Rabu, 14 November 2012

Pendidikan Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Rabu 14 November 2012 | Penyaji: Jaka Brontosaurus
Pada masa kebangkitan aliran filsafat empirisme di Inggris, filsuf John Locke mengemukakan konsep Tabula Rasa atau “wadah kosong”, sebagai ilustrasi sistem pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia diandaikan sebagai wadah yang awalnya kosong, dan akhirnya menjadi pengetahuan utuh setelah diisi oleh beragam realitas empirik. Namun dengan demikian kemanusiaan terberangus. Potensi individu terabaikan karena semua diandaikan berangkat dari satu garis yang sama; wadah kosong.
Padahal pendidikan adalah suatu ide yang luar biasa dan agung. Filsuf besar Inggris abad 20, Betrand Russel, berujar;

“Pendidikan dimaksudkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuan yang diperoleh dengan kecerdasan. Supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan dan keadilan pada sesama. Akhirnya ia mampu mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk memperoleh proyek-proyek kemanusiaan dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit.”

Salah satu pengaruh konsep tabula rasa masih mengemuka dalam realitas pendidikan kontemporer saat ini. Manifestasinya adalah konsep pendidikan model bank. Peserta didik diandaikan tidak tahu apa-apa dan harus menerima limpahan pengetahuan yang luar biasa banyak. Urusan ia bisa memanfaatkannya atau tidak nanti, itu soal belakangan. Hal itu masih menjadi praktik lazim saat ini, termasuk di negara kita, dengan varian kasus yang luar biasa. Bimbel termasuk salah satu contoh kasus adopsi buta pendidikan ala bank. Tentor memberikan materi cara mengerjakan soal, kita memperhatikan dengan seksama. Pendidikan yang efektif untuk mengerjakan soal dan betul-betul beraroma bank karena sangat transaksional. Saya membayar dan tolong ajarkan saya cara lulus ujian.

Mazhab pendidikan konservatif mementingkan adanya proses adaptif dari peserta didik sebelum masuk ke dalam struktur sosial yang sudah mapan. Emile Durkheim menganjurkan pendidikan dikelola oleh negara untuk mentransmisikan nilai moral utama. Max Weber mengemukakan tesis bahwa peran pendidikan merupakan wahana seleksi sosial bagi peserta didik sebelum terjun ke dalam struktur sosial masyarakat, ia menekankan pentingnya konsep ujian bagi peserta didik.

Pemikir pendidikan konservatif menganggap bahwa pendidikan merupakan arena bebas kepentingan dan murni diisi kepentingan akademis. Unsur bebas nilai. Lalu timbul arus pemikiran baru, yaitu mazhab pendidikan liberal-humanis. Sebagai tokohnya adalah Paulo Freire, pedagog asal Brazil. Menurut aliran ini, pendidikan tidak netral, ia dicampuri kepentingan sistem yang lebih besar.

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif." katanya.

Proyek pendidikan Freire tidak hanya berkutat pada aras kesadaran kritis semata, namun juga mencakup usaha penyadaran secara riil. Sebelum mencapai kebebasan seutuhnya, peserta didik harus disadarkan (dibebaskan) dari realitas yang menindas.

Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.

Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.

Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.

~

Freire memperkenalkan metode pendidikan yang disebut dengan Pendidikan Dialogis. Otoritas guru yang selalu satu arah diberangus dengan konsep “guru sekaligus murid” dan “murid sekaligus guru”. Dialog ini berusaha secara revolusioner mengubah konsep relasi berjarak anata guru dan murid dalam struktur pendidikan formal sejak jaman Yunani Kuno.

Karena itulah unsur dialog sangat penting bagi Freire. Terdapat suatu dinamika dialektis antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya adalah dengan menyadarkan pendidik maupun peserta didik agar dapat berani bertindak dan mengubah situasi mereka.

Menurut Freire, kebiasaan “patuh” (atau dalam bahasa lainnya “adaptif” seperti yang menjdi tujuan pendidikan konservatif) mendorong manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas, bukan untuk berintegrasi. Konsep “integrasi” inilah yang merupakan konsep utama dari pendidikan liberal-humanis.

Integrasi merupakan tindakan khas dari rezim demokratis yang fleksibel menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Lawannya adalah “adaptasi”, yakni menyesuaikan diri terhadap kebiasaan yang dipaksakan, dengan demikian menuntut suatu kerangka berpikir yang otoriter serta tidak kritis.

Ketika pendidikan (formal) dan segala macam sistem birokrasi pengelolaannya menjadi 'pabrik' aparatus pemerintah, atau ketika itu semua menjadi toa bagi segala macam ideologi pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan hanya sekedar menjadi pabrik tenaga kerja robotik sebagaimana politik balas jasa ala kolonial dahulu, atau hanya sebagai media doktrinisasi kebijakan sebagaimana era orde baru. Bukan benar-benar untuk mengais ilmu dan 'membuka gerbang chi' alias menggali potensi peserta didik, maka pendidikan justru akan menjadi liang pembodohan.

Jangan-jangan benar kata Voltaire; "I was born intelligent, but education ruined me. Aku terlahir cerdas, namun pendidikan merusakku."

Nah, diskusi semacam Selingkar adalah salah satu sarana untuk mendeteksi apakah kita sedang benar-benar terdidik ataukah justru sedang dibodohi, apakah kita telah peka terhadap realita sosial ataukah buta tuli sama sekali.

Jika ditakar dengan pernyataan Freire;

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif."

Tanggapan penDuduk Selingkar;

Sayd Nursiba: “Kata pembebasan adalah menuju pada pengikatan. Dari sistem lama kita mencoba sistem baru yang lebih adil namun esensinya sama saja yaitu pengikatan sistem lagi. Jika sistem baru itu muncul problem maka ada istilah pembebasan lagi. Pada akhirnya mengalami kejemuan dalam sistem yang terus berganti. Nah jika Voltaire mengatakan aku terlahir bebas dan pendidikan yang merusakku maka mengindikasikan adanya pendidikan atau sistem yang menurut Voltaire benar. Singkatnya, pembebasan sama saja dengan keterikatan, hahaha. Lalu apa kebebasan pendidikan yang dapat menciptakan kepedulian sosial? Monggo dirembuk lagi. Hahaha.”

Zainal Muhidin: “Waah, disuruh mendeteksi bahwa kita sedang sakit atau tidak? Terus disuruh cari obatnya, waah.. susah lah, aku mikir diriku sendiri aja jarang dan bingung, hahaha. Jadi penting nggak siiiih pendidikan formal?

Kalau sekolah formal dianggap tidak mendidik lagi untuk apa sekolah?  Kalau sekolah formal hanya jadi kandang sapi dan setelah gemuk akan diperas susunya kemudian dikonsumsi dagingnya, tanpa sapi tahu siapa dirinya, lalu apa untungnya bagi sapi itu? Tapi ingat! Manusia bukan sapi, hahaha, makanya kalau kita jadi manusia ya jangan kayak sapi.

Artinya, berpikir penuh kesadaran di sini menjadi penting. Tentang diri kita, tentang apa yang kita lakukan, tentang ruang dan waktu yang sedang kita singgahi. Dari berpikir itu mungkin bisa menimbulkan kesadaran. Kesadaran yang akan menggerakkan orang itu di manapun dan kapanpun. Kesadaran yang membuatnya tahu harus apa dan bagaimana dalam menyikapi realita.

Jadi janganlah terlalu menganggap penting sekolah, jangan juga meremehkannya. Biasa wae, karena tidak hanya sekolah yang mendidik kita, Men! Bukan hanya Sekolah yang bisa membuat manusia menjadi manusia. Keluarga, teman, lingkungan, kehidupan, dan diri kita sendiri adalah pendidik bagi kita yang memerdekakan dan membebaskan kita. Dari apa? dari ketidakperikemanusiaan. Hahaha.. (aku nulis iki karo misuh-misuh, sebenere aku isin ro awakku dewe, hahahaha)”

Bastian Ev: “Sakitkah pendidikan kita? Mungkin, tapi sinting iya. buktinya makin bnyk mahasiswa lulus (baca: orang terpelajar, beradab, barokah wa halal.. he) Indonesia tetep aja gak turun peringkat korupsinya.

Cara mengatasinya: hampir mustahil untuk mengubah, toh saya sendiri juga kuliah di kampus pemerintah. Kita bikin enjoy aja kale, kita percantik pendidikan yang sudah ada sekarang ini, banyak hal kecil yang masih bisa kita lakukan, toh pendidikan Indonesia juga gak buruk-buruk amat. Masih ada profesor-profesor yang sip laah.

Mungkin pendidikan Indonesia lagi meriang aja, atau masih malu-malu mau jalan-jalan ke mana. Emmm, kita percantik aja pendidikan, hal kecil aja. Kan dia gak pede, ayo deh kita pasangin bros "RPP" di jilbabnya, kita buatin bros "RPP" yang bener wa shohih wa barokah wa halal wa rohmah wa no watoniah, hehehe. Kalau masih malu-malu, jangan-jangan karena kita, oke deh, pake facial wash, baca buku tiap pekan sesuai keilmuan kita masing-masing.

Eee, pipinya merona merah, tapi pendidikan msh malu nih, gandeng aja kalee. Diteriakin muke gile lu ya, ga usah direspon. Gandeng tangannya dengan cara; membesarkan hati setiap murid kita, hal kecil sekali. Tapi dari keinginan hatilah Ikal dari pedalaman Sumatera, Bangka Belitong bisa ke Perancis, Fuadi yang anak pondok bisa ke Kanada, Dahlan Iskan yang dulu tidak punya sepatu sekarang kalo mau beli pabrik sepatu aja bisa.

Besarkan hati murid-murid kita besok. Nah, tuh gue bilang juge ape? Mau kan si pendidikan jalan same kite. Tuh cantiknya. Absurd yo? Hahahaha.”

Irfan Mashuri: “Coba kita cermati pendidikan pembebasan ala Paulo Freire dengan pendidikan indonesia ala Ki Hajar Dewantara. Pemikiran apa yang dituangkan oleh kedua tokoh tersebut tentang pendidikan?”

Sayd Nursiba: “Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik kepada yang dididik untuk mencapai tujuan, jika tujuan dalam konteks di atas adalah kepedulian sosial, maka cabang tujuan pendidikan adalah kepedulian sosial. Nah pendidik adalah subjek pendidikan. Paradigma pendidikan yang berpusat pada peserta didik mengartikan bahwa peserta didik harus juga bisa menjadi subjek. Transformasi ini membentuk pendidikan dimana pendidik harus bisa mengembangkan potensi peserta didik dimana peserta didik harus menjadi subjek selain menjadi objek pendidikan untuk mencpai bagian pendidikan yaitu kepedulian sosial.

Setiap manusia memiliki tugas ada yang ahli akuntansi, ahli matematika, guru, marketing, tidak lain sumber keahlian itu bekal yang diberikan dari lembaga formal. Jika pendidikan formal hanya mampu menciptakan robot-robot berwujud manusia yang tidak peduli pada penderitaan sosial dapat dikatakan sebuah kegagalan pendidikan. Mari kita lihat dari sisi politik sistem politik kapitalis yang memaksa produk pendidikan formal untk memenuhi lapangan pekerjaan. Sadar dan tidak sadar mereka dialihkan memenuhi jam kerja, seperti berangkat pagi pulang malam yang menyebabkan hidup mereka hanya untk kerja/uang atau dengan istilah: krisis manusia modern.

Di sisi lain, manusia yang tidak dapat pekerjaan namun mereka sebenarnya mampu bekerja dikarenakan keterbatasan kuota lapangan pekerjaan menyebabkan kemiskinan masal. Yah bagaimana tidak? Lha wong mereka tidak bekerja mau dapat hasil darimana? Huhuhu.

Betewe, kalau saya ngomong banyak bisa jadi buku iki. Tak persingkat saja. Solusinya perlunya sistem politik yang bisa menyamaratakan kualitas hidup atau meminimalisir kesenjangan sosial. Jika kekuatan ini terpenuhi maka sudah jadi tugas negara memberikan kepedulian sosial baik kesehatan, ekonomi, pendidikan, yang terjamin bagi seluruh warga negara dimana kerjaan negara selalu dapat terpantau oleh masyarakat. Hahaha.”

Irfan Mashuri: “Kata pendidikan mempunyai peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, peran pendidikan acap kali bergaya kolosal yakni sering dianggap mencerdaskan saja bukan membuat manusia yang beradab. Nah disini pendidikan harus menjadi gaya konvensional, artinya pendidikan harus mempunyai tendensi terhadap dua objek adalah pendidikan membentuk karakter/kepribadian berdasarkan budaya yang ada dan membentuk manusia yang cerdas sehingga menjadikan bangsa negara yang beradab. Kata beradablah yang membuat suatu bangsa itu menjadi barakhlak, berbudaya dan berilmu. (terinspirasi dari pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara)”

Ichsan W. Saputro: “Singkat ae lah, masing-masing kalian telah memiliki maklumat. bukan orang-orang miskin argumen, jadi tanpa prolog (nek jare Anjy).

Bagi saya, pendidikan itu tidak selalu membebaskan. Hanya karena Freire dalam kondisi sebuah tekanan, jadi harus muncul antitesisnya yaitu sebuah pembebasan. Pembebasanpun akhirnya diartikan bermacam-macam. Lalu siapa yang layak mendefinisikan kebebasan dan pembebasan?

Bagi para pengemban ideologi kapitalis, pendidikan saat ini telah sesuai (untuk mendukung kebijakan kapitalistiknya), berbeda lagi dengan dedengkot ideologi sosialis yang antitesis (dari kapitalis), berbeda lagi dengan Islam dalam menyajikan pemaparannya mengenai pendidikan.

Conclude: Menurut hemat saya, pendidikan berjalan sebagaimana sebuah hegemoni dari ideologi negara. Ya, negara yang benar-benar negara. Negara yang berkuasa atas pendidikannya.”

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Ngebul ae lah, masing-masing kalian telah memiliki udut sak lencer, bukan orang-orang miskin uang, jadi tanpa bungkus (nek jare Zia Ul ). Jadi begini Naak, semua dapat mendefinisikan kebebasan atau pembebasan, semua dapat menafsirkan masing masing dan memberi plat kebebasan dan pembebasan(tinggal bagaimana kita menghargai plat tersebut). Sebab hati itu bebas. Ia merdeka memilih kemana ingin melabuh rasa dan mencipta bahagia dengan pendidikan. Pendidikan jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Cuk matane! Sepaneng tenan cuk cuk!”

Sayd Nursiba: “Betul Rasyid, haha, ho'oh itulah yang dinamakan kejemuan berfikir kapitalis dijawab sosialis kemudian dijawab lagi oleh liberalis lalu muter lagi. Pusing. Hahaha. Siapa ya Yang Maha Mendidik?”

Anji Fathunaja: “Iya, pemikiran Paulo menurutku emang terikat dengan keadaan pendidikan pada masa itu. sehingga tidak bisa dipaksa diterapkan di era modern yang jelas berbeda keadaannya. Tapi apa yang kamu maksud dengan negara yang benar-benar negara, Rasyid? Jangan-jangan itu lagi. Haduh..”

Zia Ul Haq: “Yup, sepakat. Ide Freire tentu ada sababul wurudnya, sebagaimana kemunculan ide Asghar Ali, Ibn Taymiyah, maupun ide-ide lain. Tak lepas dari kondisi dan situasi sosial saat itu. Makanya, dalam diskusi kemarin-kemarin, kita mencoba membaca hubungan antara konteks dengan gagasan yang Freire (atau tokoh-tokoh lain) kemukakan. Dengan harapan bisa memahami pola pikir maupun pola aksi dalam merespon suatu fenomena sosial yang patut dikritisi dengan hati-hati.”

Ichsan W. Saputro: “Iya Andjy Naja, lha wes ngerti takon. Hahaha. Tapi bukan begitu maksudnya, secara umum, negara yang benar negara dan menguasai ki negorone bener-bener nduwe ideologi yang diterapkan gitu lho di negaranya sendiri dan bisa disebarkan di negara orang lain juga. Koyo Amrik sing ideologine kapitalis, Soviet (ndhisik) sing ideologine sosialis, siji meneh zaman emas abad pertengahan kae.

Bagi saya 3 itulah yang benar-benar negara, dia berdaulat atas sistem pendidikannya (dan sistem lain tentunya). Ora mengadopsi dari sistem lain gitu lho. Nek misal ngene: Pancasila dianggap sebagai sebuah ideologi harusnya ada sistem pendidikan Pancasila, sistem ekonomi Pancasila, sistem pergaulan Pancasila, sistem politik Pancasila dan sebagainya. nek belum bisa menguasai sistem-sistem itu sendiri, menurut hemat saya negarane masih auto-pilot.”

Zia Ul Haq: “Menurut hemat saya; negara ini emang sudah gagal. That's all sodara-sodara.”

[o]

Kamis, 01 November 2012

Teologi Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis, 1 November 2012 | Penyaji: Yasin Syafi’i Azami

Suasana kehidupan di masa Asghar Ali setidaknya bisa digambarkan dalam dua hal. Pertama, keadaan keagamaan yang cenderung terjadi ‘perceraian’ antara akal dan wahyu. Pengembaraan akal yang terlalu bebas tanpa tuntunan wahyu, serta pengamalan wahyu yang sekedar ritual tanpa penelaahan kritis dengan akal.

Kedua, realita sosial. Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal  adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras (Syi’ah Isma’iliyyah). Sewaktu belajar Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan Bahasa Arab, ia juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.

Ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang teknik sipil dari Vikram University, Madhya Pradesh. Selama 20 tahun ia sempat menjadi pegawai Kota Mumbay sampai memilih menjadi aktivis gerakan Bohra pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993  ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama).

Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar relijius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang relijius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut relijius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang relijius, adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.

Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemudian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif.

Menurutnya, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah

Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu

Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif

Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat dan justru menjadi sumber konflik.

Spirit Pembebasan dalam Islam

Asghar Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan. Upaya revitalisasi dan perumusan itu dia dasarkan pada dua hal.

Pertama, berdasarkan pada analisis kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad. Dalam hal ini keyakinan Asghar terhadap nabi Muhamad sama dengan keyakinan penganut Teologi Pembebasan di Amerika Latin terhadap Yesus. Nabi Muhamad lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran Nabi Muhamad ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu.

Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu  berada pada tempat yang sangat rendah.

Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender.

Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.

Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru saja terjadi, Asghar mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi, terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad yang lalu.

Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia

Pada zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab dikenal fanatik terhadap suku mereka. Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang rendah orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi lainnya, perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku, warna kulit, merdeka atau hamba sahaya

Selain itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia berasal dari satu keturunan yang sama. Tidak ada yang lebih mulia satu dari lainnya berdasarkan etnis, suku ataupun warna kulitKemulian itu hanya bisa dicapai lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an menyatakan:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-hujurat: 13).

Ayat di atas diperuntukkan tidak hanya bagi orang Arab, tetapi bagi seluruh umat manusia.  Dewasa ini, persoalan kesetaraan umat manusia masih menjadi persoalan dunia. Rasisme masih menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga PBB perlu untuk meneguhkan ide-ide persamaan ini.

Pembebasan dari Ketidakadilan Jender

Pada zaman Nabi, untuk pertama kalinya perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang sebelumnya tak terbayangkan. Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat yang sangat lemah. Nabi menetapkan, perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak milik sendiri, bisa menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi lain, poligini yang sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas dilarang.

Selain itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan masyarakat terhadap anak perempuan. Jika sebelumnya masyarakat Arab mempunyai tradisi mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi kemudian melarang tradisi itu sekaligus merubah stigma negatif terhadap anak perempuan.

Selain itu, Islam juga memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak untuk memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk terlibat aktif pada urusan publik. Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik Negara-negara yang mengatasnamakan Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.

Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi

Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam Al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran.

Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara, teerutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.

Satu praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi ekonomi tersebut.

Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif ini sampai sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan Negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.

Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.

Akan tetapi ia belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme. Untuk konteks sekarang ada banyak contoh dari Amerika Latin yang secara kebetulan merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana kapitalisme mendapat goyangan yang cukup hebat karena semakin banyaknya tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden. Mereka kemudian membawa negaranya beralih ke sistem yang popular dengan sebutan ‘neo-sosialisme’ yang merupakan revisi dari sosialisme yang dinilai kurang mampu membawa kemakmuran.

Kesimpulan

Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah.

Asghar Ali tidak menolak jika itu ditujukan pada Agama Islam. Satu sisi ia melihat teologi Islam yang ada memang lebih banyak berbicara tentan Tuhan dalam dirinya sendiri dan persoalan-persoalan eskatologis. Akan tetapi pada sisi lain Asghar berpandangan bahwa Islam juga mempunyai nilai-nilai pembebasan yang revolusioner.

Dalam kerangka ini, Asghar mencoba merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam untuk merumuskan Teologi Pembebasan. Upaya ini dilakukan Asghar dengan dua cara, pertama melakukan analisis sejarah atas praktik-praktik pembebasan yang dilakukan oleh nabi. Kedua dengan menggali nilai-nilai pembebasan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pembebasan budak, kesetaraan manusia, keadilan ekonomi, dan ayat-ayat pembebasan lainnya. Upaya ini dilakukan dengan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman.

Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara.  Kedua, pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga, pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.

~

Dalam diskusi santai ini, Yasin menekankan, bahwa tujuan diutusnya sesosok nabi di tengah umat adalah untuk; Menyatakan kebenaran, melawan kepalsuan dan penindasan, serta membangun komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang.

Sedangkan Asghar Ali melandaskan ide pergerakannya kepada tiga hal di atas. Tauhid atau keyakinan yang lurus menurut beliau adalah keyakinan yang kuat kepada Khaliq, sehingga menumbuhkan kecintaan kepada makhluk dan menggerakkan seseorang untuk berbagi dalam hal apapun secara sosial. Jihad, menurut beliau, tidak hanya berbentuk perang fisik angkat senjata di medan laga, tetapi juga berupa perjuangan minoritas, pengentasan kemiskinan dan aksi sosialis semisalnya.

Bahkan, orang yang nampak saleh secara ritual, percaya kepada Tuhan tetapi tidak peka secara sosial, tidak turut peduli dengan penderitaan masyarakat, maka dia termasuk kafir.

Gelar “Kafir” yang dimaksudkan di sini, menurut pemahaman Yasin, bukanlah orang yang tidak mengakui eksistensi Tuhan, melainkan pelaku sikap Kufur yang menjadi kebalikan dari sikap Syukur. Hal ini adalah konsekuensi dari ayat Wa in syakartum la aziidannakum a in kafartum inna ‘adzaabii la syadiid.

“Maka, orang yang tidak peduli dengan penderitaan sosial adalah kafir nikmat, karena dia telah kufur dengan nikmat Allah berupa keluangan, energi, daya pikir, serta segala hal yang tidak mampu dia hitung. Wa in ta’udduu ni’matallohi laa tukhshuuhaa.” Demikian Yasin menjelaskan.

Zainal Muhidin membandingkan antara prinsip pembebasan yang diusung Marxisme dengan teologi pembebasan ala Asghar Ali. Jika Marx menyalahkan agama sekaligus tanpa pemenara terhadapnya, sehingga menyatakan bahwa agama adalah sumber konflik, sedangkan Asghar Ali tidak hanya menelajangi kekurangan-kekurangan praktek pemeluk agama tetapi juga menunjukkan idealisme yang sebenarnya menjadi nilai-nilai dasar agama.

Selanjutnya muncul pertanyaan dari Ami, untuk mewujudkan pembebasan yang dimaksud, apa sebenarnya prioritas utama dalam pendidikan Islam? Kognitif kah? Psikomotor atau Afektif?

Semuanya prioritas, jawab Lutfi Hakim, karena semua sisi harus dikembangkan. Namun, jika melihat keadaan sekarag, maka aspek yang harus diperhatikan ekstra adalah psikomotorik dan afektif yang berporos kepada aksi, agar bisa mendongkrak kesejahteraan sosial.

Sama tapi berbeda gagasan yang diungkapkan Sayd Vandyas, menurutnya, terlepas dari istilah pendidikan di atas (kognitif-afektif-psiokomotor), aspek yang harus diprioritaskan di dalam pendidikan Islam adalah al-Iman dan al-‘Amalu as-Shalih yakni transendensi dan aksi. Kekuatan mental dan keyakinan teologis yang diikuti dengan amal saleh. Dua hal inilah yang harus menjadi prioritas utama di dalam pendidikan Islam, yakni bagaimana membentuk pribadi yang kuat keyakinannya sekaligus mensalehi setiap perbuatannya. Teologi adalah keyakinan, Pembebasan adalah aksi nyata kesalehan.

Seperti biasa, diskusi santai tematik Duduk Selingkar menyimpulkan bagaimana aplikasi tema yang sudah dibahas. Satu pertanyaan terakhir dari Zainal; “Apa aspek yang harus kita bebaskan di negeri ini? Atau setidaknya ya di lingkungan sekitar kita?”

Suatu pertanyaan sederhana yang memancing bermacam-macam buncahan pendapat. Ditilik dari berbagai permasalahan yang menjangkiti negeri ini, tentu harus ada hal pokok yang musti segera dibebaskan. Lalu hal apakah itu? Dari jawaban-jawaban yang mengemuka, dapat dilihat benang merahnya, yakni; diri sendiri. Ya. Untuk melakukan suatu perubahan, baik dalam skala sempit maupun luas, maka hal yang harus segera dibebaskan adalah diri kita sendiri.

Karena yang dibicarakan adalah Teologi Pembebasan, maka hal pertama yang harus dibebaskan adalah diri sendiri dengan kesadaran penuh bahwa kehidupan ini semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang berhak menguasai diri kita adalah Dia, bukan siapapun selain-Nya termasuk diri kita sendiri. Maka tugas pembebasan haruslah sejalan dengan nilai-nilai yang sudah diajarkan-Nya melalui para utusan yang mulia.

Inilah pembebasan dari belenggu hawa nafsu. Ami menambahkan; “Bagi saya, bentuk aplikasi Teologi Pembebasan adalah ketika kita bisa jujur terhadap diri kita sendiri, memerdekakan diri kita dari penjajahan diri kita sendiri, sehingga akan menjaga diri agar tidak terperosok dalam kedurhakaan, dosa, maupun kelaliman. Maka kita akan merasakan kebebasan yang orang lain pun belum tentu bisa merasakannya."

Setelah diskusi ditutup, Irfan Wahyu Adi Pradana menepati janjinya dengan membagi-bagikan empat eksemplar buku gratis. Membuka buku baru dengan menyobek sampul plastik, menurutnya, adalah ritual di forum ini. Masing-masing peserta menorehkan ucapan dan cita-citanya di halaman sampul buku-buku yang masih perawan itu.

[o]