Sabtu, 07 Desember 2013

Pemuja Mitos

Emper Burjo Glagahsari, Desember 2013 | Penyaji: Pramono
Makhluk-makhluk ganteng masih berkeliaran pada Jumat dini hari. Emper burjo di daerah Glagah menjadi semacam conference room bagi mereka untuk nDuduk Selingkar dan nyangkem, atau kerennya; diskusi santai.

“Mitos terbentuk atas kreasi orang-orang yang berkepentingan. Entah itu individual atau kolektif. Tujuannya pun beragam. Bisa komersil ataupun politis,” ujar Said, siswa ingusan di Sekolah Poker (Politik Kerakyatan), “Kalau contoh yang politis ya seperti kisah-kisah penitisan. Banyak kisah-kisah di berbagai penjuru bangsa bahwa si anu keturunan dewa ini, raja itu titisan dewa anu, dan sebagainya. Hal seperti itu sengaja dibentuk sebagai alat agar rakyat pada waktu itu menaruh kepercayaan penuh kepada pemimpinnya. Kraton punya bergudang mitos. Dalam perspektif modern, pernyataan-pernyataan presiden bisa jadi ternyata cuma mitos.” tuturnya dengan gaya yang khas memulai obrolan.

“Dan presiden jadi corong mitos kebangsaan terbesar begitu ya.. Apalagi kalo presidennya hobi galau dan curhat.. Hahaha..” tambah Talkhis, “Nama kita juga mitos kan? Ketika kita lahir ma’ ceprot dari rahim ibu, kita kan telanjang tanpa embel-embel apapun. Barulah kita disemati nama pilihan orang tua. Jono misalnya. Kemudian seiring waktu kita percaya, kita yakin, bahwa kita adalah Jono. Kemana-mana dan kepada siapapun kita bilang bahwa kita adalah Jono. Masalahnya, ketika bertemu orang lain di daerah lain yang sama sekali belum mengenal kita, belum berinteraksi, kita kehilangan identitas. Apakah menurut orang yang belum kenal kita ini masih Jono? Mereka bebas memanggil kita dengan sebutan apa saja tanpa harus meyakini bahwa kita adalah Jono. Iya, kan? Kita terjebak dalam mitos nama.”

Irfan menanggapi, “Tapi kan itu alat bantu identitas.. Dari mitos bisa berkembang menjadi sugesti. Seperti mitos di Wonosobo, anak gimbal harus dituruti segala keinginannya agar bisa sembuh dan normal lagi rambutnya, dari mitos ini muncul sugesti bagi para orang tua untuk menuruti keinginan anak-anaknya yang gimbal di sana. Begitu pula nama, mungkin memang mitos, tapi kan dari nama itu kemudian muncul sugesti, sehingga dikatakan bahwa nama itu doa. Iya to?”

“Lha iya memang,” sambung Miftah, “Mitos itu kan dibuat untuk memudahkan, mensugesti, ya semacam alat kontrol sosial begitulah. Nah ukurannya harus ditimbang dengan neraca ruang dan waktu. Seperti tragedi di Lawang Sewu dahulu, biar orang-orang ingat bahwa di sana pernah ada pembantaian, maka ditebarkanlah berbagai macam mitos tentang tempat itu. Dan di kemudian hari mitos itu nggak cuma jadi pengingat tetapi juga jadi pendatang pundi-pundi uang. Dan hal itu terjadi di banyak tempat maupun zaman, dan menguntungkan dari kacamata kapitalis. Ya mirip mitos-mitos di Alun-alun Kidul, kan mendatangkan fulus..”

“Tapi nek Lawang Sewu ncen angker tenan cuk! Berarti kalau mitos itu menguntungkan, nggak apa-apa gitu?” sambat Irfan.

 “Sik sik sik.. Ben cetho sik,” sela Pramono, “Jadi, mitos adalah anggapan-anggapan yang diakui oleh orang banyak tentang kebenaran suatu hal padahal belum tentu benar, gitu ya?”

“Ya begitulah. Iklan sabun kecantikan misalnya. Menebarkan mitos bahwa wanita cantik itu mereka yang berkulit putih dan dipercaya konsumen. Sehingga muncul ajaran bahwa ‘Putih itu Cantik’ atau ‘Cantik itu Putih’. Dari kasus ini, sabun-sabun semacam Shinzu’i itu yang diuntungkan. Maka mitos ini sebisa mungkin dipertahankan oleh produsen sabun pemutih,” terang Irfan.

“Iya iya paham. Lhah, lalu bagaimana dengan Tuhan? Wah, aku nggak berani bilang kalau Tuhan itu jangan-jangan juga mitos?” hentak Pramono.

“Hahaha.. Kalau ternyata agama, kitab suci, dan bahkan Tuhan itu mitos gimana Pram? Memangnya semua mitos itu jelek? Anggapan bahwa semua mitos itu jelek pun merupakan mitos. Mitos yang membangun tentu baik dan patut dipertahankan. Taruhlah kitab suci itu mitos, Tuhan itu mitos, tapi kan ajarannya menuntun manusia untuk menuju kebaikan, nah itu kan baik.” timpalku.

“Iya juga. Ada area hutan di Wonogiri yang penuh mitos, kata warganya, kalau babat hutan di situ maka simbaurekso hutan akan ngamuk. Dan ternyata itu efektif menjaga kelestarian hutan. Setelah beberapa tahun belakangan ada puritanisme agama yang menyudutkan adat istiadat setempat, orang-orang tidak lagi percaya kepada mitos itu, dan ironisnya, si hutan malah rusak,” tambah Said.

“Nah itu maksudku! Jadi, bagaimana kalau ternyata Tuhan pun mitos Pram?” tanyaku.

“Weh ora wani-wani aku..” bisik Pramono.

“Hahaha.. Maka dari itulah muncul upaya pembuktian,” sambungku, “Ada yang membuktikan secara rasional, ada pula yang menggunakan metode irrasional. Adanya belasan pasang sandal di luar rumah seakan-akan mengatakan bahwa pasti ada rombongan orang di dalam rumah, ada sandal highheels mengatakan ada wanita dalam rombongan itu. Adanya alam dengan berbagai macam keteraturannya sekan-akan meneriakkan bahwa ada Sang Pencipta dan Pengatur segala tatanan semesta raya. Itu upaya yang rasional, istilahnya ‘nadhor’ kalau dalam ilmu kalam. Adapula yang menggunakan metode lelaku batin, bukan dengan mikir-mikir, tapi dengan merasakan berbagai kepayahan dalam bentuk tirakat demi mencapai hakekat.”

“Jadi, lawan dari mitos itu hakekat? Kesejatian?” sela Irfan.

“Bisa jadi!” seru Mukid, “Seperti mengupas bawang. Menelaah mitos itu seperti mengupas kult ari bawang satu per satu hingga lepas semuanya. Di balik mitos ada mitos, kita kupas terus sehingga pada akhirnya kita temukan hakekat itu. Dan mitos itu tak selalu jelek dan tak selalu bagus. Kita harus benar-benar bisa memahami kepalsuan agar bisa menuju kesejatian. Wah itu berarti; mitos bukanlah musuh kesejatian, bukan lawan, hanya lapisan-lapisan tipis yang musti dikupas.”

“Nah itulah yang sedang dan harus selalu kita lakukan, proses memahami kepalsuan demi kepalsuan untuk menemukan kesejatian. Dan itu tak cuma pakai akal, harus disertai rasa. Meskipun tadi sempat mempertanyakan tentang Tuhan, aku yakin Dia senang menyaksikan anak-anak muda yang mau menggali kesejatian,” tanggap Talkhis.

Terakhir, diskusi ditutup dengan kutipan ungkapan Fakhruddin ar-Razi sang mufassir;

“Ujung kesungguhan akal manusia adalah keterbelengguan, dan kebanyakan upaya manusia justru menuju kesesatan. Kita tidak memperoleh apapun dari perbincangan kita di sepanjang usia, melainkan hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang.”

[o]

0 komentar:

Posting Komentar