Kamis, 31 Oktober 2013

Para Penjaga Api

Trotoar Kantin Tarbiyah, 31 Oktober 2013 | Penyaji: Muhammad Budi Mulyawan

“Saya boleh ikut gabung ya..” ucap Pak Kantin di sela-sela obrolan sembilan anak muda nggak jelas sore itu. Ya seperti biasanya, Kamis sore di Trotoar Kantin Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Dengan lubang hidung yang kembang kempis seperti Squidward, Irfan mulai menjelenterehkan kronologi gerakan-gerakan pemuda hingga terjadilah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Lalu ia melanjutkan kisah hingga ketika kaum muda diposisikan seperti herder yang lehernya dirantai ke pasak besi. Mereka bisa menggonggong namun tak bisa beraksi. Bergerak sesenti, beredel! Sehasta, hajar! Semeter, dor! Menurutnya, perbedaan mencolok yang terlihat di antara gerakan pemuda dahulu dan sekarang adalah independensi.

“Anak-anak muda sekarang manja. Kebanyakan gerakannya tidak jelas. Bahkan tidak sedikit dari gerakan-gerakan itu yang hanya menjadi proyek materialistis. Mungkin hal seperti ini sudah jadi mindset di kepala anak-anak pergerakan jaman sekarang akibat didikan ‘kenyamanan’ ala Orde Baru. Akibat cara pandang serba materi inilah semua langkahnya salah arah. Sekencang apapun kita berlari, jika arahnya sudah salah, tentu akan tersesat dan semakin jauh dari tujuan. Dan arah itu bernama ‘materialisme’ yang beranak-pinak menjadi kapitalisme. Semua hal, fisik maupun non-fisik, dibanderol dengan harga dan mengikiskan nilainya. Sehingga potensi lokal yang berbasis kesejahteraan bersama menjadi tidak berdaya di hadapan cengkeraman kapitalis.

Banyak kumpulan atawa organisasi pemuda yang sudah lupa makna dari fungsi pengayoman budaya dan inti sosial masyarakat. Malah justru seperti sekumpulan Event Organizer, fokus acara hedon dan melupakan kesederhanaan yang dibutuhkan masyarakat.” ungkap Irfan, khas anak pergerakan.

“Betul!” sahut Mukid alias Si Wowo, “Sebenarnya, langkah yang bisa ditempuh adalah terjun langsung di tengah masyarakat secara riil, melakukan apapun yang konstruktif di tengah rakyat, sekecil apapun perannya. Dan anak-anak muda lupa itu. Hal yang perlu dilakukan orang-orang yang tidak punya akses pengaruh terhadap kebijakan pemerintah adalah dengan menjaga keayeman dan kedamaian masyarakat secara langsung. Rasa-rasanya percuma orang-orang di atas kita teriaki tapi pada kenyataannya mereka tuli. Mending langsung saja kita bergerak di akar rumput tanpa harus galau tidak diperhatikan pemerintah.”

“Nah itu dia! Bahkan pemerintah itu sejatinya nggak ada, Mas!” seru Budi, seorang bakul batik alumni Geografi UI yang sedang nyasar di Jogja. Ia berkesempatan bagi-bagi pengalamannya di forum absurd Selingkar sore itu.

“Gini Mas, kalau kita lihat realita sekarang ini, negara sudah tidak ada. Kebijakan hukum, politik, ekonomi, hingga harga-harga beredar semuanya dikendalikan oleh para kapitalis. Pemerintah alias government; is under control. Itu realita,” ungkap Budi sambil memaparkan sampel-sampel konkrit ketidakberdayaan negara di bawah komando kapitalis.

“Saya punya teori,” lanjut Budi dengan logat Tegalnya yang macho, “Di negeri ini ada lima tingkatan pemeran dalam kebijakan pemerintahan. Kita mulai dari level paling bawah, kelima, kaum intelektual; ini berisi para pakar di ranah keilmuan masing-masing, para professor, para doktor, akademisi, masuk di sini. Tapi mereka hanya punya kuasa berteori dan berkonsep. Sebagus apapun konsep yang mereka susun, tetap kalah sama kuasa tingkat keempat, yakni penguasa, politikus. Mereka punya power untuk menentukan kebijakan di lapangan. Memang tidak sedikit yang sampai di level ini sebab prestasi, namun tak sedikit pula yang menduduki level ini lewat jalan money-politic.

Nah orang-orang yang selalu cari untung dari posisinya ini tunduk di bawah sihir uang dan giuran proyek dari level di atasnya, yakni pengusaha. Inilah para pengendali pemerintahan sebenarnya, pemerintah hanya pion-pion tak berdaya. Anehnya, level ini masih ‘kalah’ dengan level di atasnya, yakni dukun. Ini beneran, pengusaha-pengusaha besar banyak yang menumpukan langkah-langkah bisnisnya di tangan para dukun lho, mulai dari penyematan nama produk bahkan sampai pengupayaan tender proyek. Edan sekali. Namun keempat level ini masih ‘kalah’ kontrol di tengah masyarakat secara riil, level peringkat pertama ini diisi oleh para spiritualis; yakni ulama, guru, atau pendeta.”

“Memang,” sambungku, “Seperti pergerakan melawan penjajah Belanda, Jepang, hingga Inggris, hampir semua bermuara dari komando para ulama. Banyak fatwa agamawan yang diakui dan disepuhkan di tengah masyarakat menjadi batu pijakan untuk melakukan gerakan-gerakan sosial militan. Resolusi Jihad yang menjadi embrio Pertempuran Surabaya menjadi contoh nyata adanya ‘kekuatan’ fatwa ulama. Namun power seperti ini seakan tidak ada lagi saat ini, atau belum muncul lagi, masih hibernasi. Dan parahnya, kalau kita mau perhatikan betul-betul, sudah banyak upaya kapitalis untuk meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kontrol sosial level satu ini. Baik itu melalui jeratan politik hingga rayuan-rayuan gombal finansial. Namun untungnya, masih banyak ulama yang terus bertahan dengan perjuangan gerilya, melalui pesantren maupun lembaga-lembaga informal yang dibinanya, untuk menanamkan kebaikan dan perbaikan di dalam inti masyarakat bernegara; yakni keluarga.”

Beberapa detik forum hening, entah karena merenungi buncahan-buncahan kata-kata yang beterbangan di atas kepala mereka atau karena kehausan sebab gelas-gelas minum sudah kering kerontang.

Setelah beberapa kali mengembuskan asap rokok secara khas seperti bunyi kucing bengek, Sayd berujar, “Dari pemaparan Sampean, berarti kita musti sadar posisi. Pemuda itu ada dimana dalam struktur level yang Sampean buat itu? Sepertinya memang posisi pertama yang ditempati ulama adalah tempat yang tepat untuk membaurkan diri. Dan gerakan model gerilya alias bergerak bebas, independen, secara riil di tengah masyarakat adalah cara paling efisien dan efektif sekarang ini. Namun tidak seharusnya jika empat level yang lain ditinggalkan oleh pemuda macam kita ini. Jika level-level bermasalah itu bisa diisi oleh orang-orang berakal sehat, apalagi mau berintegrasi dengan kalangan spiritualis yang independen, wah pasti dampaknya luar biasa!”

“Iya!” sahut Pramono, “Agar pemuda bisa bergerak tanpa tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan busuk, maka ia harus berusaha merdeka, independen. Termasuk merdeka dari dominasi persepsi wanita. Karena tidak sedikit semangat pemuda yang tersembelih ketika berhadapan dengan segala macam tuntutan manja wanita.”

“Itu dia Mas!” sambung Budi, bersemangat. “Kualifikasi wanita terhadap calon suaminya juga mempengaruhi tingkah laku pemuda. Sekarang ini prototype pria idaman para cewek adalah mapan sukses, bermobil, kaya dan rupawan. Bila saja cewek-cewek bersikap realistis manusiawi, tidak materialistis, pokoknya mensyaratkan laki-laki yang bertanggung jawab, meskipun kantongnya tak begitu tebal, masalah kebutuhan materi diusahakan bersama. Dan cara pandang massal seperti itu akibat kebanyakan mengonsumsi tontonan dan bacaan picisan.

Betapa banyak figur-figur publik yang sedang beken di media sosial dan mempengaruhi mindset cewek-cewek jaman sekarang. Mereka mengumbar definisi kebahagiaan dan pria idaman tersendiri, sehingga menjadikan para pemuda kikuk untuk melakukan berbagai macam kreativitas pergerakan sosial. Kenapa? Karena tekanan kaum wanita, apalagi mereka yang punya pacar. Akibatnya, banyak mahasiswa galau yang nguber wisuda karena diuber kawin. Sehingga dia nggak punya energi lagi untuk mencurahkan daya pikir di ranah sosial kemasyarakatan. Ketika sudah mengemban gelar sarjana, mereka lepas dari usaha-usaha riil di tengah masyarakat yang sebenarnya sangat prospektif dan bermanfaat.

Wah, asupan-asupan dari berbagai media sangat berpengaruh bagi cara pandang pemuda-pemudi kita. Entah itu di media elektronik maupun cetak, lisan maupun tulisan, informative maupun sosial komunikatif. Dan semua itu didanai besar-besaran oleh kaum kapitalis. Contohnya, teman saya (atau mungkin dia sendiri –red.) mengatakan bahwa salah satu media kampanye cara pandang Barat terhadap wanita adalah melalui film-film bokep. Dalam adegan-adegan persetubuhan di film-film bokep bermadzhab Barat, entah Amerika, Eropa, maupun negeri-negeri Asia beraliran hardcore, selalu menempatkan wanita sebagai objek pemuasan hawa nafsu. Itu kejam. Jadi hakekatnya, ketika teman dia menonton adegan di film biru itu, sama saja sedang menonton adegan kebinatangan. Sama sekali tidak indah.

Berbeda jika pemuda mau mempelajari hal-hal vulgar semacam ini bukan dengan cara Barat, tetapi cara Timur. Apakah ada? Banyak! Karya tulis full imajinasi sudah ditorehkan oleh orang-orang terdahulu dari bangsa-bangsa Timur, entah itu India, Arab, Persia, bahkan Jawa. Di kitab-kitab ini wanita menjadi partner pria menuju puncak, bukan objek pemuasan nafsu.” Jelas Budi panjang lebar, sangat antusias.

Sambil membenahi posisi kacamatanya, mungkin masih bingung dan berimajinasi tentang teori bokep tadi, Teguh mengungkapkan kesimpulannya, “Yaa meskipun masih banyak hal-hal berseliweran di kepalaku akibat bahasan yang belum jelas, namun intinya, anak muda memang harus bersemangat. Dan obrolan semacam inilah upaya untuk menjaga semangat idealisme pemuda agar tetap menyala.”

“Benar! Tetap jaga api antum, jangan sampai padam akhi,” ujar Latif menutup pertemuan, sok imut. Senja sudah hilang, langit nampak menghitam, dan ‘api’ di dada kami makin menyala terang.


[o]