Sabtu, 29 Desember 2012

Singularisme Agama-agama

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 29 Desember 2012 | Penyaji: Zia Ul Haq
Keberagaman agama di Indonesia tidak terlepas dari faktor sejarah dan sosial budaya. Fenomena yang terjadi dalam keberagaman itupun tidak bisa dilepaskan dari aspek-aspek sosial budaya yang melingkupinya. Adanya konflik atau pergesekan antar umat beragama merupakan suatu obyek kajian yang harus dicermati secara detail, apakah terjadi murni karena faktor agama itu sendiri, ataukah karena faktor-faktor eksternal berupa politik maupun ekonomi.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita betapa pahitnya akibat dari konflik-konflik sosial bernuansa keagamaan. Hal ini tidak hanya terjadi di masa kontemporer tetapi juga di zaman klasik ketika nama “Indonesia” belum mengikat keanekaragaman bangsa di Nusantara. Konflik antara Kesultanan Islam Demak dengan Kraton Hindu-Buddha Majapahit misalnya, telah menyisakan kerugian yang tidak sedikit selama beberapa abad setelahnya.

Belum lagi jika kita mencermati beberapa persinggungan antaragama di zaman kontemporer ini. Konflik antara umat Islam dan Kristen di Poso sekiranya bisa menjadi sampel. Konflik di poso adalah salah satu konflik di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso.

Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut. Tampak sekali bahwa aktor-aktor dalam konflik sebenarnya sangat kompleks, melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, di samping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan kekuasaan.

Begitu pula dengan insiden Ketapang pada tahun 1998 terhadap gereja-gereja Kristen yang barangkali merupakan satu faktor penyebab peperangan Kristen-Islam di Ambon, yakni adanya hasutan antara orang Betawi (penduduk Jakarta asli). Sejak tahun 1990 telah terjadi serangan-serangan terhadap gereja dengan peningkatan momentum, mencapai klimaksnya pada insiden yang mengerikan tahun 1996 dan 1997 di Surabaya, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian timur Indonesia telah terjadi serangan terhadap masjid-masjid. Serta berbagai bentrok di penjuru tempat di Indonesia yang sayangnya diperparah oleh faktor politik, secara parsial dari TNI dan Polri serta orang-orang yang datang dari luar dan melibatkan diri di dalamnya.

Budaya kekerasan dan anarkisme yang didemonstrasikan oleh berbagai bentuk konflik di atas bisa berkembang setidaknya karena empat faktor.

Pertama, faktor modernisasi dan globalisasi.  Kedua, faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat. Ketiga, mengguritanya budaya kekerasan di masyarakat. Keempat, faktor sosial politik.

Mari kita lihat konsep utama dasar keimanan agama-agama resmi di Indonesia:

Pokok-pokok ajaran Hindu tertuang dalam Panca Sraddha, yakni:

Percaya terhadap adanya Brahman (Sang Hyang Widhi); Percaya terhadap Atman yang merupakan percikan dari Atman tertinggi yakni Brahman; Percaya terhadap Hukum Karmaphala (balasan perbuatan); Percaya terhadap adanya Punarbawa atau lingkaran kelahiran kembali;Percaya terhadap adanya Moksa atau kelepasan jiwa dari ikatan duniawi.

Nilai-nilai kemoralan untuk umat awam Buddha dikenal dengan Pancasila:

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup; Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan; Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila; Aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta; Aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Rukun Islam ada 5:

Mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah; Mendirikan salat wajib lima kali sehari; Berpuasa pada bulan Ramadan; Membayar zakat; Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu. Umat Islam meyakini doktrin bahwa Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah bentuk Kasih Sayang-Nya terhadap alam semesta atau rahmatan lil ‘aalamiin. Juga terkait dengan tugas diutusnya Nabi Muhammad yakni sebagai pembenah moralitas manusia secara keseluruhan.

Dalam Kristen, maupun Yahudi, dikenal adanya Sepuluh Perintah Tuhan (Dekalog):

Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu; Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat; Kuduskanlah hari Tuhan; Hormatilah ibu-bapamu; Jangan membunuh; Jangan berzinah; Jangan mencuri; Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu; Jangan mengingini istri sesamamu; Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Dalam Kong Hu Cu, ada beberapa konsep, yakni;

Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu: Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian); Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De); Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming); Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen); Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi);  Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo); Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu); Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao);

Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang); Ren – Cintakasih, Yi – Kebenaran / Keadilan / Kewajiban, Li – Kesusilaan dan Kepantasan, Zhi – Bijaksana, Xin - Dapat Dipercaya;

Lima Hubungan Sosial (Wu Lun): Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan; Hubungan antara Suami dan Isteri; Hubungan antara Orang tua dan anak; Hubungan antara Kakak dan Adik; Hubungan antara Kawan dan Sahabat

Delapan Kebajikan (Ba De): Xiao - Laku Bakti, Ti - Rendah Hati, Zhong – Setia, Xin - Dapat Dipercaya, Li – Susila, Yi – Bijaksana, Lian - Suci Hati, Chi - Tahu Malu.

Maka pesan moral normatif inilah yang semestinya diidentifikasi dari setiap agama untuk digarisbawahi kesamaan tujuannya. Secara rinci, setidaknya ada tujuh hal pokok yang dikandung oleh semua agama, yakni;

1.       Adanya realitas transenden, yakni Tuhan Yang Maha Suci.

2.       Realitas yang transenden itu adalah immanen di lubuk hati manusia.

3.       Realitas transenden tersebut adalah kebaikan tertinggi, mutlak.

4.       Realitas ketuhanan ini adalah cinta sejati yang mewujud di dalam kehidupan.

5.       Jalan manusia menuju Tuhan adalah menyerahkan diri, disiplin diri dan ritual.

6.       Semua agama tidak saja mengajarkan tentang jalan menuju Tuhan, tetapi secara bersamaan juga mengajarkan cara bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

7.       Cinta merupakan jalan yang paling tinggi menuju Tuhan.

Hal ini juga menunjukkan secara jelas bahwa agama yang sebenarnya menguatkan keberadaan pengalaman spiritual yang unik dan bersifat individual dari seorang pemeluk agama. Pengalaman spiritual itulah yang mendorongnya untuk memiliki pemahaman yang mendalam secara bersama-sama antar berbagai orang dari seluruh sistem keagamaan yang ada. Agama yang sebenarnya bertindak sebagai ‘kendaraan’ atau ‘alat’ untuk mengungkapkan rasa pelayanan (pengabdian) yang tulus dari seluruh penganutnya. Pengabdian tersebut ditujukan kepada Tuhan, lalu dimanifestasikan pula kepada eksistensi kosmik berupa alam semesta ini.

Di akhir pembahasan ini, ide utama dari nilai-nilai moral agama-agama di Indonesia setidaknya terrangkum di dalam ungkapan al-Bantani. Beliau menyatakan bahwa intisari dari perintah dan larangan di dalam kitab-kitab suci hanya dua hal saja, yakni mewujudkan keharmonisan dengan al-Khaliq (Pencipta) dan mewujudkan keharmonisan pula dengan al-Makhluq (ciptaan, semesta alam kosmik).

~

Meskipun diskusi dengan tema "Memahami Pesan-pesan Moral Agama demi Mewujdkan Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia" pada Selingkar Kamis (20/12/2012) lalu masih terasa belum tuntas, masih sekedar kulit dan agaknya perlu dilanjutkan lagi kapan-kapan, namun para penduduk tetap antusias;

Muhammad Adami: "Lakum diinukum wa liya diin.. Untukmu agamamu, untukku agamaku.. yang disebutkan di sini adalah 'agamamu' terlebih dahulu, baru kemudian 'agamaku', berarti di sini ditekankan bahwa kita harus menghargai orang lain."

Bastian Ev: "Ketika melihat perbedaan-perbedaan, kesanku adalah; Ah, biasa wae, dan tidak perlu diperruncing."

Saikhul Semangat: "Sepenangkapan saya, aslinya 'agama' itu tidak ada, yang ada ya hanya Dia, Tuhan, yang menjadi tujuan semua agama."

Muhammad Abdulloh: "Realita yang ada menunjukkan bahwa kita begitu plural, beragam, maka suatu keharusan bagi kita untuk saling menghargai."

Santosa Teguh: "Dahulukan kesemanusiaan daripada kegolonganan apalagi kealiranan atawa kesukuan serta keseagamaan."

Pramono: "Setiap hal ada sisi baik dan sisi buruknya. Jika kita hanya melihat sisi buruknya, ya yang terlihat hanya jeleek terus. Namun bila kita mau melihat sisi-sisi baik, maka kita akan lebih bisa menghargai hal tersebut."

Mahfut Khanafi: "Pahami dahulu, arifi dahulu, baru kemudian kita bisa menilai."

Irfan Wahyu Adi Pradana: "Hidup tidak hanya tentang mempertahankan sesuatu keyakinan, tetapi juga menghargai keyakinan lain."

Matthew Befahmy: "Ada tuhan (dengan 't' kecil) dan Tuhan (dengan 'T' besar) dalam kehidupan beragama kita. Sayangnya, kita sering menjadikan agama kita masing-masing sebagai tuhan, itulah 't' kecil. Padahal semua agama adalah 'sekedar' jalan untuk menuju Tuhan, 'T' besar. Inilah bagaimana agar kita tidak menuhankan agama, melainkan mengendarai agama menuju Tuhan."

Milyun Noor: "Jika kita ingin memahami titik temu agama-agama, maka sudah seharusnya kita menelaah fakta-fakta sejarah, historical approach."

Zia Ul Haq: "Semua ritual maupun keyakinan di dalam semua agama-agama, selain bertujuan untuk mematangkan pribadi seorang hamba di hadapan Tuhannya, juga untuk mempersiapkan si hamba agar bisa berperan di lingkungan kehidupannya."

Sayd Nursiba: “Selalu menarik memperbincangkan agama dalam kehidupan nyata para pemuja dan penghambanya yang setia dan komitmen. Dalam konteks sosial, agama tidak semata dimaknai sebagai ritus, liturgi, doa dan pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik, namun juga hadir dengan fungsi manifest dan laten yang kadang dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Disatu sisi, agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, dan komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangunan, dan pemeliharaan perdamaian dan kedamaian. Namun hal ini juga sekaligus instrumen yang cukup efektif bagi disintegrasi sosial, menciptakan konflik, ketegangan, bhkan perang, memandang outsider sebagai ‘kafir’ yang harus diproselitiasi secara paksa di sisi lain.

Agama tampaknya selalu hadir dalam wajah ganda, ambivalensi yang sulit diurai dan dimengerti lebih-lebihan bila penganutnya menempatkan diri sebagai aktor sekali dan selamanya. Bukan pengamat apalagi peneliti, bukan kritikus tapi pembela dan wacthdog tradisi ortodoksi. Satu lagi perdebatan-perdebatan mutakhir tentang sikap ambivalensi agama dan penganutnya, adalah opini publik yang terbuka untuk digugat, tidak saja melalui forum diskusi dan seminar, tapi juga pertemuan informal.

Tampaknya selingkar merupakan media refleksi kritis dan mengispirasikan saya dalam memotivasi menulis dan membaca buku. Terima kasih kawan-kawan yang begitu komitmen dalam mempertahankan budaya berfikir ini semoga tetap langgeng. Hehehehe. Semangat!”

Bastian Ev:

“Masih terkait dengan postingan ini, cobalah teman-teman ke kampus Sanata Dharma, Paingan (deket stadion), masuk lewat gerbang politeknik mekatronika, lewat depan juga gak apa-apa. Coba ke kantinnya, di salah satu pojok kios ada seorang gadis bening berjilbab yang jualan disitu. Kalau sedang kalut cobalah ke situ.”

Zainal Muhidin: “Wow, Bastian.. ini baru solusi untuk masalah seluruh dunia..”

Sayd Nursiba: “Haha. Saran Bastian membuatku ingin ke sana!”

Bima Shakty: “Ide bagus Bas!”

Kasbi Saja: “Nabi Ibrahim diingatkan oleh Allah ketika Ia hendak memberikan makanan kepada fakir miskin tetapi beliau mensyaratkan si duafa ini haruslah seorang muslim. Itu artinya: berilah manfaat kepada siapapun tanpa memandang agamanya apa. Life's most urgent question is: What are you doing for others? [Martin Luther King, Jr.]”

Adam Pertama: “Jan jane ki iso rukun nek Islam kui tegak. Neng nek Islam mung dijumputi sebagian-sebagian yo ketok medheni bro. Karepe damai tapi ngedol aqidah. Karepe urip penak tapi anti syari'at. Entuk bedho mung bedho sek dientukke. Kudu podho babagan sek kudu podho. Islam kui ora mung opo sek ono neng pikirane awake dewe, tapi ono panduane. Monggo mengkaji Islam luwih adoh luwih jero ben reti lan paham opo karepe Islam.”

M Saikhul Anwar: “Sebenarnya, apakah mungkin syariat Islam itu bisa diterapkan sepenuhnya di negara kita yang sangat kental dengan perbedaan ini?”

Milyun Noor: “Yang harus digarisbawahi, Indonesia adalah negara demokrasi bro, dan perbedaan ini gak lantas membuat kita takut untuk gak bisa melaksanakan tugas kita sebagai muslim, kalau kita takut, nanti dikira akidah kita lemah. Dan mungkin sepertinya Gusti kita menciptakan perbedaan supaya saling mengenal dan dapat wawasan baru. Ayate; walau sya'allah laja'alakum ummatan wahidatan dan seterusnya.”

Sayd Nursiba: “Adam dan Zia, mari-mari kita lotse alias negak khomer. Mari-mari kita freesex. Mari kita mencuri. Mari kita tipu menipu. Cius, cius, cius, semua umat Islam pastinya sepakat dalam fakta sejarah kelahiran Islam meluruskan hal-hal demikian.

Yang tadinya suka minum khomer karena kebanggaan supaya dipandang dermawan oleh masyarakat sekitar, ternyata secara logis dan runtut Islam hadir memerintahkan untuk menjauhinya ketika akan munajat pada Sang Khaliq. Lalu setelah terbiasa baru diharamkan dengan alasan perbuatan kerusakan (setan) dan menimbulkan permusuhan jika mabuk-mabuk terus.

Lalu orang yang msh suka mabuk ditanya apakah mau meninggalkannya? Mbeh sungguh indah tenan cara Allah melalui utusan-Nya mengajarkan manusia. Lebih indah lagi jika membaca Kitab Al-Qur'an dengan bahasa Arabnya dan mengetahui asbabul nuzul, perkataan Kanjeng Nabi Muhammad yang menjelaskannya.

Yang kedua,  mengenai zina atau sexfree, haha, ini hal yang sangat umum diketahui manusia modern saat ini, bagimana Allah mengajarkan manusia menikmati kodrat manusia yang jika berhubungan badan itu nikmat, karena nikmat maka diaturlah supaya tidak ada perselisihan dengan boleh bersetubuh dengan bebas, berbagai gaya, kanan atau kiri atas atau belakang bebaslah-bebas tapi nikah dulu yaw, hahaha. Nikah yang bagaimana? Kita sudah tau secara umum. Inilah kehadiran islam, Islam menjaga kehidupan manusia supaya tidak terjadi kerusakan. Syari'at adalah hukum yang ditujukan kepada mukalaf yang mengatur hubungan antara manusia dan Khaliq, antara manusia dan mahluk lainnya. So bagaimana kalau Al-Qur'an dan hadist menjadi sumber hukum? Setujukah? Lalu bagaimana menerapkannya? Hahahaha.”

Absurd!

[o]

Sabtu, 15 Desember 2012

Manunggaling Kawula Gusti

Selasar Teatrikal FTIK, Kamis 15 Desember 2012 | Penyaji: Irfan Wahyu Adi Pradana

Militansi penduduk Selingkar Kamis (13/12/2012) kemarin patut diacungi jempol, meskipun memang bukan suatu hal yang luar biasa untuk dipiagamkan atau dipialakan dalam penghargaan-penghargaan absurd, setidaknya semangat penduduk untuk istiqomah berdiskusi sebagai salah satu dari sekian banyak cara mengaktivasi potensi diri pantas menjadi sebab berbungah hati.

Memang partisipan yang ikut berdiskusi kemarin tidak sebanyak biasanya, namun kegayengan diskusi santai tetap kental seperti biasanya. Diskusi yang awalnya digelar di trotoar kantin Tarbiyah harus dipindahkan ke selasar teatrikal Fakultas Tarbiyah karena guyuran hujan.


Dari satu setengah jam berdiskusi tentang Pengaruh Makrifat Siti Jenar dalam Teologi Rakyat Pinggiran, para penduduk menyimpulkan idenya dengan bahasa serta sudut pandang masing-masing;

Rohmat: "Anak TK jangan dijejali dengan pelajaran pelajar SMA, hal yang diajarkan kepada seseorang haruslah disesuaikan dengan kemampuan daya tangkapnya."

Yasin Syafii Azami: "Terlepas dari benar salah konsep teologi Manunggalnya, gerakan yang diusung oleh Siti Jenar merupakan langkah revolusioner yang inspiratif."

Milyun Noor: "Apa yang dipahami dan dinisbatkan kepada Siti Jenar tentang Manunggaling Kawulo Gusti pasti dipahami pula oleh tokoh-tokoh wali yang lain. Namun dalam langkahnya, Siti Jenar memilih menempuh jalan yang ekstrim. Al-Junaid mengatakan; seandainya pikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalmnya pada masakah tauhid, maka akan berakhir dengan kebingungan. Abu Bakr as-Shiddiq berujar; Mahasuci Allah yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya mengenal-Nya, melainkan dengan ketidakmampuan mengenal-Nya."

Zainal Muhidin: "Manunggallah dalam Gustimu dengan cara menjadi kawula-Nya."

Yusuf Kun: "Hal yang disampaikan oleh Siti Jenar tentang Manunggaling Kawulo Gusti sudah merambah ranah 'Irfani, bukan sekedar pendekatan Burhani yang rasional. Namun, kondisi masyarakat saat itu belum mapan dan sebetulnya belum siap menelan doktrin 'Irfani tersebut."

Pramono: "Silakan memiliki pandangan atau pendapat apapun, asalkan mau dan mampu mempertanggungjawabkan pemikiran tersebut di khalayak agar tidak menimbulkan gonjang-ganjing di masyarakat."

Rey Himura: "Ilmu Manunggaling Kawulo Gusti ala Siti Jenar merupakan obyek yang multitafsir. Maka alangkah baiknya bila seseorang ingin mengajarkan ilmu yang tinggi-tinggi dan wah-wah, ajarkan dulu dasar-dasar pijakan yang berkaitan dengan ilmu tersebut."

Sayd Nursiba: "Memang, sesosok bayi yang seharusnya masih mengonsumsi air susu belum siap untuk dijejali pisang atau makanan padat lainnya."

Irfan Wahyu Adi Pradana: "Dalam hal apapun, khususnya beragama, manusia harus melek sosio kultural di lingkungan sekitarnya, sehingga bisa menjaga kondusivitas dengan memelihara estetika (keindahan) simbol-simbol dalam pergaulan."

[o]

Rabu, 14 November 2012

Pendidikan Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Rabu 14 November 2012 | Penyaji: Jaka Brontosaurus
Pada masa kebangkitan aliran filsafat empirisme di Inggris, filsuf John Locke mengemukakan konsep Tabula Rasa atau “wadah kosong”, sebagai ilustrasi sistem pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia diandaikan sebagai wadah yang awalnya kosong, dan akhirnya menjadi pengetahuan utuh setelah diisi oleh beragam realitas empirik. Namun dengan demikian kemanusiaan terberangus. Potensi individu terabaikan karena semua diandaikan berangkat dari satu garis yang sama; wadah kosong.
Padahal pendidikan adalah suatu ide yang luar biasa dan agung. Filsuf besar Inggris abad 20, Betrand Russel, berujar;

“Pendidikan dimaksudkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuan yang diperoleh dengan kecerdasan. Supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan dan keadilan pada sesama. Akhirnya ia mampu mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk memperoleh proyek-proyek kemanusiaan dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit.”

Salah satu pengaruh konsep tabula rasa masih mengemuka dalam realitas pendidikan kontemporer saat ini. Manifestasinya adalah konsep pendidikan model bank. Peserta didik diandaikan tidak tahu apa-apa dan harus menerima limpahan pengetahuan yang luar biasa banyak. Urusan ia bisa memanfaatkannya atau tidak nanti, itu soal belakangan. Hal itu masih menjadi praktik lazim saat ini, termasuk di negara kita, dengan varian kasus yang luar biasa. Bimbel termasuk salah satu contoh kasus adopsi buta pendidikan ala bank. Tentor memberikan materi cara mengerjakan soal, kita memperhatikan dengan seksama. Pendidikan yang efektif untuk mengerjakan soal dan betul-betul beraroma bank karena sangat transaksional. Saya membayar dan tolong ajarkan saya cara lulus ujian.

Mazhab pendidikan konservatif mementingkan adanya proses adaptif dari peserta didik sebelum masuk ke dalam struktur sosial yang sudah mapan. Emile Durkheim menganjurkan pendidikan dikelola oleh negara untuk mentransmisikan nilai moral utama. Max Weber mengemukakan tesis bahwa peran pendidikan merupakan wahana seleksi sosial bagi peserta didik sebelum terjun ke dalam struktur sosial masyarakat, ia menekankan pentingnya konsep ujian bagi peserta didik.

Pemikir pendidikan konservatif menganggap bahwa pendidikan merupakan arena bebas kepentingan dan murni diisi kepentingan akademis. Unsur bebas nilai. Lalu timbul arus pemikiran baru, yaitu mazhab pendidikan liberal-humanis. Sebagai tokohnya adalah Paulo Freire, pedagog asal Brazil. Menurut aliran ini, pendidikan tidak netral, ia dicampuri kepentingan sistem yang lebih besar.

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif." katanya.

Proyek pendidikan Freire tidak hanya berkutat pada aras kesadaran kritis semata, namun juga mencakup usaha penyadaran secara riil. Sebelum mencapai kebebasan seutuhnya, peserta didik harus disadarkan (dibebaskan) dari realitas yang menindas.

Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.

Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.

Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.

~

Freire memperkenalkan metode pendidikan yang disebut dengan Pendidikan Dialogis. Otoritas guru yang selalu satu arah diberangus dengan konsep “guru sekaligus murid” dan “murid sekaligus guru”. Dialog ini berusaha secara revolusioner mengubah konsep relasi berjarak anata guru dan murid dalam struktur pendidikan formal sejak jaman Yunani Kuno.

Karena itulah unsur dialog sangat penting bagi Freire. Terdapat suatu dinamika dialektis antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya adalah dengan menyadarkan pendidik maupun peserta didik agar dapat berani bertindak dan mengubah situasi mereka.

Menurut Freire, kebiasaan “patuh” (atau dalam bahasa lainnya “adaptif” seperti yang menjdi tujuan pendidikan konservatif) mendorong manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas, bukan untuk berintegrasi. Konsep “integrasi” inilah yang merupakan konsep utama dari pendidikan liberal-humanis.

Integrasi merupakan tindakan khas dari rezim demokratis yang fleksibel menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Lawannya adalah “adaptasi”, yakni menyesuaikan diri terhadap kebiasaan yang dipaksakan, dengan demikian menuntut suatu kerangka berpikir yang otoriter serta tidak kritis.

Ketika pendidikan (formal) dan segala macam sistem birokrasi pengelolaannya menjadi 'pabrik' aparatus pemerintah, atau ketika itu semua menjadi toa bagi segala macam ideologi pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan hanya sekedar menjadi pabrik tenaga kerja robotik sebagaimana politik balas jasa ala kolonial dahulu, atau hanya sebagai media doktrinisasi kebijakan sebagaimana era orde baru. Bukan benar-benar untuk mengais ilmu dan 'membuka gerbang chi' alias menggali potensi peserta didik, maka pendidikan justru akan menjadi liang pembodohan.

Jangan-jangan benar kata Voltaire; "I was born intelligent, but education ruined me. Aku terlahir cerdas, namun pendidikan merusakku."

Nah, diskusi semacam Selingkar adalah salah satu sarana untuk mendeteksi apakah kita sedang benar-benar terdidik ataukah justru sedang dibodohi, apakah kita telah peka terhadap realita sosial ataukah buta tuli sama sekali.

Jika ditakar dengan pernyataan Freire;

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif."

Tanggapan penDuduk Selingkar;

Sayd Nursiba: “Kata pembebasan adalah menuju pada pengikatan. Dari sistem lama kita mencoba sistem baru yang lebih adil namun esensinya sama saja yaitu pengikatan sistem lagi. Jika sistem baru itu muncul problem maka ada istilah pembebasan lagi. Pada akhirnya mengalami kejemuan dalam sistem yang terus berganti. Nah jika Voltaire mengatakan aku terlahir bebas dan pendidikan yang merusakku maka mengindikasikan adanya pendidikan atau sistem yang menurut Voltaire benar. Singkatnya, pembebasan sama saja dengan keterikatan, hahaha. Lalu apa kebebasan pendidikan yang dapat menciptakan kepedulian sosial? Monggo dirembuk lagi. Hahaha.”

Zainal Muhidin: “Waah, disuruh mendeteksi bahwa kita sedang sakit atau tidak? Terus disuruh cari obatnya, waah.. susah lah, aku mikir diriku sendiri aja jarang dan bingung, hahaha. Jadi penting nggak siiiih pendidikan formal?

Kalau sekolah formal dianggap tidak mendidik lagi untuk apa sekolah?  Kalau sekolah formal hanya jadi kandang sapi dan setelah gemuk akan diperas susunya kemudian dikonsumsi dagingnya, tanpa sapi tahu siapa dirinya, lalu apa untungnya bagi sapi itu? Tapi ingat! Manusia bukan sapi, hahaha, makanya kalau kita jadi manusia ya jangan kayak sapi.

Artinya, berpikir penuh kesadaran di sini menjadi penting. Tentang diri kita, tentang apa yang kita lakukan, tentang ruang dan waktu yang sedang kita singgahi. Dari berpikir itu mungkin bisa menimbulkan kesadaran. Kesadaran yang akan menggerakkan orang itu di manapun dan kapanpun. Kesadaran yang membuatnya tahu harus apa dan bagaimana dalam menyikapi realita.

Jadi janganlah terlalu menganggap penting sekolah, jangan juga meremehkannya. Biasa wae, karena tidak hanya sekolah yang mendidik kita, Men! Bukan hanya Sekolah yang bisa membuat manusia menjadi manusia. Keluarga, teman, lingkungan, kehidupan, dan diri kita sendiri adalah pendidik bagi kita yang memerdekakan dan membebaskan kita. Dari apa? dari ketidakperikemanusiaan. Hahaha.. (aku nulis iki karo misuh-misuh, sebenere aku isin ro awakku dewe, hahahaha)”

Bastian Ev: “Sakitkah pendidikan kita? Mungkin, tapi sinting iya. buktinya makin bnyk mahasiswa lulus (baca: orang terpelajar, beradab, barokah wa halal.. he) Indonesia tetep aja gak turun peringkat korupsinya.

Cara mengatasinya: hampir mustahil untuk mengubah, toh saya sendiri juga kuliah di kampus pemerintah. Kita bikin enjoy aja kale, kita percantik pendidikan yang sudah ada sekarang ini, banyak hal kecil yang masih bisa kita lakukan, toh pendidikan Indonesia juga gak buruk-buruk amat. Masih ada profesor-profesor yang sip laah.

Mungkin pendidikan Indonesia lagi meriang aja, atau masih malu-malu mau jalan-jalan ke mana. Emmm, kita percantik aja pendidikan, hal kecil aja. Kan dia gak pede, ayo deh kita pasangin bros "RPP" di jilbabnya, kita buatin bros "RPP" yang bener wa shohih wa barokah wa halal wa rohmah wa no watoniah, hehehe. Kalau masih malu-malu, jangan-jangan karena kita, oke deh, pake facial wash, baca buku tiap pekan sesuai keilmuan kita masing-masing.

Eee, pipinya merona merah, tapi pendidikan msh malu nih, gandeng aja kalee. Diteriakin muke gile lu ya, ga usah direspon. Gandeng tangannya dengan cara; membesarkan hati setiap murid kita, hal kecil sekali. Tapi dari keinginan hatilah Ikal dari pedalaman Sumatera, Bangka Belitong bisa ke Perancis, Fuadi yang anak pondok bisa ke Kanada, Dahlan Iskan yang dulu tidak punya sepatu sekarang kalo mau beli pabrik sepatu aja bisa.

Besarkan hati murid-murid kita besok. Nah, tuh gue bilang juge ape? Mau kan si pendidikan jalan same kite. Tuh cantiknya. Absurd yo? Hahahaha.”

Irfan Mashuri: “Coba kita cermati pendidikan pembebasan ala Paulo Freire dengan pendidikan indonesia ala Ki Hajar Dewantara. Pemikiran apa yang dituangkan oleh kedua tokoh tersebut tentang pendidikan?”

Sayd Nursiba: “Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik kepada yang dididik untuk mencapai tujuan, jika tujuan dalam konteks di atas adalah kepedulian sosial, maka cabang tujuan pendidikan adalah kepedulian sosial. Nah pendidik adalah subjek pendidikan. Paradigma pendidikan yang berpusat pada peserta didik mengartikan bahwa peserta didik harus juga bisa menjadi subjek. Transformasi ini membentuk pendidikan dimana pendidik harus bisa mengembangkan potensi peserta didik dimana peserta didik harus menjadi subjek selain menjadi objek pendidikan untuk mencpai bagian pendidikan yaitu kepedulian sosial.

Setiap manusia memiliki tugas ada yang ahli akuntansi, ahli matematika, guru, marketing, tidak lain sumber keahlian itu bekal yang diberikan dari lembaga formal. Jika pendidikan formal hanya mampu menciptakan robot-robot berwujud manusia yang tidak peduli pada penderitaan sosial dapat dikatakan sebuah kegagalan pendidikan. Mari kita lihat dari sisi politik sistem politik kapitalis yang memaksa produk pendidikan formal untk memenuhi lapangan pekerjaan. Sadar dan tidak sadar mereka dialihkan memenuhi jam kerja, seperti berangkat pagi pulang malam yang menyebabkan hidup mereka hanya untk kerja/uang atau dengan istilah: krisis manusia modern.

Di sisi lain, manusia yang tidak dapat pekerjaan namun mereka sebenarnya mampu bekerja dikarenakan keterbatasan kuota lapangan pekerjaan menyebabkan kemiskinan masal. Yah bagaimana tidak? Lha wong mereka tidak bekerja mau dapat hasil darimana? Huhuhu.

Betewe, kalau saya ngomong banyak bisa jadi buku iki. Tak persingkat saja. Solusinya perlunya sistem politik yang bisa menyamaratakan kualitas hidup atau meminimalisir kesenjangan sosial. Jika kekuatan ini terpenuhi maka sudah jadi tugas negara memberikan kepedulian sosial baik kesehatan, ekonomi, pendidikan, yang terjamin bagi seluruh warga negara dimana kerjaan negara selalu dapat terpantau oleh masyarakat. Hahaha.”

Irfan Mashuri: “Kata pendidikan mempunyai peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, peran pendidikan acap kali bergaya kolosal yakni sering dianggap mencerdaskan saja bukan membuat manusia yang beradab. Nah disini pendidikan harus menjadi gaya konvensional, artinya pendidikan harus mempunyai tendensi terhadap dua objek adalah pendidikan membentuk karakter/kepribadian berdasarkan budaya yang ada dan membentuk manusia yang cerdas sehingga menjadikan bangsa negara yang beradab. Kata beradablah yang membuat suatu bangsa itu menjadi barakhlak, berbudaya dan berilmu. (terinspirasi dari pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara)”

Ichsan W. Saputro: “Singkat ae lah, masing-masing kalian telah memiliki maklumat. bukan orang-orang miskin argumen, jadi tanpa prolog (nek jare Anjy).

Bagi saya, pendidikan itu tidak selalu membebaskan. Hanya karena Freire dalam kondisi sebuah tekanan, jadi harus muncul antitesisnya yaitu sebuah pembebasan. Pembebasanpun akhirnya diartikan bermacam-macam. Lalu siapa yang layak mendefinisikan kebebasan dan pembebasan?

Bagi para pengemban ideologi kapitalis, pendidikan saat ini telah sesuai (untuk mendukung kebijakan kapitalistiknya), berbeda lagi dengan dedengkot ideologi sosialis yang antitesis (dari kapitalis), berbeda lagi dengan Islam dalam menyajikan pemaparannya mengenai pendidikan.

Conclude: Menurut hemat saya, pendidikan berjalan sebagaimana sebuah hegemoni dari ideologi negara. Ya, negara yang benar-benar negara. Negara yang berkuasa atas pendidikannya.”

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Ngebul ae lah, masing-masing kalian telah memiliki udut sak lencer, bukan orang-orang miskin uang, jadi tanpa bungkus (nek jare Zia Ul ). Jadi begini Naak, semua dapat mendefinisikan kebebasan atau pembebasan, semua dapat menafsirkan masing masing dan memberi plat kebebasan dan pembebasan(tinggal bagaimana kita menghargai plat tersebut). Sebab hati itu bebas. Ia merdeka memilih kemana ingin melabuh rasa dan mencipta bahagia dengan pendidikan. Pendidikan jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Cuk matane! Sepaneng tenan cuk cuk!”

Sayd Nursiba: “Betul Rasyid, haha, ho'oh itulah yang dinamakan kejemuan berfikir kapitalis dijawab sosialis kemudian dijawab lagi oleh liberalis lalu muter lagi. Pusing. Hahaha. Siapa ya Yang Maha Mendidik?”

Anji Fathunaja: “Iya, pemikiran Paulo menurutku emang terikat dengan keadaan pendidikan pada masa itu. sehingga tidak bisa dipaksa diterapkan di era modern yang jelas berbeda keadaannya. Tapi apa yang kamu maksud dengan negara yang benar-benar negara, Rasyid? Jangan-jangan itu lagi. Haduh..”

Zia Ul Haq: “Yup, sepakat. Ide Freire tentu ada sababul wurudnya, sebagaimana kemunculan ide Asghar Ali, Ibn Taymiyah, maupun ide-ide lain. Tak lepas dari kondisi dan situasi sosial saat itu. Makanya, dalam diskusi kemarin-kemarin, kita mencoba membaca hubungan antara konteks dengan gagasan yang Freire (atau tokoh-tokoh lain) kemukakan. Dengan harapan bisa memahami pola pikir maupun pola aksi dalam merespon suatu fenomena sosial yang patut dikritisi dengan hati-hati.”

Ichsan W. Saputro: “Iya Andjy Naja, lha wes ngerti takon. Hahaha. Tapi bukan begitu maksudnya, secara umum, negara yang benar negara dan menguasai ki negorone bener-bener nduwe ideologi yang diterapkan gitu lho di negaranya sendiri dan bisa disebarkan di negara orang lain juga. Koyo Amrik sing ideologine kapitalis, Soviet (ndhisik) sing ideologine sosialis, siji meneh zaman emas abad pertengahan kae.

Bagi saya 3 itulah yang benar-benar negara, dia berdaulat atas sistem pendidikannya (dan sistem lain tentunya). Ora mengadopsi dari sistem lain gitu lho. Nek misal ngene: Pancasila dianggap sebagai sebuah ideologi harusnya ada sistem pendidikan Pancasila, sistem ekonomi Pancasila, sistem pergaulan Pancasila, sistem politik Pancasila dan sebagainya. nek belum bisa menguasai sistem-sistem itu sendiri, menurut hemat saya negarane masih auto-pilot.”

Zia Ul Haq: “Menurut hemat saya; negara ini emang sudah gagal. That's all sodara-sodara.”

[o]

Kamis, 01 November 2012

Teologi Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis, 1 November 2012 | Penyaji: Yasin Syafi’i Azami

Suasana kehidupan di masa Asghar Ali setidaknya bisa digambarkan dalam dua hal. Pertama, keadaan keagamaan yang cenderung terjadi ‘perceraian’ antara akal dan wahyu. Pengembaraan akal yang terlalu bebas tanpa tuntunan wahyu, serta pengamalan wahyu yang sekedar ritual tanpa penelaahan kritis dengan akal.

Kedua, realita sosial. Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal  adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras (Syi’ah Isma’iliyyah). Sewaktu belajar Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan Bahasa Arab, ia juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang teknik sipil dari Vikram University, Madhya Pradesh. Selama 20 tahun ia sempat menjadi pegawai Kota Mumbay sampai memilih menjadi aktivis gerakan Bohra pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993  ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama).

Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar relijius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang relijius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut relijius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang relijius, adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.

Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif.

Menurutnya, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah

Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu

Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat dan justru menjadi sumber konflik.

Spirit Pembebasan dalam Islam

Asghar Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan. Upaya revitalisasi dan perumusan itu dia dasarkan pada dua hal.

Pertama, berdasarkan pada analisis kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad. Dalam hal ini keyakinan Asghar terhadap nabi Muhamad sama dengan keyakinan penganut Teologi Pembebasan di Amerika Latin terhadap Yesus. Nabi Muhamad lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran Nabi Muhamad ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu.

Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu  berada pada tempat yang sangat rendah.

Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender.

Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.

Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru saja terjadi, Asghar mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi, terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad yang lalu.

Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia

Pada zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab dikenal fanatik terhadap suku mereka. Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang rendah orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi lainnya, perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku, warna kulit, merdeka atau hamba sahaya

Selain itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia berasal dari satu keturunan yang sama. Tidak ada yang lebih mulia satu dari lainnya berdasarkan etnis, suku ataupun warna kulitKemulian itu hanya bisa dicapai lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an menyatakan:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-hujurat: 13).

Ayat di atas diperuntukkan tidak hanya bagi orang Arab, tetapi bagi seluruh umat manusia.  Dewasa ini, persoalan kesetaraan umat manusia masih menjadi persoalan dunia. Rasisme masih menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga PBB perlu untuk meneguhkan ide-ide persamaan ini.

Pembebasan dari Ketidakadilan Jender

Pada zaman Nabi, untuk pertama kalinya perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang sebelumnya tak terbayangkan. Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat yang sangat lemah. Nabi menetapkan, perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak milik sendiri, bisa menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi lain, poligini yang sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas dilarang.

Selain itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan masyarakat terhadap anak perempuan. Jika sebelumnya masyarakat Arab mempunyai tradisi mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi kemudian melarang tradisi itu sekaligus merubah stigma negatif terhadap anak perempuan.

Selain itu, Islam juga memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak untuk memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk terlibat aktif pada urusan publik. Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik Negara-negara yang mengatasnamakan Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.

Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi

Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam Al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran.

Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara, teerutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.

Satu praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi ekonomi tersebut.

Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif ini sampai sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan Negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.

Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.

Akan tetapi ia belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme. Untuk konteks sekarang ada banyak contoh dari Amerika Latin yang secara kebetulan merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana kapitalisme mendapat goyangan yang cukup hebat karena semakin banyaknya tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden. Mereka kemudian membawa negaranya beralih ke sistem yang popular dengan sebutan ‘neo-sosialisme’ yang merupakan revisi dari sosialisme yang dinilai kurang mampu membawa kemakmuran.

Kesimpulan

Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah.

Asghar Ali tidak menolak jika itu ditujukan pada Agama Islam. Satu sisi ia melihat teologi Islam yang ada memang lebih banyak berbicara tentan Tuhan dalam dirinya sendiri dan persoalan-persoalan eskatologis. Akan tetapi pada sisi lain Asghar berpandangan bahwa Islam juga mempunyai nilai-nilai pembebasan yang revolusioner.

Dalam kerangka ini, Asghar mencoba merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam untuk merumuskan Teologi Pembebasan. Upaya ini dilakukan Asghar dengan dua cara, pertama melakukan analisis sejarah atas praktik-praktik pembebasan yang dilakukan oleh nabi. Kedua dengan menggali nilai-nilai pembebasan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pembebasan budak, kesetaraan manusia, keadilan ekonomi, dan ayat-ayat pembebasan lainnya. Upaya ini dilakukan dengan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman.

Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara.  Kedua, pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga, pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.

~

Dalam diskusi santai ini, Yasin menekankan, bahwa tujuan diutusnya sesosok nabi di tengah umat adalah untuk; Menyatakan kebenaran, melawan kepalsuan dan penindasan, serta membangun komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.

Sedangkan Asghar Ali melandaskan ide pergerakannya kepada tiga hal di atas. Tauhid atau keyakinan yang lurus menurut beliau adalah keyakinan yang kuat kepada Khaliq, sehingga menumbuhkan kecintaan kepada makhluk dan menggerakkan seseorang untuk berbagi dalam hal apapun secara sosial. Jihad, menurut beliau, tidak hanya berbentuk perang fisik angkat senjata di medan laga, tetapi juga berupa perjuangan minoritas, pengentasan kemiskinan dan aksi sosialis semisalnya.

Bahkan, orang yang nampak saleh secara ritual, percaya kepada Tuhan tetapi tidak peka secara sosial, tidak turut peduli dengan penderitaan masyarakat, maka dia termasuk kafir.

Gelar “Kafir” yang dimaksudkan di sini, menurut pemahaman Yasin, bukanlah orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan, melainkan pelaku sikap Kufur yang menjadi kebalikan dari sikap Syukur. Hal ini adalah konsekuensi dari ayat Wa in syakartum la aziidannakum a in kafartum inna ‘adzaabii la syadiid.

“Maka, orang yang tidak peduli dengan penderitaan sosial adalah kafir nikmat, karena dia telah kufur dengan nikmat Allah berupa keluangan, energi, daya pikir, serta segala hal yang tidak mampu dia hitung. Wa in ta’udduu ni’matallohi laa tukhshuuhaa.” Demikian Yasin menjelaskan.

Zainal Muhidin membandingkan antara prinsip pembebasan yang diusung Marxisme dengan teologi pembebasan ala Asghar Ali. Jika Marx menyalahkan agama sekaligus tanpa pemenara terhadapnya, sehingga menyatakan bahwa agama adalah sumber konflik, sedangkan Asghar Ali tidak hanya menelajangi kekurangan-kekurangan praktek pemeluk agama tetapi juga menunjukkan idealisme yang sebenarnya menjadi nilai-nilai dasar agama.

Selanjutnya muncul pertanyaan dari Ami, untuk mewujudkan pembebasan yang dimaksud, apa sebenarnya prioritas utama dalam pendidikan Islam? Kognitif kah? Psikomotor atau Afektif?

Semuanya prioritas, jawab Lutfi Hakim, karena semua sisi harus dikembangkan. Namun, jika melihat keadaan sekarag, maka aspek yang harus diperhatikan ekstra adalah psikomotorik dan afektif yang berporos kepada aksi, agar bisa mendongkrak kesejahteraan sosial.

Sama tapi berbeda gagasan yang diungkapkan Sayd Vandyas, menurutnya, terlepas dari istilah pendidikan di atas (kognitif-afektif-psiokomotor), aspek yang harus diprioritaskan di dalam pendidikan Islam adalah al-Iman dan al-‘Amalu as-Shalih yakni transendensi dan aksi. Kekuatan mental dan keyakinan teologis yang diikuti dengan amal saleh. Dua hal inilah yang harus menjadi prioritas utama di dalam pendidikan Islam, yakni bagaimana membentuk pribadi yang kuat keyakinannya sekaligus mensalehi setiap perbuatannya. Teologi adalah keyakinan, Pembebasan adalah aksi nyata kesalehan.

Seperti biasa, diskusi santai tematik Duduk Selingkar menyimpulkan bagaimana aplikasi tema yang sudah dibahas. Satu pertanyaan terakhir dari Zainal; “Apa aspek yang harus kita bebaskan di negeri ini? Atau setidaknya ya di lingkungan sekitar kita?”

Suatu pertanyaan sederhana yang memancing bermacam-macam buncahan pendapat. Ditilik dari berbagai permasalahan yang menjangkiti negeri ini, tentu harus ada hal pokok yang musti segera dibebaskan. Lalu hal apakah itu? Dari jawaban-jawaban yang mengemuka, dapat dilihat benang merahnya, yakni; diri sendiri. Ya. Untuk melakukan suatu perubahan, baik dalam skala sempit maupun luas, maka hal yang harus segera dibebaskan adalah diri kita sendiri.

Karena yang dibicarakan adalah Teologi Pembebasan, maka hal pertama yang harus dibebaskan adalah diri sendiri dengan kesadaran penuh bahwa kehidupan ini semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang berhak menguasai diri kita adalah Dia, bukan siapapun selain-Nya termasuk diri kita sendiri. Maka tugas pembebasan haruslah sejalan dengan nilai-nilai yang sudah diajarkan-Nya melalui para utusan yang mulia.

Inilah pembebasan dari belenggu hawa nafsu. Ami menambahkan; “Bagi saya, bentuk aplikasi Teologi Pembebasan adalah ketika kita bisa jujur terhadap diri kita sendiri, memerdekakan diri kita dari penjajahan diri kita sendiri, sehingga akan menjaga diri agar tidak terperosok dalam kedurhakaan, dosa, maupun kelaliman. Maka kita akan merasakan kebebasan yang orang lain pun belum tentu bisa merasakannya."

Setelah diskusi ditutup, Irfan Wahyu Adi Pradana menepati janjinya dengan membagi-bagikan empat eksemplar buku gratis. Membuka buku baru dengan menyobek sampul plastik, menurutnya, adalah ritual di forum ini. Masing-masing peserta menorehkan ucapan dan cita-citanya di halaman sampul buku-buku yang masih perawan itu.

[o]

Kamis, 25 Oktober 2012

Ilmu Sosial Profetik

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 25 Oktober 2012 | Penyaji: Mahfut Khanafi

Ilmu Sosial Profetik adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi.


a. Humanisasi

Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.

Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.

Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).

b. Liberasi

Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.

Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.

Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.

c. Transendensi

Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.

Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

~

Latar belakang kemunculan ide Ilmu Sosial Profetik –menurut pengupas– adalah suatu kegelisahan Kuntowijoyo terhadap kehidupan masyarakat muslim yang mulai berubah. Kondisi sosial yang memaksa umat Islam ‘terlepas’ dari akar sosialnya, yakni masjid. Sebagaimana tertuang di dalam buku beliau; “Muslim Tanpa Masjid.”

“Selama ini, masyarakat terlalu menjadikan ajaran agama (wahyu) hanya sebatas sebagai ideologi, bukan sebagai ilmu. Sehingga mudah sekali terpantik api-api sentimen terhadap perbedaan keagamaan.” ungkap Mahfut Khanafi.

“Di UIN kita ngotot berjuang mengintegrasikan antara ilmu sosial dan agama. Padahal, di satu sisi kita ingin membawa ilmu agama sebagai bagian integral dari ilmu sosial, sedangkan di sisi lain pendekatan normatif selama ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan realita,” lanjutnya.

Kuntowijoyo merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi (pemanusiaan), liberasi (pembebasan) dan transendensi (keimanan).

Kuntowijoyo meletakkan ketiga pilar Ilmu Sosial Profetik melalui ayat 110 Surah Ali ‘Imran, yakni humanisasi (ta’muruuna bil ma’ruuf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar) dan transendensi (tu-minuuna billaah). Landasan Humanisme Teosentris yakni At-Tin ayat 5 dan 6 yang menunjukkan bahayanya dehumanisasi; terjatuhnya manusia dari martabat sejatinya (asfala saafiliin), serta menunjukkan pula solusinya, yakni iman dan amal saleh.

Di sinilah pentingnya transendensi (keimanan). Selain sebagai arah tujuan, transendensi juga memiliki fungsi kritik. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

"Nah, lalu.. Agar diskusi ini bermutu.. Bagaimana kita mengaplikasikan Ilmu Sosial Profetik ala Pak Kunto ini di dalam skala terkecil; yakni diri kita sendiri?" tanya kawan-kawan.

"Jangan kita jadikan Wahyu hanya sebagai Ideologi saja. Tapi harus sebagai Ilmu. Agar kita tidak terjebak dalam kemandekan dan fanatisme. Agar kita menghargai dan terbuka dengan perbedaan meskipun nyatanya memang berbeda,” demikian tukas Mahfut menutup diskusi.

[o]

Kamis, 18 Oktober 2012

Akhirat Tidak Kekal?

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 18 Oktober 2012 | Penyaji: Zainal Muhidin

Diskusi Selingkar edisi perdana ini membedah sebuah buku unik berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ karya Agus Mustofa. Buku ini beraliran Tasawuf Modern, penulis banyak membahas tentang dunia sesudah kematian yaitu Akhirat. Penulis mencoba menggali informasi dari Al-Quran dan Hadist yang berhubungan dengan akhirat, kemudian menafsirkannya dengan data empiris, teori-teori ilmiah, dan ilmu sains, dimana hal ini membantu memberi gambaran tentang akhirat yang bisa diterima secara akal dan iman, dan akhirnya dapat meningkatkan keimanan kita pada Allah.

Irfan dan Mukid
Masalah-masalah yang hendak didiskusikan dalam buku ini adalah di manakah akhirat? Bagaimana kehidupan disana? Apa kita masih hidup dengan jasad kita? Kapan akhirat dimulai? Benarkah kita akan di bangkitkan dari kubur? Bagaimana mekanismenya? Benarkah kita akan diadili atas perbuatan kita semasa hidup? Bagaimana caranya? Akankah kita hidup di akhirat selamanya? Bagaimana surga dan neraka?

Dari buku kontroversial ini, dapat disimpulkan dua poin mengapa akhirat dikatakan tidak kekal;

1. Allah adalah khalik (pencipta) sedangkan selain Allah adalah makhluk maka semua makhluk tidak kekal termasuk akhirat.

2. Berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa akhirat kekal, kekal disini tidak di artikan tanpa akhir, karena akhirat mempunyai awalan maka akan ada akhirnya

Dalam diskusi santai ini, forum dihadiri banyak penduduk, namun kebanyakan masih malu-malu bersuara. Berikut ini tanggapan penDuduk Selingkar;

Bastian Ev: “Judulnya provokatif, tapi seorang Agus Mustofa hanya menjelaskan sesuatu yang memiliki sistem hitung secara matematis. Di buku ini gue dapet pelajaran tentang betapa Allah ternyata menciptakan benda-benda di jagad raya ini dengan tidak main-main (yaeyalaaaah!). Bahkan satu nanometer tidak sanggup menjadi lebih kecil dari hitungan-Nya.”

Yasin Syafii Azami: “Bisa dikatakan buku ini semakin memperjelas alasan-alasan dibalik ritual-ritual agama yang diajarkan orang tua saya dan juga guru-guru saya. Penjelasan yang berimbang antara alasan ilmiah dan alasan Qur'ani membuat siapapun akan semakin memahami titik temu dari hal-hal yang cenderung terlihat kontradiktif.

Memang telah banyak hal yang membuat sudut pandang kita terdistorsi dan di sinilah pemikiran-pemikiran Pak Agus menjadi barokah untuk semua yang memang sanggup dan tersentuh hatinya untuk memiliki sudut pandang yang lebih luas dan hati yang lebih peka dan lembut. Semoga apa yang tertuang dalam buku ini memberikan banyak manfaat untuk penulisnya dan semua yang membacanya. Amin”

Zia Ul Haq: “Apakah makhluk tidak boleh kekal, Bang Zainal?”

Zainal Muhidin: “Nah! Itu tadi juga terbesit di kepalaku, huahaha. Menurut aku, kalau makhluk kekal, ntar sama dengan Khalik dong, dan itu bertentangan dengan sifat wajib Allah dalam kitab Aqidatul Awam yang waktu kecil aku pelajari.”

Zia Ul Haq: “Nah, justru, di dalam teori ilmu kalam klasik, ada 4 sifat keberadaan lhoh;

1) Berawal dan Berakhir; yakni makhluk duniawi, seperti jasad kita. 2) Berawal tanpa Akhir; yakni makhluk maknawi, ukhrowi, seperti akhirat dan ruh kita semua. 3) Tak Berawal dan Berakhir; yakni ketiadaan alam sebelum diciptakan. 4) Tak Berawal dan Tak Berakhir; yakni Tuhan. Nah, dari ulasanmu itu, seperti 'menggoncangkan' kemapanan pemahaman yang sudah ada. Atau jangan-jangan aku salah paham?”

Zainal Muhidin: “Atau salah ngomong, kalau gini gimana: sesuatu yang awalnya tidak ada -> ada -> kembali tidak ada. Mungkin seperti itu...”

Zia Ul Haq: “Kok justru seakan-akan menafikan kekuasaan Tuhan untuk mengekalkan sesuatu yang Dia kehendaki.”

Zainal Muhidin: “Mungkin kehendak di sini yang perlu dipahami, siapa yang tahu rencana dan kehendak Tuhan? Huahaha.”

Zia Ul Haq: “Nnnah, mungkin yang ingin disampaikan Pak Agus Mustofa adalah; bahwa Akherat (Sejatinya) Tidak Kekal meskipun Akherat bisa saja kekal. Seperti kebanyakan ungkapan para sufi; kita ini (sejatinya) tidak ada meskipun kelihatannya ada, begitu?”

Zainal Muhidin: “Nah itu juga boleh, huahaha. Semua bisa A, semua bisa B, iso abang, iso ijo, jika Allah menghendaki.”

[o]

MUKADDIMAH

Beberapa pemuda sepakat membentuk suatu wadah diskusi yang bersifat santai namun serius. Hal ini merupakan klimaks dari akumulasi kejenuhan kami dengan rutinitas yang ‘hampa’ di kampus.  Sebagian dari kami bisa disebut ‘apatis’ jika ukurannya adalah keaktifan dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan atau pergerakan. Namun uniknya, tidak sedikit yang justru sangat aktif di medan juang nyata; masyarakat.

Ketika saya berbincang dengan Bung Irfan –aktivis Karang Taruna- tentang kemerdekaan dan ekspresionisme, atau saat bercakap dengan Bung Said –pemuda mandiri- tentang implementasi keilmuan dalam era modern, atau saat berbincang dengan Bung Adam –gus- tentang keliaran dunia malam, atau saat berbincang dengan Bung Syafak –pembimbing madrasah- tentang manajemen komunikasi masyarakat, atau saat berbincang dengan Bung Yasin –ustadz pesantren- tentang korelasi masa lampau dan masa depan, atau saat berbincang dengan Bung Bastian –pengamat personaliti- tentang kematangan kepribadian, atau saat berbincang dengan Bung Muhid –pemikir filosofis- tentang keseimbangan intelektual dan spiritual, serta perbincangan-perbincangan lain bersama kawan-kawan lain di momen-momen tertentu, memperlihatkan kepada saya adanya potensi kecemerlangan ide dalam setiap obrolan.

Sementara itu, kami tidak punya wadah yang cukup luas untuk menampung tumpahan-tumpahan ide jika dibatasi dengan tembok kelas yang formal. Sedangkan, letupan-letupan ide jika didiamkan, justru akan mematikan tempat tumbuhnya ide tersebut, yakni pikiran. Maka dari itu, sejak Kamis (18/10/2012) kami mulai duduk bersama dalam satu lingkaran, bertukar pikir tentang apa saja.
Ide menggelar Diskusi Santai nan Absurd Selingkar pertama kali tercetus di pendopo kaki Gunung Api Purba Nglanggeran (Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta). Tepatnya pada pagi hari Ahad Legi, 9 September 2012 / 22 Syawal 1434. Yakni setelah delapan pemuda jomblo koplak melakukan pendakian dan cangkeman di puncak gunung semalaman bertema; "Melarung Kegalauan".
Kami berdiskusi dalam rangka menajamkan kembali pemahaman terhadap suatu wacana, serta memadukan satu wacana dengan wacana-wacana lain agar tidak sempit pemahaman. Bukankah semakin luas sudut pandang kita, makin bijak pula dalam penilaian terhadap berbagai hal? Dan tukar wacana hanya bisa terjadi dalam suatu diskusi.

Ini adalah Duduk Selingkar, ya, Selingkar. Karena tidak ada yang di depan, kami semua di depan. Juga tidak ada yang di belakang, kami semua di belakang. Setiap orang berhak mendengarkan maupun berbicara. Setiap pikiran boleh menerima sebaik menyangkal. Hanya ada satu aturan di sini; respek terhadap pendapat lain.

Selingkar hanya mengandalkan kebersamaan. Selingkar tidak menjadikan peselingkar menjadi apa-apa selain dirinya sendiri. Selingkar bukan ajang unjuk gigi, hanya satu upaya mengenal jati diri melalui diskusi. Karena dalam setiap diskusi pasti ada titik temu maupun perbedaan. Nah, proses inilah yang kemudian akan mengasah kedewasaan dalam persamaan maupun perbedaan.

Apa yang pernah diobrolkan di Selingkar jangan sampai hilang dari ingatan, tak seperti diktat-diktat atau makalah-makalah kuliah di dalam kelas. Untuk itulah blog ini dibangun. Orang Barat bilang; verba volant scripta manent; kata-kata menguap, tulisan abadi. Orang Timur berujar; qayyid al-'ilma bil qalam; ikat pengetahuan dengan pena.

Alangkah sayang jika tumpahan-tumpahan gagasan masa muda itu dibuang begitu saja. Maka dengan niat menghindari kemubaziran, semua rekaman tertulis diskusi didokumentasikan yang semoga akan jadi memorabilia bagi mereka dan anak-cucunya.

Blog ini memuat notulensi dan reportase diskusi penDuduk di berbagai titik kota Jogja, transkrip obrolan online di grup facebook, potongan dokumentasi gambar, dan beberapa torehan pelengkap lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat dan semoga rahmat Tuhan senantiasa mengucur deras kepada lingkaran anak-anak muda ini. Amin.


Jogja, 28 Rajab 1435

Notulen Duduk Selingkar,
Zia Ul Haq