Kamis, 25 Oktober 2012

Ilmu Sosial Profetik

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 25 Oktober 2012 | Penyaji: Mahfut Khanafi

Ilmu Sosial Profetik adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi.


a. Humanisasi

Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.

Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.

Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).

b. Liberasi

Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.

Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.

Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.

c. Transendensi

Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.

Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

~

Latar belakang kemunculan ide Ilmu Sosial Profetik –menurut pengupas– adalah suatu kegelisahan Kuntowijoyo terhadap kehidupan masyarakat muslim yang mulai berubah. Kondisi sosial yang memaksa umat Islam ‘terlepas’ dari akar sosialnya, yakni masjid. Sebagaimana tertuang di dalam buku beliau; “Muslim Tanpa Masjid.”

“Selama ini, masyarakat terlalu menjadikan ajaran agama (wahyu) hanya sebatas sebagai ideologi, bukan sebagai ilmu. Sehingga mudah sekali terpantik api-api sentimen terhadap perbedaan keagamaan.” ungkap Mahfut Khanafi.

“Di UIN kita ngotot berjuang mengintegrasikan antara ilmu sosial dan agama. Padahal, di satu sisi kita ingin membawa ilmu agama sebagai bagian integral dari ilmu sosial, sedangkan di sisi lain pendekatan normatif selama ini terbukti tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan realita,” lanjutnya.

Kuntowijoyo merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi (pemanusiaan), liberasi (pembebasan) dan transendensi (keimanan).

Kuntowijoyo meletakkan ketiga pilar Ilmu Sosial Profetik melalui ayat 110 Surah Ali ‘Imran, yakni humanisasi (ta’muruuna bil ma’ruuf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar) dan transendensi (tu-minuuna billaah). Landasan Humanisme Teosentris yakni At-Tin ayat 5 dan 6 yang menunjukkan bahayanya dehumanisasi; terjatuhnya manusia dari martabat sejatinya (asfala saafiliin), serta menunjukkan pula solusinya, yakni iman dan amal saleh.

Di sinilah pentingnya transendensi (keimanan). Selain sebagai arah tujuan, transendensi juga memiliki fungsi kritik. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

"Nah, lalu.. Agar diskusi ini bermutu.. Bagaimana kita mengaplikasikan Ilmu Sosial Profetik ala Pak Kunto ini di dalam skala terkecil; yakni diri kita sendiri?" tanya kawan-kawan.

"Jangan kita jadikan Wahyu hanya sebagai Ideologi saja. Tapi harus sebagai Ilmu. Agar kita tidak terjebak dalam kemandekan dan fanatisme. Agar kita menghargai dan terbuka dengan perbedaan meskipun nyatanya memang berbeda,” demikian tukas Mahfut menutup diskusi.

[o]

Kamis, 18 Oktober 2012

Akhirat Tidak Kekal?

Trotoar Kantin Tarbiyah, Kamis 18 Oktober 2012 | Penyaji: Zainal Muhidin

Diskusi Selingkar edisi perdana ini membedah sebuah buku unik berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ karya Agus Mustofa. Buku ini beraliran Tasawuf Modern, penulis banyak membahas tentang dunia sesudah kematian yaitu Akhirat. Penulis mencoba menggali informasi dari Al-Quran dan Hadist yang berhubungan dengan akhirat, kemudian menafsirkannya dengan data empiris, teori-teori ilmiah, dan ilmu sains, dimana hal ini membantu memberi gambaran tentang akhirat yang bisa diterima secara akal dan iman, dan akhirnya dapat meningkatkan keimanan kita pada Allah.

Irfan dan Mukid
Masalah-masalah yang hendak didiskusikan dalam buku ini adalah di manakah akhirat? Bagaimana kehidupan disana? Apa kita masih hidup dengan jasad kita? Kapan akhirat dimulai? Benarkah kita akan di bangkitkan dari kubur? Bagaimana mekanismenya? Benarkah kita akan diadili atas perbuatan kita semasa hidup? Bagaimana caranya? Akankah kita hidup di akhirat selamanya? Bagaimana surga dan neraka?

Dari buku kontroversial ini, dapat disimpulkan dua poin mengapa akhirat dikatakan tidak kekal;

1. Allah adalah khalik (pencipta) sedangkan selain Allah adalah makhluk maka semua makhluk tidak kekal termasuk akhirat.

2. Berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa akhirat kekal, kekal disini tidak di artikan tanpa akhir, karena akhirat mempunyai awalan maka akan ada akhirnya

Dalam diskusi santai ini, forum dihadiri banyak penduduk, namun kebanyakan masih malu-malu bersuara. Berikut ini tanggapan penDuduk Selingkar;

Bastian Ev: “Judulnya provokatif, tapi seorang Agus Mustofa hanya menjelaskan sesuatu yang memiliki sistem hitung secara matematis. Di buku ini gue dapet pelajaran tentang betapa Allah ternyata menciptakan benda-benda di jagad raya ini dengan tidak main-main (yaeyalaaaah!). Bahkan satu nanometer tidak sanggup menjadi lebih kecil dari hitungan-Nya.”

Yasin Syafii Azami: “Bisa dikatakan buku ini semakin memperjelas alasan-alasan dibalik ritual-ritual agama yang diajarkan orang tua saya dan juga guru-guru saya. Penjelasan yang berimbang antara alasan ilmiah dan alasan Qur'ani membuat siapapun akan semakin memahami titik temu dari hal-hal yang cenderung terlihat kontradiktif.

Memang telah banyak hal yang membuat sudut pandang kita terdistorsi dan di sinilah pemikiran-pemikiran Pak Agus menjadi barokah untuk semua yang memang sanggup dan tersentuh hatinya untuk memiliki sudut pandang yang lebih luas dan hati yang lebih peka dan lembut. Semoga apa yang tertuang dalam buku ini memberikan banyak manfaat untuk penulisnya dan semua yang membacanya. Amin”

Zia Ul Haq: “Apakah makhluk tidak boleh kekal, Bang Zainal?”

Zainal Muhidin: “Nah! Itu tadi juga terbesit di kepalaku, huahaha. Menurut aku, kalau makhluk kekal, ntar sama dengan Khalik dong, dan itu bertentangan dengan sifat wajib Allah dalam kitab Aqidatul Awam yang waktu kecil aku pelajari.”

Zia Ul Haq: “Nah, justru, di dalam teori ilmu kalam klasik, ada 4 sifat keberadaan lhoh;

1) Berawal dan Berakhir; yakni makhluk duniawi, seperti jasad kita. 2) Berawal tanpa Akhir; yakni makhluk maknawi, ukhrowi, seperti akhirat dan ruh kita semua. 3) Tak Berawal dan Berakhir; yakni ketiadaan alam sebelum diciptakan. 4) Tak Berawal dan Tak Berakhir; yakni Tuhan. Nah, dari ulasanmu itu, seperti 'menggoncangkan' kemapanan pemahaman yang sudah ada. Atau jangan-jangan aku salah paham?”

Zainal Muhidin: “Atau salah ngomong, kalau gini gimana: sesuatu yang awalnya tidak ada -> ada -> kembali tidak ada. Mungkin seperti itu...”

Zia Ul Haq: “Kok justru seakan-akan menafikan kekuasaan Tuhan untuk mengekalkan sesuatu yang Dia kehendaki.”

Zainal Muhidin: “Mungkin kehendak di sini yang perlu dipahami, siapa yang tahu rencana dan kehendak Tuhan? Huahaha.”

Zia Ul Haq: “Nnnah, mungkin yang ingin disampaikan Pak Agus Mustofa adalah; bahwa Akherat (Sejatinya) Tidak Kekal meskipun Akherat bisa saja kekal. Seperti kebanyakan ungkapan para sufi; kita ini (sejatinya) tidak ada meskipun kelihatannya ada, begitu?”

Zainal Muhidin: “Nah itu juga boleh, huahaha. Semua bisa A, semua bisa B, iso abang, iso ijo, jika Allah menghendaki.”

[o]

MUKADDIMAH

Beberapa pemuda sepakat membentuk suatu wadah diskusi yang bersifat santai namun serius. Hal ini merupakan klimaks dari akumulasi kejenuhan kami dengan rutinitas yang ‘hampa’ di kampus.  Sebagian dari kami bisa disebut ‘apatis’ jika ukurannya adalah keaktifan dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan atau pergerakan. Namun uniknya, tidak sedikit yang justru sangat aktif di medan juang nyata; masyarakat.

Ketika saya berbincang dengan Bung Irfan –aktivis Karang Taruna- tentang kemerdekaan dan ekspresionisme, atau saat bercakap dengan Bung Said –pemuda mandiri- tentang implementasi keilmuan dalam era modern, atau saat berbincang dengan Bung Adam –gus- tentang keliaran dunia malam, atau saat berbincang dengan Bung Syafak –pembimbing madrasah- tentang manajemen komunikasi masyarakat, atau saat berbincang dengan Bung Yasin –ustadz pesantren- tentang korelasi masa lampau dan masa depan, atau saat berbincang dengan Bung Bastian –pengamat personaliti- tentang kematangan kepribadian, atau saat berbincang dengan Bung Muhid –pemikir filosofis- tentang keseimbangan intelektual dan spiritual, serta perbincangan-perbincangan lain bersama kawan-kawan lain di momen-momen tertentu, memperlihatkan kepada saya adanya potensi kecemerlangan ide dalam setiap obrolan.

Sementara itu, kami tidak punya wadah yang cukup luas untuk menampung tumpahan-tumpahan ide jika dibatasi dengan tembok kelas yang formal. Sedangkan, letupan-letupan ide jika didiamkan, justru akan mematikan tempat tumbuhnya ide tersebut, yakni pikiran. Maka dari itu, sejak Kamis (18/10/2012) kami mulai duduk bersama dalam satu lingkaran, bertukar pikir tentang apa saja.
Ide menggelar Diskusi Santai nan Absurd Selingkar pertama kali tercetus di pendopo kaki Gunung Api Purba Nglanggeran (Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta). Tepatnya pada pagi hari Ahad Legi, 9 September 2012 / 22 Syawal 1434. Yakni setelah delapan pemuda jomblo koplak melakukan pendakian dan cangkeman di puncak gunung semalaman bertema; "Melarung Kegalauan".
Kami berdiskusi dalam rangka menajamkan kembali pemahaman terhadap suatu wacana, serta memadukan satu wacana dengan wacana-wacana lain agar tidak sempit pemahaman. Bukankah semakin luas sudut pandang kita, makin bijak pula dalam penilaian terhadap berbagai hal? Dan tukar wacana hanya bisa terjadi dalam suatu diskusi.

Ini adalah Duduk Selingkar, ya, Selingkar. Karena tidak ada yang di depan, kami semua di depan. Juga tidak ada yang di belakang, kami semua di belakang. Setiap orang berhak mendengarkan maupun berbicara. Setiap pikiran boleh menerima sebaik menyangkal. Hanya ada satu aturan di sini; respek terhadap pendapat lain.

Selingkar hanya mengandalkan kebersamaan. Selingkar tidak menjadikan peselingkar menjadi apa-apa selain dirinya sendiri. Selingkar bukan ajang unjuk gigi, hanya satu upaya mengenal jati diri melalui diskusi. Karena dalam setiap diskusi pasti ada titik temu maupun perbedaan. Nah, proses inilah yang kemudian akan mengasah kedewasaan dalam persamaan maupun perbedaan.

Apa yang pernah diobrolkan di Selingkar jangan sampai hilang dari ingatan, tak seperti diktat-diktat atau makalah-makalah kuliah di dalam kelas. Untuk itulah blog ini dibangun. Orang Barat bilang; verba volant scripta manent; kata-kata menguap, tulisan abadi. Orang Timur berujar; qayyid al-'ilma bil qalam; ikat pengetahuan dengan pena.

Alangkah sayang jika tumpahan-tumpahan gagasan masa muda itu dibuang begitu saja. Maka dengan niat menghindari kemubaziran, semua rekaman tertulis diskusi didokumentasikan yang semoga akan jadi memorabilia bagi mereka dan anak-cucunya.

Blog ini memuat notulensi dan reportase diskusi penDuduk di berbagai titik kota Jogja, transkrip obrolan online di grup facebook, potongan dokumentasi gambar, dan beberapa torehan pelengkap lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat dan semoga rahmat Tuhan senantiasa mengucur deras kepada lingkaran anak-anak muda ini. Amin.


Jogja, 28 Rajab 1435

Notulen Duduk Selingkar,
Zia Ul Haq