Rabu, 14 November 2012

Pendidikan Pembebasan

Trotoar Kantin Tarbiyah, Rabu 14 November 2012 | Penyaji: Jaka Brontosaurus
Pada masa kebangkitan aliran filsafat empirisme di Inggris, filsuf John Locke mengemukakan konsep Tabula Rasa atau “wadah kosong”, sebagai ilustrasi sistem pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia diandaikan sebagai wadah yang awalnya kosong, dan akhirnya menjadi pengetahuan utuh setelah diisi oleh beragam realitas empirik. Namun dengan demikian kemanusiaan terberangus. Potensi individu terabaikan karena semua diandaikan berangkat dari satu garis yang sama; wadah kosong.
Padahal pendidikan adalah suatu ide yang luar biasa dan agung. Filsuf besar Inggris abad 20, Betrand Russel, berujar;

“Pendidikan dimaksudkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuan yang diperoleh dengan kecerdasan. Supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan dan keadilan pada sesama. Akhirnya ia mampu mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk memperoleh proyek-proyek kemanusiaan dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit.”

Salah satu pengaruh konsep tabula rasa masih mengemuka dalam realitas pendidikan kontemporer saat ini. Manifestasinya adalah konsep pendidikan model bank. Peserta didik diandaikan tidak tahu apa-apa dan harus menerima limpahan pengetahuan yang luar biasa banyak. Urusan ia bisa memanfaatkannya atau tidak nanti, itu soal belakangan. Hal itu masih menjadi praktik lazim saat ini, termasuk di negara kita, dengan varian kasus yang luar biasa. Bimbel termasuk salah satu contoh kasus adopsi buta pendidikan ala bank. Tentor memberikan materi cara mengerjakan soal, kita memperhatikan dengan seksama. Pendidikan yang efektif untuk mengerjakan soal dan betul-betul beraroma bank karena sangat transaksional. Saya membayar dan tolong ajarkan saya cara lulus ujian.

Mazhab pendidikan konservatif mementingkan adanya proses adaptif dari peserta didik sebelum masuk ke dalam struktur sosial yang sudah mapan. Emile Durkheim menganjurkan pendidikan dikelola oleh negara untuk mentransmisikan nilai moral utama. Max Weber mengemukakan tesis bahwa peran pendidikan merupakan wahana seleksi sosial bagi peserta didik sebelum terjun ke dalam struktur sosial masyarakat, ia menekankan pentingnya konsep ujian bagi peserta didik.

Pemikir pendidikan konservatif menganggap bahwa pendidikan merupakan arena bebas kepentingan dan murni diisi kepentingan akademis. Unsur bebas nilai. Lalu timbul arus pemikiran baru, yaitu mazhab pendidikan liberal-humanis. Sebagai tokohnya adalah Paulo Freire, pedagog asal Brazil. Menurut aliran ini, pendidikan tidak netral, ia dicampuri kepentingan sistem yang lebih besar.

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif." katanya.

Proyek pendidikan Freire tidak hanya berkutat pada aras kesadaran kritis semata, namun juga mencakup usaha penyadaran secara riil. Sebelum mencapai kebebasan seutuhnya, peserta didik harus disadarkan (dibebaskan) dari realitas yang menindas.

Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.

Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.

Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.

~

Freire memperkenalkan metode pendidikan yang disebut dengan Pendidikan Dialogis. Otoritas guru yang selalu satu arah diberangus dengan konsep “guru sekaligus murid” dan “murid sekaligus guru”. Dialog ini berusaha secara revolusioner mengubah konsep relasi berjarak anata guru dan murid dalam struktur pendidikan formal sejak jaman Yunani Kuno.

Karena itulah unsur dialog sangat penting bagi Freire. Terdapat suatu dinamika dialektis antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya adalah dengan menyadarkan pendidik maupun peserta didik agar dapat berani bertindak dan mengubah situasi mereka.

Menurut Freire, kebiasaan “patuh” (atau dalam bahasa lainnya “adaptif” seperti yang menjdi tujuan pendidikan konservatif) mendorong manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas, bukan untuk berintegrasi. Konsep “integrasi” inilah yang merupakan konsep utama dari pendidikan liberal-humanis.

Integrasi merupakan tindakan khas dari rezim demokratis yang fleksibel menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Lawannya adalah “adaptasi”, yakni menyesuaikan diri terhadap kebiasaan yang dipaksakan, dengan demikian menuntut suatu kerangka berpikir yang otoriter serta tidak kritis.

Ketika pendidikan (formal) dan segala macam sistem birokrasi pengelolaannya menjadi 'pabrik' aparatus pemerintah, atau ketika itu semua menjadi toa bagi segala macam ideologi pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan hanya sekedar menjadi pabrik tenaga kerja robotik sebagaimana politik balas jasa ala kolonial dahulu, atau hanya sebagai media doktrinisasi kebijakan sebagaimana era orde baru. Bukan benar-benar untuk mengais ilmu dan 'membuka gerbang chi' alias menggali potensi peserta didik, maka pendidikan justru akan menjadi liang pembodohan.

Jangan-jangan benar kata Voltaire; "I was born intelligent, but education ruined me. Aku terlahir cerdas, namun pendidikan merusakku."

Nah, diskusi semacam Selingkar adalah salah satu sarana untuk mendeteksi apakah kita sedang benar-benar terdidik ataukah justru sedang dibodohi, apakah kita telah peka terhadap realita sosial ataukah buta tuli sama sekali.

Jika ditakar dengan pernyataan Freire;

"Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif."

Tanggapan penDuduk Selingkar;

Sayd Nursiba: “Kata pembebasan adalah menuju pada pengikatan. Dari sistem lama kita mencoba sistem baru yang lebih adil namun esensinya sama saja yaitu pengikatan sistem lagi. Jika sistem baru itu muncul problem maka ada istilah pembebasan lagi. Pada akhirnya mengalami kejemuan dalam sistem yang terus berganti. Nah jika Voltaire mengatakan aku terlahir bebas dan pendidikan yang merusakku maka mengindikasikan adanya pendidikan atau sistem yang menurut Voltaire benar. Singkatnya, pembebasan sama saja dengan keterikatan, hahaha. Lalu apa kebebasan pendidikan yang dapat menciptakan kepedulian sosial? Monggo dirembuk lagi. Hahaha.”

Zainal Muhidin: “Waah, disuruh mendeteksi bahwa kita sedang sakit atau tidak? Terus disuruh cari obatnya, waah.. susah lah, aku mikir diriku sendiri aja jarang dan bingung, hahaha. Jadi penting nggak siiiih pendidikan formal?

Kalau sekolah formal dianggap tidak mendidik lagi untuk apa sekolah?  Kalau sekolah formal hanya jadi kandang sapi dan setelah gemuk akan diperas susunya kemudian dikonsumsi dagingnya, tanpa sapi tahu siapa dirinya, lalu apa untungnya bagi sapi itu? Tapi ingat! Manusia bukan sapi, hahaha, makanya kalau kita jadi manusia ya jangan kayak sapi.

Artinya, berpikir penuh kesadaran di sini menjadi penting. Tentang diri kita, tentang apa yang kita lakukan, tentang ruang dan waktu yang sedang kita singgahi. Dari berpikir itu mungkin bisa menimbulkan kesadaran. Kesadaran yang akan menggerakkan orang itu di manapun dan kapanpun. Kesadaran yang membuatnya tahu harus apa dan bagaimana dalam menyikapi realita.

Jadi janganlah terlalu menganggap penting sekolah, jangan juga meremehkannya. Biasa wae, karena tidak hanya sekolah yang mendidik kita, Men! Bukan hanya Sekolah yang bisa membuat manusia menjadi manusia. Keluarga, teman, lingkungan, kehidupan, dan diri kita sendiri adalah pendidik bagi kita yang memerdekakan dan membebaskan kita. Dari apa? dari ketidakperikemanusiaan. Hahaha.. (aku nulis iki karo misuh-misuh, sebenere aku isin ro awakku dewe, hahahaha)”

Bastian Ev: “Sakitkah pendidikan kita? Mungkin, tapi sinting iya. buktinya makin bnyk mahasiswa lulus (baca: orang terpelajar, beradab, barokah wa halal.. he) Indonesia tetep aja gak turun peringkat korupsinya.

Cara mengatasinya: hampir mustahil untuk mengubah, toh saya sendiri juga kuliah di kampus pemerintah. Kita bikin enjoy aja kale, kita percantik pendidikan yang sudah ada sekarang ini, banyak hal kecil yang masih bisa kita lakukan, toh pendidikan Indonesia juga gak buruk-buruk amat. Masih ada profesor-profesor yang sip laah.

Mungkin pendidikan Indonesia lagi meriang aja, atau masih malu-malu mau jalan-jalan ke mana. Emmm, kita percantik aja pendidikan, hal kecil aja. Kan dia gak pede, ayo deh kita pasangin bros "RPP" di jilbabnya, kita buatin bros "RPP" yang bener wa shohih wa barokah wa halal wa rohmah wa no watoniah, hehehe. Kalau masih malu-malu, jangan-jangan karena kita, oke deh, pake facial wash, baca buku tiap pekan sesuai keilmuan kita masing-masing.

Eee, pipinya merona merah, tapi pendidikan msh malu nih, gandeng aja kalee. Diteriakin muke gile lu ya, ga usah direspon. Gandeng tangannya dengan cara; membesarkan hati setiap murid kita, hal kecil sekali. Tapi dari keinginan hatilah Ikal dari pedalaman Sumatera, Bangka Belitong bisa ke Perancis, Fuadi yang anak pondok bisa ke Kanada, Dahlan Iskan yang dulu tidak punya sepatu sekarang kalo mau beli pabrik sepatu aja bisa.

Besarkan hati murid-murid kita besok. Nah, tuh gue bilang juge ape? Mau kan si pendidikan jalan same kite. Tuh cantiknya. Absurd yo? Hahahaha.”

Irfan Mashuri: “Coba kita cermati pendidikan pembebasan ala Paulo Freire dengan pendidikan indonesia ala Ki Hajar Dewantara. Pemikiran apa yang dituangkan oleh kedua tokoh tersebut tentang pendidikan?”

Sayd Nursiba: “Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik kepada yang dididik untuk mencapai tujuan, jika tujuan dalam konteks di atas adalah kepedulian sosial, maka cabang tujuan pendidikan adalah kepedulian sosial. Nah pendidik adalah subjek pendidikan. Paradigma pendidikan yang berpusat pada peserta didik mengartikan bahwa peserta didik harus juga bisa menjadi subjek. Transformasi ini membentuk pendidikan dimana pendidik harus bisa mengembangkan potensi peserta didik dimana peserta didik harus menjadi subjek selain menjadi objek pendidikan untuk mencpai bagian pendidikan yaitu kepedulian sosial.

Setiap manusia memiliki tugas ada yang ahli akuntansi, ahli matematika, guru, marketing, tidak lain sumber keahlian itu bekal yang diberikan dari lembaga formal. Jika pendidikan formal hanya mampu menciptakan robot-robot berwujud manusia yang tidak peduli pada penderitaan sosial dapat dikatakan sebuah kegagalan pendidikan. Mari kita lihat dari sisi politik sistem politik kapitalis yang memaksa produk pendidikan formal untk memenuhi lapangan pekerjaan. Sadar dan tidak sadar mereka dialihkan memenuhi jam kerja, seperti berangkat pagi pulang malam yang menyebabkan hidup mereka hanya untk kerja/uang atau dengan istilah: krisis manusia modern.

Di sisi lain, manusia yang tidak dapat pekerjaan namun mereka sebenarnya mampu bekerja dikarenakan keterbatasan kuota lapangan pekerjaan menyebabkan kemiskinan masal. Yah bagaimana tidak? Lha wong mereka tidak bekerja mau dapat hasil darimana? Huhuhu.

Betewe, kalau saya ngomong banyak bisa jadi buku iki. Tak persingkat saja. Solusinya perlunya sistem politik yang bisa menyamaratakan kualitas hidup atau meminimalisir kesenjangan sosial. Jika kekuatan ini terpenuhi maka sudah jadi tugas negara memberikan kepedulian sosial baik kesehatan, ekonomi, pendidikan, yang terjamin bagi seluruh warga negara dimana kerjaan negara selalu dapat terpantau oleh masyarakat. Hahaha.”

Irfan Mashuri: “Kata pendidikan mempunyai peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara, peran pendidikan acap kali bergaya kolosal yakni sering dianggap mencerdaskan saja bukan membuat manusia yang beradab. Nah disini pendidikan harus menjadi gaya konvensional, artinya pendidikan harus mempunyai tendensi terhadap dua objek adalah pendidikan membentuk karakter/kepribadian berdasarkan budaya yang ada dan membentuk manusia yang cerdas sehingga menjadikan bangsa negara yang beradab. Kata beradablah yang membuat suatu bangsa itu menjadi barakhlak, berbudaya dan berilmu. (terinspirasi dari pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara)”

Ichsan W. Saputro: “Singkat ae lah, masing-masing kalian telah memiliki maklumat. bukan orang-orang miskin argumen, jadi tanpa prolog (nek jare Anjy).

Bagi saya, pendidikan itu tidak selalu membebaskan. Hanya karena Freire dalam kondisi sebuah tekanan, jadi harus muncul antitesisnya yaitu sebuah pembebasan. Pembebasanpun akhirnya diartikan bermacam-macam. Lalu siapa yang layak mendefinisikan kebebasan dan pembebasan?

Bagi para pengemban ideologi kapitalis, pendidikan saat ini telah sesuai (untuk mendukung kebijakan kapitalistiknya), berbeda lagi dengan dedengkot ideologi sosialis yang antitesis (dari kapitalis), berbeda lagi dengan Islam dalam menyajikan pemaparannya mengenai pendidikan.

Conclude: Menurut hemat saya, pendidikan berjalan sebagaimana sebuah hegemoni dari ideologi negara. Ya, negara yang benar-benar negara. Negara yang berkuasa atas pendidikannya.”

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Ngebul ae lah, masing-masing kalian telah memiliki udut sak lencer, bukan orang-orang miskin uang, jadi tanpa bungkus (nek jare Zia Ul ). Jadi begini Naak, semua dapat mendefinisikan kebebasan atau pembebasan, semua dapat menafsirkan masing masing dan memberi plat kebebasan dan pembebasan(tinggal bagaimana kita menghargai plat tersebut). Sebab hati itu bebas. Ia merdeka memilih kemana ingin melabuh rasa dan mencipta bahagia dengan pendidikan. Pendidikan jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Cuk matane! Sepaneng tenan cuk cuk!”

Sayd Nursiba: “Betul Rasyid, haha, ho'oh itulah yang dinamakan kejemuan berfikir kapitalis dijawab sosialis kemudian dijawab lagi oleh liberalis lalu muter lagi. Pusing. Hahaha. Siapa ya Yang Maha Mendidik?”

Anji Fathunaja: “Iya, pemikiran Paulo menurutku emang terikat dengan keadaan pendidikan pada masa itu. sehingga tidak bisa dipaksa diterapkan di era modern yang jelas berbeda keadaannya. Tapi apa yang kamu maksud dengan negara yang benar-benar negara, Rasyid? Jangan-jangan itu lagi. Haduh..”

Zia Ul Haq: “Yup, sepakat. Ide Freire tentu ada sababul wurudnya, sebagaimana kemunculan ide Asghar Ali, Ibn Taymiyah, maupun ide-ide lain. Tak lepas dari kondisi dan situasi sosial saat itu. Makanya, dalam diskusi kemarin-kemarin, kita mencoba membaca hubungan antara konteks dengan gagasan yang Freire (atau tokoh-tokoh lain) kemukakan. Dengan harapan bisa memahami pola pikir maupun pola aksi dalam merespon suatu fenomena sosial yang patut dikritisi dengan hati-hati.”

Ichsan W. Saputro: “Iya Andjy Naja, lha wes ngerti takon. Hahaha. Tapi bukan begitu maksudnya, secara umum, negara yang benar negara dan menguasai ki negorone bener-bener nduwe ideologi yang diterapkan gitu lho di negaranya sendiri dan bisa disebarkan di negara orang lain juga. Koyo Amrik sing ideologine kapitalis, Soviet (ndhisik) sing ideologine sosialis, siji meneh zaman emas abad pertengahan kae.

Bagi saya 3 itulah yang benar-benar negara, dia berdaulat atas sistem pendidikannya (dan sistem lain tentunya). Ora mengadopsi dari sistem lain gitu lho. Nek misal ngene: Pancasila dianggap sebagai sebuah ideologi harusnya ada sistem pendidikan Pancasila, sistem ekonomi Pancasila, sistem pergaulan Pancasila, sistem politik Pancasila dan sebagainya. nek belum bisa menguasai sistem-sistem itu sendiri, menurut hemat saya negarane masih auto-pilot.”

Zia Ul Haq: “Menurut hemat saya; negara ini emang sudah gagal. That's all sodara-sodara.”

[o]

0 komentar:

Posting Komentar