang disepakati di sini menumbuhkan sikap bertanggung jawab. Ya memang sifat anak-anaknya masih ada, namun tanggung jawabnya sudah dewasa,” terang Bu Wahya.<br />
<br />
Beliau menceritakan pengalaman salah seorang orang tua. Anak pertamanya sekolah di luar, sedangkan anak kedua sekolah di SALAM. Suatu ketika ada air tumpah di lantai, sementara kakak beradik sedang santai di ruangan itu. Si Kakak hanya melihat lalu menyingkir. Sedangkan Si Adik langsung mengambil kain pel dan mulai membersihkan tumpahan air itu. Dari sini sudah terlihat perbedaan tentang bagaimana melihat dan merespon sesuatu.<br />
<br />
“Tentang merespon, ada pengalaman menarik waktu anak-anak kami ajak jalan-jalan ke Taman Pintar,” Bu Wahya berkisah, “Sampai di sana, anak-anak protes: katanya Taman Pintar, tapi kok banyak Junk Food! Karena memang di situ banyak yang lagi makan Pop Mie. Pernah juga kami ikut suatu acara pameran bertema lingkungan, tapi di pintu masuk sudah ada promo mie instan yang jadi sponsor. Terang saja anak-anak kesal, mereka protes. Akhirnya anak-anak itu janjian audiensi dengan pengelolanya, dan mereka betul-betul menyampaikan protes itu.”<br />
<br />
Menyusul Abidin, Hartawan pun pamit pulang, sudah kangen dengan anak-anak TPA asuhannya.<br />
<br />
UJIAN<br />
<br />
Kadang pengelola SALAM juga meminjam soal-soal yang digunakan di sekolah formal. Pernah suatu ketika anak-anak kelas 3 SD SALAM mengobservasi soal-soal itu.<br />
<br />
“Mereka malah ketawan-tawa,” kata Bu Wahya, “Lha banyak bentuk soal yang konyol. Misal, ada gambar lemari, piano, dan kompor. Kemudian di sampingnya ada pertanyaan: benda di samping yang yang bisa berbunyi adalah.., lha ya jelas bisa berbunyi semua dong kalau dipukul. Banyak bertebaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang memasung dan menjerumuskan anak-anak pada pola pikir sempit.”<br />
<br />
“Di SALAM ini ada ulangan juga Bu?”<br />
<br />
“Ada. Tapi beda bentuknya, karena di sini mereka riset, maka ujiannya ya membuat laporan. Jadi di akhir riset itu nanti anak-anak membuat presentasi, pameran, workshop, atau pementasan. Dan itu mengundang orang tuanya. Nah di akhir semester ada Gelar Karya, di situ nanti ada fotografi, tari, teater, musik, macem-macem. Setiap tiga bulan ada juga Pasar Pangan Sehat. Ada juga pasar buat anak-anak, namanya Pasar Senen Legi. Di situ pakainya uang kesepakatan, bukan uang Bank Indonesia, kami sebut dengan Uang Salam. Jadi ada penukaran khusus buat Pasar Senen Legi itu. Setiap peserta pasar bisa jualan barang atau menawarkan jasa.”<br />
<br />
KEDAULATAN<br />
<br />
Tentang pasar ini, Bu Wahya bercerita dengan penuh semangat. Di pasar SALAM, dipraktekkan seperti halnya pasar-pasar global pada umumnya. Ada transaksi barang dan jasa, ada bank plecit juga. Bedanya, bank plecit di sini melayani peminjaman tanpa paksaan dan ikatan bunga yang mencekik. Berbeda dengan Bank Dunia yang begitu memenjara dan mendikte kliennya.<br />
<br />
Praktek pasar SALAM dengan ‘uang kesepakatan’ ini menjadi salah satu wahana belajar untuk menumbuhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi bagi anak-anak. Terutama dalam hal pemenuhan pangan.<br />
<br />
“Kita ini kaya bukan main, tanah subur dan kaya sumber daya. Tapi kok lucu, bahan makanan pokok saja sampai impor,” keluh Bu Wahya, “Belum lagi berbagai variasi jajanan lokal yang kebanyakan dari kita sudah nggak kenal. Kalah sama junk-food junk-food dari luar itu.”<br />
<br />
Di sini, SALAM berhati-hati dengan tawaran kerjasama dari luar negeri, sangat membatasi. Biasanya di antara tawaran itu ada yang membawa kontrak-kontrak tertentu, mulai dari promosi produk hingga pemahaman sok yes.<br />
<br />
“Misal, ada program multicultural school, lha padahal di budaya kita sudah ada tepa salira. Ada juga program sekolah adil gender, lha menurut kami itu nggak perlu, karena di SALAM, semua ya harus mendapat keadilan,” jelas Bu Wahya, “Yang penting kita jangan jadi orang kagetan, gumunan. Budaya kita udah tinggi sekali. Jadi orang Jawa ya Jawa sesungguhnya. Sumatera ya Sumatera yang sesungguhnya.”<br />
<br />
Sikap kritis berdaulat semacam inilah yang dibudayakan melalui SALAM. Semestinya hal semacam ini pula yang didapatkan mahasiswa melalui bangku kuliah, yakni membuka wawasan dan meneguhkan jati diri. Bukan justru penyeragaman sikap dan penerimaan habis-habisan terhadap ide-ide impor tanpa sikap kritis.<br />
<br />
“Eh, silakan lho diminum tehnya, kuenya juga dicicipi, ini buatan sendiri lho,” kata Bu Wahya.<br />
<br />
“Buatan sendiri Bu?” sahut Mukid, “Enaak..”<br />
<br />
“Iya, kami juga buat kopi, jajanan, cemilan sehat, kecap, kaos, macem-macem pemberdayaan ekonomi.”<br />
<br />
MASA WIRAGA<br />
<br />
“Dengan gaya belajar semacam ini, apakah lulusan SALAM bisa bersaing dengan lulusan sekolah-sekolah di luar sana, Bu?” tanya Khotib.<br />
<br />
“Satu hal yang musti dipahami adalah bahwa di SALAM ini kami tidak menganut konsep persaingan dan unggul-unggulan. Nggak ada begituan,” papar Bu Wahya.<br />
<br />
“Lalu rangsangannya apa, Bu?”<br />
<br />
“Ya apresiasi,” tegas Bu Wahya, “Di sini anak-anak betul-betul diapresiasi atas pengalaman dan karyanya masing-masing. Kami berusaha memanusiakan manusia sebagai dirinya sendiri, bukan dengan ukuran-ukuran orang lain yang distandarkan. Selain itu ada juga reward dan punishment. Nah, untuk punishment atau hukuman ya harus menyesuaikan kondisi si anak. Karena walau bagaimanapun, hukuman akan mempengaruhi kondisi psikis anak. Misal, ada dua anak, satu masih kelas 3, satunya kelas 6, keduanya menyakiti temannya masing-masing, tentu penanganan dan hukumannya berbeda.”<br />
<br />
SALAM meyakini bahwa pendidikan dasar merupakan pondasi penting untuk meletakkan sistem berpikir dan bersikap yang harus dibangun sejak anak-anak, yakni untuk memahami potensi dan problematika serta realitas kehidupan. Bukan sebagai lahan unggul-unggulan dan jatuh menjatuhkan ala konsep persaingan.<br />
<br />
“Kadang sekolah-sekolah di luar itu kelihatan sibuk banget, tapi sebenarnya apa yang dilakukan?” kritik Bu Wahya, “Di sini kami kelihatannya cuma nemenin anak main-main saja, namun sebenarnya kami melakukan hal yang sangat esensial.”<br />
<br />
Apa yang dikatakan Bu Wahya tentang esensialitas bukan omong kosong, karena hal ini cocok dengan konsep Ki Hadjar Dewantara tentang Wiraga-Wirama. Windu pertama, yakni usia 0-8 tahun adalah masa Wiraga, masa bergerak atau aktivitas fisik. Tapi di sekolah-sekolah pada umumnya, justru anak-anak dipasung dengan banyak aturan. Misalnya, dipaksa memakai seragam yang membatasi gerak mereka, memakai rompi dan kemeja, padahal mereka butuh banyak bergerak dan butuh busana kasual yang nyaman. Anak-anak pada masa itu sedang dalam masa bisa meniru mengeksplor dan mengeksplor apa saja.<br />
<br />
“Maka semestinya sekolah harus memberi ruang seluas-luasnya pada masa Wiraga ini. Itulah mengapa pada masa ini kita musti ‘Tut Wuri Handayani’, tidak menggurui, tapi memberikan topangan dengan fokus anak itu sendiri,” jelas Bu Wahya, “Makanya, anak-anak di sini dibebaskan belajar di alam terbuka. Dan konsep belajarnya adalah dengan riset.”<br />
<br />
Windu kedua, usia 9-16 tahun, adalah masa Wirama. Yakni ketika anak masih bergerak banyak, namun sudah paham aturan, tahu jadwal. Maka dengan pembimbingan pendidikan yang tepat, semestinya anak usia 17 tahun sudah kenal potensi dirinya, paham kebisaan dan arah kecenderungan bakatnya. Setelah masa itu ada masa Mangkupraja, dan seterusnya. Pada usia 40 tahun, kepribadian seseorang semestinya sudah matang tak tergoyahkan.<br />
<br />
“Jadi, kalau ditanya bagaimana output dari SALAM ini,” tukas Bu Wahya, “Ya biar anak menjadi dirinya sendiri, tidak menjadi orang lain. Yakni memilih jalannya bukan atas paksaan orang tua, bukan obsesi orang lain, juga bukan menjadi korban tren. Misalnya, kalian yang kuliah keguruan karena hati nurani, bukan sebab pelarian atau karena nggak keterima di jurusan lain. Sebab tak sedikit pola hidup manusia modern terjebak dalam dorongan-dorongan prestis.”<br />
<br />
KEMANDIRIAN<br />
<br />
“Kalau misal kepribadian anak sudah mengenali potensi diri, tapi ternyata bertentangan dengan obsesi orang tua, itu bagaimana solusinya Bu?” tanya Mas Firman.<br />
<br />
“Maksudnya?”<br />
<br />
“Yaa misalkan si anak ingin dagang, tapi orang tuanya ingin anak itu jadi PNS, begitu.”<br />
<br />
“Yaa kuncinya komunikasi. Bagaimana kita menyampaikan, bagaimana kita memahamkan orang tua,” jawab Bu Wahya. “Dan yang terpenting adalah, apapun pilihan kita asal kita bertanggung jawab dan membuktikan kemandirian kita. Di Indonesia ini masih sangat luas bidang pekerjaannya lho, Mas. Kami dan teman-teman di forum orang tua murid banyak yang justru meninggalkan pekerjaannya dan malah bekerja di lingkungan SALAM ini. Ya memang konsekuensinya tidak mudah, tapi ada kepuasan.”<br />
<br />
Tidak ada bantuan dari pemerintah sama sekali dalam pendirian SALAM. Awalnya hanya ada playgroup dan TK yang berlokasi di ruang tamu keluarga Bu Wahya. Kemudian berkembang menjadi SD dan SMP, banyak pula diadakan pelatihan dan workshop, serta muncul berbagai kegiatan pemberdayaan ekonomi. Itu semua tanpa uluran pemerintah.<br />
<br />
Posisi ini menguntungkan SALAM. Maksudnya, tidak ada tuntutan apa-apa yang perlu dipenuhi SALAM kepada atasan. Berbeda dengan sekolah-sekolah atau instansi pendidikan yang bernaung di ketiak pemerintah. Pemberian amplop dari kepala sekolah kepada penilik adalah pemandangan wajar di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.<br />
<br />
“Kami sering membuat aktivitas yang bisa mendanai acara itu sendiri. Jadi ya, nol rupiah,” kata Bu Wahya, “Aktivitas yang kami gelar di sini bukan dengan pendekatan proyek. Misal, besok ada acara Konser Boleh Salah, yakni ajang apresiasi bakat anak-anak. Tiket masuknya jajan tradisional minimal lima bungkus. Nah, acara itu sekaligus bisa menjadi ajang kampanye makanan sehat yang variatif, dan mengakrabkan.”<br />
<br />
Dua bocah lucu menghampiri Bu Wahya minta salaman. Mereka anak-anak Mas Teguh dan istrinya yang pamit pulang.<br />
<br />
“Apakah bisa, model pembelajaran di SALAM ini diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang sudah kadung eksis dengan gaya konvensional?” tanya Adam, merujuk pada lembaga yang ia pegang.<br />
<br />
“Bisa saja!” tegas Bu Wahya, “Asalkan ada keselarasan antarpelaku proses pendidikan di lembaga itu. Yakni guru atau fasilitator, orang tua siswa, dan pengelolanya. Pernah ada guru yang ikut pelatihan di sini untuk diterapkan di kelasnya. Dia pun mengajak anak-anak jalan-jalan sambil belajar di luar kelas, pas saat itu ada penilik sedang mampir dan kepala sekolah tak bisa menjelaskan. Ya akhirnya dia diskors oleh kepala sekolahnya. Berarti ‘kan belum selaras antar pengelola pendidikan. Nah, kita nggak mau terjadi hal kayak gitu.”<br />
<br />
Terakhir, beliau mengkritik banyaknya persekolahan yang memiliki spirit 'mencetak', memperlakukan anak didik bukan sebagai manusia yang membawa potensi, melainkan sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi produk komoditas. Mulai dari taman kanak-kanak yang siap mencetak anak agar bisa baca tulis, hingga kampus yang dalam sekian tahun menjamin siap kerja.<br />
<br />
“Itu sekolah atau pabrik buruh? Edan tenan!”<br />
<br />
Tak terasa, tiga jam sudah kami berbincang dengan Bu Wahya. Beliau begitu bersemangat menulari kami virus tentang pendidikan yang manusiawi. Hujan deras yang sedari tadi mengguyur sudah mereda. Kami pun berpamitan.<br />
<br />
Bu Wahya mempersilakan kami untuk hadir dalam event-event yang akan digelar SALAM, seperti Konser Boleh Salah, pasar Senen Legi, Gelar Karya, dan lainnya. Tidak anya hadir, kami juga dipersilakan ikut berdagang kalau berminat. Lebi dari itu, beliau juga membuka kesempatan bagi siapapun yang mau belajar di SALAM dengan menjadi fasilitator.<br />
<br />
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami tanyakan, masih banyak pengalaman yang ingin kami gali, namun keterbatasan waktu mengharuskan kami undur diri. Jam setengah lima sore kami pulang dengan membawa semangat yang begitu cerah, secerah langit Jogja selepas hujan.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKb863LDj6S24xKjb1Y0CAiZ_0i3K6uOtX5eWUs6o1YadRIZ5wr_Cx0qcKyqZT6V-jzrMSwtuX7DuW7qa76qOJXvlWg9iTeIYqnH4SquEnJqYUX_R8MV5JIvuZwlVZejkPxVNhlONnBwI/s1600/selingkar+19+-+Copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="307" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKb863LDj6S24xKjb1Y0CAiZ_0i3K6uOtX5eWUs6o1YadRIZ5wr_Cx0qcKyqZT6V-jzrMSwtuX7DuW7qa76qOJXvlWg9iTeIYqnH4SquEnJqYUX_R8MV5JIvuZwlVZejkPxVNhlONnBwI/s400/selingkar+19+-+Copy.jpg" width="400" /></a></div>
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-86596060835162954932015-05-10T18:34:00.000-07:002015-06-09T18:36:47.800-07:00KEPOMPONGAda yang unik antara dua penDuduk Selingkar ini,
Tuanku Irfan (Coro) dan Paduka Pramono (Hulk). Keduanya menjalin
hubungan mesra yang aneh. Setiap kali bertemu, pasti ribut, hampir
tarung fisik atau sekedar cekcok mulut. Namun selalu berakhir dengan
cengengas cengenges.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7Y6ZNidJTzcNbyZz3jfXA4WE0Pt9L2ZITVRzdr6Mne3JYbNxtP_1EWSt31dUXIygsNcdW-fM82aEsGAJqTTMclOl6go_P-PEjYQWZUgaP9wuNz_kkH5PB6s0O3m1Rm9s4LqN8lUdepFQ/s1600/pram.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7Y6ZNidJTzcNbyZz3jfXA4WE0Pt9L2ZITVRzdr6Mne3JYbNxtP_1EWSt31dUXIygsNcdW-fM82aEsGAJqTTMclOl6go_P-PEjYQWZUgaP9wuNz_kkH5PB6s0O3m1Rm9s4LqN8lUdepFQ/s400/pram.png" width="317" /></a><br /> “Heh Cuk, sesuk libur mergo hari opo?” tanya Irfan.<br /> <br /> “Lha koe kok ‘cak cuk cak cuk’ maring aku!?” sahut Pram, sensi.<br /> <br /> “Yo iyo wees, sesuk libur ngopo Maas?” sambung Irfan menggoda.<br /> <br /> “Lha yo ora ngerti aku!” jawab Pram ketus.<br /> <br /> “Ah koe ki ncen ra ngerti opo-opo kok, goblok..” hina Irfan.<br /> <br /> “Gelut wae yuh!” tantang Pram, emosi.<br /> <br /> “Wani po??!” lawan Irfan.<br /> <br /> “Ta’ dengkul ngglodak wolung meter koe!” kejar Pram memperagakan jurusnya.<br /> <br /> “Ah cangkeman!” potong Irfan sambil pasang tampang menyebalkan.<br /> <br />
Begitulah salah satu dialog yang sering mereka lontarkan, saya sampai
hapal. Dan lucunya, sampai hari ini tidak pernah terjadi adu jotos
betulan, padahal itu yang paling teman-teman tunggu. Hehehe. Sangkin
gemesnya dengan kelakuan mereka berdua, akhirnya kami putuskan untuk
menggelar sidang klarifikasi terhadap hubungan aneh itu.<br /> <br /><span> Memang awalnya kami mengobrolkan gonjang-ganjing</span><br />
<div class="br">
<wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>
kraton, bersama Kang Fadoli, pengantin baru yang lama berkecimpung di
dunia jurnalistik. Kami rasan-rasan mulai dari keampuhan zaman Sultan
Agung, hawa spiritual trah kraton yang diturunkan dari generasi ke
generasi, hubungan kesultanan dengan pesantren yang makin renggang,
mengganasnya proyek-proyek kapitalis beberapa tahun belakangan,
munculnya mall-mall besar dan minimarket-mini</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>market
yang jelas mematikan pasar lokal, hingga tetek bengek sabdaraja yang
dikeluarkan Sultan baru-baru ini. Namun kami lebih tertarik membahas
problem riil yang sedang hot di tengah lingkaran kami: persahabatan Pram
dan Irfan.<br /> <br /><span> Menurut Said, alangkah beruntungnya Pram memiliki teman semacam Irfan yang suka menglok-oloknya</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>
itu. Karena dengan olok-olokan itu, mentalnya jadi terbangun. Dan itu
terbukti dengan semakin matangnya kedewasaan Pram bila dibandingkan
beberapa tahun lalu saat ia masih berpikir dan bersikap seperti bocah.
Apalagi belakangan, Irfan bersikap seperti itu agar Pram segera
menggarap skripsi yang masih nol besar.<br /> <br /> Hal ini berbeda jauh
dengan lingkungan pertemanan yang nyaman. Hanya bertabur pujian, tidak
ada sikap kritis, tidak ada pengingat, tidak ada misuh, tidak ada
ketegangan, tentu tidak akan mendewasakan. Belum lagi banyak model teman
yang justru mengajak ke hal-hal negatif nan menjerumuskan, pergaulan
khas anak-anak muda labil di tengah gemerlap Jogja.<br /> <br /><span>
Pendapat ini diamini Mukid. Menurutnya, hubungan antara Irfan dan Pram
bagai kambing dan rumput. Irfan kambingnya, Pram rumputnya. Si Kambing
menginjak-injak</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span> rumput,
memakannya, mengunyahnya, kemudian mengisinginya. Namun tanpa disadari,
hal itu justru menyebabkan Si Rumput menjadi tumbuh subur dan lebih
hijau.<br /> <br /> Mendengar ini, dada Irfan membusung dan mukanya tambah sengak.<br /> <br /> “Rungokno kui Cuk!” katanya. Pram hanya mendengus kesal.<br /> <br /><span>
Dalam sidang ini, dua penasehat dihadirkan, yakni Mbah Rijal dan Mbah
Yasin. Keduanya memberi nasehat bagi masing-masing calon mempelai; Irfan
dan Pram. Sebagai manusia, tujuan hidup adalah suatu hal yang esensial,
demikian menurut Mbah Rijal. Maka Pram semestinya memahami tujuan
hidupnya, lebih sempit lagi, tujuannya merantau dari Wonosobo ke
Yogyakarta, tentu agar dirinya tidak terbuai oleh gemerlap-gemerl</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>ap duniawi berupa harta, tahta, dan wanita.<br /> <br />
Mbah Yasin lebih mengarahkan kritikan pada sikap Irfan. Menurutnya,
memang injakan dan berbagai macam intimidasi mental itu perlu, namun
musti ‘empan papan’, tahu tempat dan paham kondisi. Karena tidak semua
orang siap ditempa semacam itu. Pada saat perasaan seseorang cerah ceria
mungkin umpatan sepedas apapun serasa biasa saja. Namun ketika orang
yang sama sedang bad mood, sindiran sepele saja bisa menggoreskan luka.<br /> <br /><span> “Nyoh! Rungokke kui Ro, Coro!” seru Pram sambil menuding-nuding</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span> Irfan. Yang dituding melengos sambil garuk-garuk jenggot.<br /> <br /><span> Misuh berbeda dengan misuhi, begitu kata Mbah Yasin. Misuh adalah mengungkapkan gemerundel-geme</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>rundel
hati dan segala kekeruhan di dalamnya dalam bentuk kata-kata umpatan,
sehingga plong jadinya. Sedangkan misuhi adalah mengumpat suatu obyek di
luar dirinya, baik orang maupun keadaan. Nah, baik ‘misuh’ maupun
‘misuhi’ harus ‘empan papan’. Berbeda dengan sikap ‘ngece’ (menghina/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>mencela) yang nertendensi merendahkan martabat, hal ini sebaiknya kita jauhi betul-betul terhadap siapapun.<br /> <br /><span>
Akhirnya kami menginsafi bahwa kedewasaan dan kematangan diri hanya
bisa digapai dengan proses kegoncangan, ketegangan, dan berbagai kondisi
ketidaknyamanan</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>. Termasuk
dalam hal persahabatan. Setiap individu memiliki kekurangan dan
kelebihan khas, namun segala macam gesekan sepatutnya menjadi proses
agar potensi yang dimiliki masing-masing bisa terus berkembang dan
berkilau bak batu akik. Sepertinya memang benar lirik lagu ceria satu
itu:<br /> <br /> “Persahabatan bagai kepompong.. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu..”<br /> <br />
Sidang klarifikasi diakhiri jam dua belas malam dengan simbolisasi
perdamaian dan saling memaafkan antara dua kubu. Yakni dengan salaman
setulus hati antara Irfan dan Pram. Keduanya berjanji untuk saling
melengkapi sehidup semati, menjalani suka duka kehidupan bersama hingga
anak cucu nanti. Ooh, so sweeet. "Keeetcaaaww!" seru Mukid.<br /> <br /> Tak berapa lama, datang Sutri untuk gabung diskusi, serta merta kami pun langsung membubarkan diri.<br /> <br /> ~<br /> Krapyak, Ahad 10 Mei 2015</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-49222395703216224172015-05-01T18:33:00.000-07:002015-06-09T18:33:49.848-07:00Mari Ketawa!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJqV05OSLOoRcwiouH9yLNlfPDJS6sikz8IXf5IbhgtkiDyLbTVE9gtEWxClckaoTd2M6IfUymcZ2v_SjtrYMwSuva2har85cPLRbhF7HJ844EgLfMDW_9GS414b6ObRUo6QtUFKRVfwI/s1600/San+Novel.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJqV05OSLOoRcwiouH9yLNlfPDJS6sikz8IXf5IbhgtkiDyLbTVE9gtEWxClckaoTd2M6IfUymcZ2v_SjtrYMwSuva2har85cPLRbhF7HJ844EgLfMDW_9GS414b6ObRUo6QtUFKRVfwI/s200/San+Novel.jpg" width="183" /></a></div>
<b>Oleh: Novel Em Alam<br /></b>Kenyataannya, semua fenomena yang ada di dunia ini tidak selamanya bisa dilogikakan. Apakah kemudian kita harus protes? Ya jangan juga. Kita harus melihat sikap masyarakat terhadap fenomena-fenomena yang dimaksud. Kalau dalam masyarakat tidak bermasalah ya biarkan saja. Kalau kita protes ntar malah kita yang dianggap tidak waras.<br /><br />Kalimat ngawur diatas hanya pengantar. Maksudnya saya ingin menyampaikan bahwa ada loh hal-hal aneh (tidak masuk logika) dalam kehidupan sehari-hari kita tapi tidak kita rasakan, ato minimal kita sudah sepakat menganggapnya biasa. Contohnya adalah pacaran. Nah, ini sudah masuk ke pointnya nih. Pacaran adalah hal yang dilarang (oleh agama) tapi disepakati dimaklumi untuk dilakukan. Dilarang tapi ditidak-apa-apakan. Dilarang tapi dibolehkan. Orang yang pacaran (baca: punya pacar) itu tidak apa-apa, bahkan justru bagus. Yang tidak pacaran kampungan, tidak mengikuti tren, dan ngga keren. Aneh kan?<br /><br />Coba siapa yang tidak sepakat dengan konsep pacaran? Kalau anda mengaku, pasti anda adalah orang aneh. Anda adalah bagian dari orang minoritas, ato jangan-jangan anda hanya sendirian karena anda keluar dari kesepakatan hasil musyawarah besar masyarakat. Ada yang protes dengan statmen ini? Oke, kalau nggak ada, terima kasih.<br /><br />Lanjut. Coba bandingkan dengan bentuk larangan-larangan yang lain. Larangan mencuri, misalnya. Semua orang sepakat bahwa mencuri itu tidak boleh dan harus tidak dilakukan. Kalau dilakukan berarti melanggar norma. Konsekuensinya dikucilkan, dipenjara, dosa dan nanti masuk neraka (kalau yang percaya neraka). Bahkan pencurinya sendiripun tidak protes kalau di-demikian-kan. Berzina, semua orang juga berfikir sama. Bahkan merokok, hal yang tidak dilarang mutlak, hanya dianjurkan untuk ditinggalkan, banyak orang yang mengharamkan. Sekarang ini yang mengatahui dan mengamalkan bahwa hukum rokok itu tidak haram seakan-akan hanya perokok dan penjualnya saja. Bayangkan. Betapa orang telah berlaku strik dengan hal-hal yang berbau larangan. See?<br /><br />Nah, kembali lagi ke topik. Pacaran. Dari fenomena dilarangnya pacaran namun disepakati untuk dibolehkan, saya sempat berfikir bahwa ini mungkin akan menarik Kalau dijadikan riset, penelitian, atau apalah semacamnya. Pembahasan ini akan menjadi menarik apalagi yang melakukan riset dan diriseti pun pasti orang yang sepakat bahwa pacaran itu dibolehkan karena saat ini memang sudah tidak ada lagi orang yang mempunyai kesepakatan yang berbeda.<br /><br />Hahaha, dunia ini memang gemblung.<br /><br />Ups tapi jangan salah kira. Saya menulis ini bukan dalam rangka melawan justifikasi masyarakat selama ini terhadap konsep pacaran, ato lagi curhat karena saya yang jelek dan miskin ini belum juga laku-laku. Ini hanya ajakan untuk menertawakan ke-gemblung-an dunia ini.<br /><br />Mari tertawa. Hahaha.<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-58794725866716720502015-03-04T11:02:00.000-08:002015-06-08T11:06:02.254-07:00Desaku Sekolahku<b>Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah, Kalibening Salatiga | 4 Maret 2015 | Penyaji: Warga KBQT</b><br /><br /><b>SOWAN</b><br /><br />Seperti biasa, Adam yang masih kuliah pascasarjana di Malang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selama pulang di Jogja. Tidak seperti Selingkar yang dulu rutin ngumpul diskusi santai tiap Kamis sore, sekarang penDuduk bisa setiap saat berdiskusi. Minimal sebulan sekali kami berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul, membincangkan problem riil yang kami hadapi saat ini.<br /><br />Hari itu Adam menyambangi kosanku di wetan Kandang Menjangan. Kami ngobrol ngalor ngidul, termasuk tentang aplikasi pendidikan efektif yang kebetulan menjadi studinya sekaligus problem yang dihadapinya di rumah. Obrolan sampai pada komunitas belajar legendaris di Salatiga yang –konon- sempat menjadi salah satu dari tujuh komunitas ajaib di dunia.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhexkUoHR5_45vb9ZCCY7AfMCcTENgE-DWILvF23HpQP-oN2kk235JhuYlOX_BJxIziH2v7yx2ztnsvGSuJxAP3s1i8Rznxyt-g7WI3LqSvUhtub2exQwz9Wn4AlEQSx5NIVcthVfqXY6g/s1600/0.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="331" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhexkUoHR5_45vb9ZCCY7AfMCcTENgE-DWILvF23HpQP-oN2kk235JhuYlOX_BJxIziH2v7yx2ztnsvGSuJxAP3s1i8Rznxyt-g7WI3LqSvUhtub2exQwz9Wn4AlEQSx5NIVcthVfqXY6g/s400/0.jpg" width="400" /></a></div>
“Qoryah Thoyyibah? Itu sih aku juga tahu, sudah terkenal. Eh, di mana tempatnya to?” tanya Adam.<br /><br />“Salatiga, katanya sih Desa Kalibening,” jawabku.<br /><br />“Ayo kesana! Mumpung ada kesempatan. Kita ajak juga temen-temen yang mau ikut.”<br /><br />“Mangkaat!”<br /><br />Selasa siang (03/3) kami berkumpul di Desa Drono, Sleman. Butuh empat puluh menit dari Krapyak menuju kampung Drono, hujan deras mengguyur Jogja bagian utara beserta penghuninya. Kami basah kuyup namun tetap ganteng dan bahagia.<br /><br />Jam dua siang, Adam, Syafak, Mukid, Sutri, Salis, dan aku siap berangkat. Jalur yang kami tempuh dari Jalan Magelang via Kopeng sampai ke Salatiga memakan waktu tiga jam perjalanan. Selama perjalanan, kami membincangkan komunitas belajar yang akan kami kunjungi serta menata apa saja yang ingin kami timba dari sana.<br /><br />“Ada tiga hal yang bakal kita angkut dari Kalibening,” ucapku.<br /><br />“Opo wae?” Salis bertanya.<br /><br />“Pertama, konsep filosofis Qoryah Thoyyibah. Ini nanti kita obrolkan bareng Pak Ahmad Bahruddin, pendirinya. Kedua, kita gali informasi tentang tata manajerial di Qoryah Thoyyibah, yakni tentang bagaimana pengelolaan komunitasnya, pembiayaan, hubungan dengan dinas pendidikan, penyetaraan dan semacamnya. Nanti kita ketemu sama Mbak Nurul untuk ngobrolin itu. Dan ketiga..”<br /><br />“Plastik! Aku njaluk plastik!” seru Sutri di jok belakang memotong kalimatku. Lalu bertumpah ruahlah isi perutnya di sekantong plastik. Muntah dia. Mungkin gara-gara belum makan siang dan masuk angin. Atau mungkin gara-gara overdosis kangen dengan pacarnya.<br /><br />“Yang ketiga,” sambungku, “Kita amati suasana belajar dan aplikasi praktis di Qoryah Thoyyibah. Nah nanti kita bisa lihat-lihat secara langsung bagaimana temen-temen di sana belajar. Kita minta tolong sama Mbak Fina nanti.”<br /><br />“Sip! Biar nanti bisa diterapkan di sini ya,” sahut Adam sang sopir, merujuk pada yayasan pesantren panti asuhan yang dikelolanya.<br /><br />Kami mampir di Kopeng untuk menenangkan gejolak lambung Sutri, sekalian shalat Ashar. Tepatnya di sebuah masjid asri tepat di sebelah gereja. Sesampai di alun-alun Salatiga, pas sebelum Maghrib, kami beristirahat di Masjid Raya Darul Amal sambil mengusir angin-angin di tubuh pemuda kekar satu ini.<br /><br /><b>Tanggap Tantangan<br /></b>Diantar Kafi, mahasiswa IAIN Salatiga, kami menuju Qoryah Thoyyibah, Desa Kalibening Kecamatan Tingkir. Sekitar 4 kilometer dari pusat kota, tepat saat Isya kami sampai di sana. Halaman dan rumah-rumah masih basah bekas hujan deras. Kami disambut oleh Fina, salah seorang pengabdi di Qoryah Thoyyibah sekaligus wasilah kami bisa sampai di tempat itu.<br /><br />Kami diantar masuk ke rumah Pak Ahmad Bahruddin, pendiri dan kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga, dan disambut dengan hangat di sana. Suguhan kopi hitam makin menghangatkan kami yang kedinginan. Di ruang tamu, berjajar tropi dan jajaran buku-buku karya anak-anak Qoryah Thoyyibah. Terpampang pula foto seorang tokoh progresif asal Brasil yang tak asing di dunia pendidikan, sosok yang berjuang dengan prinsip pedagogi pembebasannya, Paulo Freire!<br /><br />Tentang Pak Ahmad Bahruddin yang gondrong dan keren ini, kami sudah banyak tahu dan tidak asing lagi. Ketika muncul di Kick Andy beberapa tahun lalu, beliau mengungkapkan ide-ide tentang pendidikan yang tak biasa. Menurut Fina, sejak beberapa hari lalu banyak tamu tak berhasil ketemu Pak Din –sapaan akrab beliau- yang sibuk. Maka kami beruntung bisa ngobrol dengan Pak Din hingga tiga jam lebih malam itu.<br /><br />“Sudah lama kami ingin sowan kemari, Pak,” ungkapku membuka percakapan, “Namun baru kali ini bisa datang. Kebetulan di antara kami, Mas Adam, Mas Syafak dan Mas Salis ini, diamanahi mengelola lembaga pendidikan di tempatnya masing-masing. Maka malam ini kami ingin ngaji sama Njenengan tentang pendidikan.”<br /><br />“Semuanya berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hayawanun Nathiq. Maka pendidikan yang diterapkan kepada manusia seharusnya ya memperlakukannya sebagai makhluk berpikir yang merdeka,” terang Pak Din.<br /><br />Kemudian beliau mengemukakan gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan. Bahwa sesungguhnya manusia berhak belajar tentang apa yang ingin diketahuinya, bukan dipaksa untuk mengetahui dan mempelajari apa yang menjadi tren pasar. Itu sama saja dengan penindasan.<br /><br />Maka di Qoryah Thoyyibah, anak-anak dibebaskan mempelajari apa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak disuapi dengan tuangan-tuangan pengetahuan oleh pengajar. Bahkan di tiap kelas Qoryah Thoyyibah tidak ada pengajar!<br /><br />“Di sini tidak ada guru sebagai pengajar, adanya pendamping. Tugasnya ya mendampingi anak-anak mempelajari apa yang menjadi minat mereka, menyalurkan potensi dan bakat mereka, serta mengapresiasi karya-karya mereka. Posisi pendamping bukan sebagai pembimbing, tapi lebih sebagai pembombong (membuat bahagia). Kedudukan pendamping dengan anak-anak ya paling tinggi sejajar, tidak bisa melebihi itu,” terang Pak Din.<br /><br />“Lalu darimana anak-anak menggali ilmu yang ingin mereka pelajari, Pak?” tanyaku.<br /><br />“Ya dari sumber-sumber belajar yang bisa diakses. Kalau materi-materi pelajaran bisa diakses di buku-buku dan internet. Untuk skill bisa datang ke orang-orang yang berkecimpung di bidang-bidang tertentu, atau kami datangkan ke sini. Begitulah fungsi pendamping, yakni sebagai fasilitator. Tugasnya memfasilitasi anak-anak untuk mengasah bakatnya,” jawab Pak Din, “Oiya, di kampus masih ada mata kuliah Strategi dan Metode Pembelajaran?”<br /><br />“Masih, Pak.”<br /><br />“Wah, seharusnya diubah jadi Strategi dan Metode Fasilitasi. Karena memfasilitasi berbeda dengan mengajar. Jadi, mahasiswa mustinya tidak berlatih bagaimana gaya yang menarik untuk menyuapi siswa, tapi lebih kepada penempaan diri sebagai pendamping,” tukas Pak Din.<br /><br />Beliau memang sangat menekankan konsep pendampingan atau fasilitasi ini. Setahuku, Pak Din tak begitu sepakat dengan gerakan Indonesia Mengajar a la Pak Anies Baswedan, semestinya ya ‘Indonesia Belajar’. Menurut Pak Din, program yang dikembangkan Pak Anies –dengan segala hormat atas ketulusan niatnya- sama sekali tidak mengubah sistem, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah apa yang selama ini menjadi problem mendasar dalam pendidikan. Tidak ada kesempatan bagi anak untuk berkembang mengolah potensinya. Spiritnya masih memintarkan mereka yang (dianggap) bodoh.<br /><br />Belum lagi masalah ukuran pencapaian yang diseragamkan secara nasional (standarisasi). Padahal setiap sekolah di masing-masing kampung memiliki karakter anak didik yang berbeda-beda. Tak bisa diseragamkan dengan standar baku tertentu.<br /><br />“Di seluruh Indonesia,” kata Pak Din, “Ada ribuan desa. Dan rata-rata ada dua sekolah di setiap desa. Sedangkan antara desa yang satu dengan desa lainnya memiliki perbedaan budaya. Masa’ mau diseragamkan? Muatan lokal pun yang menentukan kabupaten, bukan berbasis desa. Itupun sekolah masih menjadi tembok tebal. Ketika siswa masuk gedung sekolahan, ia seakan-akan masuk ke alam lain yang terpisah dari desanya. Ia diajari bermacam-macam wawasan dan tak sedikitpun diarahkan untuk mengenal desanya. Siswa jadi tercerabut dari akarnya.”<br /><br />“Jadi tiap sekolah seharusnya melek lingkungan sekitar, begitu Pak?”<br /><br />“Ya harus! Contohnya, di Kalibening sini ada mata air Belik Luwing. Maka anak-anak Qoryah Thoyyibah kami arahkan untuk mengenal mata air itu. Kemudian memahami fungsinya bagi masyarakat. Lalu menelaah ada problem apa di sana. Akhirnya bersama-sama mengupayakan solusinya, atau setidaknya membantu warga untuk mengatasinya. Itu ‘kan namanya melek lingkungan. Kita tidak mau menjadi pembatas antara anak-anak di dalam dengan realitas di luar.”<br /><br />Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah memang menerapkan kurikulum berbasis kebutuhan. Apa yang dibutuhkan siswa, itulah yang dipelajari. Apa yang menjadi problem di sekitar, itulah yang diselami. Aku jadi teringat tiga hambatan mendasar dalam manajemen kurikulum di sekolah-sekolah formal. Pertama, ketidaksinambungan pendidik di lapangan dengan penentu kebijakan, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pengaruh politik. Kedua, keterbatasan sarana, dan ketiga, lemahnya pengawasan guru sehingga menjadikan tingkat kedisiplinan rendah.<br /><br />Nah, tiga problem mendasar ini berhasil dieliminasi di Qoryah Thoyyibah. Tidak akan ada ketimpangan antara penentu kebijakan dan pelaksana lapangan, karena pendamping beserta anak-anak menjadi penentu kebijakan bagi kurikulumnya sendiri. Sarana dan prasarana tak menjadi masalah pokok, itu semua tersedia bebas, tinggal ada kemauan mencari atau tidak. Pengawasan guru pun menjadi hal yang mudah, karena di Qoryah Thoyyibah, pendamping dan anak-anak menjadi pengawas bagi kelas dan dirinya sendiri.<br /><br />“Apakah tidak terjadi gesekan dengan sekolah-sekolah formal sekitar sini, Pak? Atau mungkin ada tawaran dari pemerintah agar komunitas ini dijadikan bentuk sekolah formal?” tanya Adam.<br /><br />“Kita gali kembali, apa tujuan sekolah? Kalau tujuannya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menempa karakter kepribadian mereka, komunitas ini terbukti berhasil. Justru sekolah formal yang masih dipertanyakan keberhasilannya.”<br /><br />Lalu Pak Din menyinggung tentang pemaksaan penyeragaman di sekolah formal. Mulai dari pakaian hingga materi yang dituangkan. Semua ‘pemaksaan’ itu menjadi model penjajahan terselubung. Apalagi pada saat ujian nasional.<br /><br />“Siswa-siswi disuruh mengerjakan soal-soal ujian, diawasi dengan ketat. Belum cukup sampai situ, pengawasnya pun diawasi lagi oleh aparat. Hahaha. Itu semua gamblang menggambarkan ketidakberesan mendasar. Terus menerus siswa diperlakukan seperti itu, hakekatnya menjadi internalisasi kejahatan pada diri mereka. Maka wajar saja jika muncul pelampiasan-pelampiasan berupa kenakalan remaja yang mengerikan, ketika lulus pun mereka mengekspresikan kegembiraan bagai keluar dari penjara, konvoi, corat-coret, pesta, hura-hura. Itu bukan salah mereka, tapi sistem yang membentuk seperti itu, iya ‘kan?” sesal Pak Din, kami mengiyakan.<br /><br />“Tapi di sini ada ujian juga, Pak?” tanya Salis.<br /><br />“Tidak ada. Tolak ukur yang kami gunakan di sini adalah karya,” ujar Pak Din. “Berangkat dari pemahaman bahwa komunitas belajar harus melek lingkungan, maka kami harus berkontribusi terhadap lingkungan. Dan itu dimulai dengan karya. Masing-masing anak diarahkan untuk membuat satu karya setiap bulannya. Itulah tolak ukur kami. Di sini, bakat anak diapresiasi. Apa yang menjadi keinginannya untuk dibuat, ya kami dampingi untuk mewujudkannya, tentu harus realistis ya.”<br /><br />Kemudian Pak Din menunjukkan kepada kami beberapa karya tulis anak-anak Qoryah Thoyyibah. Ada kumpulan cerpen, novel, dan komik. Beliau juga menunjukkan satu buku dokumentasi gambar-gambar salah seorang siswa Qoryah Thoyyibah. Terlihat dalam buku itu perkembangan coretan-coretan si anak. Semakin hari semakin matang. Tentu hal ini disebabkan oleh apresiasi terus menerus yang dilakukan pendamping. Sungguh membanggakan.<br /><br />“Ada anak yang berbakat nggambar. Dia suka bikin komik,” kisah Pak Din, “Ya kami fasilitasi di sini. Semakin berkembang, dia ikut berbagai macam event komik di berbagai daerah. Ya kami persilakan. Berhari-hari dia pergi ya monggo. Tidak ada istilah bolos di sini. Wah, kalau di sekolah formal, anak seperti itu pasti sudah dimarahi gurunya. Apalagi kalau menjelang ujian nasional, pasti aktivitas nggambarnya bakal dijegal habis-habisan demi belajar buat ujian.”<br /><br />Kami mengangguk setuju, sekaligus menggeleng heran. Coba bayangkan bagaimana kami mengangu sambil menggeleng.<br /><br />“Ujian paket kesetaraan di sini tetap ada ‘kan, Pak?” tanya Salis lagi.<br /><br />“Ya tetap ada. Kami sering dapat soal-soal dari dinas pendidikan. Kalau di sekolah formal, soal-soal jadi horor bagi siswa. Kalau di sini kami biarkan anak-anak berdiskusi, menggarap sama-sama. Karena kami sadar, tidak semua anak bisa matematika, tidak semuanya bisa bahasa Inggris. Makanya di sini konsepnya saling berbagi, belajar bersama. Ya lumayanlah, soal-soal itu juga bikin anak-anak belajar juga.”<br /><br /> “Selama ini kendala apa yang menghambat proses belajar di Qoryah Thoyyibah?” tanyaku.<br /><br />“Tidak ada kendala,” jawab Pak Din mantap. Aku mengernyitkan dahi, masa’ iya?<br /><br />“Karena bagi kami,” lanjut Pak Din, “Masalah-masalah yang muncul itu bukan kendala atau hambatan. Itu semua adalah tantangan. Paradigma semacam ini membentuk sikap yang berbeda. Kalau kita menganggap masalah sebagai hambatan, kita cenderung akan berusaha menghilangkannya. Tapi kalau anggapan kita adalah tantangan, maka kita akan berupaya menghadapinya.”<br /><br />Edan! Aku terkesima. Aku baru menyadari sedang berbincang dengan filsuf.<br /><br />“Sepertinya di sini siswa dibebaskan begitu merdeka. Lalu batasannya apa, Pak? Adakah kontrol aturan-aturan dari Njenengan?” tanyaku lagi.<br /><br />“Kalau kontrol formal tidak ada,” terang beliau, “Peran saya sebagai pendamping dan pengarah saja. Aturan-aturan kedisiplinan mereka sendiri yang bikin, ada kesepakatan kelas. Di komunitas belajar ini masing-masing anak diarahkan untuk bersikap dewasa. Memang bebas berekspresi, tapi tetap ada batasannya. Batasan kebebasan bagi seseorang adalah kebebasan orang lain. Kalau dikira bisa mengganggu hak-hak kebebasan orang lain, itulah batasan kebebasan kita.”<br /><br />“Saya penasaran, Pak,” tanya Syafak, “Bagaimana sih memacing agar anak-anak itu berekspresi. Kadang anak-anak malah susah ketika disuruh mengemukakan ide.”<br /><br />“Alah Maas,” sahut Pak Din, “Semua manusia sejak lahir itu pada dasarnya berkemampuan mikir. Seperti yang saya bilang tadi; hayawanun nathiq. Tapi sebab terus menerus dijajah dengan sistem yang membelenggu, mereka pun jadi lambat. Maka hal pertama yang musti dilakukan adalah pembebasan dari kungkungan itu. Kalau anak-anak susah mengemukakan ide ketika disuruh, ya karena kita menyuruh mereka menjadi seperti kita. Kita tidak mengapresiasi ide yang ingin mereka tuangkan. Di sekolah formal, guru seakan-akan mengarahkan anak-anak menjadi seperti dirinya, bukan menggali jati diri masing-masing. Itu ‘kan bahaya. Sistem semacam itu, kalau pakai probabilitas empat puluh siswa, paling pol cuma sepuluh persen yang sesuai harapan si guru. Berarti cuma empat orang, lalu lainnya bagaimana?”<br /><br />“Nah, untuk melihat potensi anak itu caranya bagaimana Pak? Dari sekian banyak anak, tentu susah untuk menentukan apa passionnya ‘kan?” tanya Adam.<br /><br />“Wah nggak usah njlimet-njlimet Mas. Untuk mengetahui potensi anak, Anda tak perlu jadi ahli psikologi atau orang sakti, hehehe,” jelas Pak Din diiringi tawa kami, “Cukup lihat saja anak itu senangnya apa. Kalau dia suka polah, berarti arahnya ke kinestetis. Ya begitulah, kita pakai kepekaan saja, nggak perlu yang rumit-rumit.”<br /><br />Mukid yang sedari tadi diam menyimak mulai membuka mulutnya. Aku sempat deg-degan ketika dia mulai menggerakkan bibirnya. Bagaimana tidak, tokoh absurd kita satu ini kadang melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang mengkhawatirkan. Aku cemas kalau dia tanya, “Pak, di desa ini ada Kolor Ijo, nggak?” atau semacamnya.<br /><br />“Begini Pak, kemarin saya diajak teman-teman ke Salatiga sini,” kata Mukid dengan nada innocent, betul-betul bikin was-was. “Nah, kata teman-teman, kami akan mengunjungi Qoryah Thoyyibah,” katanya lagi, aduh, aku tahan napas. “Akhirnya sampai di sini, sebenarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Qoryah Thoyyibah. Memangnya Qoryah Thoyyibah itu apa sih, Pak?”<br /><br />Aku menghembuskan nafas lega. Ffiiuuuuuh.<br /><br />“Jadi gini Mas, Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya nama Serikat Paguyuban Petani, dibentuk tahun 1999. Di situ menjadi serikat bagi paguyuban-paguyuban petani yang ada di sini. Nah, nama Qoryah Thoyyibah ini dipilih atas usulan Raymond Toruan, seorang Batak Katolik. Sekarang dia masih duduk di posisi Dewan Pertimbangan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). Artinya, desa yang sejahtera,” terang Pak Din, sabar.<br /><br />“Mayoritas penduduk desa ini petani,” lanjut Pak Din, “Maka organisasi yang merepresentasikan desa adalah organisasi yang berbasis petani. Setelah Serikat Paguyuban Petani, didirikan pula Komunitas Belajar dengan nama yang sama, sebagai pelengkap indikator desa yang berdaya. Adapun ide tentang komunitas belajar ini sudah lama sebenarnya.”<br /><br />“Desa berdaya?”<br /><br />“Ya maksud desa berdaya seperti konsep Sukarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.”<br /><br />“Oh, Trisakti!” gumamku.<br /><br />Menyinggung bahasan desa berdaya, Pak Din memaparkan gerakannya tentang Jamaah Produksi. Yakni lingkaran berantai dari produktivitas desa sesuai sumber daya hingga pemanfaatan dan pemasaran. Beliau menceritakan obrolannya dengan Abraham Samad, Ganjar Pranowo, Joko Widodo, serta beberapa pejabat pemerintahan lainnya yang memiliki wewenang, baik dalam ranah pendidikan, pertanian maupun ketenagakerjaan. Juga tentang pemberdayaan sekolah-sekolah non-formal yang sebenarnya bisa optimal tanpa harus merepotkan sarana fisik. Banyak ide-ide konseptual dan pragmatis, mulai dari landasan filosofis hingga tawaran nominal anggaran yang beliau curahkan saat itu.<br /><br />“Jadi yang tepat bukanlah ‘ketahanan pangan’,” ujar Pak Din, “Yang kita upayakan adalah ‘kedaulatan pangan’. Artinya, kita merdeka dan berdaulat atas kebutuhan dasar kita sendiri. Tidak tergantung kepada orang lain, apalagi impor. Sangat lucu negara sesubur Indonesia kok malah impor kedelai?! Dengan ukuran iklim di Eropa, musim semi di Indonesia berlansung sepanjang tahun, baik saat kemarau apalagi hujan. Kalau Jamaah Produksi ini bisa diterapkan optimal, kita malah bisa butuh tenaga kerja dari luar. Jadi mereka bakal datang kemari bukan sebagai bos, tapi sebagai pekerja.”<br /><br />Beliau kemudian menunjukkan salah satu produk berdaya sarekat petani, yakni pupuk organik cair yang memanfaatkan metabolisme cacing. Secara kualitas, pupuk ini tergolong ampuh. Secara produksi, relatif efisien karena cukup memanfaatkan tingkah alami cacing tanah. Produksi pupuk ini dikerjakan oleh warga desa, penggunaannya pun oleh mereka, hasilnya pun untuk mereka. Inilah salah satu contoh kedaulatan.<br /><br />“Untuk melaksanakan ide-ide Njenengan, kemudian melakukan gerakan radikal semacam ini, tentu membutuhkan keberanian yang tinggi ya, Pak?” tanyaku serius.<br /><br />“Hahaha,” sahut Pak Din ketawa. “Saya ini sering difitnah orang sebagai pemberani. Katanya, untuk melakukan suatu perubahan, realisasi ide, butuh keberanian yang tinggi. Ah tidak juga! Bukankah pelaksanaan gagasan merupakan suatu hal yang wajar. Bukankah itu nikmat?” tutur Pak Din retoris.<br /><br />“Radikal ya, Pak,” gumamku. Beliau menyinggung praktek pendidikan Tamansiswa hari ini yang –menurutnya- tidak sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara dahulu. Alangkah disayangkan konsep Ki Hajar tentang pawiyatan dan pendidikan dialektika pedagogik tidak dilaksanakan dengan baik. Beliau menceritakan betapa mengerikannya dampak pendidikan ala sekolah formal terhadap pola pikir anak-anak muda. Fanatisme adalah salah satu efek sampingnya. Hal ini berdasarkan pengalaman beliau ketika mengunjungi salah satu sekolah menengah atas di Jogja. Berbeda jauh dengan konsep yang diterapkan Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah yang menjunjung multikulturalisme dan kemanusiaan.<br /><br />“Lalu, Pak,” sela Syafak, “Kebetulan saya diamanahi untuk mengelola madrasah diniyyah yang bernaung di bawah yayasan pesantren dan panti asuhan. Apakah mungkin diterapkan model pendidikan seperti di sini?”<br /><br />Pak Din tersenyum dan berujar, “Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang betul-betul merdeka dan berdaulat. Dia bisa dan harus menentukan nasibnya sendiri tanpa pengaruh dari manapun, bahkan dari pemerintah sekalipun. Maka lucu kalau ada pesantren yang sudah begitu merdeka kemudian malah meniru-niru persekolahan formal. Sehingga dia jadi terbelenggu.”<br /><br />“Jadi, mungkin ya Pak?”<br /><br />“Jawabannya ya bukan ‘mungkin’, tapi ‘harus’! Termasuk madrasah, itu juga lembaga yang semestinya kita kelola dengan optimal, buatlah agar melek dengan kearifan lokal desa sekitar.”<br /><br />Makin lama mengobrol, makin tambah tanda tanya yang muncul di kepala. Masih banyak pertanyaan yang berseliweran, namun mungkin Pak Din melihat rona lelah dan ngantuk di wajah kami, terutama Sutri yang mulai pucat sebab mabok perjalanan sore tadi. Maka percakapan pun kami akhiri jam sepuluh malam. Beliau memanggil Dedi, salah satu siswa di Qoryah Thoyyibah, untuk mengantar kami ke Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, setengah kilometer ke utara. Di sanalah kami menginap malam itu.<br /><br />‘Dug! Dug! Dug! Dug! Dug!’ bunyi hentakan kayu di lantai pondok bertalu-talu, pertanda pengurus sedang membangunkan para santri yang masih terlelap. Namun sepertinya tak berpengaruh pada kawan-kawan tamu yang kecapekan. Mereka masih tetap ngiler dan baru bangun menjelang fajar.<br /><br />Subuh itu begitu dingin, memang menggoda untuk tetap meringkuk berkemul, namun masjid pondok tetap ramai oleh warga dan santri. Selepas shalat berjamaah, para santri mulai mengaji kitab di ruang utama masjid, ada pula beberapa santri putri yang mengaji di ruang kelas madrasah. Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien yang diasuh oleh KH Abda’ Abdul Malik ini bertipe salaf namun tetap mempersilakan santri untuk belajar di luar.<br /><br />Ba’da subuh kami manfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Lingkungannya asri, bersih, dan rapi. Pepohonan merindang di halaman tiap rumah. Saling tegur sapa dan tukar senyum pun bukan hal yang aneh, khas orang desa. Di depan setiap rumah, tersedia sepasang tong sampah; satu untuk sampah organik, selainnya untuk sampah anorganik. Tentu hal ini menunjukkan ada pengelolaan sampah yang tertata di desa ini, berupa bank sampah ataupun daur ulang.<br /><br />Setelah agak terang kami sowan ke ndalem pengasuh pesantren, beberapa puluh meter di barat masjid. Saat itu Kiai Abda yang tak lain adalah kakak kandung Pak Din sedang duduk santai di ruang tamu, mengenakan gamis dan sorban putih. Memang kami sudah bertemu beliau sebelumnya di masjid.<br /><br />“Rombongan dari mana ini, Mas-mas?” tanya beliau setelah mempersilakan kami duduk di ruang tamu yang semarak dengan kicauan burung-burung peliharaan.<br /><br />“Dari Jogja, Yai,” sahut Adam.<br /><br />“Krapyak?” tanya Kiai lagi.<br /><br />“Njih, Yai,” sahut Sutri yang memang santri Krapyak.<br /><br />“Wah, saya jadi teringat almarhum Mbah Ali,” ucap Kiai Abda’. Sosok yang beliau maksud adalah KH Ali Maksum, pengasuh periode kedua pesantren Krapyak Yogyakarta. Beliau berkisah tentang Mbah Ali yang masyhur dengan sikap moderatnya. Di awal masa menjadi rais ‘aam PBNU, Mbah Ali pernah menyambangi Kalibening. Saat itu masjid belum megah seperti saat ini. Mbah Ali mendorong Kiai Abda untuk membangun kembali masjid Al-Muttaqin, “Masjid kok koyok rempeyek,” begitu canda Mbah Ali.<br /><br />“Kalau ingat kiai-kiai sepuh dahulu, kita selalu saja kangen,” kenang Kiai Abda. “Dahulu, ketika pertama kali saya mengajar di sini, tidak ada santri yang mukim karena saya sendiri belum mampu. Memang dulu zaman ayah saya, sudah ada santri, namun ketika beliau wafat dan saya masih mengembara, santri-santri habis.”<br /><br />Sambil mengepulkan asap rokok, Kiai Abda mempersilakan kami minum teh manis hangat yang terhidang.<br /><br />“Lalu ketika saya sowan Mbah Muslih Mranggen (Demak), beliau malah menyuruh saya untuk menerima santri yang mau mukim; pokoknya harus mukim, katanya. Padahal saat itu saya bahkan belum punya pekerjaan. Tapi ya saya nurut saja. Lagipula, Mbah Muslih menyuruh saya untuk melanggengkan Asmaul Husna tiap ba’da Shubuh dan bada Maghrib. Itu memang ampuh untuk hal-hal rizki maupun magnet santri. Maka sayapun mantap bila sosok sekaliber Mbah Muslih sudah menitahkan demikian,” lanjut beliau.<br /><br />Kekuatan doa dari hati yang jernih nan terlatih memang ampuh. Selaras dengan wejangan baku Kanjeng Nabi bahwa doa adalah senjata orang beriman. Maka tak heran muncul keramat-keramat dari pribadi-pribadi saleh seperti para kiai-kiai sepuh terdahulu, ‘hanya’ dengan lantaran doa.<br /><br />“Saya jadi ingat Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda. Maksud beliau adalah KH Hasan Asy’ari (Mangli, Magelang) yang terkenal dengan ketawadhuan dan ketinggian derajatnya. “Saya punya kenalan, akademisi, pinter, tapi sama sekali tak percaya dengan yang namanya karomah. Setelah lama saling berargumen, saya ajak saja dia berkunjung ke Magelang, ketemu Mbah Mangli. Orang seperti itu memang tak bisa diajak bicara, harus lihat langsung buktinya.”<br /><br />“Lalu, Kiai?” sambut Mukid, ia nampak antusias dengan kisah ini.<br /><br />“Lalu kami berangkat dari sini ke Magelang. Di jalan, kami mampir makan di warung. Ibu-ibu penjual menanyakan tujuan kami. Setelah tahu bawa kami hendak sowan ke Mbah Mangli, si ibu bertanya; istri Mbah Mangli berapa? Satu atau dua? Karena banyak kiai yang beristri lebih dari satu, si ibu penasaran. Kawan saya pun akhirnya ikut penasaran, bertanya-tanya tentang hal itu. Jujur saat itu saya tidak tahu.”<br /><br />Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke Magelang. Sesampainya di gapura desa Mangli, tak dinyana mereka sudah ditunggu Mbah Hasan Asy’ari di sana. Belum sempat hilang rasa kaget, Mbah Mangli seketika menghardik,<br /><br />“Mau satu, mau dua, apa urusanmu, memangnya kamu yang menafkahi?! Ayo ikut saya!”<br /><br />Mereka berdua tercengang bukan main. Di rumah Mbah Mangli yang sederhana, sang tamu masih dibuat terkesima. “Di rumah Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda, “Bertumpuk koran-koran harian terbaru. Padahal saat itu masih pagi dan rasanya mustahil koran-koran terbaru bisa sampai di pelosok kampung sepagi itu. Di sana juga berjajar buku-buku pengetahuan umum yang aneh-aneh, dalam berbagai macam bahasa asing. Teman saya terpukau dan kemudian berbisik bahwa sekarang dia nyerah dan percaya terhadap karomah.”<br /><br />Kemudian beliau menerangkan tentang konsep mukjizat para nabi, karomah para wali, ma’unah kaum mukminin, hingga istidraj orang-orang lalim. Menurut beliau, orang-orang yang hatinya bersih dan mengalami proses penerangan batin (istanaar) akan mampu melakukan hal-hal di luar nalar manusia pada umumnya.<br /><br />Setelah melepas gamis dan sorban di belakang, Kiai Abda kembali duduk berbincang bersama kami dengan tema yang sama sekali berbeda. Beliau bicara politik. Tentang polemik yang menimpa KPK dan Polri, aksi pembakaran tabloid ‘Obor Rakyat’ (http://www.harian7.com/2014/06/pengasuh-ponpes-hidayatul-mubtadiin.html) di pesantrennya semasa pemilu kemarin, pengalaman saat menduduki kursi dewan pada masa Gus Dur, perjalanan pembangunan masjid dan pesantren, hingga konsolidasi ulama dalam pemenangan kepala daerah muslim di Salatiga yang terlanjur dicap sebagai ‘Daarun Nashara’.<br /><br />Kami sangat bersemangat menyimak dan menanggapi penuturan pengalaman Kiai Abda. Banyak hal yang bisa kami gali tanpa direncanakan sebelumnya. Namun karena tidak tega melihat paras Salis yang sepertinya menahan kebelet, maklum masih pagi, maka kuputuskan untuk pamit undur diri. Di penghujung sowan, kami mohon doa dan wejangan kepada Kiai Abda.<br /><br />“Tidak ada jalan mundur,” ujar Kiai, “Seperti halnya Khalid bin Walid yang membakar kapal-kapal tentara kaum muslimin saat ekspansi ke Eropa. Sehingga mereka tak lagi bisa mundur, tak ada pilihan lain selain maju bertempur. Maka begitulah semestinya pemuda, kalian-kalian ini, perjalanan masih panjang. Jangan sampai patah semangat! Dalam hidup tidak ada jalan mundur.”<br /><br /><b>SHARING</b><br /><br />Selama berkeliling Kalibening, Dedi menjadi pemandu kami. Dia adalah santri di Pesantren Hidayatul Mubtadiin dan siswa di Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah (KBQT). Kalau disejajarkan dengan sekolah formal, Dedi setara dengan kelas 3 SMA. Darinya kami mendapat banyak keterangan tentang gaya belajar di KBQT.<br /><br />“Waduh Mas, saya sudah telat!” kata Dedi setuntas mengantar kami sarapan. Saat itu jam setengah sembilan.<br /><br />“Telat kemana?”<br /><br />“Masuk kelas.”<br /><br />“Wah maaf ya. Kalau telat dihukum nggak?”<br /><br />“Iya dihukum, nanti aku musti push-up dua puluh kali.”<br /><br />“Waduh. Semua kalau telat juga push-up?”<br /><br />“Enggak sih. Kebetulan itu sudah jadi kesepakatan kelas. Masing-masing anak punya kesepakatan sendiri. Dan kebetulan aku jadi seksi hukuman.”<br /><br />“Hah? Seksi hukuman?”<br /><br />“Iya. Nanti aja mas-masnya ke sana ya, bisa ketemu teman-teman yang lain. Saya berangkat dulu.”<br /><br />Dedi berlalu dengan meninggalkan beragam pertanyaan di kepala kami. Maka setelah bersih-bersih badan, kami pamit ke pengurus pondok untuk kembali ke area KBQT. Tepat jam setengah sepuluh pagi kami meluncur.<br /><br />Belajar Bersama<br /><br />Tidak seperti malam sebelumnya yang gelap, pagi itu suasana KBQT nampak lebih jelas. Ada rombongan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap warga KBQT. Dari jas almamater yang mereka kenakan, jelas mereka mahasiswa UKSW Salatiga.<br /><br />Di sebelah timur rumah Pak Din, ada bangunan yang berisi jajaran komputer, persis warnet. Di situlah anak-anak KBQT bebas mengakses informasi dan pengetahuan yang ingin mereka pelajari. Di sebelah barat rumah, ada gedung bertingkat yang disebut Resource Centre (RC). Di tempat ini anak-anak KBQT biasa mengelar Gelar Karya (semacam pentas seni) tiap bulan. Di sebelah barat RC ada Masjid al-Mustashfa yang bermakna ‘penjernih’ atau ‘pembening’, selaras dengan nama kampung ini; Kalibening.<br /><br />Nah, di serambi masjid inilah kami nDuduk Selingkar dengan teman-teman KBQT. Kami ngobrol dengan Fina yang nampak sedang sibuk menata setumpuk buku warna-warni. Fina adalah salah satu siswa pertama KBQT yang kini menjadi pendamping belajar di sana. Bersama Fina, ada juga Taufik, dia juga salah satu pendamping di sini.<br /><br />“Ini buku report anak-anak di kelas ini,” terang Fina.<br /><br />“Semacam laporan hasil belajar seperti di sekolah-sekolah formal, begitu?”<br /><br />“Iya. Tapi di sini anak-anak sendiri yang mengisi buku reportnya masing-masing. Bukan orang lain. Diisi tiap awal pekan. Dan isinya juga bukan pencapaian nilai-nilai akademik.”<br /><br />“Lhah, kalau bukan nilai-nilai, lalu isinya apa?”<br /><br />Ditunjukkanlah buku-buku report itu di hadapan kami. Sampulnya warna-warni, tertulis nama pemilik di sampul depan, hardcover, dan tertoreh kata-kata bijak di sampul belakang.<br /><br />“Ini bikin sendiri?”<br /><br />“Iya, temen-temen bikin sendiri. Tiap anak dipersilakan mendesain reportnya masing-masing,” jawab Taufik.<br /><br />Di halaman awal tertulis identitas buku, yakni “Report Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah”. Kemudian di bawahnya tertulis nama pemilik buku beserta alamat email dan akun facebook. Ya, akun facebook! Halaman berikutnya berisi identitas anak, berupa kolom Nama, Nomor Induk, Jenis Kelamin, Orang Tua, Nomor Telepon, Alamat Asal, Alamat Tinggal, Aktif di KBQT (Tahun, Bulan, Tanggal, dan jenjang Kelas), ruang tanda tangan Kepala Komunitas Belajar, serta foto close up anak. Ya, close up! Bukan pas foto!<br /><br />Halaman selanjutnya berisi tabel Target Semester, berupa kolom tentang apa saja target yang ingin dipelajari siswa selama satu bulan ke depan dan kapan deadline-nya. Siswa sendiri yang menentukan. Misal, untuk bulan ini Dedi memiliki target belajar berenang, menulis arsip cerpen, menambah pemahaman nahwu-shorof, praktek photoshop dan vegas pro, serta menambah berat badan lima kilogram. Maka Dedi musti menentukan deadline-nya sendiri. Dan dia bertanggung jawab merealisasikan hal itu.<br /><br />“Contohnya begini,” terang Fina, “Ada anak yang punya passion ke tata busana. Nah, bulan ini dia punya target membuat satu stel baju. Maka dia akan menuliskan targetnya itu di tabel Target Semester. Dia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan proyeknya itu, disaksikan oleh teman-teman sekelas dan pendamping. Nanti pendamping bakal memantau progres target si anak, pekan pertama sudah sampai pada pembuatan pola, pekan kedua pemotongan bahan, pekan ketiga penjahitan, pekan keempat finishing.”<br /><br />Setelah Target Semester, halaman selanjutnya berisi tabel-tabel tentang Target, Capaian dan Ide Mingguan. Di sini, anak-anak KBQT mengisi kolom-kolom dengan ide-ide mereka tentang apapun. Artinya, mereka harus menuangkan ide mereka secara naratif dan dipresentasikan di tengah kelas. Selama seminggu, mereka akan memikirkan dan mengeksplorasi apapun untuk mematangkan ide tersebut.<br /><br />Lalu tabel berikutnya berisi kolom Laporan Naratif Semester. Diisi karya apa saja yang sudah dicapai anggota KBQT. Nah, catatan tentang karya-karya inilah pencapaian mereka, bukan angka-angka nominal seperti di sekolah-sekolah formal. Di halaman terakhir, ada kolom Laporan Pendamping yang akan ditandatangani pendamping dan wali siswa. Maka orang tua siswa akan melihat apa saja ketertarikan anaknya, serta karya apa saja yang anaknya telah buat.<br /><br />Pagi itu ada empat kelas yang sedang ngumpul belajar. Di teras rumah Pak Din, di teras gedung RC, di bawah pohon halaman gedung RC, dan di serambi masjid. Masing-masing kelas duduk melingkar sambil berbincang santai. Tiap lingkaran terdiri dari 6 orang. Suasana santai semacam ini mengingatkanku pada forum diskusi santai Selingkar kami di Jogja. Asyik sekali!<br /><br />Komunitas ini praktis tidak membutuhkan gedung khusus sebagai ruang kelas, karena ruang kelas mereka adalah semua tempat yang memungkinkan. Mereka bisa belajar di teras rumah, serambi masjid, pematang sawah, pinggir kali, atau di rumah masing-masing anggota kelas secara bergiliran.<br /><br />Kalau sekolah formal punya beban jam belajar yang ditetapkan oleh pusat dan ‘membelenggu’ murid dan guru, di KBQT semua berbasis kesepakatan kelas. Hari apa dan jam berapa mau berkumpul, terserah kesepakatan.<br /><br />Umumnya, dalam satu hari, siswa-siswa dan pendamping di KBQT berkumpul selama dua jam saja. Di sana mereka membincangkan ide. Masing-masing anak bebas menuangkan idenya di tengah kelas untuk dibahas. Setiap kelas punya nama masing-masing, semisal ‘Oryza Sativa’ yang merupakan nama latin padi, ada pula yang memberi nama kelas dengan alat pengukur pacu jantung; ‘Elektrokardiograf’.<br /><br />“Ukuran mahasiswa saja kadang melongo kalau disuruh menuangkan ide. Apa di sini juga pernah mengalami macet ide?” tanyaku penasaran. Fina ketawa dan mengiyakan.<br /><br />“Kadang anak-anak juga hening beberapa saat karena memang lagi macet ide,” tuturnya.<br /><br />“Tapi menurutku malah di sini tidak bakal ada macet ide,” potong Mukid, berhasil meraih perhatian kami semua. Katanya, “Ketika anak-anak mengalami kebuntuan ide, maka mereka kemudian akan berpikir untuk memunculkan ide. Misalnya, ada yang berpikir untuk membuat topi anti macet ide. Bukankah itu juga termasuk ide?”<br /><br />Tawa pun pecah membumbui keakraban kami pagi itu. Betul juga kata Mukid. Ide selalu akan ada, meskipun terkadang ada momen-momen blank. Semua ide anak-anak KBQT dituangkan dalam bentuk narasi tulisan dan diarsipkan dengan rapi. Ide-ide yang muncul bisa berupa apa saja. Ada kalanya tentang permasalahan di rumah, kemudian dibahas di kelas. Kalau sekolah formal membawa PR dari sekolah ke rumah, di KBQT mereka membawa masalah dari kehidupan masing-masing anak untuk diselesaikan di kelas. Betul-betul jungkir balik!<br /><br />Nah, dalam seminggu itulah mereka mematangkan ide dan evaluasi di minggu berikutnya. Sebulan sekali, seluruh kelas di KBQT berkumpul untuk mengadakan Gelar Karya. Di gedung RC, semua anggota kelas dipersilakan mempresentasikan karyanya masing-masing yang telah dipersiapkan sebulan sebelumnya. Maka unsur kreativitas berkelanjutan sangat terasa dalam momen ini.<br /><br />Ada tiga hal global yang dibahas dalam setiap kesempatan ngumpul kelas. Pertama, keilmuan, yakni asupan-asupan kognisi yang ingin dipelajari masing-masing anak serta darimana saja sumber belajarnya. Kedua, skill, yakni kemampuan apa saja yang ingin dikuasai serta bagaimana mewujudkannya. Ketiga, karya, yakni apa yang ingin dibuat dan depresentasikan sebulan ke depan serta bagaimana proses kreatifnya. Ah, komunitas belajar ini betul-betul khayal!<br /><br />“Lalu bagaimana dengan pelajaran-pelajaran umum seperti yang dipelajari di sekolah-sekolah formal?” tanya Sutri antusias.<br /><br />“Ya di sini juga dipelajari. Tapi itu diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mau atau tidak,” jawab Dedi.<br /><br />“Kamu sendiri bagaimana? Belajar Matematika nggak?”<br /><br />“Nggak. Aku nggak suka sih Mas.”<br /><br />“Lhoh, lalu bagaimana saat ujian?”<br /><br />“Ujian apa? Ujian kami di sini ya saat Gelar Karya,”<br /><br />“Mungkin maksudnya ujian kesetaraan dari pemerintah gitu ya, Mas?” sela Taufik.<br /><br />“Iya, itu. Kalian ujian juga ‘kan?”<br /><br />“Iya, Mas. Kami di sini juga ujian kesetaraan setiap masa kelulusan sesuai jadwal sekolah-sekolah formal. Ya sebagai formalitas gitu.”<br /><br />“Nah, bagaimana kalian bisa mengerjakan soal-soal ujian kesetaraan padahal tidak pernah belajar tentang materi pelajaran yang diujikan?”<br /><br />“Ya kami tetap belajar untuk ujian itu.”<br /><br />“Hasilnya?”<br /><br />“Yaaa seadanya, hehehe.”<br /><br />“Kalau nilainya jeblok bagaimana?”<br /><br />“Memangnya kenapa?”<br /><br />“Lhoh?”<br /><br />Sutri mulai bingung dengan komunitas belajar yang ajaib ini. Ukuran-ukuran nominal akademik sama sekali tidak menjadi perhatian mereka, karyalah yang menjadi tolak ukurnya. Bahkan menurut Taufik, ada juga anak-anak KBQT yang enggan mengambil ijazah kesetaraannya, buat apa. Pendaftaran di komunitas belajar ini pun tak dibatasi waktu. Tiap siswa dipersilakan mendaftar kapan saja.<br /><br />Baru sebentar kami mengobrol, konsep-konsep di kepalaku mendadak jadi usang. Selama ini kulihat betapa repotnya para guru di sekolahan menyiapkan tetek bengek materi ajar, mulai dari kurikulum, silabus, target pancapaian kognitif afektif psikomotor, hingga teknis rencana pelaksanaan pembelajaran. Belum lagi beban-beban belajar tanggungan siswa yang diharuskan memahami berbagai rupa mata pelajaran tanpa memedulikan bakat dan kecenderungannya. Setelah melihat KBQT, semua itu nampak jadi usang, kuno, dan primitif.<br /><br />Di KBQT, anak-anak yang belajar betul-betul menjadi ‘murid’. Sebagaimana kita tahu, makna ‘murid’ dalam Bahasa Arab adalah ‘orang yang menghendaki’. Artinya, si muridlah yang berperan aktif dalam proses belajar. Dia menghendaki belajar suatu tema, kemudian ia pula yang mencari sumber-sumbernya.<br /><br />“Awalnya, kami sama dengan sekolah-sekolah formal,” tutur Fina mulai berkisah. “Dulu, komunitas belajar kami persis sekolah terbuka. Posisi guru sebagai pengajar ilmu-ilmu dan siswa-siswa menadah itu semua. Dengan proses pembelajaran yang asyik membuat kami bisa menikmati apa yang kami pelajari. Hasilnya, prestasi akademik kami pun bisa bagus-bagus, bahkan tak kalah dengan sekolah-sekolah formal unggulan.”<br /><br />“Lalu?”<br /><br />“Seiring perjalanan, kami siswa-siswa di KBQT sadar, ternyata bukan itu yang kami cari. Bukan hal-hal semacam itu yang menjadi tujuan kami.”<br /><br />“Maksudnya bukan pencapaian-pencapaian akademik?”<br /><br />“Ya, begitulah. Maka kami mulai mengubah gaya belajar menjadi seperti sekarang ini. ya seperti yang Mas-mas lihat ini,” tutur Fina dengan senyumnya. Kulihat ekspresi Taufik dan Dedi pun tersenyum bahagia.<br /><br />Memang iya. Qoryah Thoyyibah yang sempat kubaca artikelnya di sebuah buku beberapa tahun lalu berbeda dengan Qoryah Thoyyibah yang kulihat langsung hari itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepada mereka masih terkungkung konsep-konsep yang kami bawa dari sekolahan dan fakultas pendidikan. Begitupun dengan ukuran-ukuran yang kami ajukan. Eh ternyata, mereka punya ukurannya sendiri. Mereka punya karakternya sendiri.<br /><br />“Kalian tau nggak,” kataku pada mereka, “Setelah lihat Qoryah Thoyyibah, semua konsep praktek pembelajaran di kepalaku jadi bubrah!”<br /><br />Teman-teman tertawa. Lalu Mukid menyela dengan segala keabsurdannya,<br /><br />“Kalau aku sih nggak bubrah Zi,” katanya, “Lha wong di kepalaku nggak ada konsep apa-apa sama sekali.”<br /><br />Hahaha. Dasar Mukid.<br /><br />“Nah, bagaimana bila ada anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah?” tanya Adam.<br /><br />“Ya tinggal melanjutkan saja tho, Mas,” sahut Taufik.<br /><br />“Ada?”<br /><br />“Ya banyak,” jawab Fina, “Ada yang di UI, UGM, di UIN juga ada, anak komunikasi. Ada juga anak KBQT sini yang lanjut ke Australi dengan mempresentasikan karyanya.”<br /><br />“Apa bentuk karyanya?”<br /><br />“Desain grafis.”<br /><br />Wah. Belum apa-apa kami sudah berdecak kagum dengan anak-anak KBQT ini. Bagaimana tidak, budaya dialog terbuka nan santai serta saling berbagi ide yang jarang dimiliki anak-anak sekolah, bahkan mahasiswa sekalipun, sudah sangat biasa bagi mereka. Konsep filosofis progresif dan idealisme yang menjadi barang mewah bagi kalangan intelektual sudah dipraktekkan dengan penuh kesadaran oleh remaja-remaja di sini. Penciptaan hingga pagelaran karya yang sering dirasa repot di luar sana, justru menjadi agenda rutin di komunitas belajar ini.<br /><br />“Apakah alumni KBQT masih sering kontak dengan anak-anak di sini?” tanya Salis.<br /><br />“Kayaknya kami nggak ada alumni deh, Mas,” sahut Taufik.<br /><br />“Di sini konsepnya belajar seumur hidup. Kelasku namanya Oryza Sativa, masih sering kumpul sebulan sekali. Masing-masing anak sudah punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan saat kumpul itu ya kami belajar bareng,” papar Fina.<br /><br />“Makanya kami sering bingung juga kalau ditanya orang dari luar; kelas berapa, sudah lulus atau belum, hehe..” sela Taufik.<br /><br />“Bahkan di akhir periode belajar pun kami tidak menggunakan istilah ‘perpisahan’,” kata Fina, “Kami menggunakan kata ‘tasyakkuran’ sebagai gantinya.”<br /><br />“Jadi walau sudah bertahun-tahun kalian masih sering ngumpul sekelas?”<br /><br />“Iya, seringnya sih di sini saat gelar karya. Atau di tempat lain sesuai kesepakatan, ya janjian dulu lah kalau mau ketemu,”<br /><br />“Tak sedikit alumni sekolahan yang sudah sekian tahun dinyatakan lulus menjadi asing dengan almamaternya. Nah, kalau kalian ngumpulnya di sini, apa nggak merasa asing?”<br /><br />“Sama sekali enggak tuh. Ya karena kami pakai konsep belajar seumur hidup, jadi ya kelas kami nggak terbatas ruang dan waktu,” sahut Fina, filosofis praktis.<br /><br />Betul-betul mempesona. Kami penDuduk Selingkar baru menyadari pentingnya landasan filosofis dalam setiap tindakan, serta perlunya out of te box semacam ini sejak rutin berdiskusi santai dua tahunan lalu, sementara mereka sudah mempraktekkannya secara riil selama bertahun-tahun! Kami ketinggalan jauh!<br /><br />“Jadi, guru bagi masing-masing anak di sini bisa siapa saja ya?” tanya Syafak.<br /><br />“Iya, namun setiap kelas punya pendamping yang mendampingi temen-temen belajar dari awal sampai akhir,” sahut Taufik.<br /><br />“Lalu apa fungsi pendamping secara riil?”<br /><br />“Nah, tugas pendamping mengapresiasi ide yang dituangkan oleh anggota kelas. Lalu menyalurkan kemana dan bagaimana si anak belajar tentang proyek yang akan dia kerjakan, karena pendamping bukanlah guru yang tahu segala ilmu. Maka ia hanya menghubungkan anak-anak KBQT dengan sumber-sumber belajar, apapun dan siapapun. Misal, ada anak yang condong ke lukis, maka kami akan hubungkan dengan seniman-seniman lukis yang bisa kami temui. Bagi yang mau belajar nulis, kami hubungkan dengan para penulis. Bagi anak-anak yang suka film, kami hubungkan dengan komunitas penikmat dan pembuat film,” papar Fina.<br /><br />“Jadi model KBQT ini kuat di jaringan ya?”<br /><br />“Yak begitulah,” jawab Fina menggangguk, “Pendamping juga memantau progres pencapaian target yang dibuat setiap anggota kelas.”<br /><br />“Kalau target itu tidak terlaksana? Terbengkalai misalnya?”<br /><br />“Ya si anak kena sanksi.”<br /><br />“Apa hukumannya?”<br /><br />“Terserah si anak yang bersangkutan. Hukuman sudah disepakati di awal pertemuan. Ada yang menyepakati push-up, ada juga lari keliling halaman, ada juga yang sepakat membuat satu cerpen jika target tak tercapai, dan macam-macam.”<br /><br />“Ooo,” kami ber-o panjang. Sama sekali belum terpikir sanksi produktif semacam itu. Fina juga memaparkan kegiatan anak-anak KBQT yang berkaitan dengan lingkungan desa Kalibening. Salah satunya, beberapa waktu ke depan teman-teman KBQT akan membantu warga meluncurkan program sumur resapan.<br /><br />Persis seperti yang dikatakan Pak Din malam sebelumnya, kebanyakan sekolah justru menjadi tembok penghalang antara siswa dan lingkungannya. Tapi Qoryah Thoyyibah mencoba mengintegrasikan seluruh unsur di tengah masyarakat. Wadahnya ya komunitas belajar itu.<br /><br />Hebat!<br /><br /><b>Mendampingi dengan Hati</b><br /><br />Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.<br /><br />“Sebenarnya Mas-mas ini kumpulan apa sih?” tanya Isa kepada kami, penuh tanda tanya di atas kepalanya. Salah seorang siswa KBQT malah menyebut kami mirip Yakuza (preman Jepang), mungkin sebab tampang yang seram dan busana hitam-hitam. Waduh, aku pun memperkenalkan rombongan kami biar tak terjadi kesalahpahaman, kalau kami dikira artis dari ibukota ‘kan bahaya.<br /><br />Ada Mukid Purwodadi, perenung liar yang sedang merampungkan skripsinya. Ada Sutri Lampung, hafidz Al-Qur’an yang bercita-cita terjun di masyarakat kampungnya yang masih belum sadar pendidikan. Ada Adam Sleman, mahasiswa pascasarjana yang mengelola pesantren panti asuhan Zuhriyyah di desanya. Ada Syafak Malang, kepala madrasah diniyyah yang bernaung di bawah payung yayasan Zuhriyyah. Ada Salis Purworejo, mahasiswa pascasarjana yang diamanahi membimbing para santri di salah satu pesantren Jogja. Dan ada aku, Zia Tegal, entah siapa.<br /><br />“Kami ini satu jurusan di kampus, fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,” jelasku, “Namun kami merasa ada luapan-luapan gagasan dan kegelisahan yang tidak bisa ditampung di ruang-ruang kelas perkuliahan. Maka kami pun menggelar forum diskusi santai di luar kelas dengan tema yang ingin kami pelajari dan pahami, tidak terikat oleh kurikulum kampus. Ya walaupun kadang kami membincangkan materi-materi perkuliahan juga, tentu dengan format yang asyik dan santai, demokratis.<br /><br />Forum diskusi santai ini kami beri nama ‘Selingkar’. Di situ kami membahas keingintahuan tentang apa saja. Pernah kami ingin memahami lokalisasi di Jogja, maka kamipun turun ke sana, berdialog dengan beberapa pelaku di sana, lalu mendiskusikan itu, kemudian mengambil sari hikmahnya. Kami ingin tahu tentang rokok, maka kami mendatangkan teman yang pernah magang di perusahaan rokok, lalu kami diskusi dan belajar mengarifi isu-isu tentang rokok. Kami juga kerap mengunjungi acara-acara kreatif yang bertebaran di seantero Jogja, kemudian berbincang santai di sana. Ya macem-macem tema kami diskusikan. Jadi, apa yang kami diskusikan berdasarkan apa yang ingin kami pelajari. Sumber-sumbernya kami buru dan cari sendiri,”<br /><br />Penjelasanku tentang Selingkar terasa serasi dengan apa yang sudah kami lihat dan dengar di KBQT. Kami datang ke tempat ini murni sebab ingin belajar, bukan tuntutan apa-apa dari siapa-siapa. Keakraban di antara kami saat itu menyiratkan kecocokan. Kami merasa berada pada frekuensi yang sama dengan warga KBQT sehingga nyambung dan enjoy. Keserasian frekuensi itu pula yang mendorong kami berkunjung ke Kalibening. Betapa Tuhan Maha Menakdirkan.<br /><br />“Selama ini yang kami pahami, di kelas harus ada guru. Tapi di sini memakai konsep ‘pendamping’, bagaimana prosesnya?” tanya Adam kepada ‘Bu’ Eli.<br /><br />“Panjang, Mas. Kalau diceritakan dari awal, saya bisa mrebes mili.”<br /><br />Suasana jadi hening seketika. Mendung menggelayut langit Salatiga. Lentingan biola bernada hampa terdengar dari langit di atas sana. Air mata mengalir dimana-mana. Hehe, nggak ding, itu hiperbola. Hahaha.<br /><br />“Sebagai pendamping,” terang ‘Bu’ Eli, “Kami harus berusaha memahami karakter masing-masing anak, sekaligus potensi dan passion yang ada pada diri mereka. Kami menemani mereka menuangkan ide, membaca kecenderungannya masing-masing, dan memfasilitasi masing-masing anak berkarya serta mewujudkan idenya.”<br /><br />“Di komunitas belajar yang bebas ekspresif ini, pernahkah terjadi keliaran-keliaran ekspresi anak-anak yang bisa dianggap over?” tanyaku penasaran. Mendadak teman-teman KBQT kompak menengok ke arah Hasni, remaja putri yang begitu aktif.<br /><br />“Heh! Kenapa pada nengok ke sini?!” sergah Hasni. Semua ketawa geli.<br /><br />“Ya tentu saja ada, Mas,” tutur ‘Bu’ Eli. “Dulu pernah ada siswa sini yang kelewat nakal. Bolos ke Jakarta buat nonton bola. Di sana malah kenal minuman keras, kenal rokok. Maka saya harus menggunakan pendekatan personal, kami ngobrol empat mata. Saya sambangi juga orang tuanya. Awalnya memang sempat ada ketegangan, namun ternyata berhasil. Anak itu malah bersyukur dan berterima kasih atas sikap saya itu.”<br /><br />“Kalau di sekolah-sekolah formal, biasanya guru ditagih orang tua murid tentang pencapaian anak-anaknya di sekolah. Di sini bagaimana?” tanya Salis yang disebut Hasni dengan nama baru; ‘Sales’.<br /><br />“Iya Mas,” kata ‘Bu’ Eli. “Untuk itulah komunikasi personal sangat penting. Kadang orang tua memiliki estimasi tertentu buat anak-anaknya, dan estimasi itu disetarakan dengan pencapaian di sekolah-sekolah umum. Misalnya bisa matematika, bahasa Inggris, atau semacamnya. Maka kami sebagai pendamping harus memberikan pemahaman tentang tujuan KBQT, tentang potensi anaknya, serta kecenderungan karya mereka. Dan alhamdulillah, para orang tua bisa memahami dan malah bersyukur.”<br /><br />“Adakah trik khusus untuk menjalin komunikasi dalam rangka memahamkan wali murid?” Syafak bertanya. Maklum, sebagai kepala madrasah diniyah, kesehariannya memang harus sering-sering berhubungan dengan wali murid.<br /><br />“Kalau trik khusus sih nggak ada ya, Mas. Tapi yang penting ya unggah-ungguh sebagaimana lazimnya orang Jawa saja,” jawab ‘Bu’ Eli.<br /><br />Sepanjang perjalanannya mendampingi anak-anak di KBQT, ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni menekankan pentingnya proses serta pengertian seorang pendamping terhadap murid-muridnya. Satu kesadaran yang perlu dipahami adalah bahwa tidak hanya anak-anak yang belajar dan berproses, para pendamping juga mengalami hal serupa. Latar belakang mereka dahulu adalah pengajar di lembaga formal, maka ketika mulai mengabdikan diri sebagai pendamping di KBQT, mereka mulai belajar dan berproses menemukan formula yang tepat untuk menemani anak-anak.<br /><br />Syafak menjeda sejenak obrolan kami. Ia mengajak kami semua menghirup dalam-dalam udara segar Kalibening dan menyerap baik-baik tumpahan pengalaman para pendamping.<br /><br />“Kunci dari pendampingan ini adalah hati. Hubungan yang terjalin dengan teman-teman maupun orang tua adalah hubungan dari hati ke hati, memahami watak dan selalu bersikap manusiawi,” pungkas ‘Bu’ Eli.<br /><br />Pertanyaan kemudian menjurus pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pengelolaan. Bagaimana tata kelola kelas, pendaftaran dan pendataan siswa, kaitan dengan dinas pendidikan setempat, pembiayaan komunitas, hingga hubungan komunitas dengan aktivitas-aktivitas warga sekitar. Namun Mbak Nurul, orang yang menangani hal-hal tersebut, belum bisa kami temui hari itu. Beliau super-duper sibuk dan saat itu sedang ada urusan di kota. Sayang sekali, semoga lain waktu kami bisa ngobrol dengan beliau.<br /><br />“Ini Mas-masnya dari pesantren ya?” tanya ‘Bu’ Eli.<br /><br />“Iya, Mbak,” sahutku. “Empat dari kami santri Krapyak, sedangkan yang dua alumni Tebuireng.”<br /><br />“Wah, bagus sekali kalau model semacam ini bisa diterapkan di pesantren lho Mas. Dahsyat!” kata ‘Bu’ Eli.<br /><br />Aku jadi teringat oret-oretanku yang berisi konsep mentah tentang lembaga pendidikan cita-citaku dahulu. Sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan ‘umum’ di pesantren tanpa harus mengorbankan ciri salafiah dan tetap optimal, tak sekedar formalitas.<br /><br />Tentang hal ini, aku coba berbincang dengan Fina, kira-kira bisa atau tidak model KBQT diterapkan di pesantren. Corak pendidikan KBQT yang begitu ekspresif dengan konsep pendampingan sangat kontras dengan gaya pesantren yang sangat kental nuansa ketundukan kepada guru. Kata Fina, bisa saja. Ada beberapa pesantren yang sudah mencobanya.<br /><br />Mungkin kapan-kapan aku dan kawan-kawan perlu berkunjung dan belajar di pesantren-pesantren itu. Masalahnya, tak sedikit pesantren yang menutup diri dari dunia luar sehingga terasing tanpa memperhatikan potensi murid. Di sisi lain, banyak pesantren yang latah perkembangan lalu mendirikan sekolah formal di dalam lingkungan pesantrennya sehingga kikis identitas salafiahnya. Belum lagi melihat beban yang ditanggung santri dan begitu memberatkan, sehingga menjadikan ketidakteraturan bentuk dan kementahan kemampuan mereka. Tentang konsep ini, sudah kutuangkan secara sederhana di tulisan tentang <a href="http://gubuk-cahaya.blogspot.com/2014/04/sekolah-rakyat-ala-pesantren-salaf.html" target="_blank">Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf</a>.<br /><br />Meski tidak berhasil memahami detail pengelolaan KBQT, setidaknya kami sudah mendapatkan gambaran umumnya. Itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ditambah tuangan konsep filosofis dari Pak Din, genjotan semangat dari Kiai Abda, dan limpahan pengalaman dari teman-teman pendamping. Kami betul-betul merasa sedang panen raya!<br /><br />Apa yang kami pahami di sini mungkin tak bisa diterapkan seratus persen di lingkungan pengabdian kami masing-masing. Namun konsep dan pandangan tentang kemerdekaan berpikir, kesetaraan kesempatan, dan ketulusan pendampingan adalah ilmu tingkat tinggi yang wajib kami amalkan.<br /><br />Setelah dua jam lebih berbincang, kami berkeliling sekitar KBQT. Melihat-lihat gedung RC yang difungsikan sebagai markas mereka. Nampak anak-anak KBQT sedang berlatih gitar, bermain catur, nonton film dan baca buku. Ada rak-rak buku, perangkat musik, hingga peralatan rekaman.<br /><br />Ba’da Dzuhur, anak-anak KBQT bersama pendamping berkumpul di serambi masjid. Agendanya adalah Tawashi. Yakni suatu forum ngaji dan menasehati. Dalam forum ini mereka akan mengaji Al-Qur’an, lalu salah satu ‘bocah’ (pinjam istilah Fina) akan didaulat untuk menyampaikan nasehat. Begitu bergantian tiap harinya.<br /><br />Pukul setengah satu siang kami pamit pulang. Kebetulan Pak Din sedang bersiap-siap hendak pergi ke luar. Rasanya berat hati dan kaki kami meninggalkan tempat penuh kebahagiaan ini. Sebelumnya, Buku Duduk Selingkar dan Petuah Pohon sudah kuserahkan kepada Fina sebagai kenang-kenangan.<br /><br />Mengunjungi Kalibening seharian menimbulkan satu paradoks unik. Di satu sisi, kami merasa hati kami terlengkapi dengan berbagai jamuan ilmu yang begitu berharga. Namun di sisi lain, seakan ada lubang besar menganga di hati kami saat berlalu pergi. Ah, mudah-mudahan kelak bisa berkunjung ke tempat ini lagi.<br /><br />Kami lanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati panorama cerah gunung Merbabu, menyapa para pengguna jalan dan tukang becak antik dengan kostum bolanya. Sesampainya di Magelang, kami mampir di galeri seni rupa OHD Museum. Itu pun sempat nyasar sebab navigasi Mukid yang –seperti biasanya- absurd. Untung ada adik-adik manis dan Pak Haji yang menjadi penunjuk jalan. Lepas Maghrib kami sampai di Drono, membawa oleh-oleh berupa semangat bak bara api yang menyala-nyala di dalam hati.<br /><br />“Bagaimana menurutmu tentang Kalibening, Kid?” tanyaku pada Mukid sambil rebahan, capek. Seperti biasa, di momen-momen santai kami membincangkan kembali apa yang sudah kami liat dan dengarkan.<br /><br />“Wah, aku suka semua tentang Kalibening. Udaranya, pepohonannya, airnya, dan orang-orangnya,” sahut Mukid menerawang langit-langit.<br /><br />“Menurutku,” sela Sutri, “Ini baru pendidikan yang benar-benar mendidik. Kalau ingin merdeka ya tak harus sekolah, tapi belajar, belajar, belajar, dan berekspresilah!”<br /><br />“Kalau menurutmu gimana, Lis?”<br /><br />“Keren! Komunitas Belajar ini salah satu bentuk nyata pendidikan humanis. Humanisasi ini adalah proses terbaik. Setiap individu diberdayakan dan dioptimalkan fitrah bawaannya. Sehingga dengan keinginan sendiri bisa menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya,” jawab Salis.<br /><br />“Setuju Lis!” sambar Syafak, “Praktek belajar yang dilakukan di KBQT persis nama facebook-ku; Manjadda Wajada, hehehe, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Di KBQT ini, jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan mendapat hasil. Di sini siswa tidak disuapi guru, tapi siswa mencari sendiri. Menjadikan anak semakin mandiri, berpikiran luas, menghargai sesama dan tidak fanatik.”<br /><br />“Suasana di Qoryah Thoyyibah sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang bertahun-tahun kita terkurung di dalamnya,” sambung Adam, “Kita terbelenggu dan tak mengenal siapa sejatinya diri kita. Mengunjungi Qoryah Thoyyibah, kita mendapat nilai-nilai yang sangat berharga. Semoga dapat kita kembangkan di daerah kita masing-masing sesuai dengan konteks masing-masing pula.”<br /><br />Betul apa kata Adam. Kunjungan kami ke Kalibening bukan untuk memenuhi tugas kuliah, penelitian skripsi maupun observasi formal dari institusi. Kami betul-betul ingin menggali ilmu di sana untuk diterapkan di lingkungan kami masing-masing. Yak! Aku sepakat dengan kawan-kawanku. Rasanya bahagia mendengar pendapat-pendapat mereka.<br /><br />Kalau kesanku pribadi, ah, suatu anugerah bisa menyimak paparan konsep filosofis dan idealisme Pak Din, menikmati dinginnya hawa berbalut kehangatan relijius warga desa sana, mengamati asyiknya proses belajar para siswa Qoryah Thoyyibah, serta menyelami ketulusan pengabdian para pendamping. Ah, tak bisa disangkal, hatiku nyangkut di Kalibening!<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-89074622692220401612015-03-03T10:45:00.000-08:002015-06-08T11:06:26.530-07:00Gerakan Pemberkuasaan Desa<b>Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah, Kalibening Salatiga | Selasa 3 Maret 2015 | Penyaji: Bapak Ahmad Bahruddin</b><br />
<br />
Selasa malam (3/4/2015), sambil meneguk kopi hangat dan menikmati salak-salak gemulai, kami menyimak tumpahan ide-ide Pak Ahmad ‘Freire’ Bahruddin, Kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga. Beliau menyampaikan gagasan-agasan filosofis dan praktis tentang apa yang diimplementasikan di KBQT maupun pandangan-pandangan umum tentang pemberdayaan desa, konsep guru sebagai pendamping, serta fasilitasi siswa. Berikut ini beberapa percik gagasan Pak Din.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMWAU6ZZmFV_ocesGg86jT2Man_17kwuqefzXkf1Zry3YBFssNPb0u3ODdAl4Klymk6GHoOw0CzJiJSGwBfZAPrDkKRZloVEZhYqXnckBOI1-nSv8VUPrNdUaObjS9EFelnhYBRcPqy-M/s1600/Picture2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="258" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMWAU6ZZmFV_ocesGg86jT2Man_17kwuqefzXkf1Zry3YBFssNPb0u3ODdAl4Klymk6GHoOw0CzJiJSGwBfZAPrDkKRZloVEZhYqXnckBOI1-nSv8VUPrNdUaObjS9EFelnhYBRcPqy-M/s400/Picture2.jpg" width="400" /></a></div>
<b>Desa Berdaya</b><br />
<br />
“Qoryah Thoyyibah itu apa?”<br />
<br />
“Sarekat petani. Aslinya sarekat paguyuban petani. SPPQT, Sarekat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah. Berdirinya tahun ‘99. Kalau Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah atau KBQT baru pada 2003, empat tahun kemudian. Jadi aslinya paguyuban-paguyuban petani yang bersarekat, ya kelembagaan civil society di aras desa.<br />
<br />
Mayoritas penduduk desa ‘kan petani, jadi organisasinya berbasis petani, merepresentasikan civil society. Namanya itu Qoryah Thoyyibah, tepat sekali, ya ‘kan memang di desa to. Mbangun ‘qoryah thoyyibah’, memberdayakan desa. Lalu desa yang thoyyibah itu bagaimana? Ya bukan yang mengeksploitasi, tapi yang mengkonservasi sumber dayanya, berkarakter secara budaya. Termasuk pendidikan.<br />
<br />
Desa yang berdaya ketika ada lembaga pendidikan, atau ada penyelenggaraan pembelajaran yang belajar tentang desanya sendiri. Itu menjadi pelengkap indikator desa yang ‘thoyyibah’. Terus kehadiran KBQT ini melengkapi indikator desa yang berdaya itu. Gathuk-gathuke ngono, walaupun dulu ya nggak kepikiran begitu.<br />
<br />
Lha yang kasih nama Qoryah Thoyyibah itu Pak Raymond, orang Katolik. Dia yang mengusulkan. Waktu itu Pak Raymond saya undang dari Yayasan Pakem, Kaliurang. Dia sendiri waktu itu pemred The Jakarta Post.<br />
<br />
Jadi Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya gerakan pemberkuasaan desa, pemberdayaan desa.”<br />
<br />
<b>Jamaah Produksi</b><br />
<br />
“Kemudian saya lontarkan ini dengan kepala desa, kemudian terus ke atas. Ganjar Pranowo mau jadi gubernur ta’ tantang bikin ini bikin itu, sebagai kontrak politik. Jokowi ke sini juga saya sampaikan gerakan pemberdayaan desa.<br />
<br />
Sekarang gerakan ini terintegrasi di program Jamaah Produksi. Kata kuncinya ‘produktif’, bukan konsumtif. Pernah juga saya temui Marwan Djafar, menteri desa. Saya sampaikan juga tentang pemberdayaan desa itu. Di tim transisi ketemu sama pokja reformasi pendidikan, juga ketemu sama pokja desa. Pokja desa ‘kan Sutoro Eko, dan pokja reformasi Sidik Setiawan. Ya saya sampaikan juga. Terus Sutoro Eko bilang, nanti pembelajaran di sekolah-sekolah dasar harus berintegrasi dengan desa.<br />
<br />
Embuh prakteknya. Yang penting terus kita suarakan.<br />
<br />
Karena desa-desa bisa berdaya hanya jika di desa-desa itu sudah ada kebersamaan, berjamaah, menggarap mengelola sumber daya, di RT-RT ada semua. Saya malah melontarkan angka. Kelompok produksi itu, per-RT bisa dapat dana 100 juta. Dihitung-hitung, seluruh Indonesia ini menyentuh angka 100 triliun. Itu sedikit.<br />
<br />
Kalau dibuat tahapan, lima tahun pertama misalnya sebagai pilot project beberapa tempat. Setelah tahun kelima, semua RT seluruh Indonesia mendapat kapital 100 juta dari negara. Itu kecil. Kalau mau ekstrim, ya satu milyar per-RT untuk Jamaah Produksi. Wah itu sudah bikin wegah merantau ke Jakarta, apalagi jadi TKI. Koar-koar saya malah gini, nanti kita bisa membutuhkan tenaga kerja dari luar. Dari Amerika atau dari India misalnya.”<br />
<br />
<b>Sumber Daya</b><br />
<br />
“Sumber daya kita melimpah luar biasa. Kita hanya punya dua musim. Musim semi hampir sepanjang tahun. Kalau di negara-negara dengan empat musim, itu kalau musim dingin kita sudah tak bisa apa-apa. Saya di Inggris bulan November-Desember, itu minus dua, dinginnya minta ampun, itu kalau teringat rumah kayak teringat surga. Kita ini luar biasa. Kok malah beli kedelai ke Amerika, beli apel ke Amerika. Padahal untuk transport apel saja sudah dua bulan.<br />
<br />
Kok bisa-bisanya. Padahal peluang untuk budi daya sendiri itu lebih besar. Itu ‘kan lucu. Sudah terlalu lama kita terlena dan ketipu, kita dipaksa harus mengikuti cara berpikir mereka. Ya mungkin cara berpikir itu pas buat mereka. Lha kita kok ngikuti, lha yang salah itu yang mengikuti.”<br />
<br />
<b>Guru sebagai Pendamping</b>“Di sini adanya pendamping, fungsinya semacam guru kelas. Tapi bukan mengajar. Ya dia harus tahu anak-anak yang didampinginya bisa apa. Bukan sebagai guru yang mengajar.<br />
<br />
Kan aneh, di sekolahan, anak-anak itu senang kalau jam kosong, libur. Meski tidak terucap, itu sudah terukir di hati. Itu ‘kan jadi indikator. Kalau selalu dirindukan murid. Gampang saja ‘kan kalau mau menilai guru itu. Sampaikan ke anak-anak kalau Pak Anu nggak bisa hadir, kalau mereka kemudian bersorak senang berarti ada yang nggak beres.<br />
<br />
Guru selalu menyalahkan anak-anak yang tidak memperhatikan, yang mbolos. Padahal problemnya bukan pada anak. Problemnya ya pada guru. Lha wong memang dianya tidak menarik kok menyalahkan orang yang tidak tertarik, ‘kan lucu.<br />
<br />
Harusnya bertanya, kenapa saya nggak menarik? Apalagi kalau masih muda. Sebenarnya cukup gampang membuat pribadi yang menarik. Selalu support, apresiatif, menyemangati. Itu pilihan-pilihan. Ketika fasilitatif ‘kan lebih nyaman. Ini sering saya sampaikan di kampus-kampus pendidikan, biang keroknya ya mata kuliah metode pembelajaran, harusnya diganti metode fasilitasi. Jadi ketika saya di kelas, semangat saya bukan untuk mengajar, tetapi memfasilitasi.<br />
<br />
Fasilitasi kayak pembantu umum. Melayani.<br />
<br />
“Berarti posisinya di bawah, ya Pak?”<br />
<br />
“Paling tinggi sejajar. Kalau membimbing itu berarti saya positioningnya di atas, mengarahkan. Pernyataan ‘Begini lho, Nak!’ itu seakan-akan kita sudah klaim sesuatu yang benar untuk mereka ikuti. Tapi kalau pernyataannya ‘Bagaimana kalau begini, Nak?’ maka kita memberi kesempatan mereka berpikir dan memutuskan. Kita sebagai pengusul, bukan penentu.<br />
<br />
Ini ‘kan tesis dari kita. Diharapkan ada antitesis dari anak, sehingga nanti muncul sintetis, jadilah praktek yang dialektis, itu ‘kan dinamis jadinya. Kita jadi pengusul, dia yang menentukan. Makanya posisi kita di bawah, paling tinggi ya sejajar.<br />
<br />
Ada anak yang suka menggambar, corat-coret. Saya potret itu gambar-gambarnya. Saya apresiasi, saya semangati. Saya bukukan. Dan kelihatan perkembangannya. Mulai dari yang polos. Saya sendiri nggak bisa menggambar, tapi ‘kan saya harus bisa mengapresiasi. Kalau saya posisikan diri sebagai pengajar, malah amburadul. Kalau saya bisa menggambar punlalu posisi saya jadi mengajar, saya jangan sampai membuat dia menjadi seperti saya.”<br />
<br />
<b>Karya Produktif</b>“Bagaimana mengukur pencapaian siswa?”<br />
<br />
“Ya karya dia. Jangan ke capaian-capaian yang sudah kita atur, itu sekolahan banget. Harus mencapai sesuatu yang sudah kita bentuk, mirip cetakan, ya anak semakin tercerabut karena tidak menjadi dirinya sendiri. Kita harus apresiasi karyanya. Misal mau pentas drama, ya bisa pakai naskah orang, tapi kalau bisa ya anak-anak bikin karya sendiri. Yang penting mereka berkarya.<br />
<br />
Semua anak-anak di sini, dari hal A sampai Z, keputusannya di tangan anak. Akirnya juga enak, kita nggak usah stress, tinggal menikmati.<br />
<br />
Ada banyak komunitas-komunitas, di situ anak-anak sini bisa belajar. Bisa mereka datang ke sini, atau anak-anak yang ke sana. Ada musik, teater, ngelukis, macam-macam. Anak yang suka bikin komik, dia kemudian kemana-mana, ikut ini ikut itu, even-even komik, ya saya bebaskan. Kalau di sekolahan ‘kan anak ini dianggap mbolos. Tapi ‘kan yang penting dia produktif dengan karyanya.<br />
<br />
Siapapun harus jadi orang bermanfaat, ya dengan karya itu. Dengan apresiasi, diskusi, anak-anak akan jadi produktif.”<br />
<br />
<b>Ujian</b>“Ketika anak di kelas, anak sebelahnya pun diposisikan sebagai musuh. Maka dia beranggapan harus mengalahkan, harus ranking sekian, semua harus dikalahkan. Itu ‘kan kekerasan, internalisasi kejahatan. Waktu tes anak-anak tidak boleh saling memberi tahu, lho, diskusi kok tidak boleh. Hahaha.<br />
<br />
Mereka tidak dididik untuk saling bekerja sama, saling berbagi, tidak ada yang harus dikalahkan.<br />
<br />
Di sini ‘kan setiap periode ada tes juga. Ada kiriman soal-soal dari dinas.”<br />
<br />
“Itu diapain, Pak?”<br />
<br />
“Ya saya bagikan ke anak-anak. Dianggap aja kayak buku TTS buat didiskusikan. Ya syukur-syukur mau mengkritisi pertanyaan, itu malah bagus. Lumayan lah, ada orang kasih soal-soal ya disyukuri. Begitu ‘kan nambah pengetahuan anak-anak juga. Terus ya nggak usah ada pengawas.<br />
<br />
Ujian di sekolah seantero Indonesia ini malah diawasi. Itu ‘kan kejahatan demi kejahatan. Jadi, biaya sekitar 600 milyar itu hanya internalisasi nilai-nilai kejahatan. Belum mantap, para pengawas itu diawasi oleh polisi. Walah.<br />
<br />
Apalagi sekarang ujian tidak menjadi penentu kelulusan. Wis enak. Bukan faktor utama penentu kelulusan. Bocah yang baik itu ya yang mau terus berusaha, berusaha memahami, berusaha berkarya. Mengukurnya bukan diuji dengan pertanyaan A-B-C-D. Apalagi pertanyaannya sama sekali tidak sesuai dengan konteks desa.”<br />
<br />
<b>Orang Tua</b>“Kalau ada komplain dari orang tua?”<br />
<br />
“Didiskusikan. Bagaimanapun, orang tua adalah guru yang pertama dan utama, terutama ibu. Kalau di sekolah ‘kan peran orang tua diambil alih. Sekolah ‘kan menempatkan anak sebagai terhajar, guru sebagai penghajar. Orang tua malah mendukung penghajar.<br />
<br />
Selama ini ‘kan anggapannya, orang tua yang baik adalah orang tua yang ngejar-ngejar anaknya nggarap PR dari sekolahan. Padahal PR seharusnya ‘kan dari rumah untuk proses pembelajaran. Di sini anak-anak masuknya tidak pagi-pagi, agak siang saja. Pagi dimanfaatkan dengan keluarga, untuk cuci piring atau apapun. Itu lebih manfaat. Apalagi kalau ada temuan-temuan persoalan di rumah, bisa didiskusikan di sini. Jadi PR-nya dibawa dari rumah, bukan sebaliknya.<br />
<br />
Di sekolah malah orang tua bergandengan tangan dengan penghajar. Kasihan anak-anak, dikeroyok jadi bulan-bulanan. Luar biasa kalau kita melihat pelampiasan sebab internalisasi kejahatan itu. Tawuran, corat-coret, dan macem-macem, itu ‘kan pelampiasan.”<br />
<br />
<b>Makhluk Berakal</b>“Anak-anak susah diajak berpikir, Pak. Apa solusinya?”<br />
<br />
“Ah jangan begitu. Gini, manusia sejak lahir itu makhluk berpikir. Kalau tidak berpikir berarti bukan manusia. Dasarnya dari; hayawanun nathiq, begitu istilahnya, iya ‘kan? Jadi ya mampu berpikir. Anak SD ya anak SD, senangnya corat-coret ya corat-coret. Pernah ngobrol tentang ini dengan kepala sekolah, kepala SD dari pedalaman Kalimantan. Lalu suatu hari ketemu saya lagi, dia menunjukkan pada saya satu buku, isinya tulisan-tulisan anak-anak SD. Nah, sekarang penulis-penulisnya itu ‘kan sudah besar-besar, terus pada main ke sini.<br />
<br />
Jadi ya harus diberi kesempatan, didukung, bukan dimarahi. Yang manusiawi itu ya harus memberi kesempatan untuk berpikir itu.”<br />
<br />
“Bagaimana cara membaca potensi anak?”<br />
<br />
“Kesenangannya apa. Anak itu suka gerak, berarti ini arahnya kinestetis. Ada yang kesenangannya coret-coret, berarti visual. Sudah jelas. Bakat nyanyi ya ndilalah nyanyi. Qiroah itu analisis. Membaca, bukan membunyikan simbol bacaan, tapi to analyze.”<br />
<br />
<b>Nakal</b><br />
<br />
“Bagaimana mengatasi anak nakal?”<br />
<br />
“Nakal. Duh gini ya, pendidikan kita malah cenderung nakal. Anak harus dipaksa. Ini ‘kan sebenarnya internalisasi nilai kejahatan. Anak ngantuk dimarahi. Yang tidak nakal, yang kasih sayang, ya kalau anak ngantuk ya dikasih bantal. Ekstrimnya ‘kan gitu. Hahaha.<br />
<br />
Sederhananya gini. Kalau ingin anak besok jadi preman, tukang pukul, ya dari kecil pukuli saja dia. Jadi akibat. Tapi kalau yang dia terima kasih sayang, dia nanti juga akan menebar kasih sayang. Di sekolah, anak kok justru dihadap-hadapkan berlawanan dengan anak yang lain.<br />
<br />
Kadang-kadang cara berpikir kita aneh. Ada anak-anak nakal, maka harus dididik biar jadi baik. Ada program pengentasan anak-anak jalanan Jakarta. Tempatnya di Cisarua, Bogor. Masa’ anak jalanan kok dipesantrenkan. Logikanya, mereka masuk kesitu terus diperbiki. Fasilitasnya wuah, ada kasur, makanan bergizi, tiap hari dikasih uang saku. Tapi ya aturannya sangat memaksa, mungkin untuk ukuran anak-anak jalanan, itu ya kekerasan. Akhirnya ya pada kabur. Dari 40 tinggal 18, belum ada dua bulan.<br />
<br />
Saya tanya, mereka jawab, di luar itu bebas, ngamen sehari bisa dapat 50 ribu, di sini cuma dikasih sangu 5 ribu. Buat apa cara semacam itu. Mending dampingi saja mereka ngamen, diarahkan bagaimana biar lagu dan muskinya bisa lebih produktif, dengan ukuran mereka tentunya ya. Itu semua ya harus disupport.<br />
<br />
Asumsinya ‘kan anak-anak di jalan itu jelek. Tidak pernah ditelusuri latar belakang mereka. Padahal kan harus kita mulai dari yang positif. Anak berani di jalanan berarti ‘kan dia punya sisi positif, pemberani. Itu tinggal diarahkan, jangan dihentikan begitu saja. itu kekerasan namanya.”<br />
<br />
<b>Kesetaraan</b><br />
<br />
“Sekolah paket bisa menggunakan ruangan sekolah-sekolah dasar, yaitu memanfaatkan waktu siang. Pas to? Sekolah dasar pagi sampai siang, jam satu digunakan belajar lagi, setara SMP dan SMA. ‘Kan manfaat. Gedungnya ‘kan manfaat. Daripada jam satu ke atas dianggurkan, lebih baik dimanfaatkan saja.<br />
<br />
Pembelajarannya juga diubah, jangan hanya bergantung pada indikator-indikator yang ditentukan oleh pusat, jangan hanya dari kementerian pendidikan. Kalau ada program dari kementerian pertanian, atau perikanan, atau program PNPM dan apapun, nah itu garap aja. Wah itu jadi pembelajaran gratisan. Itu jadi belajar kontekstual, wis top banget. Dan semua seneng, bisa lintas sektor.<br />
<br />
Jadi ya nggak usah mbangun gedung lagi. Tambahi saja koneksi internet. SD-nya itu tambah seneng, ya to? Ada koneksi internet, wireless, luar biasa. Dan masyarakat desa akan bisa memanfaatkan. Ini menjadi centre of excellence.<br />
<br />
Di sini juga pernah mendapat sumbangan untuk pembangunan ruang-ruang kelas. Tapi ya kita berhitung kemanfaatannya. Yang lebih manfaat ya ta’ bagi-bagikan buat para orang tua, buat memperbaiki rumah-rumah mereka. Ya karena semua rumah di desa jadi kelas. Ya karepku to yo. Hahaha.”<br />
<br />
Hitung-hitungannya begini. Setahun satu milyar untuk satu desa, misalnya, ‘kan kecil untuk ukuran penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Berarti ‘kan hanya butuh 74 triliun, karena ada 74 ribu desa. Itu sa’ Indonesia. Itu baru dari kementerian pendidikan, belum dari kementerian lain-lainnya. Simulasi APBN tahun 2014 semestinya 104 triliun. Walah wis luar biasa itu. Asumsi saya baru satu milyar untuk satu desa, untuk seluruh Indonesia, ya tentunya bertahap. Itu angka yang kecil. Lha potensi yang ‘hilang’ di laut saja sampai 300 triliun kok, dicolongi karo …… hahaha.”<br />
<br />
“Turah akeh yo Pak?”<br />
<br />
“Lha iyo. Sebenarnya ini momentum buat kita. Ini selalu saya usulkan ke pemerintah. Ya mau dilakukan atau tidak yang penting sudah saya sampaikan.”<br />
<br />
<b>Berani</b><br />
<br />
“Butuh keberanian besar untuk melakukan perubahan ya, Pak?”<br />
<br />
“Saya sering dituduh pemberani. Haha. Padahal itu nggak ada urusan sama takut dan berani. Orang punya gagasan ‘kan ya nikmat gitu lho. Punya ide kok takut, ’kan nggak begitu to? Punya ide ‘kan ya nikmat!”<br />
<br />
~<br />
<br />
Kesimpulannya, dalam gerakan pemberkuasaan desa harus ada integrasi antara gotong royong (berjamaah) dan pendidikan berwawasan kearifan lokal terhadap penduduknya sendiri. Langkah pendidikan itu pun harus mandiri dan manusiawi. Dalam prakteknya, guru sebagai pendamping yang fasilitatif harus mampu mendampingi murid untuk berkarya sebagai ukuran pencapaiannya. Semoga bermanfaat.<br />
<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-66834279693186158432015-02-20T17:48:00.000-08:002015-06-09T17:50:11.919-07:00Ilmu atau Pengetahuan?<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">Di semester-semester awal dahulu aku masih sering mampir di masjid
kampus. Sholat Dhuha? Nggak sih, Cuma buat nunggu jam-jam kuliah
berikutnya sambil –tentu saja- bobok manis. Bagi punggung lelahku saat
itu, buntelan tas buluk bisa seempuk bantal kapuk, lantai keramik masjid
sama nyamannya dengan spring bed kelas raja. Serasa tuntas segala
masalah asmara di dunia. *uhuk!<br /> <br /> B<span class="text_exposed_show">iasanya
menjelang waktu shalat Dzuhur, petugas takmir keliling men-sweeping
para gelandangan macam kami. Tapi kalau tidurnya selepas jamaah shalat
Dzuhur, tentu kemungkinan besar aku bakal mbablas sampai Ashar, padahal
masuk kelas jam dua, misalnya. Nah, di saat-saat kritis seperti itulah
biasanya teman-temanku yang jadi alarm untuk membangunkan. Bastian
inilah salah satunya.</span></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsOvGIQISpdJAxeqOz3o_HwBOhGEDecii-SvAMI9fM7H8phnv0xYMtEme51_rCTNua1ro7FhWaROY5iErmsj00ZVZXoxHlukivfOWGBJhhfvGhQ3_yoXcrhSgdTwYpS6DMjVudW7K_jWU/s1600/Bastian.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsOvGIQISpdJAxeqOz3o_HwBOhGEDecii-SvAMI9fM7H8phnv0xYMtEme51_rCTNua1ro7FhWaROY5iErmsj00ZVZXoxHlukivfOWGBJhhfvGhQ3_yoXcrhSgdTwYpS6DMjVudW7K_jWU/s400/Bastian.jpg" width="361" /></a></div>
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show">Rambutnya agak kriwil, kulit lumayan
cerah meskipun nggak secerah kulitku, ngahaha, dan ngomongnya kadang
ribet. Tapi ya masih mending ketimbang Sutri Si Sohibul Mesem itu. Asli
Godean. Di facebook namanya Bastian Ev’, entah apa kepanjangan inisial
‘Ev’ itu, mungkin singkatan dari ‘Emang vekok’ atau semacamnya.<br /> <br />
Dia sudah lulus kuliah (aku belum, mungkina karena kebanyakan tidur),
sekarang ia mengajar di sebuah SMK yang sangat menantang. Bukan
hanya sebab tipe anak-anak ‘liar’ yang dihadapinya, tetapi juga karena
lingkungan pengajar yang susah diajak move on kayak pemuda yang patah
hati. Ciaaa!<br /> <br /> Di sekolah tempatnya mengajar ini, Bastian begitu
bersemangat mengajak murid-muridnya untuk percaya diri. Jangan minder
dengan sekolahan lain yang banjir ‘tropi prestasi’. Meskipun dia guru
agama dan sudah diangkat sebagai ‘kiai’ di sana, ia juga sanggup
mengajar teknik mesin karena di situlah passion-nya.<br /> <br />
Belakangan, dia sedang membimbing beberapa siswa membuat alat detektor
pengairan tambak ikan dengan teknologi sensor untuk diikutkan dalam
lomba bergengsi. Konon, lomba terakhir yang berhasil dimenangkan di sini
adalah lari marathon, itupun beberapa millenium lalu. Hahaha. Kalau
bisa juara dalam satu mata lomba ini, ia berharap bisa mengangkat
kepercayaan diri siswa dan para guru. Hadiahnya sendiri, menurut
Bastian, tidak terlalu penting.<br /> <br /> Mengajar anak-anak ‘liar’ tak
segampang mengajar siswa penurut di sekolah-sekolah favorit. Beberapa
kali ia sudah pernah ditantang tarung oleh muridnya. Sebagai petarung
Tae Kwon Do, tentu Bastian tak gentar dengan ancaman semacam itu. Tapi
sebagai guru, ia mulai belajar mempertimbangkan sikap dan etika. Kini ia
lebih suka ngobrol santai di kelas dan mendengarkan keluh kesah
muridnya ketimbang mengajar materi-materi agama. Sebab itulah, salah
seorang guru senior menegurnya karena selama beberapa minggu ia tak
kelihatan menggunakan kapur dan papan tulis.<br /> <br /> Pelajaran agama
sudah ada bukunya, siswa setingkat sekolah menengah atas semestinya
tinggal membaca dan kemudian didiskusikan di kelas bersama guru. Tapi
minat untuk membaca dan mendiskusikan itulah yang belum tumbuh. Maka
tugas guru adalah menciptakan atmosfer nyaman antara guru dan murid,
bukan sekedar sebagai teman, tapi sebagai pembimbing. Dari interaksi ini
kemudian tumbuh minat dan peluang untuk diskusi materi pelajaran.
Demikian yang diterapkan Bastian di sembilan kelas bimbingannya.<br /> <br />
Lagipula, menurutnya, untuk model siswa-siswa ‘liar’ semacam itu,
kompetensi yang dituju seharusnya tidak disamakan dengan sekolah-sekolah
bersiswa santun. Jika di sana memburu pencapaian pemahaman terhadap
materi, maka di sini cukup untuk memperhalus budi pekerti.<br /> <br />
Pemikiran cemerlang nan sikap bijak ini, katanya, ia dapatkan dari
diskusi rutin Selingkar yang legendaris itu. Torehan-torehan diskusi
dalam komunitas itu sudah tertuang rapi dalam buku Duduk Selingkar yang
bisa dipesan melalui nomor 085728253141 (Diandra). *Iklan woy!<br /> <br />
Benar kata orang bahwa kedewasaan berkembang seiring pengalaman. Maka
aku bersaksi bahwa Bastian saat ini sudah naik level dari Bastian culun
yang kukenal lima tahun lalu di pojok masjid. Jelas dia jauh jauh jauh
lebih keren daripada Bastian Steel yang sering nampang di tipi.<br /> <br />
Oiya, kabar gembira buat remaja putri! Setahuku, Bastian ini masih
jomblo dan siap menyambut kehadiran pendamping untuk mewarnai
hari-harinya yang suram, model akhwat-akhwat lincahlah yang dia
idam-idamkan. Berminat? Langsung inbox saja orangnya. Hahaha.<br /> <br /> ~<br /> <br />
Oke, cukup promonya, kembali ke serambi masjid. Di tiang sebelah
selatan mepet hydrant, kami sering ngobrol ringan. Mulai dari materi
kuliah, pengalaman hidup, passion, hingga hal-hal sepele mengapa banyak
banget upil-upil menempel di bawah meja-meja kelas dengan teksturnya
yang selalu saja menggemaskan.<br /> <br /> Dari sekian banyak rekaman
obrolan di kepalaku, bisa kusimpulkan bahwa Bastian ini sosok mekatronik
yang kesasar di fakultas pendidikan. Sering banget di sela obrolan
mengenai agama dan teknis-teknis ibadah, Bastian mengungkapkan stetmen
pesimistis tentang pengetahuan agamanya yang begitu minim. Lalu mulai
membanding-bandingkan antara aku yang memang dari kecil ngemil bangku
madrasah dengan dia yang hanya jebolan rohis SMA. Mana pantas jadi guru
agama, katanya.<br /> <br /> “Lhah, apakah agama itu hanya tumpukan materi,
Bas?” tanyaku. Kemudian dia menghujaniku rentetan argumen dengan gerakan
kepala mirip boneka Unyil. Menurutnya, adalah suatu keniscayaan bagi
seorang calon guru agama untuk menyimpan ratusan atau ribuan file
tentang dalil-dalil di memori otaknya. Sementara dia, justru lebih paham
rangkaian listrik dan aplikasi software daripada skema wudhu dan
tayammum.<br /> <br /> Lalu aku bertanya padanya tentang alat yang ia buat
sebagai karya skripsi. Ia pun menjelaskan tentang satu kotak mekanik
hitam yang kusebut dengan ‘Pijit Nikmat’, heuheu. Jadi dengan alat itu,
seorang siswa bisa ‘bermain’ pertanyaan-pertanyaan tentang materi agama
tanpa harus menggunakan kertas dan pulpen. Ada beberapa tombol di sana
untuk beragam fungsi. Pertanyaan dan jawaban pun bisa diupdate dengan
laptop, tinggal colok dan input. Perolehan poin pun bisa langsung
tertampilkan di monitor plasma sederhana si kotak. Jika jawaban siswa
salah, kotak itu akan berbunyi ‘Oh No!’ dan jika benar, ‘Oh Yes!’. Fufufufu.<i class="_4-k1 img sp_x2Btx44FsW7 sx_247bf2"><u></u></i><br /> <br />
Bastian menjelaskan panjang lebar tentang cara kerja alat itu, teori
maupun teknisnya. Aku melongo sambil garuk-garuk brewok. Lalu
kutanggapi. Aku tidak tahu menahu barang sebiji upilpun tentang alat dan
teknis semacam itu. Pengetahuannya tentang mekanika yang aplikatif
secara otodidak tidak kalah dengan pengetahuan agamaku yang kubawa dari
madrasah dan sangat terbatas. Tapi ‘kan, tanya Bastian, pengetahuan
agama itu lebih mulia daripada pengetahuan mekanika? Artinya, orang yang
lebih banyak tahu tentang agama secara otomatis lebih mulia ketimbang
orang lain.<br /> <br /> Pernyataan Bastian ini jelas mencerminan cara
berpikir khas orang eksak. A sama dengan B, B sama dengan C, maka A sama
dengan C. Siapa bilang? Gugatku. Menurut penelaahanku, kiai-kiai dan
tokoh-tokoh agama di kampung maupun berbagai belahan dunia manapun
dimuliakan masyarakat bukan sekedar sebab pengetahuannya. Melainkan
sebab pengamalannya terhadap pengetahuan dan pengayomannya terhadap
masyarakat. Nah, orang-orang seperti mereka tidaklah banyak. Kalau orang
dengan wawasan agama bertumpuk sih banyak berceceran di kampus-kampus
semacam UIN.<br /> <br /> Memang benar bahwa pengetahuan agama bisa menuntun
seseorang pada kesalehan dan kejernihan diri. Tapi apa selalu begitu?
Bagi cara berpikir eksak; lhoh, mestinya orang yang banyak tahu agama
adalah orang yang paling baik tingkah lakunya dong, maka sebab itu, ia
orang yang paling layak dihormati. Sayangnya, bunga tak selalu harum dan
capaian wawasan memang tak berbanding lurus dengan penghayatan.<br /> <br />
Kalau yang diandalkan sarjana agama sekedar asupan-asupan materi dan
data-data di kepala, itu hanyalah menjadi ‘pengetahuan’ agama, belum
menjadi ‘ilmu’. Lhoh, memang beda ya ‘pengetahuan’ dan ‘ilmu’? Oke, kita
bahas.<br /> <br /> Dalam Bahasa Indonesia, istilah ‘pengetahuan’ sering
dibersamakan dengan ‘ilmu’, menjadi ‘ilmu pengetahuan’, sehingga
maknanya setara dan sebatas lahir. Memang iya bahwa ‘ilmu’ dalam Bahasa
Arab secara literer berarti ‘pengetahuan’. Orang yang tahu disebut
‘aalim’ (diserap jadi ‘alim’), objek yang diketahui disebut ‘ma’lum’
(diserap jadi ‘maklum’), dan pengetahuan yang dimaksud disebut ‘ilmu’.
Namun ada pemaknaan lain dalam konteks keagamaan.<br /> <br /> Kalau sekedar
harfiah, istilah ‘ulama’ (bentuk jamak dari ‘aalim’) hanya akan
diartikan sebagai; orang-orang yang mengetahui hal-hal spesifik secara
mendalam. Artinya, kumpulan rapat para pakar fisika di suatu ruangan
bisa disebut sebagai konferensi ulama. Namun kita punya pemaknaan secara
istilah yang tak berhenti pada arti harfiah.<br /> <br /> Di dalam Islam,
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengantarkan segenap
kesadaran menuju ketundukan kepada Tuhan dan kemaslahatan terhadap
sesama makhluk Tuhan. Dan ilmu tersebut adalah ilmu agama. Sehingga
hanya orang yang berpengetahuan agamalah yang disebut sebagai ‘aalim’,
jamaknya; ‘ulama’. Apalagi jika mengacu kepada berbagai teks-teks suci
Islam, baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Di sana tertulis ketat kriteria
bagaimana ‘ulama itu.<br /> <br /> Di dalam ayat suci disebutkan bahwa
‘ulama adalah orang-orang yang begitu meresapnya ketundukan mereka
terhadap Tuhan sehingga menumbuhkan rasa takut akan Ketidakrelaan-Nya.
Sedangkan dalam redaksi hadits disampaikan bahwa ulama adalah pewaris
para nabi, baik berupa warisan ilmu, sikap, etika, maupun wibawa.<br /> <br />
Imam al-Ghazali bahkan menuliskan diferensiasi antara ulama sejati dan
ulama gadungan. Kriteria itu menyangkut kepakaran terhadap sumber-sumber
hukum Islam, disiplin ritual, kedalaman spiritual, konsistensi terhadap
pelaksanaan hukum, hingga karakter dan tingkah laku keseharian. Lalu
dari istilah ‘ulama’ ini muncul turunan sebutan-sebutan lokal lain
semisal ‘syaikh’ (Arab), ‘kiai’ (Jawa), ‘ustadz’ (Persia), dan
semacamnya. Untuk hal ini pernah kutuangkan di dalam artikel <a href="http://sosbud.kompasiana.com/2014/03/08/panggil-saya-ustadz-memahami-istilah-ulama-habib-kiai-dan-ustadz-640094.html" target="_blank">"Panggil Aku Ustadz!"</a><br /> <br />
“Wah, berarti ulama itu bukan sekedar orang yang berpengetahuan agama
banyak dong?” sahut Bastian mulai paham. Ya jelas, jawabku. Bahkan
seperti yang sudah kuuraikan tadi, ada kode etik langsung dari Allah
maupun Rasulullah bagi sosok-sosok ulama. Ayat maupun hadits yang
sekilas nampak sebagai pujian kepada ulama, sejatinya adalah kode etik
yang musti dipatuhi oleh siapapun yang merasa jadi ulama.<br /> <br />
Seperti ayat Qur’an yang menyatakan bahwa orang-orang yang bisa tunduk
takut secara total kepada Allah hanyalah kelompok ulama. Atau hadits
yang menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku membaca ayat
dan hadits itu bukan sebagai sanjungan yang bisa menggiring ke jurang
kebanggaan. Melainkan sebagai kode etik keulamaan yang baku; bahwa ulama
semestinya tunduk total pada aturan Ilahi, dan sebisa mungkin mewarisi
sikap dan teladan para nabi. Berat, ‘kan?<br /> <br /> Bastian
manggut-manggut. “Berarti,” gumamnya, “Tidak semua orang berpengetahuan
agama layak disebut ‘ulama’, dan pengetahuan agama seseorang belum tentu
membuatnya jadi pribadi yang soleh. Tapi kok bisa ya?”<br /> <br /> Ya
karena kesalehan dan ketertundukan itu berakar pada penghayatan, bukan
pengetahuan an sich. Pengetahuan hanya menjadi modal saja. Namun bila
modal tak diolah, hanya ditampung di gudang, tentu hanya akan menumpuk
dan akhirnya membusuk. Jadi, orang yang kesana kemari mengais
pengetahuan di bangku-bangku sekolahan, sejatinya hanya sedang
mengumpulkan modal. Termasuk pengetahuan agama di madrasah-madrasah.<br /> <br />
Ketika modal itu sudah dipunyai, yakni koleksi pengetahuan (‘ilm),
langkah selanjutnya adalah mengasah pemahaman atas apa yang sudah
diketahui (fahm). Lalu dilanjutkan dengan penghayatan dengan pelaksanaan
(‘amal). Nah, kontinuitas pengamalan plus penghayatan inilah yang bisa
membuahan keberimbangan persepsi (‘adl) dan kebijaksanaan (hikmah).<br /> <br />
Keempat dimensi inilah; ‘ilm, fahm, ‘amal, dan hikmah, yang membuat
sosok kiai sepuh dihormati masyarakat secara sadar dan sukarela. Bukan
atas paksaan, sogokan, maupun pencitraan. Sedangkan kebijaksanaan yang
dimaksud adalah pemahaman dan penyikapan mendalam terhadap suatu hal
sesuai dengan posisinya yang tepat.<br /> <br /> Dengan demikian perbedaan
antara ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ akan lebih kentara. Ada jarak antara
keduanya tentang kekentalan, kepadatan, kedalaman, kepekatan, dan rasa.<br /> <br />
Nah, untuk konteks perbandingan aku dan Bastian, kami seimbang.
Bedanya, koleksi pengetahuan agamaku mungkin sedikit lebih banyak dari
dia, dan koleksi pengetahuan mekaniknya jauh lebih banyak dariku. Untuk
penghayatan, tak usah ditanya. Tentu saja –kuakui- pengamalan dan
penghayatan Bastian terhadap pengetahuan mekanika yang ia miliki lebih
mendalam daripada pengamalanku terhadap pengetahuan agamaku.<br /> <br />
Belum lagi kalau bicara pengamalan pengetahuan tentang pendidikan. Jelas
aku tertinggal jauh di belakang. Dia sudah terjun, aku masih tidur
berkemul sarung. Dalam konteks Islam, siapa yang mengamalkan apa yang ia
ketahui, maka Allah akan mengajarinya hal-hal yang belum ia ketahui.
Dan berbagai asupan yang telah Bastian dapatkan semasa di kampus
Selingkar, sudah diamalkan dengan baik di medan juangnya sekarang.<br /> </span></span></span><br />
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show">~<br /> Krapyak, 20/02/2015</span></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-1463356790652045892015-02-02T18:41:00.000-08:002015-06-09T18:53:39.216-07:00Meneropong Pendidikan Indonesia<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9qTfj4rgwcgFCxo11O44b2un9ovLxsCbFsuWDxPFSZqh7sm3XSZRxE8-nukzgQ6NjarwXRmo2hrFTqLD0x-IOr-Wrmjhym3qr331cvCtfkWodx6I0367-Ra2iO2XRjHeA9U9A0v_6T54/s1600/war.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9qTfj4rgwcgFCxo11O44b2un9ovLxsCbFsuWDxPFSZqh7sm3XSZRxE8-nukzgQ6NjarwXRmo2hrFTqLD0x-IOr-Wrmjhym3qr331cvCtfkWodx6I0367-Ra2iO2XRjHeA9U9A0v_6T54/s200/war.jpg" width="200" /></a><b>Oleh: Wardono Jakarimba</b><br /><br />Ketika sedang asyik membuka halaman per halaman majalah Bintang, tak seperti biasanya ada tulisan tentang dunia pendidikan berjudul “MEMBANGUN OPTIMISME DUNIA PENDIDIKAN”. Maklum, yang namanya majalah Bintang biasanya hanya berisi gosip, gosip, dan gosip seputar selebritis. Sehingga dengan rakusnya saya langsung membaca tulisan tersebut sampe habis tanpa terlewatkan sekatapun.<br />
<br />
Kemudian terlintas di otakku untuk berbagi isi tulisan tersebut kepada teman-teman. Mengingat kita sudah terlanjur menceburkan diri ke jalur yang muaranya mengarah pada guru. Sebagai calon guru tentu kita di tuntut melahap serakus-rakusnya semua informasi tentang dunia pendidikan agar dapat menjadi guru yang berwawasan luas. Dan ulasan kembali terhadap tulisan tersebut semoga dapat menambah pundi-pundi wawasan kita terhadap dunia pendidikan. Di tulisan tersebut tidak ada nama penulisnya, jadi dalam pembahasan ulang ini saya sebut penulis tulisan tersebut dengan penulis. Oke, jangan banyak cas cis cus lagi, mari kita segera bahas kembali tulisan tersebut.<br /><br />Dengan berbagai permasalah yang masih menyelimuti pendidikan Indonesia, mulai dari sarpras, kualitas, pemerataan, dana, kebijakan, dan lain sebagainya, kita tetap harus memiliki optimisme yang tinggi dalam membangun pendidikan yang maju, karena peradaban Indonesia yang lebih baik hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Maka sangatlah tepat jika momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2013 bertemakan “Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan”.<br /><br />Penulis membeberkan kenapa tema tersebut sangat tepat karena kita memang wajib memiliki keyakinan dan optimistis, Indonesia ke depan adalah Indonesia yang lebih baik, karena itulah dibutuhkan kualitas, disertai akses yang berkeadilan, tanpa mengenal asal usul, status sosial dan latar belakang ekonomi. Optimisme ini didukung oleh fakta, bahwa setelah reformasi sampai sekarang ini Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti. Bahkan Mc Kinsey Global Institute (September 2012) meramalkan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030. Bukan hanya itu, dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tahun 2030, Indonesia membutuhkan sebanyak 113 juta tenaga kerja terampil. Dari mana dan bagaimana menyiapkannya??? Jawabannya tentu dari dunia pendidikan.<br /><br />Awal mendengar ramalan itu, saya atau mungkin juga teman-teman seperti tidak percaya Indonesia dapat seperti itu di tahun 2030 mengingat keadaan Bangsa Indonesia yang seperti ini, masih banyak rakyat miskin, ratusan atau bahkan ribuan kisah Tasripin-Tasripin lain yang masih tersembunyi, kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin makin tinggi, namun juga bukan sesuatu yang mustahil untuk menggapai ramalan tersebut terwujud jika kita mau bekerja keras mengabdi setulus hati di dunia pendidikan. Jangan banyak cas cis cus lagi, ayo kita bahas lagi tulisan tersebut...<br /><br />Tema tersebut bukan hanya sekedar pelengkap dalam Hardiknas, tapi menjadi kewajiban bagi pemerintah pusat dan daerah serta kita (masyarakat) untuk mewujudkannya demi terciptanya peradaban Indonesia yang lebih baik. Oleh karenanya, amanat dalam UUD 1945, yakni tiap warga negara wajib mengenyam pendidikan dasar, dan negara wajib mengelolanya, sehingga pemerintah pusat dan daerah, bersama-sama dg masyarakat harus berusaha memenuhi amanat tersbeut melalui pembangunan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Selain itu, menurut penulis, pendidikan haruslah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sebagai upaya memenuhi hal itu Kemdikbud telah memiliki program Bantuan Operasional sekolah (BOS) dan Beasiswa Miskin (BSM). Mulai tahun pelajaran 2013, BOS akan diberikan di jenjang pendidikan menengah. Diharapakn melalui program ini, kita tidak akan pernah mendengar lagi ada anak dari keluarga tak mampu yang tidak bisa mengenyam pendidikan atau putus sekolah.<br /><br />Kebijakan serupa tidak berhenti hanya pada jenjang pendidikan menengah atas saja. Namun juga kebijakan yang dapat membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi siswa dari keluarga tak mampu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Nah, kebijakan pemerintah untuk mendorong tersebut dengan meluncurkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan kebijakan uang kuliah tunggal (UKT), serta peningkatan jumlah penerima beasiswa Bidik Misi. Selain ketiga kebijakan tersebut, Kementerian dalam beberapa tahun terakhir telah membuka beberapa perguruan tinggi di luar Pulau Jawa. Termasuk yang mulai dirintis adalah pendirian Akademi Komunitas yang akan didirikan minimal satu di setiap kabupaten/kota, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.<br /><br />Semua itu dilakukan tentu untuk meningkatkan akses seluas-luasnya bagi seluruh putra putri bangsa ini dalam mengenyam pendidikan. Dan hal ini adalah langkah untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia guna membangun bangsa di segala bidang yang pada akhirnya dapat membawa Indonesia ke peradaban yang lebih baik.<br /><br />Sebagai insan akademik, yang nantinya terjun mengabdi dalam dunia pendidikan, tentu kita jangan pernah kehilangan rasa opimisme untuk memajukan dunia pendidikan kita. Segudang permasalahan yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita, harus menjadi pemicu semangat kita semakin tinggi untuk memeprbaiki kekurangan-kekurangan dalam pendidikan kita, jangan sebaliknya menjadi optimisme kita semakin luntur karena itu hanya akan semakin memperparah dunia pendidikan dan pada akhirnya para putra putri penerus bangsalah yang menjadi korban. MAU ANAK CUCU KITA JADI KORBAN PENDIDIKAN KITA? Jawaban kita tentu TIDAAAK! Makanya mari kita tetap SEMANGAAAT!<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-63570514242728506142015-01-31T17:55:00.000-08:002015-06-09T17:58:46.351-07:00Nyawa Tumbuhan<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">“Aku bisa ngobrol sama tumbuhan,” kata Sutri. Aku yang lagi santai
menikmati kehangatan mentari pagi sambil menyiram kembang pun
terperanjat, “Tenane Sut?! Ente bisa ngomong sama tanduran?!” cecarku.
“Bukan, tapi bapaknya temenku bisa ngobrol sama tanaman-tanaman,”
sahutnya. Oalaah. Tokoh kita satu ini ngomongnya memang kadang tak
jelas. Entah karena lidahnya keseringan salto atau <span class="text_exposed_show">kebanyakan ngemut knalpot, bicaranya jadi kayak ibu-ibu arisan; ribet.</span></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNahyC0AiQMAMwE5lOIa_dKES1k9RbcnTuzrygcmFYiuZmn_aN5eKZGTqTBDWus8uoOG6-396m3xRkEQA1m0CFeTNFZDvZyw2I_bkyR-7P9ioG7Hlge45qR6b-H6MB4a9sNRHUL4-zQk4/s1600/SUTRI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="318" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNahyC0AiQMAMwE5lOIa_dKES1k9RbcnTuzrygcmFYiuZmn_aN5eKZGTqTBDWus8uoOG6-396m3xRkEQA1m0CFeTNFZDvZyw2I_bkyR-7P9ioG7Hlge45qR6b-H6MB4a9sNRHUL4-zQk4/s400/SUTRI.jpg" width="400" /></a></div>
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show">Pagi itu kondisiku sudah lumayan segar meski masih lemas dan
pegal-pegal, sisa kumat GERD malam sebelumnya. Dua malam lalu, aku
muntah-muntah, pusing dan tak bisa tidur sampai dini hari gara-gara
masuk angin overdosis sehingga memicu asam lambungku naik. Nah, saat
itulah Sutri ini yang jadi dewa penolong, sigap ngerok dan mijet sampai
aku bisa tertidur lelap.<br /> <br /> “Jadi gini,” lanjut Sutri yang lebih suka dipanggil <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100000158696484" href="https://www.facebook.com/sutricahyokusumo">Cahyo</a>, “Di kampung, aku punya temen main, nah temenku itu punya bapak. Lha bapaknya temenku itu bisa ngobrol sama tumbuhan.”<br /> <br /> “Ente pernah liat?”<br /> <br />
“Nggak sih. Si Bapak itu ngobrolnya kalau lagi sepi aja. Tapi
keluarganya itu sering mergoki pas dia lagi ngobrol sama pohon atau
bunga-bunga. Temenku itu cerita begitu.”<br /> <br /> “Wow.. Terus apa yang diobrolin?”<br /> <br /> “Ya nggak tau lah.”<br /> <br /> “Itu Bapaknya stress atau gimana, Sut?”<br /> <br />
“Ngawur! Normal yoooh! Bapaknya itu baik banget malah, kalau kami
mampir dolan ke rumahnya pasti kenyang. Ya memang keluarga berkecukupan,
tapi ya nggak kaya banget. Dia punya usaha jagal dan ngajar ngaji juga
di surau. Pas meninggalnya, orang sekampung liat wajah Si Bapak
mencorong dan tersenyum.”<br /> <br /> Sutri mengucapkan kata terakhir
sambil mempraktekkan senyumnya yang cetar membahana. Kawan-kawan memang
melabelinya dengan sebutan ‘Shohibul Mesem’ sangkin overdosisnya dia
mesem. Lalu aku bertanya lagi,<br /> <br /> “Kalau cerita itu benar, berarti
tumbuhan juga bernyawa ya, Sut? Atau jangan-jangan Si Bapak ngobrol
sama jin yang kebetulan menghuni tumbuh-tumbuhan itu?”<br /> <br /> “Oh
bukaan! Beliau itu memang ngobrol sama tumbuhan. Karena segala makhluk
itu juga bertasbih berdzikir kepada Allah dan bernyawa. Termasuk
tumbuhan. Kamu tahu nggak, dulu itu banyak pepohonan yang meliuk
menaungi Kanjeng Nabi Muhammad. Bahkan ada wali yang bisa mengetahui
manfaat suatu tumbuhan karena dikasi tahu oleh tumbuhan itu sendiri,”
terang Sutri bersemangat, mirip motivator.<br /> <br /> “Lhah Sut,”
sambungku, “Katanya orang-orang yang ngrowot itu nggak boleh makan
makhluk bernyawa, yaitu hewan. Berarti tumbuh-tumbuhan termasuk makhluk
tak bernyawa dong?”<br /> <br /> “Ooh bukan begitu, berarti kamu salah paham, ckckck,” sanggahnya dengan muka sengak.<br /> <br /> “Lha njur piye?”<br /> <br />
“Maksudnya makhluk bernyawa dan tak bernyawa itu bukan seperti yang
kamu pahami. Maksudnya makhluk bernyawa dan nggak boleh dimakan sama
yang ngrowot itu adalah makhluk yang musti disembelih dulu sebelum
dikonsumsi. Misalnya kamu mau makan paha ayam, ya kamu harus sembelih
ayamnya dulu. Kalau kamu langsung potong kakinya dan biarkan si ayam
hidup, ya kasihan dong. Maka kamu harus sembelih dulu. Dengan memotong
satu bagian tubuh, merugikan seluruh bagian makhluk itu. Nah, kalau yang
dimaksud dengan makhluk tak bernyawa semisal tumbuhan itu ya
sebaliknya. Kamu bisa mengonsumsi daun singkong tanpa merugikan si pohon
singkong. Bahkan bagus, dengan dipetiknya si daun singkong maka si
pohon singkong bisa jadi lebih subur dari sebelumnya. Dengan memotong
satu bagian makhluk itu, tidak menganiaya seluruh bagiannya yang lain.
Begitu..” papar Sutri panjang lebar.<br /> <br /> Aku manggut-manggut saja.
Masih merasa ada sesuatu yang janggal tapi enggan kuutarakan. Bisa
berabe kalau ngeyel di hadapan Sutri pagi-pagi cerah begini. Tiap
argumen yang kulempar bisa jadi bumerang yang justru nggepuk kepalaku
sendiri. Dia memang cocok jadi pengacara. Lagipula pagi hari nggak cocok
buat eyel-eyelan. Cocoknya buat dengerin irama kicau burung-burung,
menikmati hinggapan manja kupu-kupu, menemani kembang-kembang yang
‘ngulet’ baru bangun, dan suap-suapan sarapan buah sama kamu, Dek. *aa..
aa.. aaeem..*<br /> <br /> Bicara tumbuhan, berarti bicara senior kita di
muka bumi. Untuk membuktikan secara saintifik ada atau tidaknya nyawa
dalam tumbuhan sama sulitnya membuktikan ada-tidaknya nyawa dalam diri
manusia. Sutri meyakini bahwa tumbuhan dan makhluk apapun memang
bernyawa, tidak hanya manusia. Sedangkan nyawa yang dimaksud di sini
adalah energi kehidupan yang ditiupkan oleh Tuhan. Maka tidak sepatutnya
manusia memperlakukan tumbuhan seenaknya. Sutri seringkali sewot kalau
melihatku nyiram kembang kesiangan, dzalim katanya.<br /> <br /> Ah daripada
ngeyel, aku lebih memilih menceritakan kepada Sutri tentang satu buku
keren yang membahas hal ini, yakni ‘Secret Life of Plant’ karya Peter
Tompkinn dan Christopher Bird. Juga tentang ilmuwan yang konsen dalam
bidang ‘metafisik tumbuhan’, sosok eksentrik asal Jerman; Gustav Theodor
Fechner.<br /> <br /> Nah, Pak Fechner ini sebenarnya adalah dokter
merangkap profesor fisika di Universitas Leipzig. Dia mulai tertarik
mengamati sisi metafisik tumbuhan sebab suatu pengalaman menarik. Pada
tahun 1989, Fechner mulai memandangi matahari dengan mata telanjang,
niatnya hendak mempelajari fenomena after-image, yakni gambar-gambar
aneh yang tampak tetap ada di retina mata meski telah hilangnya stimulus
pandangan normal. Beberapa hari melakukan hal ini, ia kaget ketika
menyadari bahwa matanya mulai buta. Iseng banget dia. </span></span></span><br />
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show"><br />
Merasa terguncang karena tak bisa melihat lagi dan letih menumpuk, ia
menyendiri untuk beristirahat dalam sebuah kamar gelap dan mengenakan
topeng di wajahnya. Dalam ruangan itu, ia terus menerus berdoa sebagai
seorang pemeluk Kristen. Berapa lama dia menyendiri? Tiga tahun
saudara-saudara! Mengapa tidak ada yang menemaninya? Ah entahlah,
mungkin karena dia jomblo.<br /> <br /> Keajaiban terjadi. Pagi hari di
musim semi tiga tahun kemudian, ketika merasakan penglihatannya telah
pulih, Fechner keluar menuju cahaya. Dengan bahagia ia berjalan
sepanjang sungai Mulde dan seketika menyadari bahwa bunga-bunga dan
pohon-pohon sepanjang tepi sungai menyapanya. Ia menyebutnya dengan
istilah ‘be-souled’ (diberi jiwa).<br /> <br /> “Ketika aku berdiri di tepi
air dan memandangi sekuntum bunga, seakan-akan aku melihat jiwanya naik
dari kumpulan bunga, melayang-layang melintasi kabut, hingga nampak
jelas bentuknya. Ia bertengger di atas kuncupnya, mungkin agar dapat
lebih menikmati cahaya matahari,” tutur Fechner.<br /> <br /> Ia pun mulai
tertarik dengan kawan-kawan barunya, ya, tumbuh-tumbuhan. Dan makin tak
tertarik dengan pergaulan sesama manusia. Fechner menulis sekumpulan
kesan-kesannya selama berinteraksi dengan tumbuhan dalam sebuah buku
bombastis berjudul ‘Nanna or The Soul-Life of Plants”, diterbitkan di
Leipzig tahun 1848 dan –tentu saja- ditertawakan para ilmuwan. Judul
buku ini terinspirasi dari sebuah kisah mitologi Teutonic Jerman, yakni
ketika Si Baldur, dewa cahaya, iseng-iseng ngintip putri bunga yang
bernama Nanna lagi mandi. Karena terpesona, perkawinan antara cahaya dan
bunga pun dilangsungkan. Nama ini mengingatkanku pada nama istrinya <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=1806820183" href="https://www.facebook.com/bapakHalimi">Mbah Kamijo</a>, jangan-jangan nama asli simbah adalah Baldur.</span></span></span><br />
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show"><br />
Pola komunikasi dengan makhluk hidup selain manusia memang masih asing
bagi kita. Seperti kisah bapak temannya Sutri maupun pengalaman Mister
Fechner. Bahkan cenderung ditertawakan, semisal ngobrol dengan marmut,
bincang pagi dengan pohon jati, atau gendu-gendu roso sama genderuwo.
Apalagi bagi yang memakai pendekatan sains polos, tanpa menggunakan
perspektif lain. Meskipun belakangan muncul istilah Zona Kesadaran
Kuantum tentang kemungkinan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lain
termasuk tumbuhan.<br /> <br /> Ah repot amat, kalau aku sih percaya saja.
Tapi ya sekedar percaya, bukan untuk apa-apa. Segala keberadaan makhluk
yang nisbi di alam raya ini masih dalam garis kemungkinan, atau
istilahnya; jaa-iz. Bisa iya, bisa tidak. Tidak aneh dan biasa saja.
Tidak lantas digumuni berlebihan apalagi dipuja-puja dan
dijunjung-junjung. Namun hal yang musti kita sadari adalah bahwa kita
tidak sendirian di alam raya ini, kita semua saudara kandung dari rahim
ketiadaan. Segalanya saling terhubung dalam suatu sistem yang rumit nan
cantik.<br /> <br /> Sebagai penutup, ada pemikiran menarik dari Fechner
dengan pandangannya yang unik. Dalam buku ‘Little Book of Life After
Death’, ia mengemukakan gagasan bahwa kehidupan manusia berada pada tiga
tingkatan. Pertama, tidur terus menerus, yakni sebelum dilahirkan.
Kedua, ngelilir atau setengah terbangun, yaitu ketika hidup di alam
dunia. Dan ketiga, terbangun sepenuhnya, inilah masa setelah mati. Teori
yang mirip ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib; “An-naasu niyaamun wa
idzaa maatuu intabahuu (manusia dalam keadaan tidur, ketika mati,
terbangunlah mereka).”<br /> <br /> Fechner juga mengungkapkan gagasan
menarik dalam ‘Comparative Anatomy of the Angels’. Wuih judule nggilani
dab! Dalam buku itu, ia torehkan bagaimana upayanya melacak jejak
evolusi mulai dari organisme bersel satu melalui manusia menuju makhluk
yang –secara anatomi- lebih tinggi berupa malaikat. Bentuknya
menyempurna semakin utuh dan mampu melihat gravitasi universal
sebagaiana manusia mampu melihat sinar. Makhluk yang berkomunikasi bukan
dengan getaran suara melainkan dengan simbol-simbol cahaya. Ini persis
yang diungkapkan Rumi dalam puisinya;<br /> <br /> "Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,<br /> Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,<br /> Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan<br /> Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?<br /> Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan,<br /> untuk membumbung bersama para Malaikat."<br /> <br />
Sampai berbusa mulutku pagi itu bercerita kepada Sutri tentang
psikofisik, universalitas ciptaan, filosofi bunga dan beberapa potong
isi buku Petuah Pohon (ngiklan nih, hihi). Eh orangnya malah selonjor
ngorok. Ncen su og!<br /> <br /> ~<br /> Krapyak, 31/01/2015</span></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-3111049972801163482015-01-21T18:00:00.000-08:002015-06-09T18:03:28.953-07:00Profesi Pengabdian<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">Kau tahu nama tokoh yang diangkat Kang Abik dalam novel ‘Api Tauhid’?
Ya, nama pemuda yang duduk sok mikir di sampingku ini mirip dengan tokoh
itu; <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100000301492427" href="https://www.facebook.com/sayd.vandyas">Sayd Nursiba</a>.
Mungkin bapaknya kagum dengan tokoh sufi revolusioner asal Turki itu,
Said Nursi Badiuzzaman, dan berharap putranya ini bisa meneladani
kecerdasan intelektual, ketangguhan perjuangan dan ketajaman
spiritualnya. *Ngimpi<span class="text_exposed_show"> ya, Pak? :p</span></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpoiQfJftMsXyjRyZWcG9gliPEfexiByp8YN6q-5do53_GYLfKZjdQza8sOrXA39VhzeEYLvnibFNefWYrw-MJoWTGN8NXc4Y2bZ3_ooHJo_6_X-wSYvpChPFmmOYBAbC5gXc2Vd6Z1Ns/s1600/said.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpoiQfJftMsXyjRyZWcG9gliPEfexiByp8YN6q-5do53_GYLfKZjdQza8sOrXA39VhzeEYLvnibFNefWYrw-MJoWTGN8NXc4Y2bZ3_ooHJo_6_X-wSYvpChPFmmOYBAbC5gXc2Vd6Z1Ns/s400/said.jpg" width="282" /></a></div>
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show">Beberapa malam lalu, sebagaimana malam-malam sebelumnya dan malam-malam
yang akan datang, Sayd ndobos ngalor ngidul di kamar kosku. Bersama
pasangan homonya, Fahmi, ia membincangkan tentang kerja. Nah, aku yang
lagi ngetik pun kebagian nguping. Beginilah enaknya kalau punya
kawan-kawan cerdas, meskipun kau tak baca buku, kau tetap bisa kulak
pengetahuan dan pemahaman baru.<br /> <br /> Sebagaimana pernah dikeluhkan
Pramono yang sama sekali tidak punya hobi baca buku, maka kusarankan
untuk perbanyak ngobrol tentang hal-hal spesifik dengan orang-orang yang
memang bergelut dalam hal-hal itu. Biar orang-orang itu yang baca buku
dan mengalami laku, kau tinggal gali intisarinya, toh mereka pun tidak
akan menolak, bahkan dengan senang hati ngoceh kesana kemari. Karena
biasanya, dengan menyampaikan apa yang sudah dipahami, mereka pun bakal
mendapatkan pemahaman baru. Begitulah ajaibnya ilmu.<br /> <br /> Kebetulan,
Sayd mengajar secara honorer di sebuah institusi pendidikan di
kampungnya. Kuliahnya belum lulus, masih tahap pengajuan skripsi. Ia
juga menangani advertising beberapa usaha, mulai dari packaging hingga
clothing. Maka setiap hari dia keliling dari kantor ke kantor, penerbit
ke penerbit, pabrik ke pabrik, untuk ngglembuk sekaligus membangun
relasi bisnis. Sedangkan Fahmi sudah jadi sarjana komunikasu, sambil
bekerja menjadi guide bagi para bule yang melancong ke negeri kita
tercinta. Sungguh pemuda-pemuda idaman mertua.<br /> <br /> Nah, malam itu
mereka –dengan begitu mesra- saling curhat tentang pekerjaannya
masing-masing. Aku pun melipir di sudut ruangan, takut mengganggu momen
romantis mereka. Hahaha.</span></span></span><br />
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption"><span class="text_exposed_show"><br />
Menurut mereka, profesi adalah segala jenis kegiatan yang menjadi
pekerjaan sebagai mata pencaharian, praktisnya; pekerjaan yang
menghasilkan uang. Berbeda dengan pengabdian yang murni sebagai lahan
penumpahan kreativitas tanpa mengharapkan timbal balik material. Setiap
orang musti paham bedanya, sehingga hidupnya tak melulu material dan
hampa. <br /> <br /> Sebagai guru dan ustadz TPA, Sayd menganggapnya sebagai
pengabdian. Sedangkan kegiatannya mondar-mandir kesana kemari, ia
jadikan sebagai profesi dan seni bertahan hidup. Istilah yang sering
kami gunakan di sini; upaya menjemput rejeki. Maka dia membagi betul
waktu dan porsi energi agar pengabdiannya di sekolah tidak terbengkalai
akibat terlalu ruwet dengan urusan profesi. Dia termasuk penganut paham
sekuler; profesi ya profesi, mengabdi ya mengabdi.<br /> <br /> Lalu
bagaimana dengan orang yang menjadikan profesinya sebagai pengabdian?
Atau sebaliknya, memosisikan lahan pengabdiannya sebagai profesi? Ya sah
sah saja. Asalkan dia harus mencurahkan segenap energi jiwa sebagai
totalitas berkarya. Menjadikan pengabdian guru sebagai profesi? Silakan,
asalkan betul-betul mendidik dan menjadi teladan, tak sekedar mengajar
dan menunggu gaji bulanan. Jadi pegawai negeri sebagai pengabdian? Ya
silakan, berarti harus betul-betul taat aturan dengan niat melayani
kepentingan rakyat tanpa korupsi dan tindakan indisipliner. Ini bagi
yang menganut paham unifikatif, memadukan antara profesi dan pengabdian.<br /> <br />
Baik sekuler atau univikatif memiliki konsekuensi masing-masing. Bagi
sekularis, ia harus mampu membagi waktu agar pengabdiannya tak kalah
oleh kesibukannya cari duit. Sekaligus jangan sampai menjadikan
pengabdian itu sebagai alasan kekacauan perkembangan profesinya. Banyak
guru yang menelantarkan tugas pengabdiannya karena sibuk berbisnis.
Konsekuensi bagi orang yang memadukan antara profesi dan pengabdian pun
tak ringan, ia harus optimal dalam bidangnya itu dan tak sekedar
menumpang hidup. Karena seperti kata Hamka; kalau hidup sekedar hidup,
tikus saja bisa.<br /> <br /> Namun alangkah baiknya jika setiap orang,
sesibuk apapun dengan lapangan profesinya, tetap menyempatkan energi dan
meluangkan waktu untuk pengabdian yang ada di luar profesinya itu. Di
manapun dalam bidang apapun sesepele bagaimanapun. Karena seberlimpah
apapun seseorang, tetap saja akan ada lubang besar dalam jiwanya jika
tak meluangkan energi untuk mengabdi.<br /> <br /> Malam tadi, wajah Sayd
nampak sumringan setelah dicharge secara spiritual oleh Kang Rizal.
Selepas wiridan Ratib al-Haddad di kos wetan Kandang Menjangan hamba
dalam rangka ‘Mencangkul di Langit’, ia menggali motivasu dari Kang Arif
sebagai sama-sama pengusaha muda. Tentu saja, setelah membantai
gorengan, ia pamit pulang dengan meninggalkan selembar brosur ekspedisi.
Isinya begini; Bagi kawan-kawan yang ingin mengirimkan barang apapun,
antarkota antarpulau, baik via darat, laut atau udara, atau berminat
bikin kaos berkualitas untuk pribadi, geng dan instansi, silakan hubungi
Mr Sayd dengan hotline 0857 8635 8555. Pelayanan terjamin! *Iklan
gratisan*<br /> <br /> Selaras dengan motto almarhum Bob Sadino, ia
beranggapan bahwa segala makhluk yang ada di muka bumi bisa dijadikan
lahan bisnis, jadi duit. Apalagi setelah dia nonton film PK yang
dibintangi Aamir Khan itu, bisnis ketakutan bertopeng agama ternyata
sangat menggiurkan.<br /> <br /> “Ayo Zi, ente sediakan air putih, cari
menyan yang murahan, terus pasang gentong celengan di pintu masuk. Nanti
biar ane yang blusukan pencitraan. Ane cari pasien yang lagi galau,
terus ane bawa ke sini, nah ente ekting jadi dukun ampuh, tinggal pake
software primbon sama air keran dan rambut gondrong. Bam bam bolee bam
bam bolee.. Nanti hasilnya fifty-fifty. Gimana?”<br /> <br /> Ndasmu renyah ‘id!<br /> <br /> ~<br /> Krapyak, 21/01/2015</span></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-68422710318192205022015-01-10T18:05:00.000-08:002015-06-09T18:06:47.686-07:00Berburu Mertua<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">Sosok yang berdiri di sampingku ini bukan Patung Gupolo yang biasa ditemui di gerbang candi lho ya. Namanya <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=1518932725" href="https://www.facebook.com/budiografi">Budi</a>,
kalian yang pernah sekolah SD pasti familiar dengan nama ini. Ya, dia
temannya Inu, Ani, Badu, Yustito, dan tokoh legendaris lain di Buku
Bahasa Indonesia. Hehehe.</span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfc4TD6kzwIYfo3DSr6ukI7CLZjn5KReL21_rsWET2kvTj4mh_Fk3plpew4IstdkixqV89UZmjpoGIywkK0BFEJLvdFyRHFvVKkf-5VcwXb0drhSAC-vuJSXjjwoPJmpj6ASBjvsxkA1M/s1600/budi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfc4TD6kzwIYfo3DSr6ukI7CLZjn5KReL21_rsWET2kvTj4mh_Fk3plpew4IstdkixqV89UZmjpoGIywkK0BFEJLvdFyRHFvVKkf-5VcwXb0drhSAC-vuJSXjjwoPJmpj6ASBjvsxkA1M/s400/budi.jpg" width="348" /></a></div>
<span class="fbPhotosPhotoCaption" data-ft="{"tn":"*G","type":45}" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">Sekedar bocoran, Budi ini masih jomblo, food combiner, santri kalong, humanis relijius, jaket kuning, filsuf rocke<span class="text_exposed_show">r yang sedang nyemplung dalam eksotisme perbatikan, asli Tegal dan ngantor di Pekalongan.<br /> [Bud, satu porsi lotek buat honor promo!]<br /> <br />
Mungkin betul apa yang dikatakan Budi beberapa waktu lalu bahwa
kriteria orang tua terhadap calon menantu dibentuk oleh atmosfer
zamannya. Pada umumnya, tren calon menantu favorit bagi orang-orang tua
yang tumbuh di zaman kemerdekaan mungkin adalah anak muda yang kuat dan
militan. Saat itu predikat sarjana sama sekali tak menjadi perhitungan,
bahkan sama sekali tak populer.<br /> <br /> Namun bagi orang tua yang
dibesarkan di era orde baru dengan berbagai kenyamanan sosial-ekonomi,
bakal mengidolakan calon menantu yang mapan secara finansial. Wadah
pendidikan berupa sekolahan telah sukses melambungkan pemuda-pemudi yang
bergelar sarjana ke posisi menantu idaman. Pegawai negeri juga jadi
favorit pada masa itu, bahkan mungkin hingga hari ini.<br /> <br /> Lalu
bagaimana dengan orang-orang tua yang menangi era reformasi? Bagaimana
tren calon menantu favorit bagi mereka? Bisa jadi sangat berbeda dengan
orang-orang tua sebelumnya. Kreativitas dan progresivitas akan menjadi
tolak ukur baru bagi mereka dalam menyeleksi calon menantu. Sarjana atau
bukan tak lagi penting.<br /> <br /> Perkara ini menjadi penting untuk
dibahas bagi pemuda-pemudi yang saat ini masih jomblo dan sedang
mengatur strategi invasi perburuan jodoh. Karena penaklukan calon
pasangan hidup masih belum tuntas tanpa penaklukan calon mertua. Hahaha.<br /> <br /> Setelah menelaah berbagai macam tren ini, Budi menyimpulkan bahwa ada dua jenis ukuran bagi orang tua dalam menyeleksi menantu.<br /> <br />
Pertama, ukuran ‘mutlak’; berupa sikap, kemandirian dan tanggung jawab.
Artinya, saringan awal bagi calon menantu adalah sikap atau attitude
sebagai calon anak. Serta kenyataan bahwa dia sanggup mandiri untuk
berpenghidupan, apapun bentuk aktivitasnya. Selain itu, keberanian untuk
segera menyerbu langsung pihak orang tua adalah bentuk keseriusan dan
tanggung jawab. Ketiga hal ini menjadi variabel primer yang selalu
berlaku dimanapun dan kapanpun, universal.<br /> <br /> Kedua, ukuran
‘relatif’, berupa jenis pekerjaan, besar penghasilan, tampang, jenjang
pendidikan, sarjana atau bukan, santri atau bukan, maupun keturunan.
Semua ini menjadi variabel-variabel sekunder yang sangat subyektif dan
dipengaruhi atmosfer hidup si orang tua. Sebagaimana sudah disinggung di
atas.<br /> <br /> Nah, menurut Budi, sebaiknya para jomblo masa kini tidak
usah minder dan memusingkan variabel-variabel sekunder ini. Kau cukup
mempersiapkan sebaik mungkin tolak ukur universal berupa kemandirian dan
tanggung jawab. Bukan berarti kau harus kaya raya dan berpenghasilan
besar, bukan. Setidaknya ada kasab yang bisa kau kerjakan, boleh tetap
atau serabutan, boleh jadi pegawai atau wirausaha.<br /> <br /> Tetapi tidak
semua orang yang sudah mandiri bisa bertanggung jawab. Karena hal ini
tidak sekedar berkaitan dengan urusan kelamin dan isi perut. Tapi juga
tentang ketenteraman batin dan kebahagiaan hidup. Maka rasa tanggung
jawab kemudian menjadi syarat penting bagi kesiapan seseorang.<br /> <br />
Kalau kau merasa sudah siap dengan kedua hal itu, ya sudah mandiri
sekuatmu, ya sudah bersedia tanggung jawab semampumu, maka segeralah
sikat! Biar tak galau terus menerus. Kalau secara riil memang belum
siap, ya jangan buru-buru. Kecuali kalau kau anak bangsawan yang selalu
disuapi seumur hidup.<br /> <br /> Nah para jomblo, jangan galau! Persiapkan saja tolak ukur primer itu sebaik mungkin. Persis yang diucapkan Budi;<br /> <br />
“Kalau sudah mantap dengan sikap gentle, karakter mandiri dan tanggung
jawab, maka sejelek apapun tampangku, sekacau bagaimanapun latar
pendidikanku, ah orang tua mana sih yang bakal sanggup menolak
lamaranku?”<br /> <br /> Tapi Bud, masalahnya, ada nggak anak gadis yang mau sama kamu? :p<br /> <br /> ~<br /> Malam Minggu Kedua, Januari 2015</span></span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-59278978166583945752014-09-21T10:22:00.000-07:002015-06-08T10:28:08.367-07:00Api Adalah ...<b>Kos Kandang Menjangan, Sabtu 21 September 2014 | Penyaji: Akwal Sadida<br /></b>Monster yang ngumpul malam hari ini ada sembilan ekor. Sabtu malam minggu, 27/9/2014, markas hamba di wetan Kandang Menjangan diserbu penDuduk yang berkategori JOMBI alias Jomblo Durung Rabi.<br /><br />Seperti biasa, ritual cangkeman diawali dengan terapi otak yang sekaligus bisa menyegarkan otot-otot mulut dan perut. Mursyid tunggal terapi ini adalah Jombi Irfan yang merupakan humas dari Padepokan Jagat Lelembut Sunan Ampel Kotagede.<br /><br />Selanjutnya, Jombi Fahmi berkisah tentang pengalamannya nyedot rokok sehat semasa magang di Djarum Kudus. Kemudian ia melontarkan pertanyaan sederhana tentang api; kalau air adalah materi yang memiliki unsur Hidrogen dan Oksigen, maka bagaimana dengan api?<br /><br />Jombi Farid berpendapat bahwa api adalah bentuk pelepasan energi yang sama seperti cahaya. Sehingga antara setan dan malaikat memiliki kemiripan dalam hal unsur pembentuknya; energi misterius. Tapi perlu diingat bahwa cahaya berbeda dengan sinar. Sinar adalah energi yang muncul, sedangkan cahaya adalah sinar yang terpantul.<br /><br />Jombi Sayd menanggapi, api bukanlah energi, melainkan materi hasil oksidasi yang tentu saja melibatkan oksigen. Jadi, api terjadi dari oksigen. Kira-kira, apalagi yang menjadi penyeab terciptanya api?<br /><br />Jombi Muhidin menjawab; bahan bakar! Tapi apakah oksigen dan bahan bakar bisa begitu saja menimbulkan api? Ternyata tidak. Ada satu unsur lagi yang harus ada, yaitu; panas. Nah, kalau sudah ada tiga unsur tersebut, tinggal satu hal yang diperlukan untuk membuat api, yaitu reaksi kimia antara oksigen dan bahan bakar yang dipantik oleh panas.<br /><br />Jombi Milyun yang sedari tadi mengedip-ngedipkan mata dan mencumi-cumikan mulut demi menarik simpati Mukid, akhirnya bersuara. Ia mengatakan; berarti, tubuh manusia sangat mungkin memproduksi api jika bisa mengendalikan unsur-unsur pembentuk api dalam dirinya, yaitu oksigen, bahan bakar, dan panas. Seperti kisah para pendekar di masa lalu.<br /><br />Jombi Zia berusaha mempraktekkan teori ini, yakni mengeluarkan segenap energi untuk mengeluarkan api. Namun sayang, ia gagal. Justru yang terbentuk adalah reaksi hidrolik dari usus besar, lalu keluar dari anus berupa kentut, langsung dihirup Jombi Nasrullah yang kebetulan bersandar di pantatnya.<br /><br />Setelah menabrak kebuntuan selama beberapa detik tentang bagaimana reaksi kimia antara oksigen - bahan bakar - panas, kami mendapatkan jawaban. Karena malam itu, untungnya, hadir Jombi Sadida yang jauh-jauh ngepit dari UGM ke Krapyak untuk berbagi ilmu. Ia menerangkan secara gamblang dari sudut pandang Fisika tentang bagaimana api terwujud. Berikut ini penjelasannya;<br /><br />"...$#@&%$(&%$# @$&()(&#@#$%&#@$ #@&%$(&%$#@$&()(&#@#$% &#@$#@&%$(&%$#@ $&()(&#@#$ %&#@$#@&%$( &%$#@$&()(&# @#$%&#@$#@&%$( &%$#@$&()(&#@ #$%&#@$#@&%$(&%$#@ $&()(&#@#$%& #@$#@&%$(&%$ #@$& ()(&#@#$%& #@!}{}?..."<br /><br />Jelas, 'kan?<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHYzd6m-7cpqmwo1TwU0Z8cFbLTpGkXFQkZY98-A4sqZqSHsy13pxN7zk5to8Z_iT1cZB7klOxNCFLc0XhJaCkEY7hoW4s3dLxyCBSN_l9J1fsxy3Efvd3Xz6a4UG87ZWvRCedKhFxEZs/s1600/SPM_A1046.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHYzd6m-7cpqmwo1TwU0Z8cFbLTpGkXFQkZY98-A4sqZqSHsy13pxN7zk5to8Z_iT1cZB7klOxNCFLc0XhJaCkEY7hoW4s3dLxyCBSN_l9J1fsxy3Efvd3Xz6a4UG87ZWvRCedKhFxEZs/s400/SPM_A1046.jpg" width="400" /></a></div>
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-40500599999605329132013-12-27T10:18:00.000-08:002015-06-08T10:21:03.845-07:00Mengadili Rokok<b>Angkringan Kraton, Kamis 27 Desember 2013 | Penyaji: Muhammad Iqbal Fahmi<br /></b>Kamis jam sembilan malam, lalu lalang orang-orang mengeroyok pasar rakyat di Alun-alun Utara alias Altar. Malam itu masih dalam pekan-pekan perayaan Sekaten, jadi maklum jika nampak begitu ramai. Pelataran kraton yang biasa kami sulap jadi aula diskusi pun sudah dialihfungsikan jadi parkiran. Tapi tenang, masih banyak tepat lain yang asik buat duduk selingkar. Kami pilih hinggap di angkringan sepanjang trotoar, seberang museum kereta Jalan Rotowijayan.<br /><br />Kali ini sembilan pemuda kurang kerjaan mengangkat tema tentang rokok. Benda mungil yang multikompleks. Setelah dua bulan magang di Djarum Foundation Kudus, Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok di forum diskusi absurd ini. Jumat 27 Desember, jam 2 dini hari. Baru selesai diskusi santai Selingkar, dan jeroan serasa makin segar. Sejak jam 9 hari Kamis kemarin, di trotoar angkringan Kraton Yogyakarta, Kadet Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok setelah dua bulan magang di Djarum Kudus. Dari selinting tembakau bisa ditelaah dan disikapi dari berbagai perspektif.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEga2BHoX-8bFwu6M3y4Lp7GWAd1GvPB7KGOzqoyqK1nZ7ZevG0U2_7WJ4bGF1itO3XtwqRMeVRX_pszVsZMKJAjse-73ffUNj1QqD2kLS1JgPLcaji-C80qb0fwtcaeOuOfwxUc1cKPt6g/s1600/Rokok+Kraton.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="313" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEga2BHoX-8bFwu6M3y4Lp7GWAd1GvPB7KGOzqoyqK1nZ7ZevG0U2_7WJ4bGF1itO3XtwqRMeVRX_pszVsZMKJAjse-73ffUNj1QqD2kLS1JgPLcaji-C80qb0fwtcaeOuOfwxUc1cKPt6g/s400/Rokok+Kraton.jpg" width="400" /></a></div>
Pertama, tentang bahan baku: tembakau dan cengkeh. Kedua, tentang proses produksi. Ketiga, tentang pemasaran dan jaringan global. Keempat, tentang budaya dan kontroversi.<br /><br />Pro-kontra merokok dibahas tuntas pada kesempatan Selingkar kali ini. Mulai dari asal mula budaya merokok di negeri ini, beragam jenis tembakau, proses produksi rokok, pemberdayaan masyarakat melalui kretek, korporasi global dan pencaplokan lahan, hingga mafia kapital dunia kesehatan.<br /><br />Pada awalnya, penduduk Selingkar mengemukakan berbagai silang pendapat tentang rokok. Namun ujungnya, bermufakat bahwa rokok bukanlah sumber masalah yang sering disudutkan oleh berbagai pihak. Ada kepentingan ekonomi, bahkan politik, yang melatarbelakangi pro-kontra global ‘jajan tembakau’ ini.<br /><br />Untuk melengkapi perbincangan mengenai rokok ini, alangkah bijaknya bila kita menziarahi salah satu penemuan anak bangsa yang cukup fenomenal. Ketika dimana-mana rokok dihujat oleh oknum dunia kesehatan, di Kudus ada rokok yang justru berpartisipasi dalam upaya penyembuhan berbagai macam penyakit.<br /><br />Namanya; Divine Kretek alias Si Rokok Sehat! Kabarnya, si rokok ini berhasil membantu terapi penyembuhan lebih dari sepuluh ribu pasien dengan beragai macam keluhan penyakit berat, semisal kanker hingga autis. Bagaimana ceritanya? Mari kita telaah bersama.<br /><br />[o]<br /><br />Radikal bebas adalah penyebab utama hampir semua penyakit. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara, makanan, tambalan gigi amalgam, kosmetik dan sebagainya. Radikal bebas menjadi racun yang menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri tidak berjalan maksimal. Namun, selama ini yang dituduh sebagai penyebab utama penyakit adalah rokok. Padahal, nikotin rokok justru sebagai zat peluruh radikal bebas.<br /><br />Demikian dikatakan Prof. Dr. dr. Sarjadi, Sp. PA (K), Guru Besar Patalogi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang juga Rektor Universitas Muria Kudus. Kata beliau, nenek moyang kita dan suku Indian misalnya, telah menjadikan tembakau sebagai obat berbagai penyakit.<br /><br />Namun, sejak era industrialisasi, nikotin dalam tembakau mulai terpapar radikal bebas yang disebabkan polusi dari industri dan transportasi. Sehingga kandungan positif pada nikotin tertutup dan tercemar radikal bebas. Jika radikal bebas pada nikotin berhasil dibersihkan, maka tembakau justru menjadi obat!<br /><br />Upaya membersihkan tembakau dari radikal bebas itu berhasil dilakukan oleh DR Greta Zahar (pakar fisika nuklir) dan Prof Sutiman B. Soemitro (pakar Bio Molekuler Universitas Brawijaya Malang). Melalui pendekatan Nanoteknologi, keduanya berhasil mengembangkan rokok yang bebas dari radikal bebas dan bahkan asapnya berfungsi sebagai scavenger (penangkap dan penjinak) radikal bebas. Temuan itu diberi nama Divine Kretek.<br /><br />Dalam buku “Divine Kretek – Rokok Sehat” yang diterbitkan oleh MBPI (Masyarakat Bangga Produk Indonesia) dijelaskan bahwa Divine Kretek dipadukan dengan metode pengobatan balur yang juga menggunakan pendekatan nanoteknologi. Paduan keduanya selanjutnya disebut Balur Divine.<br /><br />Dr Saraswati, M.Psi (Direktur Lembaga Peneletian Peluruhan Radikal bebas Malang) mengatakan; Balur Divine adalah detoksifikasi radikal bebas dengan teknik membalurkan (melulurkan) sejumlah formula menggunakan pendekatan Nanoteknologi. Detoksifikasi dengan Balur Divine mampu menghilangkan radikal bebas secara efektif, karena pendekatan nanoteknologi mampu memperkecil gelembung toksin/racun menjadi ukuran nano (seper semiliar meter), sehingga racun dapat keluar dari tubuh tanpa menimbulkan luka.<br /><br />Proses balur, diantaranya dengan minum formula asam amino tertentu, yang mampu mengambangkan zat radikal dari dalam tubuh. Proses balur juga harus dilakukan di atas lempeng tembaga (Cu) yang terhubung dengan bumi (grounding) dan ditutup aluminium foil. Hasilnya, zat radikal yang keluar dari tubuh yang sarat muatan listrik negatif, akan menumbuk lempeng tembaga dan alumunium foil, lalu dialirkan dan dinetralkan ke bumi (grounded).<br /><br />Dr Tony Priliono, pengelola Rumah Sehat “Griya Balur Muria” Kudus mengatakan; Balur Divine efektif meluruhkan radikal bebas penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit degenerative seperti kanker, stroke, jantung, asam urat, juga untuk mengobati anak autis. Selain di kudus, rumah sehat terapi Balur Divine sebelumnya sudah dibuka di Jakarta, Malang dan Semarang.<br /><br />DR Kusnanto Anggoro (Peneliti Center for Strategic and International Studies/CSIS Jakarta) mengatakan; temuan Divine Kretek memberikan semangat dan harapan kebangkitan yang berdampak pada sosial dan politik bangsa Indonesia. Harus ada upaya menyempurnakan temuan tersebut secara berkesinambungan.<br /><br />Mohamad Sobari, budayawan nasional mengatakan; temuan Divine Kretek seyogyanya bisa membuka pikiran kelompok anti tembakau yang selama ini hanyut pada stigma bahwa tembakau harus dimusihi karena dianggap sebagai sumber penyakit.<br /><br />Namun sayangnya, sebagaimana masalah klasik yang sering dihadapi para jenius di negeri ini: tidak adanya dukungan energi (dana untuk riset, pengembangan, dan pemasaran) dari pemerintah, apalagi perusahaan rokok. Sebagaimana dinyatakan Dr. Sutiman;<br /><br />“Kami tidak didukung oleh perusahaan-perusahan rokok.”<br /><br />Salah satu penDuduk yang pernah merasakan rokok ini, Fahmi, menceritakan bahwa asap yang dihisap tidak berat di paru-paru. Saat ini baru dipasarkan terbatas untuk keperluan terapi di Kudus, Jakarta, Semarang, dan Malang.<br /><br />Dari sisi kesehatan, produk rokok-jamu ini membalikkan tuduhan sumber penyakit menjadi obat penyembuh, atau dari 'madharat’ justru menjadi ‘manfaat’ dalam sisi hukum agama.Dan secaa ekonomi, tentu bila rokok-sehat ini didukung pemasarannya, tidak ada lagi rokok punya Phillip Morris beredar di pasaran dengan berbagai gambar mengerikan.<br /><br />~<br /><br />Nah, ada lagi rokok kesehatan dari Malang yang sudah merambah pasaran luas. Namanya; ROKOK SIN. Rokok Sin bentuknya seperti rokok pada umumnya, namun memiliki efek yang sungguh berbeda. Apabila rokok biasa terbukti berbahaya untuk kesehatan tubuh, rokok Sin justru mampu mengobati berbagai macam penyakit yang bisa jadi ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok biasa.<br /><br />Rokok Sin diciptakan oleh KH. Abdul Malik asal Malang yang bergerak di bidang pengobatan alternatif. Beliau adalah Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah. Rokok Sin awalnya dibuat berkat ilham yang beliau dapatkan saat melakukan Shalat Istikharah, yaitu agar membuat rokok yang bisa dimanfaatkan sebagai obat.<br /><br />Mei 2005, Kiai kelahiran Sumenep, Madura ini memulai Sejarah Rokok Sin ini dengan memproduksi rokok Sin bersama beberapa santrinya. Alhasil, rokok yang sedianya dikonsumsi terbatas untuk para jama’ah tariqahnya, mendapat respon yang positif dari masyarakat karena kemujaraban khasiatnya. Kemudian berlanjut dengan diproduksinya secara massal dan professional pada 23 Mei 2006, setelah mendapat ijin dari Pemerintah. Nama Sin diambil dari nama gunung Tursina (Sinai) di Timur Tengah.<br /><br />Rokok Sin telah melalui uji ilmiah di Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang, dan salah satu pabrik rokok terkemuka di Jawa Timur yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk pengujian produk rokok. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar “Nikotin rokok Sin” sangat rendah, bahkan dinyatakan mendekati 0%. Pada Rokok Sin, efek negatif yang ditimbulkan oleh nikotin sudah dinetralisir oleh kombinasi bahan-bahan herbal lainnya yang 100% murni herbal, tanpa bahan kimia.<br /><br />Hasil uji Laboratorium Resmi menunjukkan nilai TAR rokok Sin tinggi. “TAR” secara standar internasional adalah pengukuran berat material asap rokok yang mengandung racun dan bahan berbahaya lain. Umumnya apabila nilai TAR tinggi maka nafas terasa berat, sesak dan dada sakit. Akan tetapi nilai “TAR” pada rokok Sin adalah ramuan jamu terapi kesehatan yang membantu mengurangi racun dalam paru-paru dan mengeluarkannya dalam bentuk lendir, sehingga nafas terasa ringan. Pembuktian secara empiris telah banyak yang merasakan efek positifnya. Sejarah Rokok Sin membuktikan “TAR” yang dihasilkan Rokok Sin sungguh berbeda dengan “TAR” rokok biasa.<br /><br />Kini, rokok Sin tersebar hampir diseluruh pelosok negeri. Dengan cukup banyak varian rokok Sin yang memudahkan memilih rasa yang cocok sesuai selera. Harganya antara 60-135 ribu per slop, tergantung jenis variannya.<br /><br />Ada dua latar belakang yang menginspirasi lahir-nya rokok terapi ini: Pertama, pengembaraan spiritual yang diyakini sebagai petunjuk Allah SWT. Sebab, sejak usia muda Kiai Abdul Malik adalah santri yang menekuni dunia spiritualitas dalam rangka pencapaian ridla ilahi. Pengembaraan spiritualnya dimulai sejak usianya masih 17 tahun. Ketika masih di Madura, Kiai yang lahir 38 tahun silam ini gemar menimba ilmu-ilmu spiritual kepada ulama-ulama besar.<br /><br />Ketika hendak menempuh masa kuliahnya pun Kiai Abdul MaIik meminta kepada salah seorang gurunya, Habib Husain. Atas petunjuk sang guru, Kiai Abdul Malik meneruskan pendidikannya di jurusan teknik elektro Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Selain intens berguru kepada Habib Husain, dunia spiritual Kiai yang juga insinyur ini pun ditempa oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya dari Medan.<br /><br />Setelah lulus, sembari bekerja sesuai dengan diskursus ilmu yang dimilikinya, Kiai Abdul Malik juga tetap berguru kepada Habib Husain dengan istiqamah. Barulah sejak 2003, secara resmi Kiai Abdul Malik didaulat sebagai pengganti almarhum Habib Husain untuk menjadi Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah hingga sekarang.<br /><br />Kedua, karena pengalaman medis Kiai Abdul Malik. Sejak 1996 Kiai Abdul Malik mendapat amanat dari Habib Husain untuk mengentaskan selalu membantu meringankan beban orang miskin dan anak yatim sesuai kemampuan. Karena salah satu kemampuannya adalah keahlian pengobatan alternatif, Kiai Abdul MaIik mulai membuka diri untuk senantiasa membantu pengobatan secara gratis kepada masyarakat kurang mampu dan mengasuh anak-anak yatim. Dari pengalaman inilah Kiai Abdul Malik merealisasikan ilham yang diterimanya dengan meracik ramuan tradisional dikombinasikan dengan tembakau yang kemudian berbentuk rokok terapi ini.<br /><br />Kini, rokok yang diproduksi dalam tujuh varian ini telah tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, baik distributor internal jama’ah maupun distributor di luar jama’ah. Selain karena kemujaraban khasiatnya, ini juga disebabkan karena komitmen jama’ah tariqah Kiai Abdul Malik untuk mengem-bangkan usaha ini demi fakir miskin dan anak yatim.<br /><br />Sejak awal, Kiai Abdul Malik memang berniat agar sebagian hasil penjualan rokok ini dimanfaatkan untuk kegiatan sosial. Selain dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, dalam bagian tertentu pihak pengelola perusahaan selalu mendistribusikan hasil pen-jualannya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim secara periodik. Setiap bulan selalu ditransfer sejumlah uang ke beberapa rekening yayasan atas perintah Kiai Abdul Malik.<br /><br />Demikian tanggapan penDuduk Selingkar:<br /><br />Sulaiman: "Sebagai non-perokok, saya kira perusahaan-perusahaan rokok harus pula melakukan upaya-upaya agar produknya terkendali. Agar tidak membahayakan konsumennya, minimal ya menyelenggarakan rehabilitasi."<br /><br />Irfan: “Matamu! perusahaan rokok merehabilitasi wong ben ra ngerokok? Kui jenenge bunuh diri, Dab! Huahaha..”<br /><br />Sulaiman: “Bukan begitu, Bung. Ada salah satu petuah dari bang Philip Morris yang membuat saya sangat interest sekali dengan diskusi ini; Jika ingin menghancurkan bangsa maka amunisinya adalah dengan rokok. Hahahahahahahaha. Saya sempat ketawa kecil ketika melihat sebatang rokok cilik tapi kok iso yah menghancurkan bangsa?<br /><br />Ketika otak saya berrefleksi dan dibenturkan dengan pemikiran orang-orang absurd ini, maka beberapa analisis berhamburan keluar. Ringkasnya: yang dimaksud menghancurkan bangsa adalah dengan menjadikan rokok ini sebagai topik perbincangan dan perdebatan utama di setiap kalangan yang eksis di Indonesia. Mulai dari kelas kecrengan alias receh sampai kaum raja-raja.<br /><br />Rokok menimbulkan problem yang dilematis. Dari hanya sebatang saja dapat ditarik ke dalam berbagai bidang yang tersebar disetiap lini. Hukum, ekonomi, budaya, sosial, politik, bahkan agama saja ikut nyangkem, pake doktrin teologi lah, dalil lah, ahhh asu lah pokoke!<br /><br />Kita tilik saja dari peliknya sudut pandang kesehatan. Di satu sisi, kementerian kesehatan menjudge begitu saja bahwa pada 2004 saja mereka mengeluarkan dana sekitar Rp 127 triliun rupiah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang timbul akibat rokok, padahal sakitnya perokok tidak semua disebabkan oleh rokok itu sendiri.<br /><br />Artinya, rokok bukanlah sebgai faktor utama yang menyebabkan sakit atau modar. Ada beberapa bahan konsumsi lain yang kandungan zatnya lebih medeni daripada rokok, sebut saja ‘micin’, kafein sing neng kopi, dan sebagainya. Herannya dana 127 triliun iku 7 kali lebih besar daripada devisa cukai yang masuk ke kas yang hanya 16,5 triliunan. Di sisi lain, kemenkes juga ‘logically’, menerima dana bea-cukai rokok, pastilah, kan pajak rokok devisa yang paling besar bagi negara.<br /><br />Durung ditambah persoalan teologi agama yang seringkali membuat ricuh, padu karo gelut. Contohe kaya seminar di Jombang yang menyebutkan bahwa rokok itu menimbulkan syirik dan sebagainya. Akhire seminare ricuh lan pada gelut, ya kaya kue lah.<br /><br />Maka, menurut saya, tidaklah pantas memperdebatkan rokok terlalu berlebihan, cukup saling hormat-menghormati saja, toleransi, dan saling menghargai. Para perokok ya tulunglah pengertian sama orang yang gak ngrokok, lan orang ang rokok ya tulunglah aja ekstrim sok-sok an mbacot rokok haram lah, sirik lah, apa lah.”<br /><br />Ahlis: "Walau bagaimanapun, aktivitas merokok harus sesuai kebutuhan dan keadaan, baik fisik maupun ekonomi. Nggak boleh sembarangan, ya sama halnya dengan aktiitas-aktiitas relaksasi lainnya lah.."<br /><br />Said: "Bicara rokok berarti kita bicara perputaran uang dan konglomerasi kelas kakap. Alangkah asiknya jika kita bisa turut menikmati bocoran-bocoran kapitalisme ini. Tinggal kita cari bagaimana caranya biar bisa melobangi kantong-kantong uang itu biar meluber ke orang-orang kecil."<br /><br />Rijal: "Dalam setiap batang rokok ini menjadi simbol pertahanan bangsa dan negara. Jika sampai dikuasai dan dikelola oleh pihak asing, maka runtuhlah salah satu gerbang pertahanan kita."<br /><br />Abdul: "Masalah rokok ini persoalan pelik, ia bisa ditarik ulur ke bidang apa saja. Politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Maka harus ada titik tengah antara blok kiri dengan blok kanan, antara pro dan kontra. Dan titik itu adalah toleransi antar keduanya."<br /><br />Nasrullah: "Dalam hal rokok, apapun persoalannya pasti yang menjadi korban adalah orang-orang kecil. Mulai dari petani tembakau hingga mereka yang kere dan dituduh penyakitan karena sebab rokok."<br /><br />Irfan: "Merokok memang membuat ketagihan karena enak. Tapi harus diiringi kekhusyuan."<br /><br />Fahmi: "Rokok bukan candu. Itu tergantung mindset, sifatnya psikologis, psikis bukan fisik. Selain itu, tingkat keberbahayaan rokok tergantung kondisi kesehatan pengisapnya. Jika berlebihan, ya jelas berbahaya. Jika ala kadarnya, tak masalah asalkan sesuai dosis dan seperlunya, untuk relaksasi misalnya. Toh, tubuh manusia itu unik, memiliki karakteristik ketahanan sendiri-sendiri dan tak bisa disamaratakan. Masuk ke ranah kartel bisnis rokok nasional maupun internasional, ada baiknya kita memahami serta memilah hubungan antara kebutuhan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan manusia, kapitalisme perusahaan, pemasukan negara, hingga fasisme dunia kedokteran. Maka kita akan sampai pada posisi moderat: tidak anti terhadap rokok, tidak pula fanatik terhadapnya. Kita musti adil."<br /><br />Zia: "Perjalanan rokok dari nyala hingga memuntung persis kisah umur manusia. Ketika rokok dibakar pertama kali bagai terlahirnya bayi, usia hidup di dunia dimulai. Dihisap atau cuma digeletakkan, rokok tetap akan terbakar habis. Begitu pula usia, dimanfaatkan atau hanya dianggurkan, ia tetap akan habis lalu mati."<br /><br /> [o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-41732470673436359132013-12-19T18:08:00.000-08:002015-06-08T06:05:49.963-07:00Pelacur Sarkem dan Nama Tuhan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivE36MQo-kQRbnU9xpRekGMV1jx5gV-8Tc6V7s7Bq4r9OXvqkchScFa1CrRWkfEPX8t_xZOoZFgQ78CaBql9sxHL6xxym6uzhm5RSYkOP7X_BB2-g9JobTZ23OTb4uQCFyjZwUHSjVuww/s1600/Sarkem+Sedjak+1818.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"></a><b>Pasar Kembang, Kamis 19 Desember 2013 | Penyaji: Bunga (bukan nama sebenarnya)</b><br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivE36MQo-kQRbnU9xpRekGMV1jx5gV-8Tc6V7s7Bq4r9OXvqkchScFa1CrRWkfEPX8t_xZOoZFgQ78CaBql9sxHL6xxym6uzhm5RSYkOP7X_BB2-g9JobTZ23OTb4uQCFyjZwUHSjVuww/s1600/Sarkem+Sedjak+1818.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivE36MQo-kQRbnU9xpRekGMV1jx5gV-8Tc6V7s7Bq4r9OXvqkchScFa1CrRWkfEPX8t_xZOoZFgQ78CaBql9sxHL6xxym6uzhm5RSYkOP7X_BB2-g9JobTZ23OTb4uQCFyjZwUHSjVuww/s400/Sarkem+Sedjak+1818.jpg" width="282" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Selingkar di Pasar Kembang</td></tr>
</tbody></table>
<br />
“Aku mau bikin penelitian,” kata Said, “tentang hubungan antara perilaku pacaran dengan relijiusitas seseorang. Dari yang pacaran minimalis; cuma SMS dan telepon, sampai yang kurang ajar nyewa kamar. Hahaha..”<br />
<br />
Entah serius atau memang sedang gendeng, idenya ini menjadi semacam pengantar agenda malam itu. Kamis malam Jum’at. Mengunjungi salah satu komplek lokalisasi terbesar di negara ini di samping tiga lokasi lainnya. Sarkem, akronim dari Pasar Kembang, nama tempat itu. Lokalisasi ini jauh lebih tua dibanding usia kami. Ia ada sejak zaman kolonial Belanda, 1818.<br />
<br />
Karena sudah cukup malam, dua gadis baik hati pamitan pulang kepada sembilan pemuda gila di muka gerbang Vrederburgh. Pukul sepuluh tiga puluh kami mulai melangkah menyusur emper Malioboro. Mulai dari Nol Kilometer, Margo Mulyo, Malioboro, Margo Utomo, hingga rel tugu. Para pedagang nampak sibuk mengemas komoditi pencaharian mereka.<br />
<br />
“Berjalan sepanjang Malioboro ini ibarat melewati kehidupan dunia,” bisik Talkhis agak filosofis, entah karena sedang ‘in’ atau memang kelaparan, “Berbagai jenis manusia dengan beragam kepentingannya ada. Kanan kiri kita lihat beraneka rupa barang-barang yang menarik. Tapi hakekatnya kita sekedar lewat saja,” ujarnya sambil lirak-lirik pecel bawal di emperan yang tak kuasa ia beli.<br />
<br />
Seratus meter sebelum sampai di gang masuk lokalisasi, hujan mengguyur deras. Barang sejam lebih kami berteduh di halaman losmen berkelas. Tepat tengah malam, hujan mereda. Kami lanjutkan penyusuran.<br />
<br />
“Wah, rombongan Mas? Berapa orang ini?” tanya seorang pria penjaga kotak retribusi di sudut gang.<br />
<br />
“Sembilan, Om!” sahut Irfan sebagai tour-guide saat itu. Kalau kau butuh pemandu wisata ke Sarkem, hubungi saja dia.<br />
<br />
“Jadinya delapan belas ribu,” kata pria itu sambil meneliti wajah-wajah kami.<br />
<br />
Begitulah, selain penduduk setempat, ada retribusi setiap kali kau masuk kawasan ini. Apapun keperluanmu, dua ribu rupiah per kepala. Begitu masuk, kau akan melihat deretan pintu-pintu kamar di sepanjang gang, warung-warung penjual jamu kuat, serta rentetan stiker himbauan; ‘Kawasan Wajib Kondom’.<br />
<br />
Semerbak parfum menusuk hidung. Cahaya light-box berpijaran dari ujung ke ujung, memamerkan nama-nama toko, karaoke dan kamar pergumulan. Orang-orang yang tak jelas tujuannya berlalu lalang kesana kemari. Wanita-wanita dengan busana minim menjajakan diri di pintu-pintu ‘surga dunia’. Di antara kami ada yang langsung merinding, gemetaran. Ada pula yang justru antusias menyapu pemandangan dengan bola matanya.<br />
<br />
"Mas yang gendut itu pernah kesini kan ya?" sapa sesosok penjaja seks dengan genitnya, merayu-rayu salah satu kawan kami yang memang berbadan tambun.<br />
<br />
Fatah, orang yang dimaksud, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil gemeridik, "Nggak, nggak," sergahnya.<br />
<br />
"Hihihi, bohong dosa lho Mas, Yaa Allaah.." sahut si penggoda sambil ketawa geli.<br />
<br />
Bohong dosa. Ya Allah. Kata-kata itu cukup mencengangkan benak kami. Seakan ada orang memperingatkan tentang panasnya percik api sedangkan ia sedang terbakar di dalam api unggun. Setidaknya kami bisa memahami kesepadanan; orang yang menghimbau tentang kesucian sedangkan ia asyik berkubang lumpur tak lebih dari ujaran seorang pelacur. Entah ia negarawan atau bahkan agamawan sekalipun. Setara.<br />
<br />
Ungkapan bermuatan nama Tuhan yang terlontar secara reflek dari lisan penjaja seks komersial itu mengajari kami makna mendalam. Bahwa Dia Yang Mahatinggi bukan hanya Tuhan bagi kaum ‘suci’. Dia juga tumpuan harapan bagi orang-orang ‘kelam’ dan patah hati.<br />
<br />
Tapi apakah yang mereka lakukan itu benar? Atau salah? Tidak. Kami tidak sedang membicarakan benar dan salah di sini. Haram tentulah haram, dosa tak perlu lagi dipertanyakan. Apa yang kami upayakan hanyalah menyecap madu-madu kebijaksanaan. Biarpun hanya sepercik.<br />
<br />
“Sebenarnya kita ini mau ngapain kesini, Kang?” bisik Sulaiman.<br />
<br />
“Kuliah Wisdom!” sambarku singkat.<br />
<br />
~<br />
<br />
Lorong demi lorong kami susuri. Degup jantung kawasan ini senada dengan sorak sorai dari bilik-bilik karaoke. Nampak pasangan-pasangan liar menari-nari di bawah kerlip lampu disko. Bibir-bibir sayu merayu-rayu.<br />
<br />
“Mas.. kesini Mas..”<br />
<br />
“Seribu tiga, Mas.. Ayo sini..”<br />
<br />
Mukid tak berkedip. Said terlihat begitu bersemangat. Mengusir grogi, kuhisap sebatang rokok.<br />
<br />
“Fan, mana koreknya?” pintaku.<br />
<br />
“Gak punya. Tuh dibawa Said kayaknya,” timpal Irfan si pemandu wisata. Tolah toleh kucari kemana Said menghilang.<br />
<br />
“Itu lho Mas koreknya!” seloroh seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor begitu rupa.<br />
<br />
“Mana? Mana?” tanggapku, kaget.<br />
<br />
“Itu lhooooo!” ucapnya sambil menelunjukkan jari tangan tepat lurus di antara selangkanganku.<br />
<br />
“Hahaha, itu korek tanpa gesekan. Gak bakal nyala,” sahut wanita lain di seberang lorong, dengan dandanan tak jauh beda, “Sini digesek biar nyala! Hahaha!” Sial. Kena juga aku.<br />
<br />
“Semua senyum itu palsu,” ucap Pramono, sambil berteduh di beranda rumah warga dari guyuran hujan yang kembali menderas. Ya, kawasan lokalisasi ini pada mulanya memang pemukiman warga. Dan di pintu rumah-rumah yang tak menjalankan bisnis prostitusi tertempel stiker ‘Rumah Tangga’. Jadi, kalau suatu saat kau mampir, jangan salah duga.<br />
<br />
Kehidupan masyarakat yang termasuk dalam wilayah Sosrowijayan ini berlangsung sebagaimana kampung-kampung lain. Di himpitan ruang-ruang mesum itu ada balai Taman Kanak-kanak. Tempat bermain dan belajar bagi malaikat-malaikat kecil warga sekitar. Ada pula mushalla sederhana, sebagai tempat sembahyang para hamba.<br />
<br />
“Apa maksudmu dengan palsu, Pram?” tanyaku heran.<br />
<br />
“Ya hanya topeng,” sahut Pramono, “Mereka terlihat tertawa-tawa di bibir. Merayu genit dengan polah tubuh yang menggoda. Padahal mungkin hatinya menjerit pilu.”<br />
<br />
Ada benarnya kalimat Pramono, selaras dengan sepotong kisah. Sebut saja namanya Mentari. Salah seorang wanita yang terjebak di lorong ini. Di kampungnya, ia anak pegawai negeri berada. Beberapa tahun lalu ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di sana. Entah bagaimana mulanya, sang pujaan hati begitu saja pergi. Ia ditinggalkan dalam keadaan bunting.<br />
<br />
Menggugurkan kandungan terlalu kejam baginya. Ia rawat janin itu hingga terlahir ke alam dunia, meski tanpa gendongan hangat seorang bapak. Dengan segenap keberanian, Mentari pulang kampung. Alangkah kaget ibu bapak melihat anak gadisnya pulang menggendong jabang bayi. Tanpa suami pula. Ia tak lagi dianggap di tengah keluarga. Harga dirinya hancur dalam pandangan kerabat dan tetangga. Aduhai malang nian ia.<br />
<br />
Merasa kasihan, seorang saudara dekat menawarkan diri untuk mengasuh bayi mungil tanpa dosa itu. Sedangkan Mentari sendiri merantau ke Yogyakarta, tanpa ada keinginan untuk kembali. Karena tak lagi mendapat kiriman dari rumah, ia bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan lagi-lagi, entah bagaimana bermula, seorang kawan menyeretnya ke pusaran prostitusi. Ya, di Sarkem ini.<br />
<br />
Sudah terlanjur kotor, sekalian saja, katanya. Sebab pengkhianatan lelaki pujaan, penolakan keluarga, dan cemooh manusia, ia kategorikan dirinya sebagai manusia hina. Ia mengais nafkah dengan menjual diri. Dan di sini ia temukan ‘keluarga’ barunya.<br />
<br />
~<br />
<br />
“Sama sekali gak bikin nafsu. Malah ngeri,” celoteh Fatah sambil kraus-kraus mengunyah kacang bungkus. Jam satu dini hari, kami beristirahat di angkringan seberang PKU Muhammadiyah Kauman.<br />
<br />
“Halah, itu kan karena kamu impoten!” seloroh Rijal, pemuda tambun level dua setelah Fatah. “Atau mungkin karena memang kamu belum terbiasa saja,” katanya sambil terus memangsa dua belas tusuk sate. Mengalahkan rekor enam tusuk sate pencapaian Pramono.<br />
<br />
“Yaah, kalau aku malah risih di sana,” sambung Mukid dengan gayanya yang innocent, tak berdosa. “Aku risih karena nggak bawa duit. Padahal kalau mau main ‘kan setidaknya bawa lima puluh ya, hehe..”<br />
<br />
Memang, kau bisa melampiaskan nafsu di tempat itu dengan kisaran tarif antara lima puluh sampai seratus lima puluh ribu untuk satu orang. Harga yang terjangkau bagi pelanggan. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, pegawai negeri, hingga dosen. Namun dari kunjungan singkat kami, tergambar jelas siapa pelaku dan penikmat bisnis ini.<br />
<br />
Mereka adalah orang-orang frustasi. Mana ada wanita yang mau mengorbankan kehormatannya di atas ranjang dengan pria tak dikenal. Selain mereka yang terasing oleh saudara-saudaranya. Tertindas oleh himpitan tanggung jawab penyambung napas. Mana ada orang yang bersuka ria dan menikmati jasa hibur di tempat semacam itu jika bukan karena muak dengan kesehariannya. Bising dengan ceracau kehidupannya.<br />
<br />
Dan juga orang-orang gila. Mana ada anak-anak muda yang mau berlarian di tengah malam, menembus hujan, kelaparan, kedinginan, terdampar di labirin gang lokalisasi, dan tak punya tujuan untuk menikmati cumbu pelukan. Selain pemuda-pemua goblok dan agak gila.<br />
<br />
“Mereka tak akan berhenti di lorong itu, kuharap,” lanjut Talkhis, lagi-lagi agak filosofis, kali ini dalam keadaan kenyang. “Aku mungkin tak lebih mulia dari mereka. Harus terus berjalan melalui lorong gelap ini. Hingga pada akhirnya nanti berujung khusnul khotimah bersama mereka-mereka itu,” katanya. Wah, lumayan juga gembel satu ini.<br />
<br />
Lokalisasi pelacuran adalah permasalahan kemanusiaan multikompleks. Meskipun begitu, tak ada masalah tanpa solusi. Suatu masalah tanpa solusi berarti ia bukan masalah sama sekali. Dan solusi untuk prostitusi tak bisa diincar dari satu atau dua sudut pandang saja. Kau tak akan bisa merumuskan penyelesaian hanya dari sudut pandang agama atau hukum perundang-undangan. Kau butuh lebih dari kepekaan sosial dan empati kemanusiaan.<br />
<br />
Apa yang mereka lakoni memiliki latar belakang. Dengan latar belakang itu, mungkin kita yang terlanjur sering merasa suci ini bisa terjerumus dalam kubangan yang sama. Kami mencoba memahami itu, bukan untuk memaklumi atau meridhai. Bukan pula untuk membagi-bagi kategori manusia: si ini bejat si itu mulia. Apalagi mengentaskan, terlalu berat untuk kelas teri macam kami.<br />
<br />
Empat belas abad yang lalu, Rasulullah, manusia suci pengabar kegembiraan dan penyampai peringatan pernah berujar;<br />
<br />
“Ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”<br />
<br />
Bagaimanapun kacau dan kotornya kita hari ini, semoga tidak berputus asa dan tidak pula membuat orang lain patah hati terhadap kasih sayang Ilahi. Menemui ujung hidup keduniawian kelak dalam indahnya pungkasan usia. Khusnul Khotimah.<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-4826612442151669742013-12-07T10:11:00.000-08:002015-06-08T10:16:47.770-07:00Pemuja Mitos<b>Emper Burjo Glagahsari, Desember 2013 | Penyaji: Pramono<br /></b>Makhluk-makhluk ganteng masih berkeliaran pada Jumat dini hari. Emper burjo di daerah Glagah menjadi semacam conference room bagi mereka untuk nDuduk Selingkar dan nyangkem, atau kerennya; diskusi santai.<br />
<br />
“Mitos terbentuk atas kreasi orang-orang yang berkepentingan. Entah itu individual atau kolektif. Tujuannya pun beragam. Bisa komersil ataupun politis,” ujar Said, siswa ingusan di Sekolah Poker (Politik Kerakyatan), “Kalau contoh yang politis ya seperti kisah-kisah penitisan. Banyak kisah-kisah di berbagai penjuru bangsa bahwa si anu keturunan dewa ini, raja itu titisan dewa anu, dan sebagainya. Hal seperti itu sengaja dibentuk sebagai alat agar rakyat pada waktu itu menaruh kepercayaan penuh kepada pemimpinnya. Kraton punya bergudang mitos. Dalam perspektif modern, pernyataan-pernyataan presiden bisa jadi ternyata cuma mitos.” tuturnya dengan gaya yang khas memulai obrolan.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeZcsImE5u7-aPvCrgwMRoAbNXaSgEDnw6NfNWGw5EJjPngon24MSC0z6cb78TJKlhGDV-Ro6Al9aDt9_I4TNepK_4rJPEpIZ_FgMEfQiWfZjNsAu4a-jNA9kBcgGbsYcqx9BeZZfgklY/s1600/IMG_1692+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="298" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeZcsImE5u7-aPvCrgwMRoAbNXaSgEDnw6NfNWGw5EJjPngon24MSC0z6cb78TJKlhGDV-Ro6Al9aDt9_I4TNepK_4rJPEpIZ_FgMEfQiWfZjNsAu4a-jNA9kBcgGbsYcqx9BeZZfgklY/s400/IMG_1692+-+Copy.JPG" width="400" /></a></div>
“Dan presiden jadi corong mitos kebangsaan terbesar begitu ya.. Apalagi kalo presidennya hobi galau dan curhat.. Hahaha..” tambah Talkhis, “Nama kita juga mitos kan? Ketika kita lahir ma’ ceprot dari rahim ibu, kita kan telanjang tanpa embel-embel apapun. Barulah kita disemati nama pilihan orang tua. Jono misalnya. Kemudian seiring waktu kita percaya, kita yakin, bahwa kita adalah Jono. Kemana-mana dan kepada siapapun kita bilang bahwa kita adalah Jono. Masalahnya, ketika bertemu orang lain di daerah lain yang sama sekali belum mengenal kita, belum berinteraksi, kita kehilangan identitas. Apakah menurut orang yang belum kenal kita ini masih Jono? Mereka bebas memanggil kita dengan sebutan apa saja tanpa harus meyakini bahwa kita adalah Jono. Iya, kan? Kita terjebak dalam mitos nama.”<br /><br />Irfan menanggapi, “Tapi kan itu alat bantu identitas.. Dari mitos bisa berkembang menjadi sugesti. Seperti mitos di Wonosobo, anak gimbal harus dituruti segala keinginannya agar bisa sembuh dan normal lagi rambutnya, dari mitos ini muncul sugesti bagi para orang tua untuk menuruti keinginan anak-anaknya yang gimbal di sana. Begitu pula nama, mungkin memang mitos, tapi kan dari nama itu kemudian muncul sugesti, sehingga dikatakan bahwa nama itu doa. Iya to?”<br /><br />“Lha iya memang,” sambung Miftah, “Mitos itu kan dibuat untuk memudahkan, mensugesti, ya semacam alat kontrol sosial begitulah. Nah ukurannya harus ditimbang dengan neraca ruang dan waktu. Seperti tragedi di Lawang Sewu dahulu, biar orang-orang ingat bahwa di sana pernah ada pembantaian, maka ditebarkanlah berbagai macam mitos tentang tempat itu. Dan di kemudian hari mitos itu nggak cuma jadi pengingat tetapi juga jadi pendatang pundi-pundi uang. Dan hal itu terjadi di banyak tempat maupun zaman, dan menguntungkan dari kacamata kapitalis. Ya mirip mitos-mitos di Alun-alun Kidul, kan mendatangkan fulus..”<br /><br />“Tapi nek Lawang Sewu ncen angker tenan cuk! Berarti kalau mitos itu menguntungkan, nggak apa-apa gitu?” sambat Irfan.<br /><br /> “Sik sik sik.. Ben cetho sik,” sela Pramono, “Jadi, mitos adalah anggapan-anggapan yang diakui oleh orang banyak tentang kebenaran suatu hal padahal belum tentu benar, gitu ya?”<br /><br />“Ya begitulah. Iklan sabun kecantikan misalnya. Menebarkan mitos bahwa wanita cantik itu mereka yang berkulit putih dan dipercaya konsumen. Sehingga muncul ajaran bahwa ‘Putih itu Cantik’ atau ‘Cantik itu Putih’. Dari kasus ini, sabun-sabun semacam Shinzu’i itu yang diuntungkan. Maka mitos ini sebisa mungkin dipertahankan oleh produsen sabun pemutih,” terang Irfan.<br /><br />“Iya iya paham. Lhah, lalu bagaimana dengan Tuhan? Wah, aku nggak berani bilang kalau Tuhan itu jangan-jangan juga mitos?” hentak Pramono.<br /><br />“Hahaha.. Kalau ternyata agama, kitab suci, dan bahkan Tuhan itu mitos gimana Pram? Memangnya semua mitos itu jelek? Anggapan bahwa semua mitos itu jelek pun merupakan mitos. Mitos yang membangun tentu baik dan patut dipertahankan. Taruhlah kitab suci itu mitos, Tuhan itu mitos, tapi kan ajarannya menuntun manusia untuk menuju kebaikan, nah itu kan baik.” timpalku.<br /><br />“Iya juga. Ada area hutan di Wonogiri yang penuh mitos, kata warganya, kalau babat hutan di situ maka simbaurekso hutan akan ngamuk. Dan ternyata itu efektif menjaga kelestarian hutan. Setelah beberapa tahun belakangan ada puritanisme agama yang menyudutkan adat istiadat setempat, orang-orang tidak lagi percaya kepada mitos itu, dan ironisnya, si hutan malah rusak,” tambah Said.<br /><br />“Nah itu maksudku! Jadi, bagaimana kalau ternyata Tuhan pun mitos Pram?” tanyaku.<br /><br />“Weh ora wani-wani aku..” bisik Pramono.<br /><br />“Hahaha.. Maka dari itulah muncul upaya pembuktian,” sambungku, “Ada yang membuktikan secara rasional, ada pula yang menggunakan metode irrasional. Adanya belasan pasang sandal di luar rumah seakan-akan mengatakan bahwa pasti ada rombongan orang di dalam rumah, ada sandal highheels mengatakan ada wanita dalam rombongan itu. Adanya alam dengan berbagai macam keteraturannya sekan-akan meneriakkan bahwa ada Sang Pencipta dan Pengatur segala tatanan semesta raya. Itu upaya yang rasional, istilahnya ‘nadhor’ kalau dalam ilmu kalam. Adapula yang menggunakan metode lelaku batin, bukan dengan mikir-mikir, tapi dengan merasakan berbagai kepayahan dalam bentuk tirakat demi mencapai hakekat.”<br /><br />“Jadi, lawan dari mitos itu hakekat? Kesejatian?” sela Irfan.<br /><br />“Bisa jadi!” seru Mukid, “Seperti mengupas bawang. Menelaah mitos itu seperti mengupas kult ari bawang satu per satu hingga lepas semuanya. Di balik mitos ada mitos, kita kupas terus sehingga pada akhirnya kita temukan hakekat itu. Dan mitos itu tak selalu jelek dan tak selalu bagus. Kita harus benar-benar bisa memahami kepalsuan agar bisa menuju kesejatian. Wah itu berarti; mitos bukanlah musuh kesejatian, bukan lawan, hanya lapisan-lapisan tipis yang musti dikupas.”<br /><br />“Nah itulah yang sedang dan harus selalu kita lakukan, proses memahami kepalsuan demi kepalsuan untuk menemukan kesejatian. Dan itu tak cuma pakai akal, harus disertai rasa. Meskipun tadi sempat mempertanyakan tentang Tuhan, aku yakin Dia senang menyaksikan anak-anak muda yang mau menggali kesejatian,” tanggap Talkhis.<br /><br />Terakhir, diskusi ditutup dengan kutipan ungkapan Fakhruddin ar-Razi sang mufassir;<br /><br />“Ujung kesungguhan akal manusia adalah keterbelengguan, dan kebanyakan upaya manusia justru menuju kesesatan. Kita tidak memperoleh apapun dari perbincangan kita di sepanjang usia, melainkan hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang.”<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-91254816348018734442013-11-26T10:08:00.000-08:002015-06-08T10:09:21.816-07:00Akal-akalan Akal<b>Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 26 Nopember 2013 | Penyaji: Pak Kantin<br /></b>Beberapa pemuda absurd nampak duduk melingkar di trotoar abu-abu. Hampir semuanya bertampang blo'on namun tak suram. Meski tampaknya mereka pengangguran kumuh, sejatinya mereka sedang belajar berpikir jernih, menyusun konstruksi pemikiran yang sehat dan 'merdeka'.<br /><br />Menurut Said, ya inilah seharusnya fungsi utama kuliah; melatih cara berpikir yang sistematis menempa ketahanan mental. Tapi, tambah Irfan, hal seperti ini justru tidak didapatkan di dalam kelas yang monoton. Disana, seakan-akan, hanya disuguhkan manual suatu boneka mekanik dan bagaimana cara penggunaannya, bukan pada cara kerja serta fungsi sejati boneka itu.<br /><br />Dalam episode ini mereka sedang mengakal-akali ‘Akal’. Sebenarnya apa, dimana, bagaimana, untuk apa dan sejauh mana akal bisa berfungsi? Kalimat-demi kalimat meluncur deras, celaan demi celaan terlontar dan gelegak tawa riuh merekah di sela-sela obrolan.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJ2ZIF_Dpl-g0K2C41m7CAHTZoPyd-MRapNObJqj1B1r8lDMEdQo_JhtyWJfun958m2hzglXNx_KpvdjsaMFjtsXU49v-dN2v6F3iXzJxL3SxvWUPmHR5YJZuzIXifV8qUD8Y0kjd-04/s1600/IMG_5678+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEJ2ZIF_Dpl-g0K2C41m7CAHTZoPyd-MRapNObJqj1B1r8lDMEdQo_JhtyWJfun958m2hzglXNx_KpvdjsaMFjtsXU49v-dN2v6F3iXzJxL3SxvWUPmHR5YJZuzIXifV8qUD8Y0kjd-04/s400/IMG_5678+-+Copy.JPG" width="400" /></a></div>
~<br /><br />Setengah jam berlalu, nampak pria paruh baya, mengenakan caping, berkaos oblong dan celana pendek, mendekati kami setelah menutup pagar kantin dan menyusur trotoar untuk mengumpulkan gelas-gelas kotor. Ia adalah salah seorang yang kami angkat sebagai guru besar kelompok diskusi ini.<br /><br />"Ngapain sore-sore masih pada disini?"<br /><br />"Biasa, Pak.. Kuliah."<br /><br />"Lhah kuliah kok disini?"<br /><br />“Ya beginilah kuliah kami Pak, cangkeman sambil santai guyon-guyon..” jawab Bastian sambil ketawa puas.<br /><br />“Hahaha.. Saya jadi inget masa-masa dahulu..” Si Bapak meletakkan gelas-gelasnya di atas paving trotoar, duduk nongkrong, dan mulai berkisah.<br /><br />“Tahun sembilan puluhan sampai awal dua ribuan masih banyak kelompok-kelompok diskusi mahasiswa di kampus. Ada yang di taman masjid, di trotoar ini dulu banyak berjajar anak-anak diskusi. Kalau sekarang ya paling kumpul jalan-jalan, rapat acara kelompok, dan jajan-jajan. Kalo ada yang diskusi sampai sore begini ya cuma muka-muka kalian, sampai bosan saya.. Hahaha..”<br /><br />“Ramai ya, Pak.. bedanya apa sama zaman sekarang?”<br /><br />“Suasananya. Dahulu atmosfer akademis sangat terasa di sini. Sekarang kok serasa kering. Mungkin karena pengaruh teknologi juga ya,”<br /><br />“Maksudnya, Pak?” sela Bimo sambil mengepulkan asap rokoknya.<br /><br />“Lha iya, kalau dahulu ‘kan belum ada komputer, internet, apalagi hape. Mahasiswa lebih sering berinteraksi walaupun hanya untuk membunuh kebosanan, dan kebanyakan dari mereka lebih akrab dengan buku-buku. Kalau sekarang, kalian lebih asyik mainan gadget yang canggih-canggih itu.”<br /><br />“Yaa teknologi itu ‘kan menjadi fasilitas yang mempermudah, Pak.”<br /><br />“Memang teorinya begitu. Tapi apa kenyataannya begitu?”<br /><br />“Hehehe. Malah terlena, Pak.”<br /><br />“Lha iya! Kalau dulu orang bikin skripsi itu ya pasti hapal isi skripsinya. Lha wong ngetik pakai mesin tik manual. Revisi ya mengulangi ngetik. Beda dengan sekarang, semua serba dipermudah.”<br /><br />“Tapi ‘kan dampak positifnya banyak, Pak..” sergah Pramono.<br /><br />“Ya semua perkembangan pastilah ada pengaruh positifnya. Tapi juga ada efek negatifnya. Jadi manja, jadi cengeng. Dulu itu mahasiswa kuliahnya relatif lama-lama, paling cepat ya empat setengah tahun. Umumnya lima tahun. Jadi benar-benar matang karena tidak hanya kuliah di kelas, tapi juga kayak kalian-kalian ini. Kalau mahasiswa sekarang ‘kan cepat-cepat, tiga sampai empat tahun, tapi yang didapat hanya apa yang dihadapi di dalam kelas dan bisa dibilang belum matang.”<br /><br />“O gitu ya Pak..”<br /><br />“Lha iya, karena kuliahnya lama-lama malah jadi ada idiom; kalau kuliah sampai lima tahun lebih tapi saat wisuda tidak punya ‘pendamping’, berarti kuliahnya gagal, kalau kuliahnya sebentar sih nggak berlaku idiom itu, hahaha..” kelakar si Bapak disambut tawa ngenes kami.<br /><br />“Berarti besok kalau saya lulus nggak usah ikut wisuda ya, Pak? Biar nggak disebut gagal, hehe..” selaku iseng.<br /><br />“Hahaha.. Itu akal-akalan kamu saja. Saya kasih tahu ya, kamu itu bukannya nggak laku, hanya kurang atraktif saja. Kalau kamu mau sedikit beraksi, cewek mana yang nggak nempel sama jenggotmu itu?” jawab Si Bapak sambil mencoba menjambak jenggot keramatku, gemas.<br /><br />~<br /><br />Pengembaraan obrolan sudah sampai ke ranah psikologi, artificial intelligence pada robot, teori-teori barat dan timur, arab eropa dan jawa, penemuan aspek halus selain akal yang disebut jiwa, hubungan interaktif antara akal dan jiwa, hingga topik-topik aktual lain yang sedang hangat-hangatnya. Mulai dari persepsi kasta Jawa kuno, perkembangan politik kesultanan, hingga tingkah laku pejabat-pejabat dan presiden RI.<br /><br />“Oke, pertanyaan terakhir buat kita jawab tentang Si Akal. Kalau memang fungsi akal adalah untuk mencari jawaban suatu pertanyaan, mengurai masalah yang ada di dalam rangkaian perjalanan kehidupan, menemukan hal yang belum diketahui. Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pertanyaan utama akal kita? Apa yang menjadi pencarian utama akal kita? Apakah akal hanya sekedar difungsikan sebagai alat memenuhi kebutuhan fisik berupa sandang pangan papan saja? Toh pada akhirnya raga akan berhenti berfungsi dengan kematian dan membusuk di dalam timbunan pusara, lalu tujuan utama akal itu menemukan apa?” lemparku di forum.<br /><br />“Ya itu dia pertanyaan utamanya! ‘Apa tujuan kehidupan kita? Tuhankah? Keabadiankah? Atau sekedar pemenuhan kebutuhan dalam rangka mempertahankan hidup fisik selama di dunia? Nah di situlah akal kita mencari jawabannya. Dan untuk menemukan jawaban itu si akal harus bekerjasama dengan dimensi manusia yang lain berupa jiwa,” jawab Mukid, mempesona.<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-87580504941013645012013-10-31T10:29:00.000-07:002015-06-08T22:16:14.008-07:00Para Penjaga Api<b>Trotoar Kantin Tarbiyah, 31 Oktober 2013 | Penyaji: Muhammad Budi Mulyawan</b><br />
<br />
“Saya boleh ikut gabung ya..” ucap Pak Kantin di sela-sela obrolan sembilan anak muda nggak jelas sore itu. Ya seperti biasanya, Kamis sore di Trotoar Kantin Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.<br />
<br />
Dengan lubang hidung yang kembang kempis seperti Squidward, Irfan mulai menjelenterehkan kronologi gerakan-gerakan pemuda hingga terjadilah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Lalu ia melanjutkan kisah hingga ketika kaum muda diposisikan seperti herder yang lehernya dirantai ke pasak besi. Mereka bisa menggonggong namun tak bisa beraksi. Bergerak sesenti, beredel! Sehasta, hajar! Semeter, dor! Menurutnya, perbedaan mencolok yang terlihat di antara gerakan pemuda dahulu dan sekarang adalah independensi.<br />
<br />
“Anak-anak muda sekarang manja. Kebanyakan gerakannya tidak jelas. Bahkan tidak sedikit dari gerakan-gerakan itu yang hanya menjadi proyek materialistis. Mungkin hal seperti ini sudah jadi mindset di kepala anak-anak pergerakan jaman sekarang akibat didikan ‘kenyamanan’ ala Orde Baru. Akibat cara pandang serba materi inilah semua langkahnya salah arah. Sekencang apapun kita berlari, jika arahnya sudah salah, tentu akan tersesat dan semakin jauh dari tujuan. Dan arah itu bernama ‘materialisme’ yang beranak-pinak menjadi kapitalisme. Semua hal, fisik maupun non-fisik, dibanderol dengan harga dan mengikiskan nilainya. Sehingga potensi lokal yang berbasis kesejahteraan bersama menjadi tidak berdaya di hadapan cengkeraman kapitalis.<br />
<br />
Banyak kumpulan atawa organisasi pemuda yang sudah lupa makna dari fungsi pengayoman budaya dan inti sosial masyarakat. Malah justru seperti sekumpulan Event Organizer, fokus acara hedon dan melupakan kesederhanaan yang dibutuhkan masyarakat.” ungkap Irfan, khas anak pergerakan.<br />
<br />
“Betul!” sahut Mukid alias Si Wowo, “Sebenarnya, langkah yang bisa ditempuh adalah terjun langsung di tengah masyarakat secara riil, melakukan apapun yang konstruktif di tengah rakyat, sekecil apapun perannya. Dan anak-anak muda lupa itu. Hal yang perlu dilakukan orang-orang yang tidak punya akses pengaruh terhadap kebijakan pemerintah adalah dengan menjaga keayeman dan kedamaian masyarakat secara langsung. Rasa-rasanya percuma orang-orang di atas kita teriaki tapi pada kenyataannya mereka tuli. Mending langsung saja kita bergerak di akar rumput tanpa harus galau tidak diperhatikan pemerintah.”<br />
<br />
“Nah itu dia! Bahkan pemerintah itu sejatinya nggak ada, Mas!” seru Budi, seorang bakul batik alumni Geografi UI yang sedang nyasar di Jogja. Ia berkesempatan bagi-bagi pengalamannya di forum absurd Selingkar sore itu.<br />
<br />
“Gini Mas, kalau kita lihat realita sekarang ini, negara sudah tidak ada. Kebijakan hukum, politik, ekonomi, hingga harga-harga beredar semuanya dikendalikan oleh para kapitalis. Pemerintah alias government; is under control. Itu realita,” ungkap Budi sambil memaparkan sampel-sampel konkrit ketidakberdayaan negara di bawah komando kapitalis.<br />
<br />
“Saya punya teori,” lanjut Budi dengan logat Tegalnya yang macho, “Di negeri ini ada lima tingkatan pemeran dalam kebijakan pemerintahan. Kita mulai dari level paling bawah, kelima, kaum intelektual; ini berisi para pakar di ranah keilmuan masing-masing, para professor, para doktor, akademisi, masuk di sini. Tapi mereka hanya punya kuasa berteori dan berkonsep. Sebagus apapun konsep yang mereka susun, tetap kalah sama kuasa tingkat keempat, yakni penguasa, politikus. Mereka punya power untuk menentukan kebijakan di lapangan. Memang tidak sedikit yang sampai di level ini sebab prestasi, namun tak sedikit pula yang menduduki level ini lewat jalan money-politic.<br />
<br />
Nah orang-orang yang selalu cari untung dari posisinya ini tunduk di bawah sihir uang dan giuran proyek dari level di atasnya, yakni pengusaha. Inilah para pengendali pemerintahan sebenarnya, pemerintah hanya pion-pion tak berdaya. Anehnya, level ini masih ‘kalah’ dengan level di atasnya, yakni dukun. Ini beneran, pengusaha-pengusaha besar banyak yang menumpukan langkah-langkah bisnisnya di tangan para dukun lho, mulai dari penyematan nama produk bahkan sampai pengupayaan tender proyek. Edan sekali. Namun keempat level ini masih ‘kalah’ kontrol di tengah masyarakat secara riil, level peringkat pertama ini diisi oleh para spiritualis; yakni ulama, guru, atau pendeta.”<br />
<br />
“Memang,” sambungku, “Seperti pergerakan melawan penjajah Belanda, Jepang, hingga Inggris, hampir semua bermuara dari komando para ulama. Banyak fatwa agamawan yang diakui dan disepuhkan di tengah masyarakat menjadi batu pijakan untuk melakukan gerakan-gerakan sosial militan. Resolusi Jihad yang menjadi embrio Pertempuran Surabaya menjadi contoh nyata adanya ‘kekuatan’ fatwa ulama. Namun power seperti ini seakan tidak ada lagi saat ini, atau belum muncul lagi, masih hibernasi. Dan parahnya, kalau kita mau perhatikan betul-betul, sudah banyak upaya kapitalis untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kontrol sosial level satu ini. Baik itu melalui jeratan politik hingga rayuan-rayuan gombal finansial. Namun untungnya, masih banyak ulama yang terus bertahan dengan perjuangan gerilya, melalui pesantren maupun lembaga-lembaga informal yang dibinanya, untuk menanamkan kebaikan dan perbaikan di dalam inti masyarakat bernegara; yakni keluarga.”<br />
<br />
Beberapa detik forum hening, entah karena merenungi buncahan-buncahan kata-kata yang beterbangan di atas kepala mereka atau karena kehausan sebab gelas-gelas minum sudah kering kerontang.<br />
<br />
Setelah beberapa kali mengembuskan asap rokok secara khas seperti bunyi kucing bengek, Sayd berujar, “Dari pemaparan Sampean, berarti kita musti sadar posisi. Pemuda itu ada dimana dalam struktur level yang Sampean buat itu? Sepertinya memang posisi pertama yang ditempati ulama adalah tempat yang tepat untuk membaurkan diri. Dan gerakan model gerilya alias bergerak bebas, independen, secara riil di tengah masyarakat adalah cara paling efisien dan efektif sekarang ini. Namun tidak seharusnya jika empat level yang lain ditinggalkan oleh pemuda macam kita ini. Jika level-level bermasalah itu bisa diisi oleh orang-orang berakal sehat, apalagi mau berintegrasi dengan kalangan spiritualis yang independen, wah pasti dampaknya luar biasa!”<br />
<br />
“Iya!” sahut Pramono, “Agar pemuda bisa bergerak tanpa tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan busuk, maka ia harus berusaha merdeka, independen. Termasuk merdeka dari dominasi persepsi wanita. Karena tidak sedikit semangat pemuda yang tersembelih ketika berhadapan dengan segala macam tuntutan manja wanita.”<br />
<br />
“Itu dia Mas!” sambung Budi, bersemangat. “Kualifikasi wanita terhadap calon suaminya juga mempengaruhi tingkah laku pemuda. Sekarang ini prototype pria idaman para cewek adalah mapan sukses, bermobil, kaya dan rupawan. Bila saja cewek-cewek bersikap realistis manusiawi, tidak materialistis, pokoknya mensyaratkan laki-laki yang bertanggung jawab, meskipun kantongnya tak begitu tebal, masalah kebutuhan materi diusahakan bersama. Dan cara pandang massal seperti itu akibat kebanyakan mengonsumsi tontonan dan bacaan picisan.<br />
<br />
Betapa banyak figur-figur publik yang sedang beken di media sosial dan mempengaruhi mindset cewek-cewek jaman sekarang. Mereka mengumbar definisi kebahagiaan dan pria idaman tersendiri, sehingga menjadikan para pemuda kikuk untuk melakukan berbagai macam kreativitas pergerakan sosial. Kenapa? Karena tekanan kaum wanita, apalagi mereka yang punya pacar. Akibatnya, banyak mahasiswa galau yang nguber wisuda karena diuber kawin. Sehingga dia nggak punya energi lagi untuk mencurahkan daya pikir di ranah sosial kemasyarakatan. Ketika sudah mengemban gelar sarjana, mereka lepas dari usaha-usaha riil di tengah masyarakat yang sebenarnya sangat prospektif dan bermanfaat.<br />
<br />
Wah, asupan-asupan dari berbagai media sangat berpengaruh bagi cara pandang pemuda-pemudi kita. Entah itu di media elektronik maupun cetak, lisan maupun tulisan, informative maupun sosial komunikatif. Dan semua itu didanai besar-besaran oleh kaum kapitalis. Contohnya, teman saya (atau mungkin dia sendiri –red.) mengatakan bahwa salah satu media kampanye cara pandang Barat terhadap wanita adalah melalui film-film bokep. Dalam adegan-adegan persetubuhan di film-film bokep bermadzhab Barat, entah Amerika, Eropa, maupun negeri-negeri Asia beraliran hardcore, selalu menempatkan wanita sebagai objek pemuasan hawa nafsu. Itu kejam. Jadi hakekatnya, ketika teman dia menonton adegan di film biru itu, sama saja sedang menonton adegan kebinatangan. Sama sekali tidak indah.<br />
<br />
Berbeda jika pemuda mau mempelajari hal-hal vulgar semacam ini bukan dengan cara Barat, tetapi cara Timur. Apakah ada? Banyak! Karya tulis full imajinasi sudah ditorehkan oleh orang-orang terdahulu dari bangsa-bangsa Timur, entah itu India, Arab, Persia, bahkan Jawa. Di kitab-kitab ini wanita menjadi partner pria menuju puncak, bukan objek pemuasan nafsu.” Jelas Budi panjang lebar, sangat antusias.<br />
<br />
Sambil membenahi posisi kacamatanya, mungkin masih bingung dan berimajinasi tentang teori bokep tadi, Teguh mengungkapkan kesimpulannya, “Yaa meskipun masih banyak hal-hal berseliweran di kepalaku akibat bahasan yang belum jelas, namun intinya, anak muda memang harus bersemangat. Dan obrolan semacam inilah upaya untuk menjaga semangat idealisme pemuda agar tetap menyala.”<br />
<br />
“Benar! Tetap jaga api antum, jangan sampai padam akhi,” ujar Latif menutup pertemuan, sok imut. Senja sudah hilang, langit nampak menghitam, dan ‘api’ di dada kami makin menyala terang.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCTaw_NWnK5hvEAXvqHfC9HZrB5UFwNjk_5ui_txlVOK554OtFFkwOEA51KManEgaHABQGpJyelZ5PiecnR63XbHfdsdI-g9vLf8R8RPy08YrgZYPrYYvAlUEqJTvZrAYKB0bL73mF7wo/s1600/pemuda.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="278" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCTaw_NWnK5hvEAXvqHfC9HZrB5UFwNjk_5ui_txlVOK554OtFFkwOEA51KManEgaHABQGpJyelZ5PiecnR63XbHfdsdI-g9vLf8R8RPy08YrgZYPrYYvAlUEqJTvZrAYKB0bL73mF7wo/s400/pemuda.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
<br />
[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-68684396698818324002013-09-26T10:01:00.000-07:002015-06-08T10:04:34.357-07:00Radikalisme Fundamental<b>Taman Masjid Kampus, Kamis 26 September 2013 | Penyaji: Sayd Nursiba</b><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLb3oiceh7jWTWvMOVLhoY-Y3qa7slooL9K7RHJVFptJBCDCnF_L0mTW68RvrdKmldJt-gQaBOd8jKGN67EH43laJ7r04DSC_QqlcWyJt5PKUcfJa88vyeU-g6VnkUwdiGDiY3ULEuPjE/s1600/IMG_1451+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLb3oiceh7jWTWvMOVLhoY-Y3qa7slooL9K7RHJVFptJBCDCnF_L0mTW68RvrdKmldJt-gQaBOd8jKGN67EH43laJ7r04DSC_QqlcWyJt5PKUcfJa88vyeU-g6VnkUwdiGDiY3ULEuPjE/s320/IMG_1451+-+Copy.JPG" width="320" /></a>Di media, kita sering disodori berbagai macam istilah yang membelenggu, mendikotomi alias mengkapling-kaplingkan, bahkan terkesan memversuskan. Yakni antara fundamental, moderat dan liberal.<br /><br />Katanya, fundamental berarti pendirian mendasar. Atau secara luas bisa dimaknai sebagai pendirian yang keukeuh terhadap suatu nilai tertentu. "Nggak boleh pacaran!" atau "Harus pacaran!" adalah dua kalimat berbeda yang sama-sama mencirikan sikap fundamentalis; yakni 'mengharuskan'.<br /><br />Sedangkan orang liberal dimaknai sebagai pihak yang bebas dan seakan lepas dari nilai yang dipegang teguh fundamentalis. Kita tahu, terang Zia, hak orang lain adalah batas kebebasan kita. Jadi, ketika ada orang yang menghancurkan kuburan berkijing di tanah orang lain karena dianggap tidak sesuai dengan ideologi yang dianutnya, orang tersebut bisa juga disebut 'Liberal' karena dia bertindak 'bebas' menerjang batas. Hayoh.<br /><br />Sedangkan sikap moderat diartikan tengah-tengah; meskipun ia bebas tetapi masih mengikatkan diri terhadap asas-asas yang ada. Posisi inilah yang -katanya- susah. Bagi fundamentalis, orang moderat bisa dianggap liberal. Bagi orang liberal, orang moderat bisa disebut fundamental. Atau bahkan sering disebut hipokrit.<br /><br />Lalu sebenarnya apa makna 'fundamental', 'moderat', dan 'liberal'? Bagaimana memosisikan istilah itu dengan tepat dan indah? Demikian gugat Lutfi.<br /><br />Ya embuh, tanggap Yasin, si High Quality Jomblo. Walaupun anggapan orang lain tidak penting, mau liberal kek, moderat kek, fundamental kek, koslet mental kek, you are who you are. Tapi rasa-rasanya penting juga bila kita obrolkan tentang hal ini, agar suatu hari -dimanapun dan kapanpun- kita tidak keseleo pikir dan kepeleset lisan dalam penggunaan istilah-istilah tersebut, terutama jika terpaksa melakukan apresiasi terhadap orang lain di tengah masyarakat. Kenapa penting? Karena kebanyakan kisruh sosial di tengah masyarakat muncul akibat judgement terhadap pihak-pihak tertentu oleh para provokator, sehingga menyulut reaksi lebay dari kita yang malas mikir ini. Betapa banyak sumber daya yang tersia karena konflik yang sebenarnya non-sense?<br /><br />Apalagi bila dikaitkan dengan isu radikalisme agama. Semua jadi semakin blur tidak jelas.<br /><br />Dewasa ini, para pemimpin, anggota dan pengikut gerakan Islamisme sedunia takut dan curiga kepada istilah radikal atau radikalisme. Jelas Irfan dengan analisa global. Hampir semua pemimpin islam berlomba-lomba mendapatkan label muslim moderat yang dikatakan beradab, damai dan pasif (disenangi oleh penguasa barat dan patuh kepada kehendak agenda Washington). Apalagi setelah radikalisme diberi suatu makna yang begitu negatif, sehingga dipersamakan dengan arogan, galak, ekstrim, brutal dan lain-lain.<br /><br />Kita begitu waspada dan risau terhadap istilah radikal, sehingga kita tidak mau berhubungan apapun denganya, atau dikaitkan walau bagaimanapun. Begitu takut dikambinghitamkan dengan gelar islam radikal, sehingga gerakan-gerakan Islam sedunia dijinakkan dan dijadikan kambing hitam.<br /><br />Inilah aspek komedi gerakan Islamisme dewasa ini. Pengaitan istilah radikalisme dengan fenomena negatif merupakan sesuatu yang salah! (baik dari historis dan juga logika). Dari sudut pandang etimologi, konsep itu tidak ada hubungan sama sekali dengan negatif. Yang lebih menjadi badut dari hal tersebut adalah terjadi suatu alih paradigma dan alih wacana yang menyebabkan terjadinya pengaitan antara radikalisme dan kekerasan.<br /><br />Perubahan-perubahan seperti ini disebabkan oleh faktor-faktor institusi, relasi kuasa dan struktur kuasa tertenu, dan bukanlah hasil usaha geng-geng jin dan hantu pocongan yang dikhawatirkan. Agensi-agensi yang terlibat dalam peralihan wacana dan paradigma ini di antaranya golongan pers mainstream, pemerintah-pemerintah negara maju, kroni-kroni mereka di negara berkembang, dan malangnya konsep radikalisme keselipan sejumlah gerakan islamis itu sendiri.<br /><br />Peralihan wacana ini tidak terjadi begitu saja. Ada sebab-sebab tertentu mengapa demikian. Untuk memahami proses ini dan sebab musababnya, kita perlu bermula dengan suatu kajian pendekatan histori, kembali kesuatu era dimana kata radikalisme tidak dianggap berbahaya, justru bernilai positif dan diagung-agungkan.<br /><br />“Ya, betul,” sambung Said, pemateri gaek dari Madukismo. Pada akhir abad ke19 dan pertengahan abad 20, gerakan nasionalis dan anti kolonialis di dunia ketiga dipimpin dan diterajui oleh tokoh-tokoh radikal yang hebat dan berkepribadian tinggi serta mulia. Tokoh-tkoh Asia seperti Jose Rizal dari Filipina, Pridi Banomyong di Siam, Nguyen Cho Thactht di Vietnam, Bung Karno, Bung Hatta, Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus Salim, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy'ari dari Indonesia, mereka semua bisa dikatatakan radikal pada masa tersebut.<br /><br />Mengapa? Karena mereka berusaha untuk membebaskan kampung halaman (negara) dan masyarakat dari beban hidup di bawah rezim kolonial yang tidak adil. Dalam perjuangan, mereka tidak berkompromi dengan status quo yang ada secara total. Penentang yang total inilah yang menyebabkan mereka dianggap radikal oleh pihak kolonial. Tokoh-tokoh ini sadar bahwa perubahan dan kemerdekaan yang sempurna tidak akan dicapai selagi struktur kuasa dan relasi kuasa lama masih melekat. Oleh karena itu, fokus penentangan mereka diarahkan kepada sistem politik dan institusi politik kolonial yang tidak adil tersebut.<br /><br />Dewasa ini kuasa besar Amerika menggunakan pula label radikal untuk meminggirkan musuhnya (sang penegak keadilan). Aneh sekali bukan? Padahal Amerika juga didirikan oleh pemimpin-pemimpin yang dahulunya dianggap radikal. Contohnya George Washington yang memberontak menentang kerajaan Inggris pada abad 18, juga digelari radikal oleh raja inggris pada zamanya. Amerika tak mungkin ada tanpa gerakan pro kemerdekaan yang radikal. Jadi, mengapa pemimpin Amerika saat ini takut kepada aliran-aliran ide dan politik yang berwajah radikal? Apa jangan-jangan mereka dihantui bayang-bayang mimipi buruk mereka? Atau, mungkinkah mereka sadar bahwa sekarang ini Amerika bukan lagi suatu negara terjajah, tapi negara yang menjajah dan dianggap sebagai negara penjajah? Entahlah!<br /><br />Mukid tetap memperhatikan ekspresi penyaji dengan penuh nafsu, Said grogi dan kebingungan.<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-84993831316653722932013-08-01T09:54:00.000-07:002015-06-08T10:00:40.131-07:00Berani Bermimpi<b>Lobi FITK UIN Sunan Kalijaga, 1 Agustus 2013 | Penyaji: Bastian Febrianto<br /></b>Sore di bawah panggung mendung dan di antara irama hujan, penDuduk Selingkar mencari kutub kehidupannya. Mencari magnet yang dapat menarik dirinya untuk bergerak menuju kutubnya masing-masing. Disuguhi adonan mimpi dan motivasi membuatnya terasa semanis brownis. Walau mungkin saat memakannya akan menyendat tenggorokan. Segelas air tekat, nekat, dan semangat akan segera melancarkannya. Melancarkan mimpi itu menuju usus halus kehidupan. Mencerna dan menyerapnya, hingga menjadi daya gerak bagi sang pemimpi.<br /><br />Buku berjudul "Soetanto Effect" yang dikupas oleh Bastian Ev menunjukkan bagaimana pentingnya bermimpi. Lalu, apa kata penduduk tentang mimpi setelah saling berdiskusi?<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOfv3UeuMXeq2j-d7B6yqRQdJke-uG7-jA2_-tQIOxwXOPBkQ_KYumhM_p59OtPH8HOcowfENM97pk7Sl4kH82UaXuZwHaIijWn0yWFjYnnCz7JyGElA-0CS6F12hhWCSROCNihumKUcI/s1600/IMG_1694+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOfv3UeuMXeq2j-d7B6yqRQdJke-uG7-jA2_-tQIOxwXOPBkQ_KYumhM_p59OtPH8HOcowfENM97pk7Sl4kH82UaXuZwHaIijWn0yWFjYnnCz7JyGElA-0CS6F12hhWCSROCNihumKUcI/s400/IMG_1694+-+Copy.JPG" width="400" /></a></div>
Zainal Muhidin: "Kita harus tahu bahwa hidup adalah perjuangan. Dan harus tahu pula apa yang kita perjuangkan."<br /><br />Pramono: "Hidup harus punya impian! Meskipun impian tidak harus selalu terwujud."<br /><br />Muhammad Adami: "Bermimpilah! Tapi jangan lupa bercermin.."<br /><br />Muhammad Farid: "Mimpilah setinggi mungkin, dan jika itu tak tercapai, setidaknya ada impian-impian di bawahnya yang bisa kita gapai."<br /><br />Sayd Nursiba: "Seperti yang dikemukakan Sir Muhammad Iqbal; mati dalam perjuangan untuk mewujudkan mimpi-mimpi adalah kebahagiaan."<br /><br />Muhammad Abdulloh: "Dalam menggapai mimpi, harus ada motivasi!"<br /><br />Mahfut Khanafi: "Bermimpilah namun jangan lupakan realita. Pintarlah tapi jangan pintar sendiri. Kayalah dan jangan pula kaya sendiri."<br /><br />Vendi Hermawan: "Harus nekat dalam meraih mimpi!"<br /><br />Affandi: "Wajar jika terjatuh, namun jangan terpaku kepada momen kejatuhan, tapi berupayalah bagaimana caranya bangkit!"<br /><br />Ayik Abdulloh Sadam Husen: "Bermimpilah!"<br /><br />Saikhul Semangat: "Mimpilah yang tinggi, dan jangan takut terjatuh."<br /><br />Awan Al-Lathief: "Jangan hanya punya satu mimpi besar, harus ada mimpi-mimpi lain yang beraneka ragam."<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-12963850579245448052013-06-29T09:50:00.000-07:002015-06-08T09:52:49.773-07:00Kesatuan Tanpa Keseragaman<b>Pendopo LKiS Sorowajan, Sabtu 29 Juni 2013 | Penyaji: Habib Ismail Fajrie Alatas<br /></b>Sabtu lalu, 29/06/2013, pukul 19.40 kami para penDuduk Selingkar baru sampai di lokasi diskusi, yakni Pendopo LKiS di Sorowajan, padahal acara telah dimulai satu jam sebelumnya. Beberapa gadis manis kader IPPNU menyambut kami di meja tamu. Setelah mengisi buku tamu atas nama Selingkar [o], mengambil beberapa gelas teh dan kopi, serta mencomot beberapa piring kwaci, tahu dan roti, kami langsung memosisikan diri di pendopo panggung selatan, karena pendopo utama sudah penuh oleh pengunjung.<br /><br />Saat itu Habib Aji sudah sampai pada pembahasan tentang cakupan Islam yang tidak hanya di ranah spiritual dan etika, tetapi juga tatar fisik ritual. Maksudnya, berbagai macam aturan yang terkait dengan fisik dalam agama merupakan ‘persiapan’ wujud wadag (body) sebagai bejana Cahaya Ilahi. Berbeda dengan pandangan aliran pemikiran liberal yang mengusung spirit religio-ethic Islam tetapi hendak menolak dan meninggalkan tata ritual fisik.<br /><br />Dalam kesempatan ini Habib Aji menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan lokalitas budaya umat dan pluralitas sosial keagamaan, khususnya dalam cakupan Islam. Para ulama, menurut beliau, tidaklah cukup hanya menguasai dan memahami tradisi tekstual keagamaan saja, melainkan juga harus memahami kondisi kontekstual masyarakat dengan segala adat budayanya. Sehingga ia mampu mengakomodasi khazanah keilmuan Islam, fiqh misalnya, untuk disosialisasikan di tengah masyarakat dengan bahasa yang mudah dicerna dan meresap.<br /><br />Seperti seluk beluk mistisme masyarakat lokal, spirit possesion (kesurupan), dan hal-hal lain semacam itu juga seharusnya tidak luput dari perhatian ulama-ulama lokal di masing-masing daerah.<br /><br />Sehingga para ulama yang terjun di masyarakat tidak hanya mumpuni dalam masalah-masalah keagamaan, tetapi juga bisa menegosiasikan tradisi teks historis dari generasi salafussalih dengan lokalitas yang dihadapi secara riil. Hal ini meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan hukum yang khas di setiap daerah yang berbeda secara geografis maupun waktu. Keislaman di suatu daerah di Afrika bisa saja berbeda dengan keislaman masyarakat di pelosok Aceh, atau di sudut Jawa Timur, misalnya.<br /><br />Namun keberagaman itu tetap dapat disatukan, salah satunya dengan tetap dilestarikannya rantaian sanad keilmuan dari murid ke guru, guru ke gurunya, terus bersambung hingga Rasulullah saw. Sanad keilmuan ini bisa menyatukan keberagaman itu karena bersifat trans geografis dan trans historis.<br /><br />Beginilah keadaannya sehingga Islam bisa menjadi roh di setiap generasi dan peradaban. Beliau juga menyampaikan telaah kritis terhadap pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang memosisikan Islam sebagai objek. Ketika Islam ditempatkan sebagai objek, maka asumsinya Islam bisa diperlakukan sebagai ‘korban’ oleh manusia, bukan sebagai roh, di luar diri. Muncullah anggapan bahwa Islam adalah suatu agama yang bisa bangkit, runtuh, dihina, dibela, dipuji, dicaci, dan kini harus dibangkitkan kembali dalam lintas sektor kehidupan berskala global secara formal.<br /><br />Pandangan semacam ini, menurut beliau, tidak sepenuhnya tepat. Karena, selain paradigma ini merupakan pola pikir antropolog orientalis, juga suatu kenyataan bahwa Islam sejak awal merupakan jiwa dan poros gerak umat, bukan sebagai objek, bukan pula produk. Apalagi jika paradigma seperti ini ditindaklanjuti dengan upaya penyeragaman hukum Islam secara global di daerah-daerah yang memiliki kearifan lokal berbeda-beda.<br /><br />Dengan dimoderatori oleh Gus Irwan Masduqi, Lc. (Mlangi), beberapa peserta diskusi dipersilakan mengajukan tanggapan dan pertanyaan.<br /><br />Menanggapi pertanyaan salah seorang peserta tentang clash yang terjadi sesama umat Islam karena alasan perbedaan. Habib Aji berpendapat tidak perlu ada penyatuan aliran-aliran yang berbeda. Namun di sisi lain, konsepsi kita terhadap makna persatuan harus ditata. Di sinilah pentingnya dialog intensif antara negara sebagai ranah kekuasaan mentah dan ulama yang bersifat konsultatif. Sehingga benar-benar terwujud kesatuan tanpa keseragaman.<br /><br />Dalam tanggapannya, Alissa Wahid (Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian dan Dewan Pembina Wahid Institute) menyampaikan apresiasi terhadap aktualitas tema yang diangkat dalam diskusi malam itu. Mbak Lisa, begitu ia disapa, juga mempertanyakan bagaimana implementasi yang efektif atas hasil-hasil diskusi di forum-forum semacam ini di tengah masyarakat.<br /><br />Habib Aji menawarkan gagasan pentingnya implementasi ide secara praktis di dalam individu maupun komunitas kita sendiri, khususnya NU. Ia mengatakan bahwa problem yang dihadapi mayoritas kaum muda NU adalah keengganan untuk bergerak, namun baru bersikap reaktif ketika ada pihak luar yang merongrong akidah maupun amaliah. Inilah titik di mana kaum muda NU harus melakukan introspeksi.<br /><br />Menurut pandangan beliau, tidak sedikit anak-anak muda NU yang mengidap penyakit gengsi ketika sudah membahas perkara-perkara pelik keagamaan atau mulai bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran modern. Mereka mulai malas untuk terjun di tengah masyarakat dalam rangka memahamkan hal-hal dasar yang sederhana, merasa bukan kelasnya.<br /><br />Dalam hal ini, Habib Aji mencontohkan sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Habib Aji, Gus Dur adalah sosok yang tidak hanya mampu berdialog kritis dengan para filsuf kelas dunia, tetapi juga bisa menjalani peran sebagai kiai kampung dengan apik dan berbicara dengan masyarakat yang buta huruf sekalipun.<br /><br />Gus Dur itu, menurut Habib Aji, bukanlah tokoh pemikiran modern progresif, melainkan sepenuhnya merupakan model tokoh tradisonalis. Sebab itulah keadaan khalayak yang merasa sebagai makhluk modern tidak bisa memahami jalan pikir beliau. Namun Habib Aji juga mengkritik istilah ‘Pribumisasi Islam’ yang sering disandarkan kepada sosok Gus Dur. Menurutnya, istilah ‘pribumisasi’ menyatakan seakan-akan ada Islam yang asli di suatu tempat dan zaman kemudian ‘diturunkan nilainya’ agar berkesesuaian dengan lokalitas pribumi. Hal ini tidak berbeda dengan konsep Islam sebagai objek sebagaimana telah diulas di atas.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix7s6IMIeefo5YdEjKs4UzyLAmGwkfs8IhYOzDkDC4znHlFIG8r6pEyVQlW9OautwQYDKbHImRgc9aeTuwBee72yiCl7lzufiIOpDuy5b9fqtvKF3GFWsQcp0IypQctcRq39pyWg6sdX4/s1600/HABIB+AJI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix7s6IMIeefo5YdEjKs4UzyLAmGwkfs8IhYOzDkDC4znHlFIG8r6pEyVQlW9OautwQYDKbHImRgc9aeTuwBee72yiCl7lzufiIOpDuy5b9fqtvKF3GFWsQcp0IypQctcRq39pyWg6sdX4/s400/HABIB+AJI.jpg" width="400" /></a></div>
Banyak lagi poin-poin mencerahkan yang disuguhkan Habib Aji, khazanah keilmuan Islam Afrika-Asia, thariqah, konsensus fiqh (ijma’), konsep Instansiasi, Manifestasi, hubungan negara-agama, kasus Habib Utsman bin Yahya Mufti Betawi, Derrida, Adorno, al-Ghazali, hingga keterbatasan epistemologi dalam memahami realita ontologi. Mengenai hal yang terakhir ini Habib Aji mengajukan suatu pertanyaan sederhana,<br /><br />“Dalam ilmu Nahwu, kita pakai yang paling dasar: Jurumiyyah, apa itu pengertian al-kalam? Al-Kalamu huwa al-lafdzu al-murokkabu almufiidu bi al-wadh’ie. Kalam (kalimat) adalah susunan kata-kata yang memiliki makna dan muncul secara concious . Lalu bagaimana dengan ‘Alif Laam Miim’ di ayat pertama surah al-Baqarah itu, bisakah disebut sebagai kalam menurut definisi kalam ala ilmu Nahwu?”<br /><br />Gelitikan semacam ini menggambarkan bahwa betapa terbatasnya sistem epistemlogi manusia untuk bisa memahami realitas ontologi, seperti halnya dalam memahami Kalam Tuhan dan Tuhan itu sendiri. Sehingga para ulama di setiap kali mengakhiri tulisannya dalam buku-buku klasik maupun kontemporer selalu membubuhkan pernyataan yang penuh kesadaran bahwa tidak ada yang benar-benar memahami realita sejati selain Allah subhanahu wa ta’ala, yakni dengan menorehkan;<br /><br />Wa Allahu A’lam. Allahlah yang paling tahu.<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1364126851330018894.post-9202838331661722592013-03-09T09:44:00.000-08:002015-06-08T09:48:18.119-07:00Peran Pesantren dalam Pendidikan Nasional<b>Pelataran Kraton, Sabtu 9 Maret 2013 | Penyaji: Sayd Nursiba<br /></b>Malam minggu selalu ramai di Jogja, khususnya wilayah Malioboro - Nol Kilometer - Alun-alun Utara. Wisatawan lokal maupun mancanegara hilir mudik menikmati eksotisme kota sejuta pesona ini. Di tengah hiruk pikuk itu, ada segerombol pemuda menggelar jamuan di selatan alun-alun, di gerbang barat pelataran keraton. Rona kebahagiaan jelas terpancar dari wajah-wajah mereka. Diawali dengan ritual santap nasi kucing bersama, dilanjutkan petikan gitar dan nyanyian porak poranda, kemudian dilanjutkan dengan diskusi santai Selingkar.<br /><br />Malam itu mereka membahas Peran Pesantren dalam Membentuk Kepribadian Bangsa dalam tema Budaya. Dipaparkan oleh Sayd dengan apik;<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgimk6EX6OG18XRPCe15I2HkbxWjgakqh-Kqj-osGjVAXG4k3XJNAlbFIZ0LZwyE-LnbYzVIQIULxs6hoGBI_1uh339VoI2PRhIBYfBgI1NZWtubOTm2rWO0Twn-o-5C0jf-yJExoosU98/s1600/IMG_1447+-+Copy.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgimk6EX6OG18XRPCe15I2HkbxWjgakqh-Kqj-osGjVAXG4k3XJNAlbFIZ0LZwyE-LnbYzVIQIULxs6hoGBI_1uh339VoI2PRhIBYfBgI1NZWtubOTm2rWO0Twn-o-5C0jf-yJExoosU98/s400/IMG_1447+-+Copy.JPG" width="400" /></a></div>
Manusia sejak lahir memiliki kualitas yang berbeda dari mahluk Tuhan lainnya, baik fisik maupun non fisik. Sujarwa dalam bukunya, ‘Manusia dan Fenomena Kebudayaan’ mengatakan; ketika dilahirkan pertama kali, keadaan manusia sama sekali kurang matang dan dalam proses pertmbuhannya ia harus bergantung kepada sesamanya atau orang lain di sekitarnya.<br /><br />Dalam proses perkembangan menuju kematangan individu sering terjadi persaingan dan konflik dalam dirinya. Hal ini menunjukkan dalam diri manusia terdapat usaha untuk membentuk dan mengubah diri agar bisa menjadi individu yang lebih baik. Olehkarena itu, pada dasarnya, manusia telah mempunya potensi baik dan buruk dalam dirinya serta diberikannya kebebasan memilih dan mengaktualisasikan dua potensi tersebut.<br /><br />Dalam mengembangkan dua bentuk potensi ini manusia lebih dominan untuk dipengaruhi dan dibentuk dengan kondisi lingkungannya, karena perkembangan hidup manusia tidak cukup hanya ditentukan pengalaman pribadinya, namun lebih banyak ditentukan oleh kempuan untuk belajar dan penerima pembembelajaran. Hal ini dikerjakan dengan maksud mengembangkan dan mempersiapkan seseorang untuk kehidupan dunia dan akhiratnya.<br /><br />Kebutuhan manusia untuk ruhnya yang utama adalah agama, yang teraktualisasikan dalam bentuk ibadah. Maka kesadaran beragama perlu ditanamkan sejak dini, dan harus menjadi frame bagi kehidupan manusia untuk menjiwai hidup berbudaya, berpolitik, bersosial dan beretika. Seseorang yang sejak awal diperkenalkan nilai agama maka diharapkan corak kepribadiannya diwujudkan yang bersifat islamai. Nilai-nilai agama ini sangatlah berperan dalam pembentukan sikap mental bagi seseorang.<br /><br />Ditinjau dari perspektif pendidikan, yang mengemban tugas mewujudkan semua itu adalah lembaga informal, formal, dan nonformal. Pesantren menjadi salah satu bentuk lembaga pendidikan non formal karena eksistensinya berada dalam jalur pendidikan masyarakat. Ia memiliki program-program pendidikan yang disusun sendiri, pada umumnya bebas dari ketentuan formal. Semua program ini dilaksanakan dalam proses belajar bersama lingkungan kehidupan pondok dan diawasi secra langsung oleh kyai dan para asistennya. Maka pesantren bukan hanya tempat belajar mengajar, melainkan proses kehidupan sendiri.<br /><br />Peran penting dari lembaga pondok pesantren adalah sebagai alat tranformasi kultur yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Jawaban terhadap panggilan keagamaan dan pengayoman serta pendidikan kepada masyarakat yang bersedia menjalankan perintah agama dan hubungan antar mereka.<br /><br />~<br /><br />Setelah melalui tiga jam durasi diskusi (21.30 - 00.30). Masing-masing penduduk mengemukakan kesimpulannya;<br /><br />Luqman: "Ada berbagai macam corak yang dimiliki pesantren-pesantren di Nusantara. Keberagaman inilah yang menjadi potensi dan kekuatan pesantren untuk berkiprah di masyarakat sesuai kebutuhan."<br /><br />Alvin Nurkholis: "Pengaruh yang ditanamkan oleh pesantren tidak terlepas dari fitrah manusia, yakni sebagai 'abdullah (vertikal) dan khalifatullah (horisontal)."<br /><br />Mahmud: "Adanya karakteristik khas di pesantren merupakan kebijaksanaan dari sosok pusatnya, yakni Kiai (pengasuh pesantren). Sehingga beliau-beliaulah yang secara tidak langsung memiliki pengaruh di masyarakat melalui lembaga pesantren dan santri-santrinya di kemudian hari. Maka bagi para calon kiai untuk bisa menempatkan diri serta melihat kebutuhan masyarakat secara riil."<br /><br />Latif Himawan: "Melihat peran santri yang begitu berat ketika sudah terjun di masyarakat, maka sudah semestinya sosok santri bisa menarik hati masyarakat. Bila dahulu masyarakat hormat terhadap orang-orang alim, sekarang masyarakat tampaknya memberikan perhatian kepada hartawan. Maka perlu dipertimbangkan agar sosok santri bisa menjadi tokoh yang hartawan juga."<br /><br />Sutri Cahyo Kusumo: "Apa yang dilakukan pesantren dan unsur-unsur di dalamnya tak lepas dari kaidah; menjaga hal yang baik dan mengambil hal yang lebih baik. Nah, untuk mengetahui nilai suatu hal, apakah baik atau tidak, maka diskusi semacam ini sangatlah dibutuhkan."<br /><br />Irfan Wahyu Adi Pradana: "Pioneer perubahan di masyarakat, dalam hal ini adalah sosok santri, jangan agu dan takut untuk bergesekan dengan realita di masyarakat. Tantangan harus dihadapi, bukan dihindari."<br /><br />Dendy Cipto Setya Budi: "Pesantren kerap kali -di zaman sekarang- tidak menyentuh dan menggarap kalangan bawah, grassroot. Keadaan ini harus di-upgrade agar pesantren tidak menjadi seperti menara gading; yakni suatu lembaga eksklusif yang justru tak bisa dijangkau oleh masyarakat awam, sehingga meskipun keilmuannya mumpuni tetapi manfaatnya tak menyebar di kehidupan bermasyarakat. Sedikit kutipan dari puisi Rendra; apalah arti berpikir bila terepas dari masalah kehidupan.."<br /><br />Zia Ul Haq: "Sudah saatnya pesantren dengan unsur kiai-santrinya menjadi semacam Think-Tank bagi permasalahan-permasalahan aktual sosial kemasyarakatan, yang berhubungan dengan segala lini kehidupan, seperti budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Tidak hanya menjadi majlis pembahasan masalah-masalah ritual keagamaan an sich."<br /><br />Forum diskusi santai ditutup pukul setengah satu dini hari, dan pertemuan malam itu diakhiri dengan santap nasi goreng dan sruputan kopi.<br /><br />[o]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15947125274522338441noreply@blogger.com0