Jumat, 27 Desember 2013

Mengadili Rokok

Angkringan Kraton, Kamis 27 Desember 2013 | Penyaji: Muhammad Iqbal Fahmi
Kamis jam sembilan malam, lalu lalang orang-orang mengeroyok pasar rakyat di Alun-alun Utara alias Altar. Malam itu masih dalam pekan-pekan perayaan Sekaten, jadi maklum jika nampak begitu ramai. Pelataran kraton yang biasa kami sulap jadi aula diskusi pun sudah dialihfungsikan jadi parkiran. Tapi tenang, masih banyak tepat lain yang asik buat duduk selingkar. Kami pilih hinggap di angkringan sepanjang trotoar, seberang museum kereta Jalan Rotowijayan.

Kali ini sembilan pemuda kurang kerjaan mengangkat tema tentang rokok. Benda mungil yang multikompleks. Setelah dua bulan magang di Djarum Foundation Kudus, Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok di forum diskusi absurd ini. Jumat 27 Desember, jam 2 dini hari. Baru selesai diskusi santai Selingkar, dan jeroan serasa makin segar. Sejak jam 9 hari Kamis kemarin, di trotoar angkringan Kraton Yogyakarta, Kadet Fahmi membagi pengalamannya tentang jagat rokok setelah dua bulan magang di Djarum Kudus. Dari selinting tembakau bisa ditelaah dan disikapi dari berbagai perspektif.
Pertama, tentang bahan baku: tembakau dan cengkeh. Kedua, tentang proses produksi. Ketiga, tentang pemasaran dan jaringan global. Keempat, tentang budaya dan kontroversi.

Pro-kontra merokok dibahas tuntas pada kesempatan Selingkar kali ini. Mulai dari asal mula budaya merokok di negeri ini, beragam jenis tembakau, proses produksi rokok, pemberdayaan masyarakat melalui kretek, korporasi global dan pencaplokan lahan, hingga mafia kapital dunia kesehatan.

Pada awalnya, penduduk Selingkar mengemukakan berbagai silang pendapat tentang rokok. Namun ujungnya, bermufakat bahwa rokok bukanlah sumber masalah yang sering disudutkan oleh berbagai pihak. Ada kepentingan ekonomi, bahkan politik, yang melatarbelakangi pro-kontra global ‘jajan tembakau’ ini.

Untuk melengkapi perbincangan mengenai rokok ini, alangkah bijaknya bila kita menziarahi salah satu penemuan anak bangsa yang cukup fenomenal. Ketika dimana-mana rokok dihujat oleh oknum dunia kesehatan, di Kudus ada rokok yang justru berpartisipasi dalam upaya penyembuhan berbagai macam penyakit.

Namanya; Divine Kretek alias Si Rokok Sehat! Kabarnya, si rokok ini berhasil membantu terapi penyembuhan lebih dari sepuluh ribu pasien dengan beragai macam keluhan penyakit berat, semisal kanker hingga autis. Bagaimana ceritanya? Mari kita telaah bersama.

[o]

Radikal bebas adalah penyebab utama hampir semua penyakit. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh melalui polusi udara, makanan, tambalan gigi amalgam, kosmetik dan sebagainya. Radikal bebas menjadi racun yang menyebabkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri tidak berjalan maksimal. Namun, selama ini yang dituduh sebagai penyebab utama penyakit adalah rokok. Padahal, nikotin rokok justru sebagai zat peluruh radikal bebas.

Demikian dikatakan Prof. Dr. dr. Sarjadi, Sp. PA (K), Guru Besar Patalogi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang juga Rektor Universitas Muria Kudus. Kata beliau, nenek moyang kita dan suku Indian misalnya, telah menjadikan tembakau sebagai obat berbagai penyakit.

Namun, sejak era industrialisasi, nikotin dalam tembakau mulai terpapar radikal bebas yang disebabkan polusi dari industri dan transportasi. Sehingga kandungan positif pada nikotin tertutup dan tercemar radikal bebas. Jika radikal bebas pada nikotin berhasil dibersihkan, maka tembakau justru menjadi obat!

Upaya membersihkan tembakau dari radikal bebas itu berhasil dilakukan oleh DR Greta Zahar (pakar fisika nuklir) dan Prof Sutiman B. Soemitro (pakar Bio Molekuler Universitas Brawijaya Malang). Melalui pendekatan Nanoteknologi, keduanya berhasil mengembangkan rokok yang bebas dari radikal bebas dan bahkan asapnya berfungsi sebagai scavenger (penangkap dan penjinak) radikal bebas. Temuan itu diberi nama Divine Kretek.

Dalam buku “Divine Kretek – Rokok Sehat” yang diterbitkan oleh MBPI (Masyarakat Bangga Produk Indonesia) dijelaskan bahwa Divine Kretek dipadukan dengan metode pengobatan balur yang juga menggunakan pendekatan nanoteknologi. Paduan keduanya selanjutnya disebut Balur Divine.

Dr Saraswati, M.Psi (Direktur Lembaga Peneletian Peluruhan Radikal bebas Malang) mengatakan; Balur Divine adalah detoksifikasi radikal bebas dengan teknik membalurkan (melulurkan) sejumlah formula menggunakan pendekatan Nanoteknologi. Detoksifikasi dengan Balur Divine mampu menghilangkan radikal bebas secara efektif, karena pendekatan nanoteknologi mampu memperkecil gelembung toksin/racun menjadi ukuran nano (seper semiliar meter), sehingga racun dapat keluar dari tubuh tanpa menimbulkan luka.

Proses balur, diantaranya dengan minum formula asam amino tertentu, yang mampu mengambangkan zat radikal dari dalam tubuh. Proses balur juga harus dilakukan di atas lempeng tembaga (Cu) yang terhubung dengan bumi (grounding) dan ditutup aluminium foil. Hasilnya, zat radikal yang keluar dari tubuh yang sarat muatan listrik negatif, akan menumbuk lempeng tembaga dan alumunium foil, lalu dialirkan dan dinetralkan ke bumi (grounded).

Dr Tony Priliono, pengelola Rumah Sehat “Griya Balur Muria” Kudus mengatakan; Balur Divine efektif meluruhkan radikal bebas penyebab berbagai penyakit, terutama penyakit degenerative seperti kanker, stroke, jantung, asam urat, juga untuk mengobati anak autis. Selain di kudus, rumah sehat terapi Balur Divine sebelumnya sudah dibuka di Jakarta, Malang dan Semarang.

DR Kusnanto Anggoro (Peneliti Center for Strategic and International Studies/CSIS Jakarta) mengatakan; temuan Divine Kretek memberikan semangat dan harapan kebangkitan yang berdampak pada sosial dan politik bangsa Indonesia. Harus ada upaya menyempurnakan temuan tersebut secara berkesinambungan.

Mohamad Sobari, budayawan nasional mengatakan; temuan Divine Kretek seyogyanya bisa membuka pikiran kelompok anti tembakau yang selama ini hanyut pada stigma bahwa tembakau harus dimusihi karena dianggap sebagai sumber penyakit.

Namun sayangnya, sebagaimana masalah klasik yang sering dihadapi para jenius di negeri ini: tidak adanya dukungan energi (dana untuk riset, pengembangan, dan pemasaran) dari pemerintah, apalagi perusahaan rokok. Sebagaimana dinyatakan Dr. Sutiman;

“Kami tidak didukung oleh perusahaan-perusahan rokok.”

Salah satu penDuduk yang pernah merasakan rokok ini, Fahmi, menceritakan bahwa asap yang dihisap tidak berat di paru-paru. Saat ini baru dipasarkan terbatas untuk keperluan terapi di Kudus, Jakarta, Semarang, dan Malang.

Dari sisi kesehatan, produk rokok-jamu ini membalikkan tuduhan sumber penyakit menjadi obat penyembuh, atau dari 'madharat’ justru menjadi ‘manfaat’ dalam sisi hukum agama.Dan secaa ekonomi, tentu bila rokok-sehat ini didukung pemasarannya, tidak ada lagi rokok punya Phillip Morris beredar di pasaran dengan berbagai gambar mengerikan.

~

Nah, ada lagi rokok kesehatan dari Malang yang sudah merambah pasaran luas. Namanya; ROKOK SIN. Rokok Sin bentuknya seperti rokok pada umumnya, namun memiliki efek yang sungguh berbeda. Apabila rokok biasa terbukti berbahaya untuk kesehatan tubuh, rokok Sin justru mampu mengobati berbagai macam penyakit yang bisa jadi ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok biasa.

Rokok Sin diciptakan oleh KH. Abdul Malik asal Malang yang bergerak di bidang pengobatan alternatif. Beliau adalah Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah. Rokok Sin awalnya dibuat berkat ilham yang beliau dapatkan saat melakukan Shalat Istikharah, yaitu agar membuat rokok yang bisa dimanfaatkan sebagai obat.

Mei 2005, Kiai kelahiran Sumenep, Madura ini memulai Sejarah Rokok Sin ini dengan memproduksi rokok Sin bersama beberapa santrinya. Alhasil, rokok yang sedianya dikonsumsi terbatas untuk para jama’ah tariqahnya, mendapat respon yang positif dari masyarakat karena kemujaraban khasiatnya. Kemudian berlanjut dengan diproduksinya secara massal dan professional pada 23 Mei 2006, setelah mendapat ijin dari Pemerintah. Nama Sin diambil dari nama gunung Tursina (Sinai) di Timur Tengah.

Rokok Sin telah melalui uji ilmiah di Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang, dan salah satu pabrik rokok terkemuka di Jawa Timur yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah untuk pengujian produk rokok. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar “Nikotin rokok Sin” sangat rendah, bahkan dinyatakan mendekati 0%. Pada Rokok Sin, efek negatif yang ditimbulkan oleh nikotin sudah dinetralisir oleh kombinasi bahan-bahan herbal lainnya yang 100% murni herbal, tanpa bahan kimia.

Hasil uji Laboratorium Resmi menunjukkan nilai TAR rokok Sin tinggi. “TAR” secara standar internasional adalah pengukuran berat material asap rokok yang mengandung racun dan bahan berbahaya lain. Umumnya apabila nilai TAR tinggi maka nafas terasa berat, sesak dan dada sakit. Akan tetapi nilai “TAR” pada rokok Sin adalah ramuan jamu terapi kesehatan yang membantu mengurangi racun dalam paru-paru dan mengeluarkannya dalam bentuk lendir, sehingga nafas terasa ringan. Pembuktian secara empiris telah banyak yang merasakan efek positifnya. Sejarah Rokok Sin membuktikan “TAR” yang dihasilkan Rokok Sin sungguh berbeda dengan “TAR” rokok biasa.

Kini, rokok Sin tersebar hampir diseluruh pelosok negeri. Dengan cukup banyak varian rokok Sin yang memudahkan memilih rasa yang cocok sesuai selera. Harganya antara 60-135 ribu per slop, tergantung jenis variannya.

Ada dua latar belakang yang menginspirasi lahir-nya rokok terapi ini: Pertama, pengembaraan spiritual yang diyakini sebagai petunjuk Allah SWT. Sebab, sejak usia muda Kiai Abdul Malik adalah santri yang menekuni dunia spiritualitas dalam rangka pencapaian ridla ilahi. Pengembaraan spiritualnya dimulai sejak usianya masih 17 tahun. Ketika masih di Madura, Kiai yang lahir 38 tahun silam ini gemar menimba ilmu-ilmu spiritual kepada ulama-ulama besar.

Ketika hendak menempuh masa kuliahnya pun Kiai Abdul MaIik meminta kepada salah seorang gurunya, Habib Husain. Atas petunjuk sang guru, Kiai Abdul Malik meneruskan pendidikannya di jurusan teknik elektro Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Selain intens berguru kepada Habib Husain, dunia spiritual Kiai yang juga insinyur ini pun ditempa oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya dari Medan.

Setelah lulus, sembari bekerja sesuai dengan diskursus ilmu yang dimilikinya, Kiai Abdul Malik juga tetap berguru kepada Habib Husain dengan istiqamah. Barulah sejak 2003, secara resmi Kiai Abdul Malik didaulat sebagai pengganti almarhum Habib Husain untuk menjadi Mursyid Tariqah Naqsyabandiyah Al-Husainiyah hingga sekarang.

Kedua, karena pengalaman medis Kiai Abdul Malik. Sejak 1996 Kiai Abdul Malik mendapat amanat dari Habib Husain untuk mengentaskan selalu membantu meringankan beban orang miskin dan anak yatim sesuai kemampuan. Karena salah satu kemampuannya adalah keahlian pengobatan alternatif, Kiai Abdul MaIik mulai membuka diri untuk senantiasa membantu pengobatan secara gratis kepada masyarakat kurang mampu dan mengasuh anak-anak yatim. Dari pengalaman inilah Kiai Abdul Malik merealisasikan ilham yang diterimanya dengan meracik ramuan tradisional dikombinasikan dengan tembakau yang kemudian berbentuk rokok terapi ini.

Kini, rokok yang diproduksi dalam tujuh varian ini telah tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, baik distributor internal jama’ah maupun distributor di luar jama’ah. Selain karena kemujaraban khasiatnya, ini juga disebabkan karena komitmen jama’ah tariqah Kiai Abdul Malik untuk mengem-bangkan usaha ini demi fakir miskin dan anak yatim.

Sejak awal, Kiai Abdul Malik memang berniat agar sebagian hasil penjualan rokok ini dimanfaatkan untuk kegiatan sosial. Selain dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, dalam bagian tertentu pihak pengelola perusahaan selalu mendistribusikan hasil pen-jualannya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim secara periodik. Setiap bulan selalu ditransfer sejumlah uang ke beberapa rekening yayasan atas perintah Kiai Abdul Malik.

Demikian tanggapan penDuduk Selingkar:

Sulaiman: "Sebagai non-perokok, saya kira perusahaan-perusahaan rokok harus pula melakukan upaya-upaya agar produknya terkendali. Agar tidak membahayakan konsumennya, minimal ya menyelenggarakan rehabilitasi."

Irfan: “Matamu! perusahaan rokok merehabilitasi wong ben ra ngerokok? Kui jenenge bunuh diri, Dab! Huahaha..”

Sulaiman: “Bukan begitu, Bung. Ada salah satu petuah dari bang Philip Morris yang membuat saya sangat interest sekali dengan diskusi ini; Jika ingin menghancurkan bangsa maka amunisinya adalah dengan rokok. Hahahahahahahaha. Saya sempat ketawa kecil ketika melihat sebatang rokok cilik tapi kok iso yah menghancurkan bangsa?

Ketika otak saya berrefleksi dan dibenturkan dengan pemikiran orang-orang absurd ini, maka beberapa analisis berhamburan keluar. Ringkasnya: yang dimaksud menghancurkan bangsa adalah dengan menjadikan rokok ini sebagai topik perbincangan dan perdebatan utama di setiap kalangan yang eksis di Indonesia. Mulai dari kelas kecrengan alias receh sampai kaum raja-raja.

Rokok menimbulkan problem yang dilematis. Dari hanya sebatang saja dapat ditarik ke dalam berbagai bidang yang tersebar disetiap lini. Hukum, ekonomi, budaya, sosial, politik, bahkan agama saja ikut nyangkem, pake doktrin teologi lah, dalil lah, ahhh asu lah pokoke!

Kita tilik saja dari peliknya sudut pandang kesehatan. Di satu sisi, kementerian kesehatan menjudge begitu saja bahwa pada 2004 saja mereka mengeluarkan dana sekitar Rp 127 triliun rupiah untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang timbul akibat rokok, padahal sakitnya perokok tidak semua disebabkan oleh rokok itu sendiri.

Artinya, rokok bukanlah sebgai faktor utama yang menyebabkan sakit atau modar. Ada beberapa bahan konsumsi lain yang kandungan zatnya lebih medeni daripada rokok, sebut saja ‘micin’, kafein sing neng kopi, dan sebagainya. Herannya dana 127 triliun iku 7 kali lebih besar daripada devisa cukai yang masuk ke kas yang hanya 16,5 triliunan. Di sisi lain, kemenkes juga ‘logically’, menerima dana bea-cukai rokok, pastilah, kan pajak rokok devisa yang paling besar bagi negara.

Durung ditambah persoalan teologi agama yang seringkali membuat ricuh, padu karo gelut. Contohe kaya seminar di Jombang yang menyebutkan bahwa rokok itu menimbulkan syirik dan sebagainya. Akhire seminare ricuh lan pada gelut, ya kaya kue lah.

Maka, menurut saya, tidaklah pantas memperdebatkan rokok terlalu berlebihan, cukup saling hormat-menghormati saja, toleransi, dan saling menghargai. Para perokok ya tulunglah pengertian sama orang yang gak ngrokok, lan orang ang rokok ya tulunglah aja ekstrim sok-sok an mbacot rokok haram lah, sirik lah, apa lah.”

Ahlis: "Walau bagaimanapun, aktivitas merokok harus sesuai kebutuhan dan keadaan, baik fisik maupun ekonomi. Nggak boleh sembarangan, ya sama halnya dengan aktiitas-aktiitas relaksasi lainnya lah.."

Said: "Bicara rokok berarti kita bicara perputaran uang dan konglomerasi kelas kakap. Alangkah asiknya jika kita bisa turut menikmati bocoran-bocoran kapitalisme ini. Tinggal kita cari bagaimana caranya biar bisa melobangi kantong-kantong uang itu biar meluber ke orang-orang kecil."

Rijal: "Dalam setiap batang rokok ini menjadi simbol pertahanan bangsa dan negara. Jika sampai dikuasai dan dikelola oleh pihak asing, maka runtuhlah salah satu gerbang pertahanan kita."

Abdul: "Masalah rokok ini persoalan pelik, ia bisa ditarik ulur ke bidang apa saja. Politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Maka harus ada titik tengah antara blok kiri dengan blok kanan, antara pro dan kontra. Dan titik itu adalah toleransi antar keduanya."

Nasrullah: "Dalam hal rokok, apapun persoalannya pasti yang menjadi korban adalah orang-orang kecil. Mulai dari petani tembakau hingga mereka yang kere dan dituduh penyakitan karena sebab rokok."

Irfan: "Merokok memang membuat ketagihan karena enak. Tapi harus diiringi kekhusyuan."

Fahmi: "Rokok bukan candu. Itu tergantung mindset, sifatnya psikologis, psikis bukan fisik. Selain itu, tingkat keberbahayaan rokok tergantung kondisi kesehatan pengisapnya. Jika berlebihan, ya jelas berbahaya. Jika ala kadarnya, tak masalah asalkan sesuai dosis dan seperlunya, untuk relaksasi misalnya. Toh, tubuh manusia itu unik, memiliki karakteristik ketahanan sendiri-sendiri dan tak bisa disamaratakan. Masuk ke ranah kartel bisnis rokok nasional maupun internasional, ada baiknya kita memahami serta memilah hubungan antara kebutuhan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam dan manusia, kapitalisme perusahaan, pemasukan negara, hingga fasisme dunia kedokteran. Maka kita akan sampai pada posisi moderat: tidak anti terhadap rokok, tidak pula fanatik terhadapnya. Kita musti adil."

Zia: "Perjalanan rokok dari nyala hingga memuntung persis kisah umur manusia. Ketika rokok dibakar pertama kali bagai terlahirnya bayi, usia hidup di dunia dimulai. Dihisap atau cuma digeletakkan, rokok tetap akan terbakar habis. Begitu pula usia, dimanfaatkan atau hanya dianggurkan, ia tetap akan habis lalu mati."

 [o]

Kamis, 19 Desember 2013

Pelacur Sarkem dan Nama Tuhan

Pasar Kembang, Kamis 19 Desember 2013 | Penyaji: Bunga (bukan nama sebenarnya)
Selingkar di Pasar Kembang

“Aku mau bikin penelitian,” kata Said, “tentang hubungan antara perilaku pacaran dengan relijiusitas seseorang. Dari yang pacaran minimalis; cuma SMS dan telepon, sampai yang kurang ajar nyewa kamar. Hahaha..”

Entah serius atau memang sedang gendeng, idenya ini menjadi semacam pengantar agenda malam itu. Kamis malam Jum’at. Mengunjungi salah satu komplek lokalisasi terbesar di negara ini di samping tiga lokasi lainnya. Sarkem, akronim dari Pasar Kembang, nama tempat itu. Lokalisasi ini jauh lebih tua dibanding usia kami. Ia ada sejak zaman kolonial Belanda, 1818.

Karena sudah cukup malam, dua gadis baik hati pamitan pulang kepada sembilan pemuda gila di muka gerbang Vrederburgh. Pukul sepuluh tiga puluh kami mulai melangkah menyusur emper Malioboro. Mulai dari Nol Kilometer, Margo Mulyo, Malioboro, Margo Utomo, hingga rel tugu. Para pedagang nampak sibuk mengemas komoditi pencaharian mereka.

“Berjalan sepanjang Malioboro ini ibarat melewati kehidupan dunia,” bisik Talkhis agak filosofis, entah karena sedang ‘in’ atau memang kelaparan, “Berbagai jenis manusia dengan beragam kepentingannya ada. Kanan kiri kita lihat beraneka rupa barang-barang yang menarik. Tapi hakekatnya kita sekedar lewat saja,” ujarnya sambil lirak-lirik pecel bawal di emperan yang tak kuasa ia beli.

Seratus meter sebelum sampai di gang masuk lokalisasi, hujan mengguyur deras. Barang sejam lebih kami berteduh di halaman losmen berkelas. Tepat tengah malam, hujan mereda. Kami lanjutkan penyusuran.

“Wah, rombongan Mas? Berapa orang ini?” tanya seorang pria penjaga kotak retribusi di sudut gang.

“Sembilan, Om!” sahut Irfan sebagai tour-guide saat itu. Kalau kau butuh pemandu wisata ke Sarkem, hubungi saja dia.

“Jadinya delapan belas ribu,” kata pria itu sambil meneliti wajah-wajah kami.

Begitulah, selain penduduk setempat, ada retribusi setiap kali kau masuk kawasan ini. Apapun keperluanmu, dua ribu rupiah per kepala. Begitu masuk, kau akan melihat deretan pintu-pintu kamar di sepanjang gang, warung-warung penjual jamu kuat, serta rentetan stiker himbauan; ‘Kawasan Wajib Kondom’.

Semerbak parfum menusuk hidung. Cahaya light-box berpijaran dari ujung ke ujung, memamerkan nama-nama toko, karaoke dan kamar pergumulan. Orang-orang yang tak jelas tujuannya berlalu lalang kesana kemari. Wanita-wanita dengan busana minim menjajakan diri di pintu-pintu ‘surga dunia’. Di antara kami ada yang langsung merinding, gemetaran. Ada pula yang justru antusias menyapu pemandangan dengan bola matanya.

"Mas yang gendut itu pernah kesini kan ya?" sapa sesosok penjaja seks dengan genitnya, merayu-rayu salah satu kawan kami yang memang berbadan tambun.

Fatah, orang yang dimaksud, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil gemeridik, "Nggak, nggak," sergahnya.

"Hihihi, bohong dosa lho Mas, Yaa Allaah.." sahut si penggoda sambil ketawa geli.

Bohong dosa. Ya Allah. Kata-kata itu cukup mencengangkan benak kami. Seakan ada orang memperingatkan tentang panasnya percik api sedangkan ia sedang terbakar di dalam api unggun. Setidaknya kami bisa memahami kesepadanan; orang yang menghimbau tentang kesucian sedangkan ia asyik berkubang lumpur tak lebih dari ujaran seorang pelacur. Entah ia negarawan atau bahkan agamawan sekalipun. Setara.

Ungkapan bermuatan nama Tuhan yang terlontar secara reflek dari lisan penjaja seks komersial itu mengajari kami makna mendalam. Bahwa Dia Yang Mahatinggi bukan hanya Tuhan bagi kaum ‘suci’. Dia juga tumpuan harapan bagi orang-orang ‘kelam’ dan patah hati.

Tapi apakah yang mereka lakukan itu benar? Atau salah? Tidak. Kami tidak sedang membicarakan benar dan salah di sini. Haram tentulah haram, dosa tak perlu lagi dipertanyakan. Apa yang kami upayakan hanyalah menyecap madu-madu kebijaksanaan. Biarpun hanya sepercik.

“Sebenarnya kita ini mau ngapain kesini, Kang?” bisik Sulaiman.

“Kuliah Wisdom!” sambarku singkat.

~

Lorong demi lorong kami susuri. Degup jantung kawasan ini senada dengan sorak sorai dari bilik-bilik karaoke. Nampak pasangan-pasangan liar menari-nari di bawah kerlip lampu disko. Bibir-bibir sayu merayu-rayu.

“Mas.. kesini Mas..”

“Seribu tiga, Mas.. Ayo sini..”

Mukid tak berkedip. Said terlihat begitu bersemangat. Mengusir grogi, kuhisap sebatang rokok.

“Fan, mana koreknya?” pintaku.

“Gak punya. Tuh dibawa Said kayaknya,” timpal Irfan si pemandu wisata. Tolah toleh kucari kemana Said menghilang.

“Itu lho Mas koreknya!” seloroh seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor begitu rupa.

“Mana? Mana?” tanggapku, kaget.

“Itu lhooooo!” ucapnya sambil menelunjukkan jari tangan tepat lurus di antara selangkanganku.

“Hahaha, itu korek tanpa gesekan. Gak bakal nyala,” sahut wanita lain di seberang lorong, dengan dandanan tak jauh beda, “Sini digesek biar nyala! Hahaha!” Sial. Kena juga aku.

“Semua senyum itu palsu,” ucap Pramono, sambil berteduh di beranda rumah warga dari guyuran hujan yang kembali menderas. Ya, kawasan lokalisasi ini pada mulanya memang pemukiman warga. Dan di pintu rumah-rumah yang tak menjalankan bisnis prostitusi tertempel stiker ‘Rumah Tangga’. Jadi, kalau suatu saat kau mampir, jangan salah duga.

Kehidupan masyarakat yang termasuk dalam wilayah Sosrowijayan ini berlangsung sebagaimana kampung-kampung lain. Di himpitan ruang-ruang mesum itu ada balai Taman Kanak-kanak. Tempat bermain dan belajar bagi malaikat-malaikat kecil warga sekitar. Ada pula mushalla sederhana, sebagai tempat sembahyang para hamba.

“Apa maksudmu dengan palsu, Pram?” tanyaku heran.

“Ya hanya topeng,” sahut Pramono, “Mereka terlihat tertawa-tawa di bibir. Merayu genit dengan polah tubuh yang menggoda. Padahal mungkin hatinya menjerit pilu.”

Ada benarnya kalimat Pramono, selaras dengan sepotong kisah. Sebut saja namanya Mentari. Salah seorang wanita yang terjebak di lorong ini. Di kampungnya, ia anak pegawai negeri berada. Beberapa tahun lalu ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di sana. Entah bagaimana mulanya, sang pujaan hati begitu saja pergi. Ia ditinggalkan dalam keadaan bunting.

Menggugurkan kandungan terlalu kejam baginya. Ia rawat janin itu hingga terlahir ke alam dunia, meski tanpa gendongan hangat seorang bapak. Dengan segenap keberanian, Mentari pulang kampung. Alangkah kaget ibu bapak melihat anak gadisnya pulang menggendong jabang bayi. Tanpa suami pula. Ia tak lagi dianggap di tengah keluarga. Harga dirinya hancur dalam pandangan kerabat dan tetangga. Aduhai malang nian ia.

Merasa kasihan, seorang saudara dekat menawarkan diri untuk mengasuh bayi mungil tanpa dosa itu. Sedangkan Mentari sendiri merantau ke Yogyakarta, tanpa ada keinginan untuk kembali. Karena tak lagi mendapat kiriman dari rumah, ia bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan lagi-lagi, entah bagaimana bermula, seorang kawan menyeretnya ke pusaran prostitusi. Ya, di Sarkem ini.

Sudah terlanjur kotor, sekalian saja, katanya. Sebab pengkhianatan lelaki pujaan, penolakan keluarga, dan cemooh manusia, ia kategorikan dirinya sebagai manusia hina. Ia mengais nafkah dengan menjual diri. Dan di sini ia temukan ‘keluarga’ barunya.

~

“Sama sekali gak bikin nafsu. Malah ngeri,” celoteh Fatah sambil kraus-kraus mengunyah kacang bungkus. Jam satu dini hari, kami beristirahat di angkringan seberang PKU Muhammadiyah Kauman.

“Halah, itu kan karena kamu impoten!” seloroh Rijal, pemuda tambun level dua setelah Fatah. “Atau mungkin karena memang kamu belum terbiasa saja,” katanya sambil terus memangsa dua belas tusuk sate. Mengalahkan rekor enam tusuk sate pencapaian Pramono.

“Yaah, kalau aku malah risih di sana,” sambung Mukid dengan gayanya yang innocent, tak berdosa. “Aku risih karena nggak bawa duit. Padahal kalau mau main ‘kan setidaknya bawa lima puluh ya, hehe..”

Memang, kau bisa melampiaskan nafsu di tempat itu dengan kisaran tarif antara lima puluh sampai seratus lima puluh ribu untuk satu orang. Harga yang terjangkau bagi pelanggan. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, pegawai negeri, hingga dosen. Namun dari kunjungan singkat kami, tergambar jelas siapa pelaku dan penikmat bisnis ini.

Mereka adalah orang-orang frustasi. Mana ada wanita yang mau mengorbankan kehormatannya di atas ranjang dengan pria tak dikenal. Selain mereka yang terasing oleh saudara-saudaranya. Tertindas oleh himpitan tanggung jawab penyambung napas. Mana ada orang yang bersuka ria dan menikmati jasa hibur di tempat semacam itu jika bukan karena muak dengan kesehariannya. Bising dengan ceracau kehidupannya.

Dan juga orang-orang gila. Mana ada anak-anak muda yang mau berlarian di tengah malam, menembus hujan, kelaparan, kedinginan, terdampar di labirin gang lokalisasi, dan tak punya tujuan untuk menikmati cumbu pelukan. Selain pemuda-pemua goblok dan agak gila.

“Mereka tak akan berhenti di lorong itu, kuharap,” lanjut Talkhis, lagi-lagi agak filosofis, kali ini dalam keadaan kenyang. “Aku mungkin tak lebih mulia dari mereka. Harus terus berjalan melalui lorong gelap ini. Hingga pada akhirnya nanti berujung khusnul khotimah bersama mereka-mereka itu,” katanya. Wah, lumayan juga gembel satu ini.

Lokalisasi pelacuran adalah permasalahan kemanusiaan multikompleks. Meskipun begitu, tak ada masalah tanpa solusi. Suatu masalah tanpa solusi berarti ia bukan masalah sama sekali. Dan solusi untuk prostitusi tak bisa diincar dari satu atau dua sudut pandang saja. Kau tak akan bisa merumuskan penyelesaian hanya dari sudut pandang agama atau hukum perundang-undangan. Kau butuh lebih dari kepekaan sosial dan empati kemanusiaan.

Apa yang mereka lakoni memiliki latar belakang. Dengan latar belakang itu, mungkin kita yang terlanjur sering merasa suci ini bisa terjerumus dalam kubangan yang sama. Kami mencoba memahami itu, bukan untuk memaklumi atau meridhai. Bukan pula untuk membagi-bagi kategori manusia: si ini bejat si itu mulia. Apalagi mengentaskan, terlalu berat untuk kelas teri macam kami.

Empat belas abad yang lalu, Rasulullah, manusia suci pengabar kegembiraan dan penyampai peringatan pernah berujar;

“Ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”

Bagaimanapun kacau dan kotornya kita hari ini, semoga tidak berputus asa dan tidak pula membuat orang lain patah hati terhadap kasih sayang Ilahi. Menemui ujung hidup keduniawian kelak dalam indahnya pungkasan usia. Khusnul Khotimah.

[o]

Sabtu, 07 Desember 2013

Pemuja Mitos

Emper Burjo Glagahsari, Desember 2013 | Penyaji: Pramono
Makhluk-makhluk ganteng masih berkeliaran pada Jumat dini hari. Emper burjo di daerah Glagah menjadi semacam conference room bagi mereka untuk nDuduk Selingkar dan nyangkem, atau kerennya; diskusi santai.

“Mitos terbentuk atas kreasi orang-orang yang berkepentingan. Entah itu individual atau kolektif. Tujuannya pun beragam. Bisa komersil ataupun politis,” ujar Said, siswa ingusan di Sekolah Poker (Politik Kerakyatan), “Kalau contoh yang politis ya seperti kisah-kisah penitisan. Banyak kisah-kisah di berbagai penjuru bangsa bahwa si anu keturunan dewa ini, raja itu titisan dewa anu, dan sebagainya. Hal seperti itu sengaja dibentuk sebagai alat agar rakyat pada waktu itu menaruh kepercayaan penuh kepada pemimpinnya. Kraton punya bergudang mitos. Dalam perspektif modern, pernyataan-pernyataan presiden bisa jadi ternyata cuma mitos.” tuturnya dengan gaya yang khas memulai obrolan.

“Dan presiden jadi corong mitos kebangsaan terbesar begitu ya.. Apalagi kalo presidennya hobi galau dan curhat.. Hahaha..” tambah Talkhis, “Nama kita juga mitos kan? Ketika kita lahir ma’ ceprot dari rahim ibu, kita kan telanjang tanpa embel-embel apapun. Barulah kita disemati nama pilihan orang tua. Jono misalnya. Kemudian seiring waktu kita percaya, kita yakin, bahwa kita adalah Jono. Kemana-mana dan kepada siapapun kita bilang bahwa kita adalah Jono. Masalahnya, ketika bertemu orang lain di daerah lain yang sama sekali belum mengenal kita, belum berinteraksi, kita kehilangan identitas. Apakah menurut orang yang belum kenal kita ini masih Jono? Mereka bebas memanggil kita dengan sebutan apa saja tanpa harus meyakini bahwa kita adalah Jono. Iya, kan? Kita terjebak dalam mitos nama.”

Irfan menanggapi, “Tapi kan itu alat bantu identitas.. Dari mitos bisa berkembang menjadi sugesti. Seperti mitos di Wonosobo, anak gimbal harus dituruti segala keinginannya agar bisa sembuh dan normal lagi rambutnya, dari mitos ini muncul sugesti bagi para orang tua untuk menuruti keinginan anak-anaknya yang gimbal di sana. Begitu pula nama, mungkin memang mitos, tapi kan dari nama itu kemudian muncul sugesti, sehingga dikatakan bahwa nama itu doa. Iya to?”

“Lha iya memang,” sambung Miftah, “Mitos itu kan dibuat untuk memudahkan, mensugesti, ya semacam alat kontrol sosial begitulah. Nah ukurannya harus ditimbang dengan neraca ruang dan waktu. Seperti tragedi di Lawang Sewu dahulu, biar orang-orang ingat bahwa di sana pernah ada pembantaian, maka ditebarkanlah berbagai macam mitos tentang tempat itu. Dan di kemudian hari mitos itu nggak cuma jadi pengingat tetapi juga jadi pendatang pundi-pundi uang. Dan hal itu terjadi di banyak tempat maupun zaman, dan menguntungkan dari kacamata kapitalis. Ya mirip mitos-mitos di Alun-alun Kidul, kan mendatangkan fulus..”

“Tapi nek Lawang Sewu ncen angker tenan cuk! Berarti kalau mitos itu menguntungkan, nggak apa-apa gitu?” sambat Irfan.

 “Sik sik sik.. Ben cetho sik,” sela Pramono, “Jadi, mitos adalah anggapan-anggapan yang diakui oleh orang banyak tentang kebenaran suatu hal padahal belum tentu benar, gitu ya?”

“Ya begitulah. Iklan sabun kecantikan misalnya. Menebarkan mitos bahwa wanita cantik itu mereka yang berkulit putih dan dipercaya konsumen. Sehingga muncul ajaran bahwa ‘Putih itu Cantik’ atau ‘Cantik itu Putih’. Dari kasus ini, sabun-sabun semacam Shinzu’i itu yang diuntungkan. Maka mitos ini sebisa mungkin dipertahankan oleh produsen sabun pemutih,” terang Irfan.

“Iya iya paham. Lhah, lalu bagaimana dengan Tuhan? Wah, aku nggak berani bilang kalau Tuhan itu jangan-jangan juga mitos?” hentak Pramono.

“Hahaha.. Kalau ternyata agama, kitab suci, dan bahkan Tuhan itu mitos gimana Pram? Memangnya semua mitos itu jelek? Anggapan bahwa semua mitos itu jelek pun merupakan mitos. Mitos yang membangun tentu baik dan patut dipertahankan. Taruhlah kitab suci itu mitos, Tuhan itu mitos, tapi kan ajarannya menuntun manusia untuk menuju kebaikan, nah itu kan baik.” timpalku.

“Iya juga. Ada area hutan di Wonogiri yang penuh mitos, kata warganya, kalau babat hutan di situ maka simbaurekso hutan akan ngamuk. Dan ternyata itu efektif menjaga kelestarian hutan. Setelah beberapa tahun belakangan ada puritanisme agama yang menyudutkan adat istiadat setempat, orang-orang tidak lagi percaya kepada mitos itu, dan ironisnya, si hutan malah rusak,” tambah Said.

“Nah itu maksudku! Jadi, bagaimana kalau ternyata Tuhan pun mitos Pram?” tanyaku.

“Weh ora wani-wani aku..” bisik Pramono.

“Hahaha.. Maka dari itulah muncul upaya pembuktian,” sambungku, “Ada yang membuktikan secara rasional, ada pula yang menggunakan metode irrasional. Adanya belasan pasang sandal di luar rumah seakan-akan mengatakan bahwa pasti ada rombongan orang di dalam rumah, ada sandal highheels mengatakan ada wanita dalam rombongan itu. Adanya alam dengan berbagai macam keteraturannya sekan-akan meneriakkan bahwa ada Sang Pencipta dan Pengatur segala tatanan semesta raya. Itu upaya yang rasional, istilahnya ‘nadhor’ kalau dalam ilmu kalam. Adapula yang menggunakan metode lelaku batin, bukan dengan mikir-mikir, tapi dengan merasakan berbagai kepayahan dalam bentuk tirakat demi mencapai hakekat.”

“Jadi, lawan dari mitos itu hakekat? Kesejatian?” sela Irfan.

“Bisa jadi!” seru Mukid, “Seperti mengupas bawang. Menelaah mitos itu seperti mengupas kult ari bawang satu per satu hingga lepas semuanya. Di balik mitos ada mitos, kita kupas terus sehingga pada akhirnya kita temukan hakekat itu. Dan mitos itu tak selalu jelek dan tak selalu bagus. Kita harus benar-benar bisa memahami kepalsuan agar bisa menuju kesejatian. Wah itu berarti; mitos bukanlah musuh kesejatian, bukan lawan, hanya lapisan-lapisan tipis yang musti dikupas.”

“Nah itulah yang sedang dan harus selalu kita lakukan, proses memahami kepalsuan demi kepalsuan untuk menemukan kesejatian. Dan itu tak cuma pakai akal, harus disertai rasa. Meskipun tadi sempat mempertanyakan tentang Tuhan, aku yakin Dia senang menyaksikan anak-anak muda yang mau menggali kesejatian,” tanggap Talkhis.

Terakhir, diskusi ditutup dengan kutipan ungkapan Fakhruddin ar-Razi sang mufassir;

“Ujung kesungguhan akal manusia adalah keterbelengguan, dan kebanyakan upaya manusia justru menuju kesesatan. Kita tidak memperoleh apapun dari perbincangan kita di sepanjang usia, melainkan hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang.”

[o]