Kamis, 01 November 2012

Teologi Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis, 1 November 2012 | Penyaji: Yasin Syafi’i Azami

Suasana kehidupan di masa Asghar Ali setidaknya bisa digambarkan dalam dua hal. Pertama, keadaan keagamaan yang cenderung terjadi ‘perceraian’ antara akal dan wahyu. Pengembaraan akal yang terlalu bebas tanpa tuntunan wahyu, serta pengamalan wahyu yang sekedar ritual tanpa penelaahan kritis dengan akal.

Kedua, realita sosial. Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal  adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras (Syi’ah Isma’iliyyah). Sewaktu belajar Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan Bahasa Arab, ia juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang teknik sipil dari Vikram University, Madhya Pradesh. Selama 20 tahun ia sempat menjadi pegawai Kota Mumbay sampai memilih menjadi aktivis gerakan Bohra pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993  ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama).

Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar relijius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang relijius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut relijius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang relijius, adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.

Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif.

Menurutnya, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah

Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu

Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat dan justru menjadi sumber konflik.

Spirit Pembebasan dalam Islam

Asghar Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan. Upaya revitalisasi dan perumusan itu dia dasarkan pada dua hal.

Pertama, berdasarkan pada analisis kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad. Dalam hal ini keyakinan Asghar terhadap nabi Muhamad sama dengan keyakinan penganut Teologi Pembebasan di Amerika Latin terhadap Yesus. Nabi Muhamad lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran Nabi Muhamad ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu.

Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu  berada pada tempat yang sangat rendah.

Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender.

Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.

Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru saja terjadi, Asghar mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi, terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad yang lalu.

Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia

Pada zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab dikenal fanatik terhadap suku mereka. Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang rendah orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi lainnya, perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku, warna kulit, merdeka atau hamba sahaya

Selain itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia berasal dari satu keturunan yang sama. Tidak ada yang lebih mulia satu dari lainnya berdasarkan etnis, suku ataupun warna kulitKemulian itu hanya bisa dicapai lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an menyatakan:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-hujurat: 13).

Ayat di atas diperuntukkan tidak hanya bagi orang Arab, tetapi bagi seluruh umat manusia.  Dewasa ini, persoalan kesetaraan umat manusia masih menjadi persoalan dunia. Rasisme masih menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga PBB perlu untuk meneguhkan ide-ide persamaan ini.

Pembebasan dari Ketidakadilan Jender

Pada zaman Nabi, untuk pertama kalinya perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang sebelumnya tak terbayangkan. Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat yang sangat lemah. Nabi menetapkan, perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak milik sendiri, bisa menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi lain, poligini yang sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas dilarang.

Selain itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan masyarakat terhadap anak perempuan. Jika sebelumnya masyarakat Arab mempunyai tradisi mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi kemudian melarang tradisi itu sekaligus merubah stigma negatif terhadap anak perempuan.

Selain itu, Islam juga memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak untuk memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk terlibat aktif pada urusan publik. Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik Negara-negara yang mengatasnamakan Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.

Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi

Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam Al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran.

Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara, teerutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.

Satu praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi ekonomi tersebut.

Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif ini sampai sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan Negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.

Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.

Akan tetapi ia belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme. Untuk konteks sekarang ada banyak contoh dari Amerika Latin yang secara kebetulan merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana kapitalisme mendapat goyangan yang cukup hebat karena semakin banyaknya tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden. Mereka kemudian membawa negaranya beralih ke sistem yang popular dengan sebutan ‘neo-sosialisme’ yang merupakan revisi dari sosialisme yang dinilai kurang mampu membawa kemakmuran.

Kesimpulan

Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah.

Asghar Ali tidak menolak jika itu ditujukan pada Agama Islam. Satu sisi ia melihat teologi Islam yang ada memang lebih banyak berbicara tentan Tuhan dalam dirinya sendiri dan persoalan-persoalan eskatologis. Akan tetapi pada sisi lain Asghar berpandangan bahwa Islam juga mempunyai nilai-nilai pembebasan yang revolusioner.

Dalam kerangka ini, Asghar mencoba merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam untuk merumuskan Teologi Pembebasan. Upaya ini dilakukan Asghar dengan dua cara, pertama melakukan analisis sejarah atas praktik-praktik pembebasan yang dilakukan oleh nabi. Kedua dengan menggali nilai-nilai pembebasan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pembebasan budak, kesetaraan manusia, keadilan ekonomi, dan ayat-ayat pembebasan lainnya. Upaya ini dilakukan dengan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman.

Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara.  Kedua, pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga, pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.

~

Dalam diskusi santai ini, Yasin menekankan, bahwa tujuan diutusnya sesosok nabi di tengah umat adalah untuk; Menyatakan kebenaran, melawan kepalsuan dan penindasan, serta membangun komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.

Sedangkan Asghar Ali melandaskan ide pergerakannya kepada tiga hal di atas. Tauhid atau keyakinan yang lurus menurut beliau adalah keyakinan yang kuat kepada Khaliq, sehingga menumbuhkan kecintaan kepada makhluk dan menggerakkan seseorang untuk berbagi dalam hal apapun secara sosial. Jihad, menurut beliau, tidak hanya berbentuk perang fisik angkat senjata di medan laga, tetapi juga berupa perjuangan minoritas, pengentasan kemiskinan dan aksi sosialis semisalnya.

Bahkan, orang yang nampak saleh secara ritual, percaya kepada Tuhan tetapi tidak peka secara sosial, tidak turut peduli dengan penderitaan masyarakat, maka dia termasuk kafir.

Gelar “Kafir” yang dimaksudkan di sini, menurut pemahaman Yasin, bukanlah orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan, melainkan pelaku sikap Kufur yang menjadi kebalikan dari sikap Syukur. Hal ini adalah konsekuensi dari ayat Wa in syakartum la aziidannakum a in kafartum inna ‘adzaabii la syadiid.

“Maka, orang yang tidak peduli dengan penderitaan sosial adalah kafir nikmat, karena dia telah kufur dengan nikmat Allah berupa keluangan, energi, daya pikir, serta segala hal yang tidak mampu dia hitung. Wa in ta’udduu ni’matallohi laa tukhshuuhaa.” Demikian Yasin menjelaskan.

Zainal Muhidin membandingkan antara prinsip pembebasan yang diusung Marxisme dengan teologi pembebasan ala Asghar Ali. Jika Marx menyalahkan agama sekaligus tanpa pemenara terhadapnya, sehingga menyatakan bahwa agama adalah sumber konflik, sedangkan Asghar Ali tidak hanya menelajangi kekurangan-kekurangan praktek pemeluk agama tetapi juga menunjukkan idealisme yang sebenarnya menjadi nilai-nilai dasar agama.

Selanjutnya muncul pertanyaan dari Ami, untuk mewujudkan pembebasan yang dimaksud, apa sebenarnya prioritas utama dalam pendidikan Islam? Kognitif kah? Psikomotor atau Afektif?

Semuanya prioritas, jawab Lutfi Hakim, karena semua sisi harus dikembangkan. Namun, jika melihat keadaan sekarag, maka aspek yang harus diperhatikan ekstra adalah psikomotorik dan afektif yang berporos kepada aksi, agar bisa mendongkrak kesejahteraan sosial.

Sama tapi berbeda gagasan yang diungkapkan Sayd Vandyas, menurutnya, terlepas dari istilah pendidikan di atas (kognitif-afektif-psiokomotor), aspek yang harus diprioritaskan di dalam pendidikan Islam adalah al-Iman dan al-‘Amalu as-Shalih yakni transendensi dan aksi. Kekuatan mental dan keyakinan teologis yang diikuti dengan amal saleh. Dua hal inilah yang harus menjadi prioritas utama di dalam pendidikan Islam, yakni bagaimana membentuk pribadi yang kuat keyakinannya sekaligus mensalehi setiap perbuatannya. Teologi adalah keyakinan, Pembebasan adalah aksi nyata kesalehan.

Seperti biasa, diskusi santai tematik Duduk Selingkar menyimpulkan bagaimana aplikasi tema yang sudah dibahas. Satu pertanyaan terakhir dari Zainal; “Apa aspek yang harus kita bebaskan di negeri ini? Atau setidaknya ya di lingkungan sekitar kita?”

Suatu pertanyaan sederhana yang memancing bermacam-macam buncahan pendapat. Ditilik dari berbagai permasalahan yang menjangkiti negeri ini, tentu harus ada hal pokok yang musti segera dibebaskan. Lalu hal apakah itu? Dari jawaban-jawaban yang mengemuka, dapat dilihat benang merahnya, yakni; diri sendiri. Ya. Untuk melakukan suatu perubahan, baik dalam skala sempit maupun luas, maka hal yang harus segera dibebaskan adalah diri kita sendiri.

Karena yang dibicarakan adalah Teologi Pembebasan, maka hal pertama yang harus dibebaskan adalah diri sendiri dengan kesadaran penuh bahwa kehidupan ini semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang berhak menguasai diri kita adalah Dia, bukan siapapun selain-Nya termasuk diri kita sendiri. Maka tugas pembebasan haruslah sejalan dengan nilai-nilai yang sudah diajarkan-Nya melalui para utusan yang mulia.

Inilah pembebasan dari belenggu hawa nafsu. Ami menambahkan; “Bagi saya, bentuk aplikasi Teologi Pembebasan adalah ketika kita bisa jujur terhadap diri kita sendiri, memerdekakan diri kita dari penjajahan diri kita sendiri, sehingga akan menjaga diri agar tidak terperosok dalam kedurhakaan, dosa, maupun kelaliman. Maka kita akan merasakan kebebasan yang orang lain pun belum tentu bisa merasakannya."

Setelah diskusi ditutup, Irfan Wahyu Adi Pradana menepati janjinya dengan membagi-bagikan empat eksemplar buku gratis. Membuka buku baru dengan menyobek sampul plastik, menurutnya, adalah ritual di forum ini. Masing-masing peserta menorehkan ucapan dan cita-citanya di halaman sampul buku-buku yang masih perawan itu.

[o]

0 komentar:

Posting Komentar