Senin, 15 Juni 2015

Surau dan Intan

“Dab! Dab! Dab! Tolong aku Dab! Tolong aku!” todong Irfan tergesa menyerbu kamarku sore itu. Aku pura-pura tidur saja, seharian mencumbui papan ketik membuatku ngelu. Lagipula, paling-paling perkara absurd yang dia bawa.

Melihatku yang nampak tertidur pulas, Irfan mulai geser muka menghadap laptop. Entah apa yang ia cari di laptopku itu. Gelagatnya yang begitu serius dan gelisah membuatku iba. Aku pun pura-pura ngulet seakan-akan baru bangun.

“Oaaaaahm, weh teko kapan, Pan?” gayaku.

“Wah iki, Zi! Nduwe file iku ora?” sosor Irfan.

“Ika iku opo? Sing genaah!” sahutku malas-malasan.

“Konsep kurikulum Qoryah Thoyyibah utowo Salam?” lanjutnya bertanya.

Aku termenung sejenak. Mikir. Lama. Irfan makin ndlongop menunggu jawaban. Aku makin serius mikir, bukan mikir tentang konsep kurikulum yang ia tanyakan. Melainkan tentang ocehan Pram, bahwa wajah Irpan pas bingung begitu memang persis coro.

“Heh! Duwe oraa?!” bentaknya.

“Wah, ora Dab,” jawabku, “Lha piye emange?”

“Besok aku harus presentasi!”

Jiaaaamput! Aku baru ingat. Anak muda ini memang beberapa minggu lalu bercerita bahwa akan ada beberapa ‘orang penting’ sambang ke rumahnya. Keluarga Irfan memang sedang mengelola taman pendidikan Al-Qur’an plus di rumah dan surau kecilnya. Di taman belajar yang disemati nama ‘Nurul Kawakib’ ini, anak-anak sekitar diajak ngaji Qur’an tiap petang, sambil belajar bersama tentang hal-hal baru, menyimak dan mendongeng, serta berlatih membuat kerajinan-kerajinan sederhana. Nah, ‘orang-orang penting’ itu hendak menilik pelaksanaan pendidikan di sana.

Sudah belasan hari dia mengajakku untuk merumuskan filosofi mendasar taman belajar ini, eh baru datang sekarang, pas sore sebelum presentasi esok hari. Kacau tenan cah iki. Konsep yang dicarinya adalah bentuk pendidikan alternatif semacam Qoryah Thoyyibah (QT) atau Sanggar Anak Alam yang pernah kami kunjungi. Dia merasa cocok dengan bentuk pendidikan manusiawi semacam itu dan hendak mengikuti konsep-konsep dasarnya.

“Tapi, Fan,” ujarku, “Kalaupun sekarang aku punya kurikulum QT atau Salam, gak bisa juga dong langsung copy paste. Tiap komunitas menghadapi masalah khasnya sendiri-sendiri.”

“Lha iki mendesak je. Yo nggak kutiru semua, hanya garis besarnya gitu lho,” tukas Irfan gugup. Aku heran, dia ini orang yang biasa presentasi di hadapan khalayak, tapi memang sih, presentasi tanpa persiapan bisa bikin orang panik.

“Oke, gini aja. Sekarang kita telaah surau belajarmu itu, mulai dari sejarah, proyeksi, bentuk, kegiatan, hingga kendalanya. Lalu kita rumuskan apa saja yang perlu dipresentasikan besok, gimana?” tawarku.

“Ayo!” seru Irfan berapi-api. Lubang hidungnya yang berukuran XL jadi kelihatan lebih melar dari biasanya. Kami pun mulai berdiskusi tentang Surau Nurul Kawakib ini, sambil menggarap slide power point dan merancang presentasi.

Taman Pendidikan Al-Quran di sekitar lingkungan Irfan tinggal memang sudah vakum, begitupun masjid-masjidnya. Selepas sekolah pagi, anak-anak kecil keluyuran tanpa ada wadah untuk belajar mempraktekkan ajaran agama. Begitu pula tingkah laku dan unggah-ungguh anak-anak yang dirasa makin merosot. Indikasi-indikasi sederhana semisal cara berjalan, sopan santun saat melewati orang tua, bahasa lisan maupun gerak-gerik, mencerminkan betapa menyedihkannya adab dan kesusilaan generasi penerus di lingkungan itu. Ini bahaya, ujar Irfan.

Maka sejak empat tahun lalu, orang tua Irfan sekeluarga membuka rumah mereka, digelar menjadi tempat berkumpul anak-anak setiap petang. Bakda maghrib, mereka belajar beribadah dan mengeja kitab suci. Awalnya, hanya tiga-empat anak yang mau diajak ngaji. Lama kelamaan anak-anak itu mengajak teman-temannya yang lain, hingga kini sudah ada empat puluhan anak-anak kampung yang mengaji di tempat itu.

Dari empat puluh anak, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelas kecil didampingi ibu Irfan. Kelas menengah didampingi Irfan sendiri, dan kelas besar didamping ayahnya. Dalam satu minggu, tiga kali pengajian digelar. Pada awalnya memang hanya mengaji IQRA dan Al-Quran, namun seiring waktu, pengajian juga diisi dengan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mengembangkan potensi anak-anak. Semisal berbagi dongeng, membuat kerajinan tangan, hingga belajar membaca dan berhitung bersama. Sesekali dihadirkan narasumber untuk berkisah, mendongeng, berbagi pengalaman ataupun keahlian.

Namun sasaran utama di surau ini adalah pengarahan unggah-ungguh anak-anak. Yakni agar tetap menjaga sopan santun, bertata krama kepada orang tua dan sesama. Semua itu merupakan bentuk mendarahdagingkan akhlak islami dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitas yang disediakan berupa teras dan ruang tamu yang diluangkan, jajaran bangku-bangku mungil, alat-alat tulis dan buku-buku gambar, serta buku-buku bacaan untuk anak-anak. Di surau ini, tidak sepeserpun rupiah ditarik sebagai ‘biaya pendidikan’.

“Di sini lebih ke aktivitas yang enjoy buat anak-anak,” terang Irfan, “Soalnya ‘kan mereka sudah dibebani berbagai materi di sekolah-sekolah masing-masing, makanya di sini kami nggak nuntut apa-apa. Absen pun nggak ada. Tapi konsekuensinya kami musti menciptakan atmosfer agar anak-anak merasa nyaman di sini, kangen, dan butuh untuk ngaji.”

“Yang jadi ustadz cuma sekeluarga saja?” tanyaku.

“Iya. Bapak, ibu, aku, masku ya kadang mbantu.”

“Lhah pemuda kampungmu gimana?”

“Wah angel, Dab. Pemuda sekarang susah diajak gerak beginian. Nggak bisa konsisten. Dianggapnya gerakan sepele, padahal sangat penting. Pernah ada yang kuajak, cuma bertahan berapa hari, terus mental,” papar Irfan.

Tumben pikiran Si Coro ini agak njalur, pikirku. Sejak beberapa kali diskusi Selingkar di berbagai lokasi dan tema, beberapa kali kunjungan dan menggali pengalaman, memang banyak yang berubah pada diri para penDuduk. Semua itu menjadi bahan rekonstruksi berpikir kami. Khususnya tentang pendidikan dan pergerakan. Memang ada kecenderungan anak-anak pergerakan sekarang –menurut Irfan- lebih suka melakukan aksi-aksi monumental, populer, massal maupun festival sentris. Jarang yang mau terjun ke ranah pergerakan sederhana, kecil, sepele, sunyi dan melelahkan namun punya efek jangka panjang semisal pendidikan berbasis komunitas.

Ahad, 7 Juni 2015, Irfan berdandan rapi. Tak lupa, peci hitam necis bertengger di kepala sebagai peneguh keustadzannya, hahaha. Di hadapan perwakilan Dinas Pendidikan dan pembesar Tamansiswa, Irfan mempresentasikan Surau Nurul Kawakib dengan apik. Bersenjatakan slide yang kami susun malam sebelumnya, ia memaparkan akar sejarah, filosofi, anatomi, kegiatan, hingga kendala yang dihadapi selama empat tahun mengelola taman belajar itu.

“Nurul Kawakib artinya cahaya bintang-bintang. Maksudnya, setiap bintang memiliki cahayanya sendiri-sendiri,” jelas Irfan mempresentasikan nama suraunya, “Meskipun mereka nampak kecil, namun nampak begitu indah di gelapnya langit malam. Begitupun dengan anak-anak. Mereka punya potensi dan karakter bawaannya sendiri, di sini kami ingin mendampingi agar setiap anak bisa bersinar terang seperti halnya bintang-bintang.”
Foto-foto kegiatan surau ditayangkan. Ekspresi keceriaan dan keakraban anak-anak memang sanggup membuat siapapun terpukau. Tak terkecuali para penilik itu. Mereka hanyut dan merasa bangga masih ada orang-orang yang peduli kepada pendidikan masyarakat. Apalagi bila dia masih muda, jomblo, kere, belum lulus kuliah pula. Lima belas rol tissue toilet habis untuk menyeka air mata mereka. Hehehe.

“Di lingkungan tengah kota begini memang paling tepat untuk mengupayakan pendidikan adab dan kesusilaan. Namun itu tidak gampang, sangat berat. Maka saya kagum surau ini sudah empat tahun berjuang,” puji Bapak Sutikno, salah seorang tokoh Tamansiswa dan keturunan Ki Hajar Dewantara, “Semoga terus bertahan. Saya harap nanti kamu lanjut presentasi ke tingkat nasional. Dan menitikberatkan pada dua hal itu; adab dan kesusilaan, sebagaimana ajaran Kiai Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.”

Dari lima belas wali santri yang hadir, salah seorang ibu menyampaikan kebungahannya. “Saya sangat bersyukur. Dulu saya sudah putus asa gimana caranya ngajari anak saya biar sopan. Tapi sekarang saya bahagia. Saya sampai ‘capek’ njawab salam anak. Masuk rumah, salam. Keluar sebentar, salam. Ketemu papasan, salam. Dan santunnya itu lho, duh, bahagia saya.”

Memang perubahan drastis telah nampak setelah beberapa tahun belakangan. Geng-geng anak-anak pengacau yang sebenarnya kurang kegiatan sudah punah. Umpatan-umpatan yang biasa terlontar dari mulut mungil bocah-bocah sudah menghilang. Sebaliknya, ucap salam ditebar dimana-mana. Sikap santun bangkit kembali sebagai identitas khas Jawa. Dan tentu saja, sore hari di kampung tengah kota ini semarak oleh anak-anak yang saling sahut-menyahut berangkat ngaji. Sungguh pemandangan yang sudah semakin langka.

“Wah wah wah, kenapa Sampean nggak ngajuin proposal, Mas? Nanti ‘kan bisa kami bantu,” tanya orang dari Dinas Pendidikan.

“Mbok kiro aku ngemis-ngemis Pak?! Sorry la yau!” jawab Irfan dalam hati. Tentu saja dia hanya cengengas cengenges ditanya seperti itu.

“Berarti selama empat tahun ini dari mana asal pembiayaan surau ini?” Pak Dinas bertanya lagi.

“Ya semuanya ditanggung penuh orang tua saya,” tutur Irfan.

“Wah! Memangnya pekerjaan orang tua apa?” gumun Pak Dinas.

“Usaha Intan!” sambar Irfan, gagah.

“Intan?!” Pak Dinas kaget.

“Iya! In-tan-shurullooha yanshurukum (kalau engkau ‘menolong’ Allah maka Allah akan menolongmu). Hehehe,” sahut Irfan, santai.

~

Yogyakarta, 15 Juni 2015
Tulisan ini menjadi arsip laporan diskusi serta pergerakan penDuduk Selingkar di bidang dan wilayahnya masing-masing. Sebagaimana laporan pada umumnya, tulisan ini berfungsi sebagai wadah dokumentasi dan wacana evaluasi bagi gerakan yang diupayakan. Bukan untuk mengangkat, memproyek, maupun melebih-lebihkan si penggerak atau siapapun. Barangkali informasi yang dituangkan dalam tulisan ini bermanfaat, tentu lebih bagus lagi. Siapa tahu di antara kawan-kawan ada yang menghadapi persoalan serupa di lingkungan masing-masing, maka informasi ini bisa menjadi inspirasi, tentu dengan pembacaan masalahnya sendiri-sendiri.

Minggu, 17 Mei 2015

Barat dan Timur

Sayd Nursiba:

“Bagaimana tanggapan anda dengan fenomena epistemenologi berikut? Dunia barat sekarang ini telah mencpai kemajuan yang pesat. Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis dan variatif, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.

Barat yang dikenal maju itu sebenarnya diwakili Amerika Utara dan Eropa Barat. Dua belahan wilayah inilah yang membwa gerbong lokomotif kemajuan Barat, sehingga kemajuan yang dicapai tersebut mempengaruhi seluruh negara dan wilayah di saentero dunia. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan di samping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya. Kemajuan Barat tersebut berupaya diadaptasi dengan melakukan modifikasi-modifikasi tanpa meninggalkan cara budaya nasionalnya sendiri, seperti yang ditempuh jepang.

Ada kalanya kemajuan tersebut diadaptasi secra total walaupun gagal, seperti yang dialami Turki, terutama modernisasi yang digerakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dua negara ini menjadi objek yang menarik bukan? Karena hasilnya justru bertolak belakang. Jepang yang mempertimbngkan budaya lokal ‘ideologi samurai’ dalam mengadaptasi sains dan teknologi barat, ternyata mampu mengejar, bahkan di bidang elektro berhasil mengugulinya. Tapi, Turki yang membuang tradisinya sendiri guna mengikuti barat secara keselurahan malah justru masih ketinggalan dari Barat alias ‘bobok’. Hahaha.

Kunci rahasia yang penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan epistimenologi yang dikuasai Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Temuan baru menjadi penyempurna temuan lama atau temuan baru menentang temuan lama. Epistemonologi yang dikembangkan ilmuwan Barat ini mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia dengan pengenalan sosialisasi sains dan teknologi mereka.

Epistemonologi ini dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan masing-masing negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahuan dan sebagainya. Sadar atau tak sadar mereka terbelenggu oleh pengaruh yang memikat. Padahal epistemenologi yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. Seolah-olah hanya ada satu model berfikir yang mesti diikuti. Kondisi ini makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi imprealisme epistemologi Barat terhadap pemikiran masyarakat dunia.

~

Irfan Mashuri: “Bagaimana jika saya menyebutkan ini penindasan/penjajahan intelektual kaum muslim?”

Zia Ul Haq: “Wah! Penjajahan Pemikiran, Ghozwul Fikr.. Maka memang benar kita harus mengasah dan membenahi cara berpikir kita, agar tidak terseret arus..”

Zainal Muhidin: “Wah.. Jepang itu spiritualitas, kerja keras, tanpa meninggalkan identitas..”

Sayd Nursiba: “Agar bisa keluar dari penjara tahan pemikiran pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemenologi barat perlu diluruskan untk menghindari kesalah pahaman dan tindakan yang lebih parah lagi adalah membentuk epistimenologi sendiri yaitu epistemenologi Islam. Caranya gimana, Men? Mari kita bersama bahu membahu, tambal menambal dalan merekontruksi epistemenologi Islam. Diskusi Selingkar sebagai pintu gerbang menuju dunia baru Islam. Ayo piye carane ngurumuske konsepe? Hahaha..”

Zia Ul Haq: “1. Kenapa Barat dikonfrontasikan dengan Islam? Bukankah Islam mencakup timur dan barat, selatan dan utara, atas dan bawah? 2. Jangan-jangan sudah ada rumusan epistemologi islam??? Ayo cari tahu!”

Zainal Muhidin: “Wah.. Islam itu dunia dan akhirat, Men..”

Zia Ul Haq: “Nah, jangan-jangan, Epistemologi Barat itu juga termasuk dalam khazanah Islam?? Hayoh?”

MO HA: “Kita harus belajar tenteng metode ilmiah mereka,”

Zia Ul Haq: “Nah, maka dari itu, musti diperjelas dulu, epistemologi keilmuan Barat ki koyok opo? cirinya bagaimana? kemudian kita sandingkan dengan nilai-nilai keislaman, sesuai atau tidak. Sebagaimana ketika kita melihat hal-hal baru dalam Islam, ya disandingkan dulu dengan nilai-nilai keislaman, baru kita bisa menentukan sikap; menerima, menolak, menyaingi, membentengi diri, atau membiarkan.

Sayd Nursiba: “Selama ini epistemenologi barat selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan keyakinan secara apriori. Dalam batas-batas tertentu, keunggulan sains barat dibanding kawasan-kawasan lain sekarang ini memang harus diakui secara jujur, tetapi ketika terjadi upaya membentuk keyakinan, bahwa Barat adalah segala-segalanya bagi ukuran pengetahuan yang dapat dipercaya kedalamannya, bilamana mengikuti mekanisme kerja berfikir model Barat sesungguhnya adalah upaya memasung atau mbeleh para ilmuwan pemikir.

Ujung-ujungnya mereka akan terbiasa meyakini sesuatu yang dianggap baku, padahal mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa dipertentangkan dngan cara-cara kerja ilmiah model lainnya. Akibatnya Men, mereka akan terbelenggu daya kreatifitasnya dengan sekedar mengharap produk-produk sains Barat. Pendekatan-pendekatan epistemenologi Barat yang telah melakukan imprealisme masyarakat dunia dapat dilihat:

a. Pendeketan skeptis; ciri skeptis adalah keraguan yang menjadi warna dasar epistemenologi Barat. Segala sesuatu harus diragukan Tuhan dan agama, manusia, langit, bumi, sosial. Kemudian jadilah teori setelah didapat kebenarannya atau kebenaran yang dapat dibuktikan.

b. Pendekatan Rasional-Empirik. Dalam kerja epis barat, penggunaanya rasio menjadi mutlak dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawbkan tanpa mendapatkan pembenaran rasio.

c. Pendekatan dikotomik dapat dilihat pemahaman filsafat Renaissance di Barat.

d. Pendekatan positif objektif. Dipengaruhi filsafat positivisme. Bagaimana dngan epistemenologi Islam? Benar apa yang disampaikan Zia, logikanya setiap epistemenolog Barat termasuk epistemenenologi Islam tapi tidak setiap epistemonologi Islam termasuk epis Barat.

Wahyu sebagai sumber mengandung kebenaran absolut, sedang sains tidak absolut atau berubah sesuai perkembangan. Usaha menyinkronkan kedua ini perlu rumusan yang benar-benar serius Men. Hahaha. Benar Zia, kita memang sudah punya epistemenologi sendiri, inilah yang perlu kita sadari. Islam itu maju bahkan jauh lebih maju dari Barat, tapi fakta praktisnya kita masih tertinggal. Apa yang menjadi faktor ketertinggalan?

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Cuk , Cukup kau tenangkan hidupmu saja dengan Pangeran..”

Irfan Mashuri: “Perbedaan mendasar yang perlu kita pahami tentang keilmuan Barat dan keilmuan Islam yakni keilmuan islam terdapat nilai estetika, sedangkan keilmuan Barat hanya memandang itu pada ranah empiris dan logis semata. Dan implementasi kedua wilayah keilmuan tersebut menjadi tolak ukur. Menjadi pertanyaan besar buat saya pribadi atau kita semua, mengapa keilmuan Barat lebih maju dari keilmuan Islam dan kenapa keilmuan kita sepertinya stagnan. Padahal keilmuan Islam terdapat nilai-nilai luhur, bisa dikatakan begitu, apakah konsep kita salah atau umat Islam sendiri sudah salah?”

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Pusing ya? Bersandar di pundakku sini.”

Eristheo Dune: “Iya fanturbasi, plis pinjamkan pundakmu. Atau pupumu. Asal jangan anumu.”

Irfan Mashuri: “Berkaitan dengan terjadinya imperialisme intelektual oleh dunia Barat ke seluruh dunia dan khususnya pada dunia Islam, hal ini disebabkan periodisasi pengetahuan. Bila mana kita tengok kembali sejarah masa keemasan Islam (the golden age), dulu kenapa kita berjaya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dikarenakan saat itu pemerintahan Islam berperan besar dalam perkembangan pendidikan tapi yang paling implisit adalah para ilmuan telah mengembangkan pengetahuan dari bangsa Yunani kuno, menterjemakan kebahasa arab dan mereka menitikberatkan pada bidang filsafat.

Nah ini kunci utama keberhasilan ilmu pengetahuan khusus dalam bidang sains dan teknologi. Kemudian setelah beberapa abad lamanya (berkisar 1 atau 2 abad) muncullah tokoh islam yakni Imam al-Ghazali dulunya dia adalah pakar filsafat, beliau menjadi mufti di Madrasah Nizhamiyah (madrasah yang paling terkenal pada masa itu). Pada akhir masa beliau, Imam al-Ghazali ini membuat statement secara tidak langsung untuk tidak belajar filsafat, nah ini awal mulanya pergolakan dinamika keilmuan Islam.

Dilihat dari karekteristik al-Ghazali yang sufisme dan nama besar beliau yang mendunia sehingga banyak orang-orang mengikuti paradigma beliau secara garis besarnya saja. Nah setelah al-Ghazali inilah banyak permasalahan dalam bidang keilahian dan keakhiratan terus diperdebatkan. Ini membuat kemajuan pengetahuan sains dan tenologi kita stagnan dan tidak berkembang-kembang.

Faktor yang lain adanya pembakaran buku dan karya-karya Islam oleh bangsa Mongol dan penjarahan buku-buku Islam oleh bangsa Barat. kemudian bangkitnya dunia Barat (Renaissance). Dunia Barat terus mengembangkan sains dan teknologinya sedangkan dunia Islam terus mengembangkan tasawufnya (perdebatkan ilmu kalam) tentang adanya Tuhan, melihat Tuhan, pahala dan dosa padahal itu adalah ranah Allah bukan ranah manusia.

Kemudian para cendikiawan muslim mulai sadar akan ketertinggalan kita dari dunia barat muncullah pembaharu Islam contohnya Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Jadi mengapa kita terus tertinggal dan bangsa Barat menjadi maju, dikarenkan kita meninggalkan filsafat dan tidak mengembangkannya. Selanjutnya bahwasanya sekarang ini epistimologi barat menjadi acuan dasar keilmuan dunia dikarenakan epistimologinya empiris logis dan dapat dipertanggungjawabkan dan juga isinya mengandung nilai-nilai keislaman sehingga kita tidak bisa mengotak atik begitu saja, artinya teori-teori yang dikembangakan itu ada dalam nilai-nilai keislaman. Kita bisa mengubah hanya namanya saja dan dikasih embel-embel Islam contohnya psikologi diganti psikologi Islam dan semacamnya.

Jadi perlu kajian dan teori baru untuk mengubah epistimologi Barat dan itu menjadi PR buat umat Islam khususnya generasi muda ini. Tpi yang ingin saya garis bawahi; keilmuan Islam harus mengandung unsur etika dan estetika agar menjadi pembeda dari keilmuan Barat dan etika dan estetika itu diambil dari nilai-nilai keislaman.”

Zia Ul Haq: “Sik sik sik, mocone mumet aku, hahaha, *loading*”

Zainal Muhidin: “Irfan Mashuri asuuuu, nak komen seng simpel wae! Nak kowe ra gelem dihalalke darahmu!”

Zia Ul Haq: “Piye iki? Sayd Vandyas karo Ervan Mashoery arep dihalalke wae po darahe? Ngelak aku… *ngelap iler*”

Eristheo Dune: “Cukk, nambahi mumes ndate..”

Irfan Mashuri: “Tadi saya telah menyinggung penyebab kemunduran kita dan bila ditelisik ini akan menjadi jawaban atas sebab musababnya, yakni faktor umat Islam sendiri yang masih meperdebatkan adanya Tuhan, dzat Tuhan, sifat-sifat-sifat Tuhan, dosa dan pahala, neraka dan surga. Nah ini menyebabkan kemunduran umat ini, kita hanya memprioritaskan bahwasanya kita akan mati besok dan tidak menyadari kita akan hidup selamanya.

Kemudian terjadinya penjajahan baik material maupun intektual oleh bangsa Barat hampir di seluruh negeri Islam hingga berabad-abad membuat kita terninabobokan. Dan ketergantungan kita akan pemikiran maupun karya tokoh-tokoh Islam zaman dulu yang sedang berjaya-jayanya hingga di zaman era globalisasi ini kita masih mendapatkan kitab-kitab mereka yg masih dipelajari sehingga warnanya menjadi tambah kuning kekuningan.

Maksud saya adalah kita tidak berani memperbaharui pemikiran ulama terdahulu yang sudah ketinggalan zaman dan memperbaharui pemikirannya dengan pemikiran kita yang baru ini. Suatu hal yang tabu di masyarakat bila mengkritisi pemikiran ulama terdahulu, dan melekatnya paradigma umat Islam bahwa ijtihad ulama terdahulu itu adalah bagaikan anak dari Al- Qur'an maupun Sunnah, sehingga kita tidak berani mengotak-atiknya.”

Zainal Muhidin: “Iki ncen asu kabeh, A. Kenapa Barat maju? B. Kenapa Islam mundur (sedang bangkit)? Jawab: A dan B sama; TAKOKKE DEWE RO AWAKMU!”

Eristheo Dune: “Kalo pengen maju, kerahkan semua rakyat untuk berpikir sama denganmu. Terserah caramu piye. Hal simpel itu tak semudah yang kita pikir.”

Irfan Mashuri: “Sesuatu hal yang kita pikir itu bukan hal yang simpel.”

Zia Ul Haq: “Nek jawabanku singkat wae; mengapa keilmuan Islam terkesan mundur? Karena kita dijejali produk pemikiran tanpa dituntun bgaimana cara berpikir (filsafat). That's all. Maka dari itu kita ber-Selingkar! *ketok palu ning ndase Mukid; tok-tok-tok*”

Sayd Nursiba: “Hehehehe, asik..”

Irfan Mashuri: “Mas Zia, betul sekali, berarti yang salah pendidikan kita ya, bagaimana pendapat Anda selaku cendekiawan pendidikan Islam, tentang pendidikan kita, apa yang harus direvisi dan dikritisi. Hehehehe..

Zia Ul Haq: “Kopet ah.. kekekekeke, yaaa gunakan 'otak', jangan hanya 'buku', that's all.”

[o]

NYELINGKAR

Bastian Ev: “Aku ki ngrasak-e manfaat e Selingkar ki akhir-akhir iki, pas ngulang mata kuliah Filsafat Pendidikan, terbiasa dengan diskusi yang ‘rumit’ membuatku malah mudah mencerna makul Filsafat, nuwun."

~

Zia Ul Haq: “Ya, seperti yang sudah kita sepahami bersama di awal kelahiran Selingkar [o], forum diskusi santai ini tidak menjanjikan apa-apa, entah itu keuntungan finansial, ketenaran sosial, jabatan publik, atau sertifikat akademik. Hahaha. Di sini kita hanya mengasah pola pikir agar lebih peka dan jeli dalam menghadapi fenomena apapun di masyarakat dari berbagai sudut pandang. Adapun kemudahan yang Mr. Bastian rasakan adalah bonus dari proses ini. Dan semoga para penduduk lain juga bisa merasakan hal serupa, terutama saat terjun di medan juang masyarakat, kini atau kelak.

Sutri Cahyo: “SEMUA ada manfaatnya.”

Zainal Muhidin: “Aku ada manfaatnya tidak ya?”

Ayik Abdulloh: “Tetep lestarikan dan ajak anak semester yang sesudah kita.”

Rizki Adi Prianto: “Aku ini ono makul Filsafat Pendidikan, blas gak minat soale njlimet, dosene juga bukan bidange, dadine bareng-bareng bureng, mohon pencerahan.”

Bastian Ev: “Kang Rizki, sebenernya di Selingkar saya lebih sering jadi pendengar, berangkat Selingkar juga kadang-kadang. Tapi kalau pas di diskusi saat itu, saya perhatikan baik-baik pemikiran Kang Zia, Kang Irfan, Kang Mukid, Kang Said, dan temen-temen lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Mulanya sumpah, bingung. Mereka itu seperti bilah sabit yang sudah tajam kedua sisinya. Sudah memotong pohon sana pohon sini. Sedangkan saya masih sabit tumpul yang jarang sekali memotong pohon (buku, pengalaman dan lain-lain). Tapi karena ‘dipaksa’ untuk mengikuti alur berfikir mereka, akhirnya mendengarkan juga.

Nah, entah gimana, saat ngulang makul Filsafat Pendidikan yang dijelaskan dosen itu kok nyambung bahkan sama dengan yang pernah saya denger di Selingkar. Seakan-akan potongan kata-kata teman-teman Selingkar itu bersambungan jadi satu dengan apa yang dijelaskan dosen tentang idealitas, makrokosmis, mikrokosmis, realitas dan lain-lain. Menjadi satu rel, yang sebelumnya berserakan di otak saya. begitu Kang Rizki. Saya juga masih belajar kok.

Rizki Adi Prianto: “Hihihi, enak yo...”

[o]

NABI YANG HIPSTER

Oleh: Irfan Wahyu Adi Pradana

Mungkin asing sekali kata hipster bagi kita semua, seperti nama sebuah brand atau malah seperti nama sebuah kota di luar bumi. Hipster di sini merupakan sebuah istilah yang diambil dari bahasa slank yang disematkan kepada orang orang yang menjauhi tren di lingkungan kita, bisa dikatakan menyepi dengan tren yang sedang ada di lingkungan kita(mainstream). Kita ambil contoh secara mayoritas disaat ujian   para komunal mahasiswa yang membuat contekan. Biasanya mereka  tulis di kertas atau dicatat di handphone.

Adolf Hipster
Nah orang orang hipster disini berbeda dengan mahasiswa lainnya. Dia membuat contekan dengan menuliskannya di tembok. Dan contoh lain secara kasat mata dia biasanya memiliki model rambut yang sedikit nyeleneh tapi tetap trendi dan biasanya suka sok diacak-acak agar terlihat lebih asik. Kemudian dia juga gemar menggunakan pakaian yang ‘se-edgy’ (baca: unik, red) dan biasanya dipasangkan dengan sepatu Converse, Doc Marten, atau mungkin sepatu polos yang dicat sendiri. Wah, familiar kan dengan ciri-ciri fisik di atas?

History….

Istilah hipster sendiri muncul pada tahun 40-an saat-saat masa kejayaan musik jazz dimana muncul kata "hip" untuk mendeskripsikan antusiasme pada "pemandangan" saat itu. Meskipun masih diperdebatkan asal mula kata tersebut, sebagian berpendapat "hip" merupakan turunan "hop", a slang word for opium. Sementara yang lain percaya kata tersebut berasal dari "hipi", sebuah kata dari salah satu bahasa di Afrika yang berarti "membuka mata seseorang". Either way, setelah mendapat imbuhan -ster (like in gangster) masuklah kata hipster ke dalam bahasa sehari-hari.

Pada awalnya hipster diartikan sebagai "characters who like hot jazz" yang saat itu berisi anak-anak muda kelas menengah berusaha untuk mengikuti gaya hidup musisi jazz kulit hitam yang mereka sukai. Norman Mailer dalam esainya, The White Negro, mengkarakteristikan hipster sebagai American existentialists, yang hidup dikelilingi oleh kematian - terhapuskan karena perang atom, dan tercekik oleh social conformity - dan memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat, exist without roots, then set out on that uncharted journey into the rebellious imperatives of the self.

Seems cool, right?

Hipster adalah…..

Ada banyak sekali definisi hipster  baiklah kita mulai dari  terminologi,  hipster berarti somebody up-to-date, yaitu seseorang yang memahami dengan baik gaya hidup terkait dengan musik, busana, serta perilaku sosial yang sedang "musim".

Menurut kamus urban dictionary hipster didefinisikan sebagai;
One who possesses tastes, social attitudes, and opinions deemed cool by the cool. (Note: it is no longer recommended that one use the term "cool"; a Hipster would instead say "deck.") The Hipster walks among the masses in daily life but is not a part of them and shuns or reduces to kitsch anything held dear by the mainstream. A Hipster ideally possesses no more than 2% body fat.
Ada banyak sekali pengertian yang sering digunakan untuk menggambarkan seorang hipster. Jika kita tarik benang merah dari berbagai definisi tersebut bisa dibilang “hipster adalah sebutan untuk menggambarkan anak muda, biasanya tinggal di kota besar, berada dalam kelas ekonomi menengah dan menengah ke atas, tertarik dengan produk budaya yang bukan ‘mainstream’ seperti fashion, musik indie, film indie atau apapun asal tidak pasaran."

Biasanya perlawanan terhadap produk-produk budaya mainstream tadi disebut dengan Counter-culture (budaya perlawanan). Tujuan kaum hipster mengkonsumsi hal-hal non-mainstream bisa sebagai bentuk penolakannya, tetapi bisa juga dilakukan untuk membentuk suatu identitas tertentu. Atau bahkan sekedar untuk terlihat keren di mata orang-orang sekitarnya. Semakin banyak orang yang jarang mengetahui sesuatu yang ia pakai, dengar, ataupun lihat, akan makin keren lah si Hipster.

Hipster Generation…

Anehnya, ketika apa yang dikonsumsi si Hipster mulai dilirik orang banyak dan menjadi mainstream, Ia akan berhenti menggunakannya dan mencari sesuatu yang berbeda dan eksklusif. Jadi bisa dibilang kaum Hipster kurang memiliki kesetiaan terhadap suatu produk budaya (musik, gaya berpakaian, film, dll, red). Jadi kita bisa mengatakan bahwa hipster adalah proses menuju mainstream walaupun diperlukan waktu yang agak lama agar kebudayaan atau tren mayoritas keil untuk diakui ke mayoritas yang lebih luas. Tapi satu hal yang muncul di pikiran saya setelah ngeliat pesatnya budaya ini berkembang adalah, hipsters are supposed to hate anything mainstream or trendy. But the look itself has gone mainstream. Do we still call it hipster?

Kenapa disini saya menarik sang legenda zaman? Jadi begini .siapa yang tidak kenal dengan sosok yang penuh kasih sayang dan lemah lembut Nabi Muhammad? Beliau adalah titik cahaya yang hidup pada zaman ‘kebodohan’ (jahiliyah). Bisa dibayangkan betapa hipsternya kanjeng nabi baik dari perbuatan dan perkataannya jika dibandingkan kebiasaan mayoritas para juhala’ saat itu.

Ketika anak-anak muda dari kalangan asyraf (bangsawan) banyak menghabiskan waktu dengan foya-foya, beliau tidak. Bahkan dikisahkan, suatu hari saat menggembala kambing, beliau melihat ada konser musik ala padang pasir di satu kampung, beliau penasaran dan hendak menonton, tapi di tengah jalan kok malah ngantuk, ketiduran di situ.

Ketika orang-orang hiruk pikuk dengan kehidupan kota dengan segala kenyamanannya, beliau malah mengasingkan diri di sebuah goa, menyepi atau bertapa. Ketika orang-orang terpana dengan behala-berhala dan mempertahankan ikon-ikon pujaan itu demi faktor tradisi dan ekonomi, beliau keukeuh dengan monoteisme dan menghidupkan kembali ajaran leluhur dari kalangan nabi-nabi terdahulu.

Ketika orang-orang dari kalangan asyraf memperlakukan budak semena-mena, mengubur bayi perempuan yang terlahir, beliau malah banyak mendorong kemerdekaan budak-budak, melarang penguburan bayi-bayi, berjalan dengan kerendahhatian bagai berjalan di jalan menurun, menengok dengan segenap badannya, membudayakan senyum kepada siapa saja.

Dan ketika sudah menjadi pemimpin pun, beliau tetap tidur di atas pelepah atau dedaunan kurma kering serta sering mengganjal peut lapar dengan batu, padahal banyak pemimpin lain yang bermanja-manja dengan karpet permadani maupun kipasan pelayan-pelayan di sekelilingnya. Dan masih banyak kehipsteran baginda yang lain.

Dengan kerja kerasnya yang tidak singkat, beliau dapat menularkan kehipsterannya kepada masyarakat, khususnya para pengikut beliau yang disebut: sahabat. Yang perlu dicontoh dari kehipsteran beliau adalah tetap konsisten dengan kehipsterannya walaupun ajaran beliau sudah menjadi mainstream  bagi masyarakat. Beliau tetap istiqamah dengan apa yang dilakukannya. seharusnya para hipster jaman sekarang mencontoh sikap hipster beliau, tentunya dalam  hal yang positif dan berguna bagi masyarakat. Nah yang saya masih bingung, Rasulullah termasuk tipikal hipster atau mainstream? Tentunya saya kembalikan kepada penduduk Selingkar sekalian.

[o]

Awal dan Akhir Hari

Oleh: Mukid

Dahulu kala, pada zaman Purba tepatnya pada zaman Nekrofagus (bersifat pemakan bangkai) telah terjadi perselingkuhan dan hubungan gelap antara spesies Homo Kuadratus (belum pintar dan berbahu lebar/persegi) dengan spesies Homo Wajakensis (manusia purba yang sudah mempunyai bentuk seperti homosapiens) dan akhirnya melahirkan spesies baru yaitu Homo Sapiens (manusia kini yang sudah berfikir).

Nah, Homosapiens tersebut bernama Zia Ereksitus, seiring bertambahnya usia, Zia Ereksitus menjadi seorang filsuf terkenal seantero jagat, bahkan dia adalah filsuf pertama dan satu-satunya pada saat itu. Suatu hari Zia Ereksitus sedang berfilsafat untuk menentukan awal dan akhir dari hari, setelah melakukan pengamatan yang cukup lama akhirnya Zia Ereksitus mempunyai beberapa kesimpulan, dimana kesimpulan itu dia paparkan kepada juru tulisnya yang bernama Irfan Idiotus, Irfan Idiotus termasuk spesies Homo Kuadratus yang lugu dan agak bodoh.

Zia Ereksitus bertanya, “Kamu tahu awal dan akhir hari?”

“Ha.. .. apa.. .. hari??” jawab Irfan Idiotus dengan mata yang lebar sembari mengusap iler dan ingus yang setia mempertampan wajahnya.

“Ah, percuma saja bicara denganmu, lebih baik kamu tulis saja omonganku,” perintah Zia Ereksitus sembari meggaruk-garuk p*nt*tnya.

“Baik, Kakak..” jawabnya masih diiringi lelehan ingus di hidungnya.

“Hari, hari itu adalah...,” Zia Ereksitus memulainya dengan agak bingung.

“Hari adalah gelap dan terang, gelap ketika bola cahaya hilang di sebelah sana, dan terang ketika bola cahaya kembali lagi dari sana,” jelasnya sembari menunjuk-nunjuk arah, “Sebelum terjadi gelap dan terang adalah sebuah remang-remang.”

“Haa, remang-remang? Aku suka remang-remang.. hohoho,” celetuk Irfan Idiotus dengan menyipitkan mata dan lobang hidung yang membesar. Zia meneruskan ceritanya,

“Dan sekarang aku akan memutuskan bahwa awal hari adalah..,” Zia Ereksitus berhenti. Irfan Idiotus juga bengong menunggu lanjutan kesimpulan darinya.

“Sebentar,” kata Zia Ereksitus. Irfan Idiotus hanya diam sembari bermain ingus dengan hidungnya. Zia Ereksitus berfikir, kalau awal hari adalah terang maka aku akan terlambat menjalani hari, karena aku selalu bangun ketika hari sudah terang, dan tak pernah melihat bola cahaya muncul. Tapi kalau awal hari adalah gelap maka aku tidak akan mampu menjalani hari, karena sebelum gelap itu berakhir aku pasti lebih dulu tidur, jadiii... emmm..

“Jadi aku putuskan AWAL HARI adalah SAAT AKU BANGUN TIDUR, dan AKHIR HARI adalah SAAT AKU TIDUR!”

Zia pun tersenyum puas, membuat mukanya yang berbulu menjadi sedikit lebih tampan. Irfan juga berdiri dan menepuk-nepukan tangan kedadanya yang lebar dan penuh bulu-bulu kasar, kemudian diikuti juga dengan zia. Mereka memukul-mukul dada dan berteriak;

“AAAAAUUUWWWOOOOWWWW...!!”

[o]

Rabu, 13 Mei 2015

Pendidikan Manusiawi

Sanggar Anak Alam, Nitripayan Kasihan Bantul | Rabu 13 Mei 2015 | Penyaji: Ibu Sri Wahyaningsih

Mendung menggelayut di langit Jogja, jam setengah satu siang penDuduk Selingkar beranjak dari Krapyak menuju Nitripayan, Kasihan, Bantul. Hanya butuh sepuluh menit perjalanan untuk sampai di tempat tujuan kami, yakni kediaman Ibu Sri Wahyaningsih di lingkungan Sanggar Anak Alam (SALAM).

Rabu siang (13/05) itu memang kami agendakan untuk berkunjung sinau ke sebuah tempat inspiratif. Lembaga pendidikan alternatif di tengah persawahan kampung Nitiprayan, Sanggar Anak Alam atau disingkat SALAM. Saat kami tiba di sana, nampak anak-anak dan beberapa orang tua sedang berbenah untuk pulang, karena jam sekolah memang sudah usai, dan giliran anak-anak belajar di rumah bersama orang tua masing-masing. Suasana asyik lingkungan SALAM bisa kita lihat melalui video ini: ‘Lentera Indonesia: Sanggar Anak Alam’

Setelah melewati parit dan hamparan sawah, kami sampai di halaman SD-SMP SALAM, di sana kami disambut Mas Yudhistira, ketua Pusat Kelompok Belajar Masyarakat SALAM. Tentang obrolan kami bersama beliau beberapa waktu lalu sudah tertuang di tulisan ‘Sekolah Kehidupan di Sanggar Anak Alam’

Setelah bertegur sapa dengan Mas Yudhis, kami langsung menuju rumah Bu Wahya, sang pendiri sekolah, yang sekaligus menjadi kelas Playgroup SALAM. Sekitar lima puluh meter sebelah utara sekolah, rumah beliau berdiri dikepung sawah dan kolam ikan. Di situlah Bu Wahya tinggal bersama suami beliau, Pak Toto Raharjo dan putra-putrinya. Pak Toto sudah menulis buku berjudul ‘Sekolah Biasa Saja’, menjelaskan filosofi dan praktek pendidikan yang diterapkan di SALAM, resensinya bisa kita baca di sini: ‘Sekolah Biasa Saja Yang Luar Biasa’

“Dari mana ini temen-temen?” sambut Bu Wahya sambil mempersilakan kami duduk melingkari meja Playgroup warna warni. Kami memperkenalkan diri sebagai klub diskusi santai Selingkar yang punya kegiatan utama: wira-wiri sinau mengunjungi sumber-sumber ilmu dan pengalaman-pengalaman para pejuang kehidupan.

Ada Afi dan Anis, dua mahasiswi pascasarjana pendidikan. Ada Nisa dan Rahma yang sedang tertarik dengan pendidikan kritis sebagai bahan skripsinya. Ada Sulaiman, Adieb, Mukid dan Irfan, para koboy kampus yang tak lulus-lulus. Ada Abidin dan Khotib, dua pemuda yang bergiat sebagai bakul buku. Ada Hartawan dan Adam, dua ustadz muda pengemong anak-anak yang menyusul datang. Ada pula Mas Firman, Mas Teguh beserta istri dan kedua anaknya, yang kebetulan sama-sama sedang dolan di lokasi.

SEKOLAH RELIJIUS

“Pernah ada beberapa mahasiswa UIN seperti kalian bikin skripsi di sini. Sudah ada tiga skripsi. Salah satu hasil penelitian mereka malah mengatakan bahwa SALAM ini adalah sekolah yang islami,” kata Bu Wahya mengawali perbincangan, “Padahal di sini nggak ada pelajaran agama lho,” lanjutnya sambil ketawa.

Memang, di SALAM tidak ada mata pelajaran agama sebagai rangkaian asupan materi untuk anak didik. Mengapa? Alasannya jelas: pengajaran agama adalah tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Sedangkan di sini, sekolah lebih berperan sebagai wadah bagi anak-anak untuk membiasakan diri dengan sikap-sikap relijius, bukan sekedar materi-materi reliji.

Di sini, anak-anak dibimbing oleh fasilitator. Sedangkan gurunya adalah semua orang yang terlibat di dalam proses belajar. Entah itu fasilitator, siswa sendiri, orang-orang di lingkungan sekitar, terutama orang tua atau wali siswa.

Orang tua sangat dilibatkan dalam proses belajar anak-anak, baik di sekolah maupun di rumah, supaya tidak terjadi pengingkaran terhadap fitrah si anak. Maksudnya, ketika di sekolah anak-anak belajar tentang kejujuran, maka nilai kejujuran pun harus dipraktekkan orang tua di rumah. Atau ketika di sekolah belajar tentang makanan sehat, di rumah pun orang tua musti sadar tentang makanan sehat.

“Sampai-sampai ada orang tua cerita,” kata Bu Wahya, “Musti nunggu anaknya tidur dulu baru bisa makan mie instan. Emang udah kebiasaan sejak zaman kuliah makan mie instan. Soalnya kalau ketahuan anaknya, bisa diprotes habis-habisan. Tapi ya lambat laun si orang tua justru makin sadar kesehatan.”

Forum orang tua murid menjadi wadah rutin bagi fasilitator dan orang tua untuk membahas hal-hal tentang pendidikan anak-anak. Tak hanya itu, sebulan sekali diadakan program belajar di rumah. Yakni satu kelas mengambil lokasi belajar di rumah salah satu siswa. Kesempatan itu diisi oleh orang tua si tuan rumah sebagai fasilitator untuk berbagi ilmu atau keterampilan apapun yang dimiliki.

“Misal ada anak yang orang tuanya tukang parkir. Ya di situ anak-anak belajar markir, jadi anak-anak pegang peluit sambil mengayun-ayun tangan begitu,” jelas Bu Wahya yang pernah berjuang bersama Romo Mangun di bantaran Kali Code.

Komunitas SALAM meyakini bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan tidaklah cukup di dalam ruang kelas saja. Diperlukan proses beljar secara holistik, melibatkan orang tua dan lingkungan setempat. Belajar merupakan gerakan untuk menemukan nilai-nilai serta pemahaman hidup yang lebih baik, itulah hakekat ‘Sekolah Kehidupan’.

RISET EMPAT PERSPEKTIF

Memang tidak ada penjadwalan mata pelajaran di SALAM ini. Namun pembelajaran yang terjadi dalam suatu objek bisa mencakup banyak materi pelajaran. Misal, ketika anak belajar tentang kecebong di sawah, di situ dia belajar bahasa dengan menulis dan mengucapkan segala yang berkaitan tentang kecebong. Dia juga bisa belajar seni dengan menggambar dan mewarnai apa yang dia lihat. Dia juga bisa belajar berhitung dengan sampel si kecebong. Dia juga bisa belajar materi IPA hingga agama dengan mengamati kecebong.

 “Proses pembelajaran di sini adalah memberi pengalaman bagi anak-anak. Yakni dengan riset. Bagi yang pra-sekolah, kami lebih fokus kepada penguatan panca indera. Apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, apa yang kamu rasakan, bagaimana interaksi dengan teman. Dari itu semualah sumber belajarnya. Jadi, untuk anak-anak pra sekolah, fokusnya bukan kepada pengetahuannya, melainkan kepada rasa ingin tahunya,” ungkap Bu Wahya.

Beliau menyayangkan anak-anak TK yang sudah diajari matematika, membaca, menulis, berhitung dan berbagai macam asupan kognisi yang belum sesuai. Tak demikian dengan SALAM, di sini anak-anak belajar hadap masalah melalui panca indera mereka, yakni dengan melihat, mendengar dan mengamati.

“Kemudian buat kelas 1 sampai kelas 3,” lanjut Bu Wahya, “Kami fokuskan kepada membaca, menulis dan berhitung. Nah, tentang apa yang dibaca, apa yang ditulis, dan apa yang dihitung, disesuaikan dengan empat perspektif. Yakni: pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Jadi, semua aktivitas belajar mengarah pada kesadaran tentang pangan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial budaya.”

“Caranya bagaimana, Bu?” sahut Afi.

“Dengan riset,” jawab Bu Wahya.

“Riset?”

“Iya riset. Tapi jangan bayangin kayak riset mahasiswa yang rumit lho ya,” jelas Bu Wahya, “Riset itu ‘kan penelitian, atau bahasa Jawanya; niteni, ilmu titen. Misal, anak meneliti tentang pohon Talok, bagaimana bentuknya, dimana letaknya, apa warnanya, pokoknya melihat dan mengamati objek itu. Lalu dibimbing bagaimana menulis ‘ini talok’, menggambar talok, dan menghitung jumlah daun talok. Jadi mereka tidak diajari dengan model ‘ini Budi, ini Ibu Budi’ semacam itu.”

“Jadi nggak pak kurikulum dari pemerintah ya Bu?” tanyaku.

“Kurikulum yang dari pemerintah itu ya sekedar pegangan aja. Misal, kira-kira anak kelas 1 ditarget menguasai angka 1 sampai 100, ya anak-anak dibimbing ngubek-ubek angka 1 sampai 100 di sawah, di pohon, di pasar, di kali, dimanapun. Mereka bisa belajar satuan, puluhan, dengan mengikat ranting atau lidi atau kerikil di sekitar. Pokoknya semua proses belajar di sini harus ada peristiwanya.”

“Bu, saya permisi dulu,” sela Abidin.

“Oh, mau kemana?”

“Ada acara,” jawab pemuda tangguh yang sudah beranak tiga ini.

“Kemudian,” lanjut Bu Wahya, “Kelas 4 sampai 6 sudah mulai mengaplikasikan kemampuan membaca, menulis dan menghitung. Lebih menjurus ke praktek, misalkan menanam dan mengamati padi. Bagaimana menanamnya, akarnya bagaimana, perkembangannya seperti apa, pengolahannya bagaimana. Di sini anak-anak akan mulai wawancara dengan petani. Begitu juga dengan praktek membuat kompos, lalu bagaimana produksi makanan sehat, dan sebagainya.”

“Jadi setiap hari riset ya Bu?”

“Iya, tapi ‘kan nggak selalu terjun ke lapangan. Riset di sini ada alurnya.”

“Alur risetnya bagaimana, Bu?”

“Setelah anak-anak mengamati dengan inderanya, mengalami, maka kemudian dia dibimbing untuk bisa mengungkapkan. Yakni menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya. Itu tahap riset pertama. Lalu kedua, menganalisis, yakni mengkaji sebab-sebab dan kaitan-kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut. Ketiga, menyimpulkan pemahaman yang didapatkan dari proses analisa atas pengalaman. Lalu tahap terakhir adalah melakukan, tahapan inilah yang bersifat eksperimental. Kalau istilah jawanya: niteni, niru, nambahi. Yaitu meneliti dan mengamati, menirukan dan mengaplikasikan, lalu kemudian berinovasi.”

Bu Wahya kemudian mengisahkan riset bersama anak SMP SALAM. Kala itu mereka belajar tentang transportasi, mereka meneliti di terminal, bertemu komunitas pencinta bis, komunitas kereta api. Banyak yang bisa mereka amati, salah satu kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa alat transportasi saat ini lebih mewakili gengsi daripada fungsi. Maka tak heran jika hal ini menyebabkan kemacetan dan polusi jalanan.

Pernah pula anak-anak belajar tentang silsilah keluarga. Dari situ mereka bisa sampai memahami jaring-jaring kekerabatan, pernikahan antar-etnis, hingga kasus kerusuhan Mei ’98. Pernah kelas 2 belajar berhitung dengan menghitung inventaris rumah masing-masing. Ternyata ada anak yang di rumahnya punya garasi sampai dua ruang, ada pula anak yang di rumahnya bahkan tak punya dapur. Akhirnya fasilitator mengarahkan pemahaman sosial agar tidak terjadi iri dan kesenjangan.

“Misal, kita belajar berhitung dengan meneliti ikan. Tadinya ada dua ikan, sekarang tinggal satu. Berarti ‘kan berkurang ya. Tapi kita tidak berhenti pada 2-1=1, kita bertanya; apa sebab jumlah ikan itu berkurang? Kalau dicuri, bagaimana dampaknya. Kalau dihadiahkan, apa akibatnya. Nah, belajar ilmu pasti pun bisa menjurus ke ranah sosial. Proses pembelajaran pada satu objek jadi punya banyak perspektif, tidak hanya textbook. Jadi, anak-anak bisa belajar dari sesuatu yang riil, bukan takhayul,” kata Bu Wahya.

TANGGUNG JAWAB

SALAM tak seperti sekolah-sekolah pada umumnya yang penuh dengan aturan-aturan ketat, mulai dari busana hingga kehadiran. Di sini, aturan disepakati oleh anggota kelas. Tiap kelas punya aturan sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kondisi kelas masing-masing. Aturan-aturan kesepakatan yang dibuat selaras dengan tiga asas, yakni bagaimana agar menjaga diri sendiri, menjaga teman, dan menjaga lingkungan.

“Di sini anak memang merdeka, namun tentu ada aturan yang disepakati agar kemerdekaan diri sendiri tidak melanggar kemerdekaan orang lain,” tutur Bu Wahya.

Tahun lalu, 12 anak SD SALAM lulus, 4 anak melanjutkan di SMP SALAM, 8 lainnya ke sekolah formal di luar. Di luar, delapan anak itu baru merasakan sekolah yang ada rankingnya dan empat di antaranya ranking 1, dan rata-rata aktif di keorganisasian semisal OSIS dan lain-lain.

“Aturan-aturan kondisional yang disepakati di sini menumbuhkan sikap bertanggung jawab. Ya memang sifat anak-anaknya masih ada, namun tanggung jawabnya sudah dewasa,” terang Bu Wahya.

Beliau menceritakan pengalaman salah seorang orang tua. Anak pertamanya sekolah di luar, sedangkan anak kedua sekolah di SALAM. Suatu ketika ada air tumpah di lantai, sementara kakak beradik sedang santai di ruangan itu. Si Kakak hanya melihat lalu menyingkir. Sedangkan Si Adik langsung mengambil kain pel dan mulai membersihkan tumpahan air itu. Dari sini sudah terlihat perbedaan tentang bagaimana melihat dan merespon sesuatu.

“Tentang merespon, ada pengalaman menarik waktu anak-anak kami ajak jalan-jalan ke Taman Pintar,” Bu Wahya berkisah, “Sampai di sana, anak-anak protes: katanya Taman Pintar, tapi kok banyak Junk Food! Karena memang di situ banyak yang lagi makan Pop Mie. Pernah juga kami ikut suatu acara pameran bertema lingkungan, tapi di pintu masuk sudah ada promo mie instan yang jadi sponsor. Terang saja anak-anak kesal, mereka protes. Akhirnya anak-anak itu janjian audiensi dengan pengelolanya, dan mereka betul-betul menyampaikan protes itu.”

Menyusul Abidin, Hartawan pun pamit pulang, sudah kangen dengan anak-anak TPA asuhannya.

UJIAN

Kadang pengelola SALAM juga meminjam soal-soal yang digunakan di sekolah formal. Pernah suatu ketika anak-anak kelas 3 SD SALAM mengobservasi soal-soal itu.

“Mereka malah ketawan-tawa,” kata Bu Wahya, “Lha banyak bentuk soal yang konyol. Misal, ada gambar lemari, piano, dan kompor. Kemudian di sampingnya ada pertanyaan: benda di samping yang yang bisa berbunyi adalah.., lha ya jelas bisa berbunyi semua dong kalau dipukul. Banyak bertebaran pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang memasung dan menjerumuskan anak-anak pada pola pikir sempit.”

“Di SALAM ini ada ulangan juga Bu?”

“Ada. Tapi beda bentuknya, karena di sini mereka riset, maka ujiannya ya membuat laporan. Jadi di akhir riset itu nanti anak-anak membuat presentasi, pameran, workshop, atau pementasan. Dan itu mengundang orang tuanya. Nah di akhir semester ada Gelar Karya, di situ nanti ada fotografi, tari, teater, musik, macem-macem. Setiap tiga bulan ada juga Pasar Pangan Sehat. Ada juga pasar buat anak-anak, namanya Pasar Senen Legi. Di situ pakainya uang kesepakatan, bukan uang Bank Indonesia, kami sebut dengan Uang Salam. Jadi ada penukaran khusus buat Pasar Senen Legi itu. Setiap peserta pasar bisa jualan barang atau menawarkan jasa.”

KEDAULATAN

Tentang pasar ini, Bu Wahya bercerita dengan penuh semangat. Di pasar SALAM, dipraktekkan seperti halnya pasar-pasar global pada umumnya. Ada transaksi barang dan jasa, ada bank plecit juga. Bedanya, bank plecit di sini melayani peminjaman tanpa paksaan dan ikatan bunga yang mencekik. Berbeda dengan Bank Dunia yang begitu memenjara dan mendikte kliennya.

Praktek pasar SALAM dengan ‘uang kesepakatan’ ini menjadi salah satu wahana belajar untuk menumbuhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi bagi anak-anak. Terutama dalam hal pemenuhan pangan.

“Kita ini kaya bukan main, tanah subur dan kaya sumber daya. Tapi kok lucu, bahan makanan pokok saja sampai impor,” keluh Bu Wahya, “Belum lagi berbagai variasi jajanan lokal yang kebanyakan dari kita sudah nggak kenal. Kalah sama junk-food junk-food dari luar itu.”

Di sini, SALAM berhati-hati dengan tawaran kerjasama dari luar negeri, sangat membatasi. Biasanya di antara tawaran itu ada yang membawa kontrak-kontrak tertentu, mulai dari promosi produk hingga pemahaman sok yes.

“Misal, ada program multicultural school, lha padahal di budaya kita sudah ada tepa salira. Ada juga program sekolah adil gender, lha menurut kami itu nggak perlu, karena di SALAM, semua ya harus mendapat keadilan,” jelas Bu Wahya, “Yang penting kita jangan jadi orang kagetan, gumunan. Budaya kita udah tinggi sekali. Jadi orang Jawa ya Jawa sesungguhnya. Sumatera ya Sumatera yang sesungguhnya.”

Sikap kritis berdaulat semacam inilah yang dibudayakan melalui SALAM. Semestinya hal semacam ini pula yang didapatkan mahasiswa melalui bangku kuliah, yakni membuka wawasan dan meneguhkan jati diri. Bukan justru penyeragaman sikap dan penerimaan habis-habisan terhadap ide-ide impor tanpa sikap kritis.

“Eh, silakan lho diminum tehnya, kuenya juga dicicipi, ini buatan sendiri lho,” kata Bu Wahya.

“Buatan sendiri Bu?” sahut Mukid, “Enaak..”

“Iya, kami juga buat kopi, jajanan, cemilan sehat, kecap, kaos, macem-macem pemberdayaan ekonomi.”

MASA WIRAGA

“Dengan gaya belajar semacam ini, apakah lulusan SALAM bisa bersaing dengan lulusan sekolah-sekolah di luar sana, Bu?” tanya Khotib.

“Satu hal yang musti dipahami adalah bahwa di SALAM ini kami tidak menganut konsep persaingan dan unggul-unggulan. Nggak ada begituan,” papar Bu Wahya.

“Lalu rangsangannya apa, Bu?”

“Ya apresiasi,” tegas Bu Wahya, “Di sini anak-anak betul-betul diapresiasi atas pengalaman dan karyanya masing-masing. Kami berusaha memanusiakan manusia sebagai dirinya sendiri, bukan dengan ukuran-ukuran orang lain yang distandarkan. Selain itu ada juga reward dan punishment. Nah, untuk punishment atau hukuman ya harus menyesuaikan kondisi si anak. Karena walau bagaimanapun, hukuman akan mempengaruhi kondisi psikis anak. Misal, ada dua anak, satu masih kelas 3, satunya kelas 6, keduanya menyakiti temannya masing-masing, tentu penanganan dan hukumannya berbeda.”

SALAM meyakini bahwa pendidikan dasar merupakan pondasi penting untuk meletakkan sistem berpikir dan bersikap yang harus dibangun sejak anak-anak, yakni untuk memahami potensi dan problematika serta realitas kehidupan. Bukan sebagai lahan unggul-unggulan dan jatuh menjatuhkan ala konsep persaingan.

“Kadang sekolah-sekolah di luar itu kelihatan sibuk banget, tapi sebenarnya apa yang dilakukan?” kritik Bu Wahya, “Di sini kami kelihatannya cuma nemenin anak main-main saja, namun sebenarnya kami melakukan hal yang sangat esensial.”

Apa yang dikatakan Bu Wahya tentang esensialitas bukan omong kosong, karena hal ini cocok dengan konsep Ki Hadjar Dewantara tentang Wiraga-Wirama. Windu pertama, yakni usia 0-8 tahun adalah masa Wiraga, masa bergerak atau aktivitas fisik. Tapi di sekolah-sekolah pada umumnya, justru anak-anak dipasung dengan banyak aturan. Misalnya, dipaksa memakai seragam yang membatasi gerak mereka, memakai rompi dan kemeja, padahal mereka butuh banyak bergerak dan butuh busana kasual yang nyaman. Anak-anak pada masa itu sedang dalam masa bisa meniru mengeksplor dan mengeksplor apa saja.

“Maka semestinya sekolah harus memberi ruang seluas-luasnya pada masa Wiraga ini. Itulah mengapa pada masa ini kita musti ‘Tut Wuri Handayani’, tidak menggurui, tapi memberikan topangan dengan fokus anak itu sendiri,” jelas Bu Wahya, “Makanya, anak-anak di sini dibebaskan belajar di alam terbuka. Dan konsep belajarnya adalah dengan riset.”

Windu kedua, usia 9-16 tahun, adalah masa Wirama. Yakni ketika anak masih bergerak banyak, namun sudah paham aturan, tahu jadwal. Maka dengan pembimbingan pendidikan yang tepat, semestinya anak usia 17 tahun sudah kenal potensi dirinya, paham kebisaan dan arah kecenderungan bakatnya. Setelah masa itu ada masa Mangkupraja, dan seterusnya. Pada usia 40 tahun, kepribadian seseorang semestinya sudah matang tak tergoyahkan.

“Jadi, kalau ditanya bagaimana output dari SALAM ini,” tukas Bu Wahya, “Ya biar anak menjadi dirinya sendiri, tidak menjadi orang lain. Yakni memilih jalannya bukan atas paksaan orang tua, bukan obsesi orang lain, juga bukan menjadi korban tren. Misalnya, kalian yang kuliah keguruan karena hati nurani, bukan sebab pelarian atau karena nggak keterima di jurusan lain. Sebab tak sedikit pola hidup manusia modern terjebak dalam dorongan-dorongan prestis.”

KEMANDIRIAN

“Kalau misal kepribadian anak sudah mengenali potensi diri, tapi ternyata bertentangan dengan obsesi orang tua, itu bagaimana solusinya Bu?” tanya Mas Firman.

“Maksudnya?”

“Yaa misalkan si anak ingin dagang, tapi orang tuanya ingin anak itu jadi PNS, begitu.”

“Yaa kuncinya komunikasi. Bagaimana kita menyampaikan, bagaimana kita memahamkan orang tua,” jawab Bu Wahya. “Dan yang terpenting adalah, apapun pilihan kita asal kita bertanggung jawab dan membuktikan kemandirian kita. Di Indonesia ini masih sangat luas bidang pekerjaannya lho, Mas. Kami dan teman-teman di forum orang tua murid banyak yang justru meninggalkan pekerjaannya dan malah bekerja di lingkungan SALAM ini. Ya memang konsekuensinya tidak mudah, tapi ada kepuasan.”

Tidak ada bantuan dari pemerintah sama sekali dalam pendirian SALAM. Awalnya hanya ada playgroup dan TK yang berlokasi di ruang tamu keluarga Bu Wahya. Kemudian berkembang menjadi SD dan SMP, banyak pula diadakan pelatihan dan workshop, serta muncul berbagai kegiatan pemberdayaan ekonomi. Itu semua tanpa uluran pemerintah.

Posisi ini menguntungkan SALAM. Maksudnya, tidak ada tuntutan apa-apa yang perlu dipenuhi SALAM kepada atasan. Berbeda dengan sekolah-sekolah atau instansi pendidikan yang bernaung di ketiak pemerintah. Pemberian amplop dari kepala sekolah kepada penilik adalah pemandangan wajar di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.

“Kami sering membuat aktivitas yang bisa mendanai acara itu sendiri. Jadi ya, nol rupiah,” kata Bu Wahya, “Aktivitas yang kami gelar di sini bukan dengan pendekatan proyek. Misal, besok ada acara Konser Boleh Salah, yakni ajang apresiasi bakat anak-anak. Tiket masuknya jajan tradisional minimal lima bungkus. Nah, acara itu sekaligus bisa menjadi ajang kampanye makanan sehat yang variatif, dan mengakrabkan.”

Dua bocah lucu menghampiri Bu Wahya minta salaman. Mereka anak-anak Mas Teguh dan istrinya yang pamit pulang.

“Apakah bisa, model pembelajaran di SALAM ini diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang sudah kadung eksis dengan gaya konvensional?” tanya Adam, merujuk pada lembaga yang ia pegang.

“Bisa saja!” tegas Bu Wahya, “Asalkan ada keselarasan antarpelaku proses pendidikan di lembaga itu. Yakni guru atau fasilitator, orang tua siswa, dan pengelolanya. Pernah ada guru yang ikut pelatihan di sini untuk diterapkan di kelasnya. Dia pun mengajak anak-anak jalan-jalan sambil belajar di luar kelas, pas saat itu ada penilik sedang mampir dan kepala sekolah tak bisa menjelaskan. Ya akhirnya dia diskors oleh kepala sekolahnya. Berarti ‘kan belum selaras antar pengelola pendidikan. Nah, kita nggak mau terjadi hal kayak gitu.”

Terakhir, beliau mengkritik banyaknya persekolahan yang memiliki spirit 'mencetak', memperlakukan anak didik bukan sebagai manusia yang membawa potensi, melainkan sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi produk komoditas. Mulai dari taman kanak-kanak yang siap mencetak anak agar bisa baca tulis, hingga kampus yang dalam sekian tahun menjamin siap kerja.

“Itu sekolah atau pabrik buruh? Edan tenan!”

Tak terasa, tiga jam sudah kami berbincang dengan Bu Wahya. Beliau begitu bersemangat menulari kami virus tentang pendidikan yang manusiawi. Hujan deras yang sedari tadi mengguyur sudah mereda. Kami pun berpamitan.

Bu Wahya mempersilakan kami untuk hadir dalam event-event yang akan digelar SALAM, seperti Konser Boleh Salah, pasar Senen Legi, Gelar Karya, dan lainnya. Tidak anya hadir, kami juga dipersilakan ikut berdagang kalau berminat. Lebi dari itu, beliau juga membuka kesempatan bagi siapapun yang mau belajar di SALAM dengan menjadi fasilitator.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami tanyakan, masih banyak pengalaman yang ingin kami gali, namun keterbatasan waktu mengharuskan kami undur diri. Jam setengah lima sore kami pulang dengan membawa semangat yang begitu cerah, secerah langit Jogja selepas hujan.
[o]

Minggu, 10 Mei 2015

KEPOMPONG

Ada yang unik antara dua penDuduk Selingkar ini, Tuanku Irfan (Coro) dan Paduka Pramono (Hulk). Keduanya menjalin hubungan mesra yang aneh. Setiap kali bertemu, pasti ribut, hampir tarung fisik atau sekedar cekcok mulut. Namun selalu berakhir dengan cengengas cengenges.


“Heh Cuk, sesuk libur mergo hari opo?” tanya Irfan.

“Lha koe kok ‘cak cuk cak cuk’ maring aku!?” sahut Pram, sensi.

“Yo iyo wees, sesuk libur ngopo Maas?” sambung Irfan menggoda.

“Lha yo ora ngerti aku!” jawab Pram ketus.

“Ah koe ki ncen ra ngerti opo-opo kok, goblok..” hina Irfan.

“Gelut wae yuh!” tantang Pram, emosi.

“Wani po??!” lawan Irfan.

“Ta’ dengkul ngglodak wolung meter koe!” kejar Pram memperagakan jurusnya.

“Ah cangkeman!” potong Irfan sambil pasang tampang menyebalkan.

Begitulah salah satu dialog yang sering mereka lontarkan, saya sampai hapal. Dan lucunya, sampai hari ini tidak pernah terjadi adu jotos betulan, padahal itu yang paling teman-teman tunggu. Hehehe. Sangkin gemesnya dengan kelakuan mereka berdua, akhirnya kami putuskan untuk menggelar sidang klarifikasi terhadap hubungan aneh itu.

Memang awalnya kami mengobrolkan gonjang-ganjing
kraton, bersama Kang Fadoli, pengantin baru yang lama berkecimpung di dunia jurnalistik. Kami rasan-rasan mulai dari keampuhan zaman Sultan Agung, hawa spiritual trah kraton yang diturunkan dari generasi ke generasi, hubungan kesultanan dengan pesantren yang makin renggang, mengganasnya proyek-proyek kapitalis beberapa tahun belakangan, munculnya mall-mall besar dan minimarket-minimarket yang jelas mematikan pasar lokal, hingga tetek bengek sabdaraja yang dikeluarkan Sultan baru-baru ini. Namun kami lebih tertarik membahas problem riil yang sedang hot di tengah lingkaran kami: persahabatan Pram dan Irfan.

Menurut Said, alangkah beruntungnya Pram memiliki teman semacam Irfan yang suka menglok-oloknya itu. Karena dengan olok-olokan itu, mentalnya jadi terbangun. Dan itu terbukti dengan semakin matangnya kedewasaan Pram bila dibandingkan beberapa tahun lalu saat ia masih berpikir dan bersikap seperti bocah. Apalagi belakangan, Irfan bersikap seperti itu agar Pram segera menggarap skripsi yang masih nol besar.

Hal ini berbeda jauh dengan lingkungan pertemanan yang nyaman. Hanya bertabur pujian, tidak ada sikap kritis, tidak ada pengingat, tidak ada misuh, tidak ada ketegangan, tentu tidak akan mendewasakan. Belum lagi banyak model teman yang justru mengajak ke hal-hal negatif nan menjerumuskan, pergaulan khas anak-anak muda labil di tengah gemerlap Jogja.

Pendapat ini diamini Mukid. Menurutnya, hubungan antara Irfan dan Pram bagai kambing dan rumput. Irfan kambingnya, Pram rumputnya. Si Kambing menginjak-injak rumput, memakannya, mengunyahnya, kemudian mengisinginya. Namun tanpa disadari, hal itu justru menyebabkan Si Rumput menjadi tumbuh subur dan lebih hijau.

Mendengar ini, dada Irfan membusung dan mukanya tambah sengak.

“Rungokno kui Cuk!” katanya. Pram hanya mendengus kesal.

Dalam sidang ini, dua penasehat dihadirkan, yakni Mbah Rijal dan Mbah Yasin. Keduanya memberi nasehat bagi masing-masing calon mempelai; Irfan dan Pram. Sebagai manusia, tujuan hidup adalah suatu hal yang esensial, demikian menurut Mbah Rijal. Maka Pram semestinya memahami tujuan hidupnya, lebih sempit lagi, tujuannya merantau dari Wonosobo ke Yogyakarta, tentu agar dirinya tidak terbuai oleh gemerlap-gemerlap duniawi berupa harta, tahta, dan wanita.

Mbah Yasin lebih mengarahkan kritikan pada sikap Irfan. Menurutnya, memang injakan dan berbagai macam intimidasi mental itu perlu, namun musti ‘empan papan’, tahu tempat dan paham kondisi. Karena tidak semua orang siap ditempa semacam itu. Pada saat perasaan seseorang cerah ceria mungkin umpatan sepedas apapun serasa biasa saja. Namun ketika orang yang sama sedang bad mood, sindiran sepele saja bisa menggoreskan luka.

“Nyoh! Rungokke kui Ro, Coro!” seru Pram sambil menuding-nuding Irfan. Yang dituding melengos sambil garuk-garuk jenggot.

Misuh berbeda dengan misuhi, begitu kata Mbah Yasin. Misuh adalah mengungkapkan gemerundel-gemerundel hati dan segala kekeruhan di dalamnya dalam bentuk kata-kata umpatan, sehingga plong jadinya. Sedangkan misuhi adalah mengumpat suatu obyek di luar dirinya, baik orang maupun keadaan. Nah, baik ‘misuh’ maupun ‘misuhi’ harus ‘empan papan’. Berbeda dengan sikap ‘ngece’ (menghina/mencela) yang nertendensi merendahkan martabat, hal ini sebaiknya kita jauhi betul-betul terhadap siapapun.

Akhirnya kami menginsafi bahwa kedewasaan dan kematangan diri hanya bisa digapai dengan proses kegoncangan, ketegangan, dan berbagai kondisi ketidaknyamanan. Termasuk dalam hal persahabatan. Setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan khas, namun segala macam gesekan sepatutnya menjadi proses agar potensi yang dimiliki masing-masing bisa terus berkembang dan berkilau bak batu akik. Sepertinya memang benar lirik lagu ceria satu itu:

“Persahabatan bagai kepompong.. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu..”

Sidang klarifikasi diakhiri jam dua belas malam dengan simbolisasi perdamaian dan saling memaafkan antara dua kubu. Yakni dengan salaman setulus hati antara Irfan dan Pram. Keduanya berjanji untuk saling melengkapi sehidup semati, menjalani suka duka kehidupan bersama hingga anak cucu nanti. Ooh, so sweeet. "Keeetcaaaww!" seru Mukid.

Tak berapa lama, datang Sutri untuk gabung diskusi, serta merta kami pun langsung membubarkan diri.

~
Krapyak, Ahad 10 Mei 2015

Jumat, 01 Mei 2015

Mari Ketawa!

Oleh: Novel Em Alam
Kenyataannya, semua fenomena yang ada di dunia ini tidak selamanya bisa dilogikakan. Apakah kemudian kita harus protes? Ya jangan juga. Kita harus melihat sikap masyarakat terhadap fenomena-fenomena yang dimaksud. Kalau dalam masyarakat tidak bermasalah ya biarkan saja. Kalau kita protes ntar malah kita yang dianggap tidak waras.

Kalimat ngawur diatas hanya pengantar. Maksudnya saya ingin menyampaikan bahwa ada loh hal-hal aneh (tidak masuk logika) dalam kehidupan sehari-hari kita tapi tidak kita rasakan, ato minimal kita sudah sepakat menganggapnya biasa. Contohnya adalah pacaran. Nah, ini sudah masuk ke pointnya nih. Pacaran adalah hal yang dilarang (oleh agama) tapi disepakati dimaklumi untuk dilakukan. Dilarang tapi ditidak-apa-apakan. Dilarang tapi dibolehkan. Orang yang pacaran (baca: punya pacar) itu tidak apa-apa, bahkan justru bagus. Yang tidak pacaran kampungan, tidak mengikuti tren, dan ngga keren. Aneh kan?

Coba siapa yang tidak sepakat dengan konsep pacaran? Kalau anda mengaku, pasti anda adalah orang aneh. Anda adalah bagian dari orang minoritas, ato jangan-jangan anda hanya sendirian karena anda keluar dari kesepakatan hasil musyawarah besar masyarakat. Ada yang protes dengan statmen ini? Oke, kalau nggak ada, terima kasih.

Lanjut. Coba bandingkan dengan bentuk larangan-larangan yang lain. Larangan mencuri, misalnya. Semua orang sepakat bahwa mencuri itu tidak boleh dan harus tidak dilakukan. Kalau dilakukan berarti melanggar norma. Konsekuensinya dikucilkan, dipenjara, dosa dan nanti masuk neraka (kalau yang percaya neraka). Bahkan pencurinya sendiripun tidak protes kalau di-demikian-kan. Berzina, semua orang juga berfikir sama. Bahkan merokok, hal yang tidak dilarang mutlak, hanya dianjurkan untuk ditinggalkan, banyak orang yang mengharamkan. Sekarang ini yang mengatahui dan mengamalkan bahwa hukum rokok itu tidak haram seakan-akan hanya perokok dan penjualnya saja. Bayangkan. Betapa orang telah berlaku strik dengan hal-hal yang berbau larangan. See?

Nah, kembali lagi ke topik. Pacaran. Dari fenomena dilarangnya pacaran namun disepakati untuk dibolehkan, saya sempat berfikir bahwa ini mungkin akan menarik Kalau dijadikan riset, penelitian, atau apalah semacamnya. Pembahasan ini akan menjadi menarik apalagi yang melakukan riset dan diriseti pun pasti orang yang sepakat bahwa pacaran itu dibolehkan karena saat ini memang sudah tidak ada lagi orang yang mempunyai kesepakatan yang berbeda.

Hahaha, dunia ini memang gemblung.

Ups tapi jangan salah kira. Saya menulis ini bukan dalam rangka melawan justifikasi masyarakat selama ini terhadap konsep pacaran, ato lagi curhat karena saya yang jelek dan miskin ini belum juga laku-laku. Ini hanya ajakan untuk menertawakan ke-gemblung-an dunia ini.

Mari tertawa. Hahaha.

[o]

Rabu, 04 Maret 2015

Desaku Sekolahku

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah, Kalibening Salatiga | 4 Maret 2015 | Penyaji: Warga KBQT

SOWAN

Seperti biasa, Adam yang masih kuliah pascasarjana di Malang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selama pulang di Jogja. Tidak seperti Selingkar yang dulu rutin ngumpul diskusi santai tiap Kamis sore, sekarang penDuduk bisa setiap saat berdiskusi. Minimal sebulan sekali kami berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul, membincangkan problem riil yang kami hadapi saat ini.

Hari itu Adam menyambangi kosanku di wetan Kandang Menjangan. Kami ngobrol ngalor ngidul, termasuk tentang aplikasi pendidikan efektif yang kebetulan menjadi studinya sekaligus problem yang dihadapinya di rumah. Obrolan sampai pada komunitas belajar legendaris di Salatiga yang –konon- sempat menjadi salah satu dari tujuh komunitas ajaib di dunia.
“Qoryah Thoyyibah? Itu sih aku juga tahu, sudah terkenal. Eh, di mana tempatnya to?” tanya Adam.

“Salatiga, katanya sih Desa Kalibening,” jawabku.

“Ayo kesana! Mumpung ada kesempatan. Kita ajak juga temen-temen yang mau ikut.”

“Mangkaat!”

Selasa siang (03/3) kami berkumpul di Desa Drono, Sleman. Butuh empat puluh menit dari Krapyak menuju kampung Drono, hujan deras mengguyur Jogja bagian utara beserta penghuninya. Kami basah kuyup namun tetap ganteng dan bahagia.

Jam dua siang, Adam, Syafak, Mukid, Sutri, Salis, dan aku siap berangkat. Jalur yang kami tempuh dari Jalan Magelang via Kopeng sampai ke Salatiga memakan waktu tiga jam perjalanan. Selama perjalanan, kami membincangkan komunitas belajar yang akan kami kunjungi serta menata apa saja yang ingin kami timba dari sana.

“Ada tiga hal yang bakal kita angkut dari Kalibening,” ucapku.

“Opo wae?” Salis bertanya.

“Pertama, konsep filosofis Qoryah Thoyyibah. Ini nanti kita obrolkan bareng Pak Ahmad Bahruddin, pendirinya. Kedua, kita gali informasi tentang tata manajerial di Qoryah Thoyyibah, yakni tentang bagaimana pengelolaan komunitasnya, pembiayaan, hubungan dengan dinas pendidikan, penyetaraan dan semacamnya. Nanti kita ketemu sama Mbak Nurul untuk ngobrolin itu. Dan ketiga..”

“Plastik! Aku njaluk plastik!” seru Sutri di jok belakang memotong kalimatku. Lalu bertumpah ruahlah isi perutnya di sekantong plastik. Muntah dia. Mungkin gara-gara belum makan siang dan masuk angin. Atau mungkin gara-gara overdosis kangen dengan pacarnya.

“Yang ketiga,” sambungku, “Kita amati suasana belajar dan aplikasi praktis di Qoryah Thoyyibah. Nah nanti kita bisa lihat-lihat secara langsung bagaimana temen-temen di sana belajar. Kita minta tolong sama Mbak Fina nanti.”

“Sip! Biar nanti bisa diterapkan di sini ya,” sahut Adam sang sopir, merujuk pada yayasan pesantren panti asuhan yang dikelolanya.

Kami mampir di Kopeng untuk menenangkan gejolak lambung Sutri, sekalian shalat Ashar. Tepatnya di sebuah masjid asri tepat di sebelah gereja. Sesampai di alun-alun Salatiga, pas sebelum Maghrib, kami beristirahat di Masjid Raya Darul Amal sambil mengusir angin-angin di tubuh pemuda kekar satu ini.

Tanggap Tantangan
Diantar Kafi, mahasiswa IAIN Salatiga, kami menuju Qoryah Thoyyibah, Desa Kalibening Kecamatan Tingkir. Sekitar 4 kilometer dari pusat kota, tepat saat Isya kami sampai di sana. Halaman dan rumah-rumah masih basah bekas hujan deras. Kami disambut oleh Fina, salah seorang pengabdi di Qoryah Thoyyibah sekaligus wasilah kami bisa sampai di tempat itu.

Kami diantar masuk ke rumah Pak Ahmad Bahruddin, pendiri dan kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga, dan disambut dengan hangat di sana. Suguhan kopi hitam makin menghangatkan kami yang kedinginan. Di ruang tamu, berjajar tropi dan jajaran buku-buku karya anak-anak Qoryah Thoyyibah. Terpampang pula foto seorang tokoh progresif asal Brasil yang tak asing di dunia pendidikan, sosok yang berjuang dengan prinsip pedagogi pembebasannya, Paulo Freire!

Tentang Pak Ahmad Bahruddin yang gondrong dan keren ini, kami sudah banyak tahu dan tidak asing lagi. Ketika muncul di Kick Andy beberapa tahun lalu, beliau mengungkapkan ide-ide tentang pendidikan yang tak biasa. Menurut Fina, sejak beberapa hari lalu banyak tamu tak berhasil ketemu Pak Din –sapaan akrab beliau- yang sibuk. Maka kami beruntung bisa ngobrol dengan Pak Din hingga tiga jam lebih malam itu.

“Sudah lama kami ingin sowan kemari, Pak,” ungkapku membuka percakapan, “Namun baru kali ini bisa datang. Kebetulan di antara kami, Mas Adam, Mas Syafak dan Mas Salis ini, diamanahi mengelola lembaga pendidikan di tempatnya masing-masing. Maka malam ini kami ingin ngaji sama Njenengan tentang pendidikan.”

“Semuanya berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hayawanun Nathiq. Maka pendidikan yang diterapkan kepada manusia seharusnya ya memperlakukannya sebagai makhluk berpikir yang merdeka,” terang Pak Din.

Kemudian beliau mengemukakan gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan. Bahwa sesungguhnya manusia berhak belajar tentang apa yang ingin diketahuinya, bukan dipaksa untuk mengetahui dan mempelajari apa yang menjadi tren pasar. Itu sama saja dengan penindasan.

Maka di Qoryah Thoyyibah, anak-anak dibebaskan mempelajari apa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak disuapi dengan tuangan-tuangan pengetahuan oleh pengajar. Bahkan di tiap kelas Qoryah Thoyyibah tidak ada pengajar!

“Di sini tidak ada guru sebagai pengajar, adanya pendamping. Tugasnya ya mendampingi anak-anak mempelajari apa yang menjadi minat mereka, menyalurkan potensi dan bakat mereka, serta mengapresiasi karya-karya mereka. Posisi pendamping bukan sebagai pembimbing, tapi lebih sebagai pembombong (membuat bahagia). Kedudukan pendamping dengan anak-anak ya paling tinggi sejajar, tidak bisa melebihi itu,” terang Pak Din.

“Lalu darimana anak-anak menggali ilmu yang ingin mereka pelajari, Pak?” tanyaku.

“Ya dari sumber-sumber belajar yang bisa diakses. Kalau materi-materi pelajaran bisa diakses di buku-buku dan internet. Untuk skill bisa datang ke orang-orang yang berkecimpung di bidang-bidang tertentu, atau kami datangkan ke sini. Begitulah fungsi pendamping, yakni sebagai fasilitator. Tugasnya memfasilitasi anak-anak untuk mengasah bakatnya,” jawab Pak Din, “Oiya, di kampus masih ada mata kuliah Strategi dan Metode Pembelajaran?”

“Masih, Pak.”

“Wah, seharusnya diubah jadi Strategi dan Metode Fasilitasi. Karena memfasilitasi berbeda dengan mengajar. Jadi, mahasiswa mustinya tidak berlatih bagaimana gaya yang menarik untuk menyuapi siswa, tapi lebih kepada penempaan diri sebagai pendamping,” tukas Pak Din.

Beliau memang sangat menekankan konsep pendampingan atau fasilitasi ini. Setahuku, Pak Din tak begitu sepakat dengan gerakan Indonesia Mengajar a la Pak Anies Baswedan, semestinya ya ‘Indonesia Belajar’. Menurut Pak Din, program yang dikembangkan Pak Anies –dengan segala hormat atas ketulusan niatnya- sama sekali tidak mengubah sistem, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah apa yang selama ini menjadi problem mendasar dalam pendidikan. Tidak ada kesempatan bagi anak untuk berkembang mengolah potensinya. Spiritnya masih memintarkan mereka yang (dianggap) bodoh.

Belum lagi masalah ukuran pencapaian yang diseragamkan secara nasional (standarisasi). Padahal setiap sekolah di masing-masing kampung memiliki karakter anak didik yang berbeda-beda. Tak bisa diseragamkan dengan standar baku tertentu.

“Di seluruh Indonesia,” kata Pak Din, “Ada ribuan desa. Dan rata-rata ada dua sekolah di setiap desa. Sedangkan antara desa yang satu dengan desa lainnya memiliki perbedaan budaya. Masa’ mau diseragamkan? Muatan lokal pun yang menentukan kabupaten, bukan berbasis desa. Itupun sekolah masih menjadi tembok tebal. Ketika siswa masuk gedung sekolahan, ia seakan-akan masuk ke alam lain yang terpisah dari desanya. Ia diajari bermacam-macam wawasan dan tak sedikitpun diarahkan untuk mengenal desanya. Siswa jadi tercerabut dari akarnya.”

“Jadi tiap sekolah seharusnya melek lingkungan sekitar, begitu Pak?”

“Ya harus! Contohnya, di Kalibening sini ada mata air Belik Luwing. Maka anak-anak Qoryah Thoyyibah kami arahkan untuk mengenal mata air itu. Kemudian memahami fungsinya bagi masyarakat. Lalu menelaah ada problem apa di sana. Akhirnya bersama-sama mengupayakan solusinya, atau setidaknya membantu warga untuk mengatasinya. Itu ‘kan namanya melek lingkungan. Kita tidak mau menjadi pembatas antara anak-anak di dalam dengan realitas di luar.”

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah memang menerapkan kurikulum berbasis kebutuhan. Apa yang dibutuhkan siswa, itulah yang dipelajari. Apa yang menjadi problem di sekitar, itulah yang diselami. Aku jadi teringat tiga hambatan mendasar dalam manajemen kurikulum di sekolah-sekolah formal. Pertama, ketidaksinambungan pendidik di lapangan dengan penentu kebijakan, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pengaruh politik. Kedua, keterbatasan sarana, dan ketiga, lemahnya pengawasan guru sehingga menjadikan tingkat kedisiplinan rendah.

Nah, tiga problem mendasar ini berhasil dieliminasi di Qoryah Thoyyibah. Tidak akan ada ketimpangan antara penentu kebijakan dan pelaksana lapangan, karena pendamping beserta anak-anak menjadi penentu kebijakan bagi kurikulumnya sendiri. Sarana dan prasarana tak menjadi masalah pokok, itu semua tersedia bebas, tinggal ada kemauan mencari atau tidak. Pengawasan guru pun menjadi hal yang mudah, karena di Qoryah Thoyyibah, pendamping dan anak-anak menjadi pengawas bagi kelas dan dirinya sendiri.

“Apakah tidak terjadi gesekan dengan sekolah-sekolah formal sekitar sini, Pak? Atau mungkin ada tawaran dari pemerintah agar komunitas ini dijadikan bentuk sekolah formal?” tanya Adam.

“Kita gali kembali, apa tujuan sekolah? Kalau tujuannya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menempa karakter kepribadian mereka, komunitas ini terbukti berhasil. Justru sekolah formal yang masih dipertanyakan keberhasilannya.”

Lalu Pak Din menyinggung tentang pemaksaan penyeragaman di sekolah formal. Mulai dari pakaian hingga materi yang dituangkan. Semua ‘pemaksaan’ itu menjadi model penjajahan terselubung. Apalagi pada saat ujian nasional.

“Siswa-siswi disuruh mengerjakan soal-soal ujian, diawasi dengan ketat. Belum cukup sampai situ, pengawasnya pun diawasi lagi oleh aparat. Hahaha. Itu semua gamblang menggambarkan ketidakberesan mendasar. Terus menerus siswa diperlakukan seperti itu, hakekatnya menjadi internalisasi kejahatan pada diri mereka. Maka wajar saja jika muncul pelampiasan-pelampiasan berupa kenakalan remaja yang mengerikan, ketika lulus pun mereka mengekspresikan kegembiraan bagai keluar dari penjara, konvoi, corat-coret, pesta, hura-hura. Itu bukan salah mereka, tapi sistem yang membentuk seperti itu, iya ‘kan?” sesal Pak Din, kami mengiyakan.

“Tapi di sini ada ujian juga, Pak?” tanya Salis.

“Tidak ada. Tolak ukur yang kami gunakan di sini adalah karya,” ujar Pak Din. “Berangkat dari pemahaman bahwa komunitas belajar harus melek lingkungan, maka kami harus berkontribusi terhadap lingkungan. Dan itu dimulai dengan karya. Masing-masing anak diarahkan untuk membuat satu karya setiap bulannya. Itulah tolak ukur kami. Di sini, bakat anak diapresiasi. Apa yang menjadi keinginannya untuk dibuat, ya kami dampingi untuk mewujudkannya, tentu harus realistis ya.”

Kemudian Pak Din menunjukkan kepada kami beberapa karya tulis anak-anak Qoryah Thoyyibah. Ada kumpulan cerpen, novel, dan komik. Beliau juga menunjukkan satu buku dokumentasi gambar-gambar salah seorang siswa Qoryah Thoyyibah. Terlihat dalam buku itu perkembangan coretan-coretan si anak. Semakin hari semakin matang. Tentu hal ini disebabkan oleh apresiasi terus menerus yang dilakukan pendamping. Sungguh membanggakan.

“Ada anak yang berbakat nggambar. Dia suka bikin komik,” kisah Pak Din, “Ya kami fasilitasi di sini. Semakin berkembang, dia ikut berbagai macam event komik di berbagai daerah. Ya kami persilakan. Berhari-hari dia pergi ya monggo. Tidak ada istilah bolos di sini. Wah, kalau di sekolah formal, anak seperti itu pasti sudah dimarahi gurunya. Apalagi kalau menjelang ujian nasional, pasti aktivitas nggambarnya bakal dijegal habis-habisan demi belajar buat ujian.”

Kami mengangguk setuju, sekaligus menggeleng heran. Coba bayangkan bagaimana kami mengangu sambil menggeleng.

“Ujian paket kesetaraan di sini tetap ada ‘kan, Pak?” tanya Salis lagi.

“Ya tetap ada. Kami sering dapat soal-soal dari dinas pendidikan. Kalau di sekolah formal, soal-soal jadi horor bagi siswa. Kalau di sini kami biarkan anak-anak berdiskusi, menggarap sama-sama. Karena kami sadar, tidak semua anak bisa matematika, tidak semuanya bisa bahasa Inggris. Makanya di sini konsepnya saling berbagi, belajar bersama. Ya lumayanlah, soal-soal itu juga bikin anak-anak belajar juga.”

 “Selama ini kendala apa yang menghambat proses belajar di Qoryah Thoyyibah?” tanyaku.

“Tidak ada kendala,” jawab Pak Din mantap. Aku mengernyitkan dahi, masa’ iya?

“Karena bagi kami,” lanjut Pak Din, “Masalah-masalah yang muncul itu bukan kendala atau hambatan. Itu semua adalah tantangan. Paradigma semacam ini membentuk sikap yang berbeda. Kalau kita menganggap masalah sebagai hambatan, kita cenderung akan berusaha menghilangkannya. Tapi kalau anggapan kita adalah tantangan, maka kita akan berupaya menghadapinya.”

Edan! Aku terkesima. Aku baru menyadari sedang berbincang dengan filsuf.

“Sepertinya di sini siswa dibebaskan begitu merdeka. Lalu batasannya apa, Pak? Adakah kontrol aturan-aturan dari Njenengan?” tanyaku lagi.

“Kalau kontrol formal tidak ada,” terang beliau, “Peran saya sebagai pendamping dan pengarah saja. Aturan-aturan kedisiplinan mereka sendiri yang bikin, ada kesepakatan kelas. Di komunitas belajar ini masing-masing anak diarahkan untuk bersikap dewasa. Memang bebas berekspresi, tapi tetap ada batasannya. Batasan kebebasan bagi seseorang adalah kebebasan orang lain. Kalau dikira bisa mengganggu hak-hak kebebasan orang lain, itulah batasan kebebasan kita.”

“Saya penasaran, Pak,” tanya Syafak, “Bagaimana sih memacing agar anak-anak itu berekspresi. Kadang anak-anak malah susah ketika disuruh mengemukakan ide.”

“Alah Maas,” sahut Pak Din, “Semua manusia sejak lahir itu pada dasarnya berkemampuan mikir. Seperti yang saya bilang tadi; hayawanun nathiq. Tapi sebab terus menerus dijajah dengan sistem yang membelenggu, mereka pun jadi lambat. Maka hal pertama yang musti dilakukan adalah pembebasan dari kungkungan itu. Kalau anak-anak susah mengemukakan ide ketika disuruh, ya karena kita menyuruh mereka menjadi seperti kita. Kita tidak mengapresiasi ide yang ingin mereka tuangkan. Di sekolah formal, guru seakan-akan mengarahkan anak-anak menjadi seperti dirinya, bukan menggali jati diri masing-masing. Itu ‘kan bahaya. Sistem semacam itu, kalau pakai probabilitas empat puluh siswa, paling pol cuma sepuluh persen yang sesuai harapan si guru. Berarti cuma empat orang, lalu lainnya bagaimana?”

“Nah, untuk melihat potensi anak itu caranya bagaimana Pak? Dari sekian banyak anak, tentu susah untuk menentukan apa passionnya ‘kan?” tanya Adam.

“Wah nggak usah njlimet-njlimet Mas. Untuk mengetahui potensi anak, Anda tak perlu jadi ahli psikologi atau orang sakti, hehehe,” jelas Pak Din diiringi tawa kami, “Cukup lihat saja anak itu senangnya apa. Kalau dia suka polah, berarti arahnya ke kinestetis. Ya begitulah, kita pakai kepekaan saja, nggak perlu yang rumit-rumit.”

Mukid yang sedari tadi diam menyimak mulai membuka mulutnya. Aku sempat deg-degan ketika dia mulai menggerakkan bibirnya. Bagaimana tidak, tokoh absurd kita satu ini kadang melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang mengkhawatirkan. Aku cemas kalau dia tanya, “Pak, di desa ini ada Kolor Ijo, nggak?” atau semacamnya.

“Begini Pak, kemarin saya diajak teman-teman ke Salatiga sini,” kata Mukid dengan nada innocent, betul-betul bikin was-was. “Nah, kata teman-teman, kami akan mengunjungi Qoryah Thoyyibah,” katanya lagi, aduh, aku tahan napas. “Akhirnya sampai di sini, sebenarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Qoryah Thoyyibah. Memangnya Qoryah Thoyyibah itu apa sih, Pak?”

Aku menghembuskan nafas lega. Ffiiuuuuuh.

“Jadi gini Mas, Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya nama Serikat Paguyuban Petani, dibentuk tahun 1999. Di situ menjadi serikat bagi paguyuban-paguyuban petani yang ada di sini. Nah, nama Qoryah Thoyyibah ini dipilih atas usulan Raymond Toruan, seorang Batak Katolik. Sekarang dia masih duduk di posisi Dewan Pertimbangan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). Artinya, desa yang sejahtera,” terang Pak Din, sabar.

“Mayoritas penduduk desa ini petani,” lanjut Pak Din, “Maka organisasi yang merepresentasikan desa adalah organisasi yang berbasis petani. Setelah Serikat Paguyuban Petani, didirikan pula Komunitas Belajar dengan nama yang sama, sebagai pelengkap indikator desa yang berdaya. Adapun ide tentang komunitas belajar ini sudah lama sebenarnya.”

“Desa berdaya?”

“Ya maksud desa berdaya seperti konsep Sukarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.”

“Oh, Trisakti!” gumamku.

Menyinggung bahasan desa berdaya, Pak Din memaparkan gerakannya tentang Jamaah Produksi. Yakni lingkaran berantai dari produktivitas desa sesuai sumber daya hingga pemanfaatan dan pemasaran. Beliau menceritakan obrolannya dengan Abraham Samad, Ganjar Pranowo, Joko Widodo, serta beberapa pejabat pemerintahan lainnya yang memiliki wewenang, baik dalam ranah pendidikan, pertanian maupun ketenagakerjaan. Juga tentang pemberdayaan sekolah-sekolah non-formal yang sebenarnya bisa optimal tanpa harus merepotkan sarana fisik. Banyak ide-ide konseptual dan pragmatis, mulai dari landasan filosofis hingga tawaran nominal anggaran yang beliau curahkan saat itu.

“Jadi yang tepat bukanlah ‘ketahanan pangan’,” ujar Pak Din, “Yang kita upayakan adalah ‘kedaulatan pangan’. Artinya, kita merdeka dan berdaulat atas kebutuhan dasar kita sendiri. Tidak tergantung kepada orang lain, apalagi impor. Sangat lucu negara sesubur Indonesia kok malah impor kedelai?! Dengan ukuran iklim di Eropa, musim semi di Indonesia berlansung sepanjang tahun, baik saat kemarau apalagi hujan. Kalau Jamaah Produksi ini bisa diterapkan optimal, kita malah bisa butuh tenaga kerja dari luar. Jadi mereka bakal datang kemari bukan sebagai bos, tapi sebagai pekerja.”

Beliau kemudian menunjukkan salah satu produk berdaya sarekat petani, yakni pupuk organik cair yang memanfaatkan metabolisme cacing. Secara kualitas, pupuk ini tergolong ampuh. Secara produksi, relatif efisien karena cukup memanfaatkan tingkah alami cacing tanah. Produksi pupuk ini dikerjakan oleh warga desa, penggunaannya pun oleh mereka, hasilnya pun untuk mereka. Inilah salah satu contoh kedaulatan.

“Untuk melaksanakan ide-ide Njenengan, kemudian melakukan gerakan radikal semacam ini, tentu membutuhkan keberanian yang tinggi ya, Pak?” tanyaku serius.

“Hahaha,” sahut Pak Din ketawa. “Saya ini sering difitnah orang sebagai pemberani. Katanya, untuk melakukan suatu perubahan, realisasi ide, butuh keberanian yang tinggi. Ah tidak juga! Bukankah pelaksanaan gagasan merupakan suatu hal yang wajar. Bukankah itu nikmat?” tutur Pak Din retoris.

“Radikal ya, Pak,” gumamku. Beliau menyinggung praktek pendidikan Tamansiswa hari ini yang –menurutnya- tidak sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara dahulu. Alangkah disayangkan konsep Ki Hajar tentang pawiyatan dan pendidikan dialektika pedagogik tidak dilaksanakan dengan baik. Beliau menceritakan betapa mengerikannya dampak pendidikan ala sekolah formal terhadap pola pikir anak-anak muda. Fanatisme adalah salah satu efek sampingnya. Hal ini berdasarkan pengalaman beliau ketika mengunjungi salah satu sekolah menengah atas di Jogja. Berbeda jauh dengan konsep yang diterapkan Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah yang menjunjung multikulturalisme dan kemanusiaan.

“Lalu, Pak,” sela Syafak, “Kebetulan saya diamanahi untuk mengelola madrasah diniyyah yang bernaung di bawah yayasan pesantren dan panti asuhan. Apakah mungkin diterapkan model pendidikan seperti di sini?”

Pak Din tersenyum dan berujar, “Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang betul-betul merdeka dan berdaulat. Dia bisa dan harus menentukan nasibnya sendiri tanpa pengaruh dari manapun, bahkan dari pemerintah sekalipun. Maka lucu kalau ada pesantren yang sudah begitu merdeka kemudian malah meniru-niru persekolahan formal. Sehingga dia jadi terbelenggu.”

“Jadi, mungkin ya Pak?”

“Jawabannya ya bukan ‘mungkin’, tapi ‘harus’! Termasuk madrasah, itu juga lembaga yang semestinya kita kelola dengan optimal, buatlah agar melek dengan kearifan lokal desa sekitar.”

Makin lama mengobrol, makin tambah tanda tanya yang muncul di kepala. Masih banyak pertanyaan yang berseliweran, namun mungkin Pak Din melihat rona lelah dan ngantuk di wajah kami, terutama Sutri yang mulai pucat sebab mabok perjalanan sore tadi. Maka percakapan pun kami akhiri jam sepuluh malam. Beliau memanggil Dedi, salah satu siswa di Qoryah Thoyyibah, untuk mengantar kami ke Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, setengah kilometer ke utara. Di sanalah kami menginap malam itu.

‘Dug! Dug! Dug! Dug! Dug!’ bunyi hentakan kayu di lantai pondok bertalu-talu, pertanda pengurus sedang membangunkan para santri yang masih terlelap. Namun sepertinya tak berpengaruh pada kawan-kawan tamu yang kecapekan. Mereka masih tetap ngiler dan baru bangun menjelang fajar.

Subuh itu begitu dingin, memang menggoda untuk tetap meringkuk berkemul, namun masjid pondok tetap ramai oleh warga dan santri. Selepas shalat berjamaah, para santri mulai mengaji kitab di ruang utama masjid, ada pula beberapa santri putri yang mengaji di ruang kelas madrasah. Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien yang diasuh oleh KH Abda’ Abdul Malik ini bertipe salaf namun tetap mempersilakan santri untuk belajar di luar.

Ba’da subuh kami manfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Lingkungannya asri, bersih, dan rapi. Pepohonan merindang di halaman tiap rumah. Saling tegur sapa dan tukar senyum pun bukan hal yang aneh, khas orang desa. Di depan setiap rumah, tersedia sepasang tong sampah; satu untuk sampah organik, selainnya untuk sampah anorganik. Tentu hal ini menunjukkan ada pengelolaan sampah yang tertata di desa ini, berupa bank sampah ataupun daur ulang.

Setelah agak terang kami sowan ke ndalem pengasuh pesantren, beberapa puluh meter di barat masjid. Saat itu Kiai Abda yang tak lain adalah kakak kandung Pak Din sedang duduk santai di ruang tamu, mengenakan gamis dan sorban putih. Memang kami sudah bertemu beliau sebelumnya di masjid.

“Rombongan dari mana ini, Mas-mas?” tanya beliau setelah mempersilakan kami duduk di ruang tamu yang semarak dengan kicauan burung-burung peliharaan.

“Dari Jogja, Yai,” sahut Adam.

“Krapyak?” tanya Kiai lagi.

“Njih, Yai,” sahut Sutri yang memang santri Krapyak.

“Wah, saya jadi teringat almarhum Mbah Ali,” ucap Kiai Abda’. Sosok yang beliau maksud adalah KH Ali Maksum, pengasuh periode kedua pesantren Krapyak Yogyakarta. Beliau berkisah tentang Mbah Ali yang masyhur dengan sikap moderatnya. Di awal masa menjadi rais ‘aam PBNU, Mbah Ali pernah menyambangi Kalibening. Saat itu masjid belum megah seperti saat ini. Mbah Ali mendorong Kiai Abda untuk membangun kembali masjid Al-Muttaqin, “Masjid kok koyok rempeyek,” begitu canda Mbah Ali.

“Kalau ingat kiai-kiai sepuh dahulu, kita selalu saja kangen,” kenang Kiai Abda. “Dahulu, ketika pertama kali saya mengajar di sini, tidak ada santri yang mukim karena saya sendiri belum mampu. Memang dulu zaman ayah saya, sudah ada santri, namun ketika beliau wafat dan saya masih mengembara, santri-santri habis.”

Sambil mengepulkan asap rokok, Kiai Abda mempersilakan kami minum teh manis hangat yang terhidang.

“Lalu ketika saya sowan Mbah Muslih Mranggen (Demak), beliau malah menyuruh saya untuk menerima santri yang mau mukim; pokoknya harus mukim, katanya. Padahal saat itu saya bahkan belum punya pekerjaan. Tapi ya saya nurut saja. Lagipula, Mbah Muslih menyuruh saya untuk melanggengkan Asmaul Husna tiap ba’da Shubuh dan bada Maghrib. Itu memang ampuh untuk hal-hal rizki maupun magnet santri. Maka sayapun mantap bila sosok sekaliber Mbah Muslih sudah menitahkan demikian,” lanjut beliau.

Kekuatan doa dari hati yang jernih nan terlatih memang ampuh. Selaras dengan wejangan baku Kanjeng Nabi bahwa doa adalah senjata orang beriman. Maka tak heran muncul keramat-keramat dari pribadi-pribadi saleh seperti para kiai-kiai sepuh terdahulu, ‘hanya’ dengan lantaran doa.

“Saya jadi ingat Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda. Maksud beliau adalah KH Hasan Asy’ari (Mangli, Magelang) yang terkenal dengan ketawadhuan dan ketinggian derajatnya. “Saya punya kenalan, akademisi, pinter, tapi sama sekali tak percaya dengan yang namanya karomah. Setelah lama saling berargumen, saya ajak saja dia berkunjung ke Magelang, ketemu Mbah Mangli. Orang seperti itu memang tak bisa diajak bicara, harus lihat langsung buktinya.”

“Lalu, Kiai?” sambut Mukid, ia nampak antusias dengan kisah ini.

“Lalu kami berangkat dari sini ke Magelang. Di jalan, kami mampir makan di warung. Ibu-ibu penjual menanyakan tujuan kami. Setelah tahu bawa kami hendak sowan ke Mbah Mangli, si ibu bertanya; istri Mbah Mangli berapa? Satu atau dua? Karena banyak kiai yang beristri lebih dari satu, si ibu penasaran. Kawan saya pun akhirnya ikut penasaran, bertanya-tanya tentang hal itu. Jujur saat itu saya tidak tahu.”

Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke Magelang. Sesampainya di gapura desa Mangli, tak dinyana mereka sudah ditunggu Mbah Hasan Asy’ari di sana. Belum sempat hilang rasa kaget, Mbah Mangli seketika menghardik,

“Mau satu, mau dua, apa urusanmu, memangnya kamu yang menafkahi?! Ayo ikut saya!”

Mereka berdua tercengang bukan main. Di rumah Mbah Mangli yang sederhana, sang tamu masih dibuat terkesima. “Di rumah Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda, “Bertumpuk koran-koran harian terbaru. Padahal saat itu masih pagi dan rasanya mustahil koran-koran terbaru bisa sampai di pelosok kampung sepagi itu. Di sana juga berjajar buku-buku pengetahuan umum yang aneh-aneh, dalam berbagai macam bahasa asing. Teman saya terpukau dan kemudian berbisik bahwa sekarang dia nyerah dan percaya terhadap karomah.”

Kemudian beliau menerangkan tentang konsep mukjizat para nabi, karomah para wali, ma’unah kaum mukminin, hingga istidraj orang-orang lalim. Menurut beliau, orang-orang yang hatinya bersih dan mengalami proses penerangan batin (istanaar) akan mampu melakukan hal-hal di luar nalar manusia pada umumnya.

Setelah melepas gamis dan sorban di belakang, Kiai Abda kembali duduk berbincang bersama kami dengan tema yang sama sekali berbeda. Beliau bicara politik. Tentang polemik yang menimpa KPK dan Polri, aksi pembakaran tabloid ‘Obor Rakyat’ (http://www.harian7.com/2014/06/pengasuh-ponpes-hidayatul-mubtadiin.html) di pesantrennya semasa pemilu kemarin, pengalaman saat menduduki kursi dewan pada masa Gus Dur, perjalanan pembangunan masjid dan pesantren, hingga konsolidasi ulama dalam pemenangan kepala daerah muslim di Salatiga yang terlanjur dicap sebagai ‘Daarun Nashara’.

Kami sangat bersemangat menyimak dan menanggapi penuturan pengalaman Kiai Abda. Banyak hal yang bisa kami gali tanpa direncanakan sebelumnya. Namun karena tidak tega melihat paras Salis yang sepertinya menahan kebelet, maklum masih pagi, maka kuputuskan untuk pamit undur diri. Di penghujung sowan, kami mohon doa dan wejangan kepada Kiai Abda.

“Tidak ada jalan mundur,” ujar Kiai, “Seperti halnya Khalid bin Walid yang membakar kapal-kapal tentara kaum muslimin saat ekspansi ke Eropa. Sehingga mereka tak lagi bisa mundur, tak ada pilihan lain selain maju bertempur. Maka begitulah semestinya pemuda, kalian-kalian ini, perjalanan masih panjang. Jangan sampai patah semangat! Dalam hidup tidak ada jalan mundur.”

SHARING

Selama berkeliling Kalibening, Dedi menjadi pemandu kami. Dia adalah santri di Pesantren Hidayatul Mubtadiin dan siswa di Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah (KBQT). Kalau disejajarkan dengan sekolah formal, Dedi setara dengan kelas 3 SMA. Darinya kami mendapat banyak keterangan tentang gaya belajar di KBQT.

“Waduh Mas, saya sudah telat!” kata Dedi setuntas mengantar kami sarapan. Saat itu jam setengah sembilan.

“Telat kemana?”

“Masuk kelas.”

“Wah maaf ya. Kalau telat dihukum nggak?”

“Iya dihukum, nanti aku musti push-up dua puluh kali.”

“Waduh. Semua kalau telat juga push-up?”

“Enggak sih. Kebetulan itu sudah jadi kesepakatan kelas. Masing-masing anak punya kesepakatan sendiri. Dan kebetulan aku jadi seksi hukuman.”

“Hah? Seksi hukuman?”

“Iya. Nanti aja mas-masnya ke sana ya, bisa ketemu teman-teman yang lain. Saya berangkat dulu.”

Dedi berlalu dengan meninggalkan beragam pertanyaan di kepala kami. Maka setelah bersih-bersih badan, kami pamit ke pengurus pondok untuk kembali ke area KBQT. Tepat jam setengah sepuluh pagi kami meluncur.

Belajar Bersama

Tidak seperti malam sebelumnya yang gelap, pagi itu suasana KBQT nampak lebih jelas. Ada rombongan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap warga KBQT. Dari jas almamater yang mereka kenakan, jelas mereka mahasiswa UKSW Salatiga.

Di sebelah timur rumah Pak Din, ada bangunan yang berisi jajaran komputer, persis warnet. Di situlah anak-anak KBQT bebas mengakses informasi dan pengetahuan yang ingin mereka pelajari. Di sebelah barat rumah, ada gedung bertingkat yang disebut Resource Centre (RC). Di tempat ini anak-anak KBQT biasa mengelar Gelar Karya (semacam pentas seni) tiap bulan. Di sebelah barat RC ada Masjid al-Mustashfa yang bermakna ‘penjernih’ atau ‘pembening’, selaras dengan nama kampung ini; Kalibening.

Nah, di serambi masjid inilah kami nDuduk Selingkar dengan teman-teman KBQT. Kami ngobrol dengan Fina yang nampak sedang sibuk menata setumpuk buku warna-warni. Fina adalah salah satu siswa pertama KBQT yang kini menjadi pendamping belajar di sana. Bersama Fina, ada juga Taufik, dia juga salah satu pendamping di sini.

“Ini buku report anak-anak di kelas ini,” terang Fina.

“Semacam laporan hasil belajar seperti di sekolah-sekolah formal, begitu?”

“Iya. Tapi di sini anak-anak sendiri yang mengisi buku reportnya masing-masing. Bukan orang lain. Diisi tiap awal pekan. Dan isinya juga bukan pencapaian nilai-nilai akademik.”

“Lhah, kalau bukan nilai-nilai, lalu isinya apa?”

Ditunjukkanlah buku-buku report itu di hadapan kami. Sampulnya warna-warni, tertulis nama pemilik di sampul depan, hardcover, dan tertoreh kata-kata bijak di sampul belakang.

“Ini bikin sendiri?”

“Iya, temen-temen bikin sendiri. Tiap anak dipersilakan mendesain reportnya masing-masing,” jawab Taufik.

Di halaman awal tertulis identitas buku, yakni “Report Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah”. Kemudian di bawahnya tertulis nama pemilik buku beserta alamat email dan akun facebook. Ya, akun facebook! Halaman berikutnya berisi identitas anak, berupa kolom Nama, Nomor Induk, Jenis Kelamin, Orang Tua, Nomor Telepon, Alamat Asal, Alamat Tinggal, Aktif di KBQT (Tahun, Bulan, Tanggal, dan jenjang Kelas), ruang tanda tangan Kepala Komunitas Belajar, serta foto close up anak. Ya, close up! Bukan pas foto!

Halaman selanjutnya berisi tabel Target Semester, berupa kolom tentang apa saja target yang ingin dipelajari siswa selama satu bulan ke depan dan kapan deadline-nya. Siswa sendiri yang menentukan. Misal, untuk bulan ini Dedi memiliki target belajar berenang, menulis arsip cerpen, menambah pemahaman nahwu-shorof, praktek photoshop dan vegas pro, serta menambah berat badan lima kilogram. Maka Dedi musti menentukan deadline-nya sendiri. Dan dia bertanggung jawab merealisasikan hal itu.

“Contohnya begini,” terang Fina, “Ada anak yang punya passion ke tata busana. Nah, bulan ini dia punya target membuat satu stel baju. Maka dia akan menuliskan targetnya itu di tabel Target Semester. Dia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan proyeknya itu, disaksikan oleh teman-teman sekelas dan pendamping. Nanti pendamping bakal memantau progres target si anak, pekan pertama sudah sampai pada pembuatan pola, pekan kedua pemotongan bahan, pekan ketiga penjahitan, pekan keempat finishing.”

Setelah Target Semester, halaman selanjutnya berisi tabel-tabel tentang Target, Capaian dan Ide Mingguan. Di sini, anak-anak KBQT mengisi kolom-kolom dengan ide-ide mereka tentang apapun. Artinya, mereka harus menuangkan ide mereka secara naratif dan dipresentasikan di tengah kelas. Selama seminggu, mereka akan memikirkan dan mengeksplorasi apapun untuk mematangkan ide tersebut.

Lalu tabel berikutnya berisi kolom Laporan Naratif Semester. Diisi karya apa saja yang sudah dicapai anggota KBQT. Nah, catatan tentang karya-karya inilah pencapaian mereka, bukan angka-angka nominal seperti di sekolah-sekolah formal. Di halaman terakhir, ada kolom Laporan Pendamping yang akan ditandatangani pendamping dan wali siswa. Maka orang tua siswa akan melihat apa saja ketertarikan anaknya, serta karya apa saja yang anaknya telah buat.

Pagi itu ada empat kelas yang sedang ngumpul belajar. Di teras rumah Pak Din, di teras gedung RC, di bawah pohon halaman gedung RC, dan di serambi masjid. Masing-masing kelas duduk melingkar sambil berbincang santai. Tiap lingkaran terdiri dari 6 orang. Suasana santai semacam ini mengingatkanku pada forum diskusi santai Selingkar kami di Jogja. Asyik sekali!

Komunitas ini praktis tidak membutuhkan gedung khusus sebagai ruang kelas, karena ruang kelas mereka adalah semua tempat yang memungkinkan. Mereka bisa belajar di teras rumah, serambi masjid, pematang sawah, pinggir kali, atau di rumah masing-masing anggota kelas secara bergiliran.

Kalau sekolah formal punya beban jam belajar yang ditetapkan oleh pusat dan ‘membelenggu’ murid dan guru, di KBQT semua berbasis kesepakatan kelas. Hari apa dan jam berapa mau berkumpul, terserah kesepakatan.

Umumnya, dalam satu hari, siswa-siswa dan pendamping di KBQT berkumpul selama dua jam saja. Di sana mereka membincangkan ide. Masing-masing anak bebas menuangkan idenya di tengah kelas untuk dibahas. Setiap kelas punya nama masing-masing, semisal ‘Oryza Sativa’ yang merupakan nama latin padi, ada pula yang memberi nama kelas dengan alat pengukur pacu jantung; ‘Elektrokardiograf’.

“Ukuran mahasiswa saja kadang melongo kalau disuruh menuangkan ide. Apa di sini juga pernah mengalami macet ide?” tanyaku penasaran. Fina ketawa dan mengiyakan.

“Kadang anak-anak juga hening beberapa saat karena memang lagi macet ide,” tuturnya.

“Tapi menurutku malah di sini tidak bakal ada macet ide,” potong Mukid, berhasil meraih perhatian kami semua. Katanya, “Ketika anak-anak mengalami kebuntuan ide, maka mereka kemudian akan berpikir untuk memunculkan ide. Misalnya, ada yang berpikir untuk membuat topi anti macet ide. Bukankah itu juga termasuk ide?”

Tawa pun pecah membumbui keakraban kami pagi itu. Betul juga kata Mukid. Ide selalu akan ada, meskipun terkadang ada momen-momen blank. Semua ide anak-anak KBQT dituangkan dalam bentuk narasi tulisan dan diarsipkan dengan rapi. Ide-ide yang muncul bisa berupa apa saja. Ada kalanya tentang permasalahan di rumah, kemudian dibahas di kelas. Kalau sekolah formal membawa PR dari sekolah ke rumah, di KBQT mereka membawa masalah dari kehidupan masing-masing anak untuk diselesaikan di kelas. Betul-betul jungkir balik!

Nah, dalam seminggu itulah mereka mematangkan ide dan evaluasi di minggu berikutnya. Sebulan sekali, seluruh kelas di KBQT berkumpul untuk mengadakan Gelar Karya. Di gedung RC, semua anggota kelas dipersilakan mempresentasikan karyanya masing-masing yang telah dipersiapkan sebulan sebelumnya. Maka unsur kreativitas berkelanjutan sangat terasa dalam momen ini.

Ada tiga hal global yang dibahas dalam setiap kesempatan ngumpul kelas. Pertama, keilmuan, yakni asupan-asupan kognisi yang ingin dipelajari masing-masing anak serta darimana saja sumber belajarnya. Kedua, skill, yakni kemampuan apa saja yang ingin dikuasai serta bagaimana mewujudkannya. Ketiga, karya, yakni apa yang ingin dibuat dan depresentasikan sebulan ke depan serta bagaimana proses kreatifnya. Ah, komunitas belajar ini betul-betul khayal!

“Lalu bagaimana dengan pelajaran-pelajaran umum seperti yang dipelajari di sekolah-sekolah formal?” tanya Sutri antusias.

“Ya di sini juga dipelajari. Tapi itu diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mau atau tidak,” jawab Dedi.

“Kamu sendiri bagaimana? Belajar Matematika nggak?”

“Nggak. Aku nggak suka sih Mas.”

“Lhoh, lalu bagaimana saat ujian?”

“Ujian apa? Ujian kami di sini ya saat Gelar Karya,”

“Mungkin maksudnya ujian kesetaraan dari pemerintah gitu ya, Mas?” sela Taufik.

“Iya, itu. Kalian ujian juga ‘kan?”

“Iya, Mas. Kami di sini juga ujian kesetaraan setiap masa kelulusan sesuai jadwal sekolah-sekolah formal. Ya sebagai formalitas gitu.”

“Nah, bagaimana kalian bisa mengerjakan soal-soal ujian kesetaraan padahal tidak pernah belajar tentang materi pelajaran yang diujikan?”

“Ya kami tetap belajar untuk ujian itu.”

“Hasilnya?”

“Yaaa seadanya, hehehe.”

“Kalau nilainya jeblok bagaimana?”

“Memangnya kenapa?”

“Lhoh?”

Sutri mulai bingung dengan komunitas belajar yang ajaib ini. Ukuran-ukuran nominal akademik sama sekali tidak menjadi perhatian mereka, karyalah yang menjadi tolak ukurnya. Bahkan menurut Taufik, ada juga anak-anak KBQT yang enggan mengambil ijazah kesetaraannya, buat apa. Pendaftaran di komunitas belajar ini pun tak dibatasi waktu. Tiap siswa dipersilakan mendaftar kapan saja.

Baru sebentar kami mengobrol, konsep-konsep di kepalaku mendadak jadi usang. Selama ini kulihat betapa repotnya para guru di sekolahan menyiapkan tetek bengek materi ajar, mulai dari kurikulum, silabus, target pancapaian kognitif afektif psikomotor, hingga teknis rencana pelaksanaan pembelajaran. Belum lagi beban-beban belajar tanggungan siswa yang diharuskan memahami berbagai rupa mata pelajaran tanpa memedulikan bakat dan kecenderungannya. Setelah melihat KBQT, semua itu nampak jadi usang, kuno, dan primitif.

Di KBQT, anak-anak yang belajar betul-betul menjadi ‘murid’. Sebagaimana kita tahu, makna ‘murid’ dalam Bahasa Arab adalah ‘orang yang menghendaki’. Artinya, si muridlah yang berperan aktif dalam proses belajar. Dia menghendaki belajar suatu tema, kemudian ia pula yang mencari sumber-sumbernya.

“Awalnya, kami sama dengan sekolah-sekolah formal,” tutur Fina mulai berkisah. “Dulu, komunitas belajar kami persis sekolah terbuka. Posisi guru sebagai pengajar ilmu-ilmu dan siswa-siswa menadah itu semua. Dengan proses pembelajaran yang asyik membuat kami bisa menikmati apa yang kami pelajari. Hasilnya, prestasi akademik kami pun bisa bagus-bagus, bahkan tak kalah dengan sekolah-sekolah formal unggulan.”

“Lalu?”

“Seiring perjalanan, kami siswa-siswa di KBQT sadar, ternyata bukan itu yang kami cari. Bukan hal-hal semacam itu yang menjadi tujuan kami.”

“Maksudnya bukan pencapaian-pencapaian akademik?”

“Ya, begitulah. Maka kami mulai mengubah gaya belajar menjadi seperti sekarang ini. ya seperti yang Mas-mas lihat ini,” tutur Fina dengan senyumnya. Kulihat ekspresi Taufik dan Dedi pun tersenyum bahagia.

Memang iya. Qoryah Thoyyibah yang sempat kubaca artikelnya di sebuah buku beberapa tahun lalu berbeda dengan Qoryah Thoyyibah yang kulihat langsung hari itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepada mereka masih terkungkung konsep-konsep yang kami bawa dari sekolahan dan fakultas pendidikan. Begitupun dengan ukuran-ukuran yang kami ajukan. Eh ternyata, mereka punya ukurannya sendiri. Mereka punya karakternya sendiri.

“Kalian tau nggak,” kataku pada mereka, “Setelah lihat Qoryah Thoyyibah, semua konsep praktek pembelajaran di kepalaku jadi bubrah!”

Teman-teman tertawa. Lalu Mukid menyela dengan segala keabsurdannya,

“Kalau aku sih nggak bubrah Zi,” katanya, “Lha wong di kepalaku nggak ada konsep apa-apa sama sekali.”

Hahaha. Dasar Mukid.

“Nah, bagaimana bila ada anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah?” tanya Adam.

“Ya tinggal melanjutkan saja tho, Mas,” sahut Taufik.

“Ada?”

“Ya banyak,” jawab Fina, “Ada yang di UI, UGM, di UIN juga ada, anak komunikasi. Ada juga anak KBQT sini yang lanjut ke Australi dengan mempresentasikan karyanya.”

“Apa bentuk karyanya?”

“Desain grafis.”

Wah. Belum apa-apa kami sudah berdecak kagum dengan anak-anak KBQT ini. Bagaimana tidak, budaya dialog terbuka nan santai serta saling berbagi ide yang jarang dimiliki anak-anak sekolah, bahkan mahasiswa sekalipun, sudah sangat biasa bagi mereka. Konsep filosofis progresif dan idealisme yang menjadi barang mewah bagi kalangan intelektual sudah dipraktekkan dengan penuh kesadaran oleh remaja-remaja di sini. Penciptaan hingga pagelaran karya yang sering dirasa repot di luar sana, justru menjadi agenda rutin di komunitas belajar ini.

“Apakah alumni KBQT masih sering kontak dengan anak-anak di sini?” tanya Salis.

“Kayaknya kami nggak ada alumni deh, Mas,” sahut Taufik.

“Di sini konsepnya belajar seumur hidup. Kelasku namanya Oryza Sativa, masih sering kumpul sebulan sekali. Masing-masing anak sudah punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan saat kumpul itu ya kami belajar bareng,” papar Fina.

“Makanya kami sering bingung juga kalau ditanya orang dari luar; kelas berapa, sudah lulus atau belum, hehe..” sela Taufik.

“Bahkan di akhir periode belajar pun kami tidak menggunakan istilah ‘perpisahan’,” kata Fina, “Kami menggunakan kata ‘tasyakkuran’ sebagai gantinya.”

“Jadi walau sudah bertahun-tahun kalian masih sering ngumpul sekelas?”

“Iya, seringnya sih di sini saat gelar karya. Atau di tempat lain sesuai kesepakatan, ya janjian dulu lah kalau mau ketemu,”

“Tak sedikit alumni sekolahan yang sudah sekian tahun dinyatakan lulus menjadi asing dengan almamaternya. Nah, kalau kalian ngumpulnya di sini, apa nggak merasa asing?”

“Sama sekali enggak tuh. Ya karena kami pakai konsep belajar seumur hidup, jadi ya kelas kami nggak terbatas ruang dan waktu,” sahut Fina, filosofis praktis.

Betul-betul mempesona. Kami penDuduk Selingkar baru menyadari pentingnya landasan filosofis dalam setiap tindakan, serta perlunya out of te box semacam ini sejak rutin berdiskusi santai dua tahunan lalu, sementara mereka sudah mempraktekkannya secara riil selama bertahun-tahun! Kami ketinggalan jauh!

“Jadi, guru bagi masing-masing anak di sini bisa siapa saja ya?” tanya Syafak.

“Iya, namun setiap kelas punya pendamping yang mendampingi temen-temen belajar dari awal sampai akhir,” sahut Taufik.

“Lalu apa fungsi pendamping secara riil?”

“Nah, tugas pendamping mengapresiasi ide yang dituangkan oleh anggota kelas. Lalu menyalurkan kemana dan bagaimana si anak belajar tentang proyek yang akan dia kerjakan, karena pendamping bukanlah guru yang tahu segala ilmu. Maka ia hanya menghubungkan anak-anak KBQT dengan sumber-sumber belajar, apapun dan siapapun. Misal, ada anak yang condong ke lukis, maka kami akan hubungkan dengan seniman-seniman lukis yang bisa kami temui. Bagi yang mau belajar nulis, kami hubungkan dengan para penulis. Bagi anak-anak yang suka film, kami hubungkan dengan komunitas penikmat dan pembuat film,” papar Fina.

“Jadi model KBQT ini kuat di jaringan ya?”

“Yak begitulah,” jawab Fina menggangguk, “Pendamping juga memantau progres pencapaian target yang dibuat setiap anggota kelas.”

“Kalau target itu tidak terlaksana? Terbengkalai misalnya?”

“Ya si anak kena sanksi.”

“Apa hukumannya?”

“Terserah si anak yang bersangkutan. Hukuman sudah disepakati di awal pertemuan. Ada yang menyepakati push-up, ada juga lari keliling halaman, ada juga yang sepakat membuat satu cerpen jika target tak tercapai, dan macam-macam.”

“Ooo,” kami ber-o panjang. Sama sekali belum terpikir sanksi produktif semacam itu. Fina juga memaparkan kegiatan anak-anak KBQT yang berkaitan dengan lingkungan desa Kalibening. Salah satunya, beberapa waktu ke depan teman-teman KBQT akan membantu warga meluncurkan program sumur resapan.

Persis seperti yang dikatakan Pak Din malam sebelumnya, kebanyakan sekolah justru menjadi tembok penghalang antara siswa dan lingkungannya. Tapi Qoryah Thoyyibah mencoba mengintegrasikan seluruh unsur di tengah masyarakat. Wadahnya ya komunitas belajar itu.

Hebat!

Mendampingi dengan Hati

Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.

“Sebenarnya Mas-mas ini kumpulan apa sih?” tanya Isa kepada kami, penuh tanda tanya di atas kepalanya. Salah seorang siswa KBQT malah menyebut kami mirip Yakuza (preman Jepang), mungkin sebab tampang yang seram dan busana hitam-hitam. Waduh, aku pun memperkenalkan rombongan kami biar tak terjadi kesalahpahaman, kalau kami dikira artis dari ibukota ‘kan bahaya.

Ada Mukid Purwodadi, perenung liar yang sedang merampungkan skripsinya. Ada Sutri Lampung, hafidz Al-Qur’an yang bercita-cita terjun di masyarakat kampungnya yang masih belum sadar pendidikan. Ada Adam Sleman, mahasiswa pascasarjana yang mengelola pesantren panti asuhan Zuhriyyah di desanya. Ada Syafak Malang, kepala madrasah diniyyah yang bernaung di bawah payung yayasan Zuhriyyah. Ada Salis Purworejo, mahasiswa pascasarjana yang diamanahi membimbing para santri di salah satu pesantren Jogja. Dan ada aku, Zia Tegal, entah siapa.

“Kami ini satu jurusan di kampus, fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,” jelasku, “Namun kami merasa ada luapan-luapan gagasan dan kegelisahan yang tidak bisa ditampung di ruang-ruang kelas perkuliahan. Maka kami pun menggelar forum diskusi santai di luar kelas dengan tema yang ingin kami pelajari dan pahami, tidak terikat oleh kurikulum kampus. Ya walaupun kadang kami membincangkan materi-materi perkuliahan juga, tentu dengan format yang asyik dan santai, demokratis.

Forum diskusi santai ini kami beri nama ‘Selingkar’. Di situ kami membahas keingintahuan tentang apa saja. Pernah kami ingin memahami lokalisasi di Jogja, maka kamipun turun ke sana, berdialog dengan beberapa pelaku di sana, lalu mendiskusikan itu, kemudian mengambil sari hikmahnya. Kami ingin tahu tentang rokok, maka kami mendatangkan teman yang pernah magang di perusahaan rokok, lalu kami diskusi dan belajar mengarifi isu-isu tentang rokok. Kami juga kerap mengunjungi acara-acara kreatif yang bertebaran di seantero Jogja, kemudian berbincang santai di sana. Ya macem-macem tema kami diskusikan. Jadi, apa yang kami diskusikan berdasarkan apa yang ingin kami pelajari. Sumber-sumbernya kami buru dan cari sendiri,”

Penjelasanku tentang Selingkar terasa serasi dengan apa yang sudah kami lihat dan dengar di KBQT. Kami datang ke tempat ini murni sebab ingin belajar, bukan tuntutan apa-apa dari siapa-siapa. Keakraban di antara kami saat itu menyiratkan kecocokan. Kami merasa berada pada frekuensi yang sama dengan warga KBQT sehingga nyambung dan enjoy. Keserasian frekuensi itu pula yang mendorong kami berkunjung ke Kalibening. Betapa Tuhan Maha Menakdirkan.

“Selama ini yang kami pahami, di kelas harus ada guru. Tapi di sini memakai konsep ‘pendamping’, bagaimana prosesnya?” tanya Adam kepada ‘Bu’ Eli.

“Panjang, Mas. Kalau diceritakan dari awal, saya bisa mrebes mili.”

Suasana jadi hening seketika. Mendung menggelayut langit Salatiga. Lentingan biola bernada hampa terdengar dari langit di atas sana. Air mata mengalir dimana-mana. Hehe, nggak ding, itu hiperbola. Hahaha.

“Sebagai pendamping,” terang ‘Bu’ Eli, “Kami harus berusaha memahami karakter masing-masing anak, sekaligus potensi dan passion yang ada pada diri mereka. Kami menemani mereka menuangkan ide, membaca kecenderungannya masing-masing, dan memfasilitasi masing-masing anak berkarya serta mewujudkan idenya.”

“Di komunitas belajar yang bebas ekspresif ini, pernahkah terjadi keliaran-keliaran ekspresi anak-anak yang bisa dianggap over?” tanyaku penasaran. Mendadak teman-teman KBQT kompak menengok ke arah Hasni, remaja putri yang begitu aktif.

“Heh! Kenapa pada nengok ke sini?!” sergah Hasni. Semua ketawa geli.

“Ya tentu saja ada, Mas,” tutur ‘Bu’ Eli. “Dulu pernah ada siswa sini yang kelewat nakal. Bolos ke Jakarta buat nonton bola. Di sana malah kenal minuman keras, kenal rokok. Maka saya harus menggunakan pendekatan personal, kami ngobrol empat mata. Saya sambangi juga orang tuanya. Awalnya memang sempat ada ketegangan, namun ternyata berhasil. Anak itu malah bersyukur dan berterima kasih atas sikap saya itu.”

“Kalau di sekolah-sekolah formal, biasanya guru ditagih orang tua murid tentang pencapaian anak-anaknya di sekolah. Di sini bagaimana?” tanya Salis yang disebut Hasni dengan nama baru; ‘Sales’.

“Iya Mas,” kata ‘Bu’ Eli. “Untuk itulah komunikasi personal sangat penting. Kadang orang tua memiliki estimasi tertentu buat anak-anaknya, dan estimasi itu disetarakan dengan pencapaian di sekolah-sekolah umum. Misalnya bisa matematika, bahasa Inggris, atau semacamnya. Maka kami sebagai pendamping harus memberikan pemahaman tentang tujuan KBQT, tentang potensi anaknya, serta kecenderungan karya mereka. Dan alhamdulillah, para orang tua bisa memahami dan malah bersyukur.”

“Adakah trik khusus untuk menjalin komunikasi dalam rangka memahamkan wali murid?” Syafak bertanya. Maklum, sebagai kepala madrasah diniyah, kesehariannya memang harus sering-sering berhubungan dengan wali murid.

“Kalau trik khusus sih nggak ada ya, Mas. Tapi yang penting ya unggah-ungguh sebagaimana lazimnya orang Jawa saja,” jawab ‘Bu’ Eli.

Sepanjang perjalanannya mendampingi anak-anak di KBQT, ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni menekankan pentingnya proses serta pengertian seorang pendamping terhadap murid-muridnya. Satu kesadaran yang perlu dipahami adalah bahwa tidak hanya anak-anak yang belajar dan berproses, para pendamping juga mengalami hal serupa. Latar belakang mereka dahulu adalah pengajar di lembaga formal, maka ketika mulai mengabdikan diri sebagai pendamping di KBQT, mereka mulai belajar dan berproses menemukan formula yang tepat untuk menemani anak-anak.

Syafak menjeda sejenak obrolan kami. Ia mengajak kami semua menghirup dalam-dalam udara segar Kalibening dan menyerap baik-baik tumpahan pengalaman para pendamping.

“Kunci dari pendampingan ini adalah hati. Hubungan yang terjalin dengan teman-teman maupun orang tua adalah hubungan dari hati ke hati, memahami watak dan selalu bersikap manusiawi,” pungkas ‘Bu’ Eli.

Pertanyaan kemudian menjurus pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pengelolaan. Bagaimana tata kelola kelas, pendaftaran dan pendataan siswa, kaitan dengan dinas pendidikan setempat, pembiayaan komunitas, hingga hubungan komunitas dengan aktivitas-aktivitas warga sekitar. Namun Mbak Nurul, orang yang menangani hal-hal tersebut, belum bisa kami temui hari itu. Beliau super-duper sibuk dan saat itu sedang ada urusan di kota. Sayang sekali, semoga lain waktu kami bisa ngobrol dengan beliau.

“Ini Mas-masnya dari pesantren ya?” tanya ‘Bu’ Eli.

“Iya, Mbak,” sahutku. “Empat dari kami santri Krapyak, sedangkan yang dua alumni Tebuireng.”

“Wah, bagus sekali kalau model semacam ini bisa diterapkan di pesantren lho Mas. Dahsyat!” kata ‘Bu’ Eli.

Aku jadi teringat oret-oretanku yang berisi konsep mentah tentang lembaga pendidikan cita-citaku dahulu. Sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan ‘umum’ di pesantren tanpa harus mengorbankan ciri salafiah dan tetap optimal, tak sekedar formalitas.

Tentang hal ini, aku coba berbincang dengan Fina, kira-kira bisa atau tidak model KBQT diterapkan di pesantren. Corak pendidikan KBQT yang begitu ekspresif dengan konsep pendampingan sangat kontras dengan gaya pesantren yang sangat kental nuansa ketundukan kepada guru. Kata Fina, bisa saja. Ada beberapa pesantren yang sudah mencobanya.

Mungkin kapan-kapan aku dan kawan-kawan perlu berkunjung dan belajar di pesantren-pesantren itu. Masalahnya, tak sedikit pesantren yang menutup diri dari dunia luar sehingga terasing tanpa memperhatikan potensi murid. Di sisi lain, banyak pesantren yang latah perkembangan lalu mendirikan sekolah formal di dalam lingkungan pesantrennya sehingga kikis identitas salafiahnya. Belum lagi melihat beban yang ditanggung santri dan begitu memberatkan, sehingga menjadikan ketidakteraturan bentuk dan kementahan kemampuan mereka. Tentang konsep ini, sudah kutuangkan secara sederhana di tulisan tentang Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf.

Meski tidak berhasil memahami detail pengelolaan KBQT, setidaknya kami sudah mendapatkan gambaran umumnya. Itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ditambah tuangan konsep filosofis dari Pak Din, genjotan semangat dari Kiai Abda, dan limpahan pengalaman dari teman-teman pendamping. Kami betul-betul merasa sedang panen raya!

Apa yang kami pahami di sini mungkin tak bisa diterapkan seratus persen di lingkungan pengabdian kami masing-masing. Namun konsep dan pandangan tentang kemerdekaan berpikir, kesetaraan kesempatan, dan ketulusan pendampingan adalah ilmu tingkat tinggi yang wajib kami amalkan.

Setelah dua jam lebih berbincang, kami berkeliling sekitar KBQT. Melihat-lihat gedung RC yang difungsikan sebagai markas mereka. Nampak anak-anak KBQT sedang berlatih gitar, bermain catur, nonton film dan baca buku. Ada rak-rak buku, perangkat musik, hingga peralatan rekaman.

Ba’da Dzuhur, anak-anak KBQT bersama pendamping berkumpul di serambi masjid. Agendanya adalah Tawashi. Yakni suatu forum ngaji dan menasehati. Dalam forum ini mereka akan mengaji Al-Qur’an, lalu salah satu ‘bocah’ (pinjam istilah Fina) akan didaulat untuk menyampaikan nasehat. Begitu bergantian tiap harinya.

Pukul setengah satu siang kami pamit pulang. Kebetulan Pak Din sedang bersiap-siap hendak pergi ke luar. Rasanya berat hati dan kaki kami meninggalkan tempat penuh kebahagiaan ini. Sebelumnya, Buku Duduk Selingkar dan Petuah Pohon sudah kuserahkan kepada Fina sebagai kenang-kenangan.

Mengunjungi Kalibening seharian menimbulkan satu paradoks unik. Di satu sisi, kami merasa hati kami terlengkapi dengan berbagai jamuan ilmu yang begitu berharga. Namun di sisi lain, seakan ada lubang besar menganga di hati kami saat berlalu pergi. Ah, mudah-mudahan kelak bisa berkunjung ke tempat ini lagi.

Kami lanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati panorama cerah gunung Merbabu, menyapa para pengguna jalan dan tukang becak antik dengan kostum bolanya. Sesampainya di Magelang, kami mampir di galeri seni rupa OHD Museum. Itu pun sempat nyasar sebab navigasi Mukid yang –seperti biasanya- absurd. Untung ada adik-adik manis dan Pak Haji yang menjadi penunjuk jalan. Lepas Maghrib kami sampai di Drono, membawa oleh-oleh berupa semangat bak bara api yang menyala-nyala di dalam hati.

“Bagaimana menurutmu tentang Kalibening, Kid?” tanyaku pada Mukid sambil rebahan, capek. Seperti biasa, di momen-momen santai kami membincangkan kembali apa yang sudah kami liat dan dengarkan.

“Wah, aku suka semua tentang Kalibening. Udaranya, pepohonannya, airnya, dan orang-orangnya,” sahut Mukid menerawang langit-langit.

“Menurutku,” sela Sutri, “Ini baru pendidikan yang benar-benar mendidik. Kalau ingin merdeka ya tak harus sekolah, tapi belajar, belajar, belajar, dan berekspresilah!”

“Kalau menurutmu gimana, Lis?”

“Keren! Komunitas Belajar ini salah satu bentuk nyata pendidikan humanis. Humanisasi ini adalah proses terbaik. Setiap individu diberdayakan dan dioptimalkan fitrah bawaannya. Sehingga dengan keinginan sendiri bisa menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya,” jawab Salis.

“Setuju Lis!” sambar Syafak, “Praktek belajar yang dilakukan di KBQT persis nama facebook-ku; Manjadda Wajada, hehehe, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Di KBQT ini, jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan mendapat hasil. Di sini siswa tidak disuapi guru, tapi siswa mencari sendiri. Menjadikan anak semakin mandiri, berpikiran luas, menghargai sesama dan tidak fanatik.”

“Suasana di Qoryah Thoyyibah sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang bertahun-tahun kita terkurung di dalamnya,” sambung Adam, “Kita terbelenggu dan tak mengenal siapa sejatinya diri kita. Mengunjungi Qoryah Thoyyibah, kita mendapat nilai-nilai yang sangat berharga. Semoga dapat kita kembangkan di daerah kita masing-masing sesuai dengan konteks masing-masing pula.”

Betul apa kata Adam. Kunjungan kami ke Kalibening bukan untuk memenuhi tugas kuliah, penelitian skripsi maupun observasi formal dari institusi. Kami betul-betul ingin menggali ilmu di sana untuk diterapkan di lingkungan kami masing-masing. Yak! Aku sepakat dengan kawan-kawanku. Rasanya bahagia mendengar pendapat-pendapat mereka.

Kalau kesanku pribadi, ah, suatu anugerah bisa menyimak paparan konsep filosofis dan idealisme Pak Din, menikmati dinginnya hawa berbalut kehangatan relijius warga desa sana, mengamati asyiknya proses belajar para siswa Qoryah Thoyyibah, serta menyelami ketulusan pengabdian para pendamping. Ah, tak bisa disangkal, hatiku nyangkut di Kalibening!

[o]