Selasa, 26 November 2013

Akal-akalan Akal

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 26 Nopember 2013 | Penyaji: Pak Kantin
Beberapa pemuda absurd nampak duduk melingkar di trotoar abu-abu. Hampir semuanya bertampang blo'on namun tak suram. Meski tampaknya mereka pengangguran kumuh, sejatinya mereka sedang belajar berpikir jernih, menyusun konstruksi pemikiran yang sehat dan 'merdeka'.

Menurut Said, ya inilah seharusnya fungsi utama kuliah; melatih cara berpikir yang sistematis menempa ketahanan mental. Tapi, tambah Irfan, hal seperti ini justru tidak didapatkan di dalam kelas yang monoton. Disana, seakan-akan, hanya disuguhkan manual suatu boneka mekanik dan bagaimana cara penggunaannya, bukan pada cara kerja serta fungsi sejati boneka itu.

Dalam episode ini mereka sedang mengakal-akali ‘Akal’. Sebenarnya apa, dimana, bagaimana, untuk apa dan sejauh mana akal bisa berfungsi? Kalimat-demi kalimat meluncur deras, celaan demi celaan terlontar dan gelegak tawa riuh merekah di sela-sela obrolan.
~

Setengah jam berlalu, nampak pria paruh baya, mengenakan caping, berkaos oblong dan celana pendek, mendekati kami setelah menutup pagar kantin dan menyusur trotoar untuk mengumpulkan gelas-gelas kotor. Ia adalah salah seorang yang kami angkat sebagai guru besar kelompok diskusi ini.

"Ngapain sore-sore masih pada disini?"

"Biasa, Pak.. Kuliah."

"Lhah kuliah kok disini?"

“Ya beginilah kuliah kami Pak, cangkeman sambil santai guyon-guyon..” jawab Bastian sambil ketawa puas.

“Hahaha.. Saya jadi inget masa-masa dahulu..” Si Bapak meletakkan gelas-gelasnya di atas paving trotoar, duduk nongkrong, dan mulai berkisah.

“Tahun sembilan puluhan sampai awal dua ribuan masih banyak kelompok-kelompok diskusi mahasiswa di kampus. Ada yang di taman masjid, di trotoar ini dulu banyak berjajar anak-anak diskusi. Kalau sekarang ya paling kumpul jalan-jalan, rapat acara kelompok, dan jajan-jajan. Kalo ada yang diskusi sampai sore begini ya cuma muka-muka kalian, sampai bosan saya.. Hahaha..”

“Ramai ya, Pak.. bedanya apa sama zaman sekarang?”

“Suasananya. Dahulu atmosfer akademis sangat terasa di sini. Sekarang kok serasa kering. Mungkin karena pengaruh teknologi juga ya,”

“Maksudnya, Pak?” sela Bimo sambil mengepulkan asap rokoknya.

“Lha iya, kalau dahulu ‘kan belum ada komputer, internet, apalagi hape. Mahasiswa lebih sering berinteraksi walaupun hanya untuk membunuh kebosanan, dan kebanyakan dari mereka lebih akrab dengan buku-buku. Kalau sekarang, kalian lebih asyik mainan gadget yang canggih-canggih itu.”

“Yaa teknologi itu ‘kan menjadi fasilitas yang mempermudah, Pak.”

“Memang teorinya begitu. Tapi apa kenyataannya begitu?”

“Hehehe. Malah terlena, Pak.”

“Lha iya! Kalau dulu orang bikin skripsi itu ya pasti hapal isi skripsinya. Lha wong ngetik pakai mesin tik manual. Revisi ya mengulangi ngetik. Beda dengan sekarang, semua serba dipermudah.”

“Tapi ‘kan dampak positifnya banyak, Pak..” sergah Pramono.

“Ya semua perkembangan pastilah ada pengaruh positifnya. Tapi juga ada efek negatifnya. Jadi manja, jadi cengeng. Dulu itu mahasiswa kuliahnya relatif lama-lama, paling cepat ya empat setengah tahun. Umumnya lima tahun. Jadi benar-benar matang karena tidak hanya kuliah di kelas, tapi juga kayak kalian-kalian ini. Kalau mahasiswa sekarang ‘kan cepat-cepat, tiga sampai empat tahun, tapi yang didapat hanya apa yang dihadapi di dalam kelas dan bisa dibilang belum matang.”

“O gitu ya Pak..”

“Lha iya, karena kuliahnya lama-lama malah jadi ada idiom; kalau kuliah sampai lima tahun lebih tapi saat wisuda tidak punya ‘pendamping’, berarti kuliahnya gagal, kalau kuliahnya sebentar sih nggak berlaku idiom itu, hahaha..” kelakar si Bapak disambut tawa ngenes kami.

“Berarti besok kalau saya lulus nggak usah ikut wisuda ya, Pak? Biar nggak disebut gagal, hehe..” selaku iseng.

“Hahaha.. Itu akal-akalan kamu saja. Saya kasih tahu ya, kamu itu bukannya nggak laku, hanya kurang atraktif saja. Kalau kamu mau sedikit beraksi, cewek mana yang nggak nempel sama jenggotmu itu?” jawab Si Bapak sambil mencoba menjambak jenggot keramatku, gemas.

~

Pengembaraan obrolan sudah sampai ke ranah psikologi, artificial intelligence pada robot, teori-teori barat dan timur, arab eropa dan jawa, penemuan aspek halus selain akal yang disebut jiwa, hubungan interaktif antara akal dan jiwa, hingga topik-topik aktual lain yang sedang hangat-hangatnya. Mulai dari persepsi kasta Jawa kuno, perkembangan politik kesultanan, hingga tingkah laku pejabat-pejabat dan presiden RI.

“Oke, pertanyaan terakhir buat kita jawab tentang Si Akal. Kalau memang fungsi akal adalah untuk mencari jawaban suatu pertanyaan, mengurai masalah yang ada di dalam rangkaian perjalanan kehidupan, menemukan hal yang belum diketahui. Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pertanyaan utama akal kita? Apa yang menjadi pencarian utama akal kita? Apakah akal hanya sekedar difungsikan sebagai alat memenuhi kebutuhan fisik berupa sandang pangan papan saja? Toh pada akhirnya raga akan berhenti berfungsi dengan kematian dan membusuk di dalam timbunan pusara, lalu tujuan utama akal itu menemukan apa?” lemparku di forum.

“Ya itu dia pertanyaan utamanya! ‘Apa tujuan kehidupan kita? Tuhankah? Keabadiankah? Atau sekedar pemenuhan kebutuhan dalam rangka mempertahankan hidup fisik selama di dunia? Nah di situlah akal kita mencari jawabannya. Dan untuk menemukan jawaban itu si akal harus bekerjasama dengan dimensi manusia yang lain berupa jiwa,” jawab Mukid, mempesona.

[o]