Kamis, 18 Oktober 2012

MUKADDIMAH

Beberapa pemuda sepakat membentuk suatu wadah diskusi yang bersifat santai namun serius. Hal ini merupakan klimaks dari akumulasi kejenuhan kami dengan rutinitas yang ‘hampa’ di kampus.  Sebagian dari kami bisa disebut ‘apatis’ jika ukurannya adalah keaktifan dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan atau pergerakan. Namun uniknya, tidak sedikit yang justru sangat aktif di medan juang nyata; masyarakat.

Ketika saya berbincang dengan Bung Irfan –aktivis Karang Taruna- tentang kemerdekaan dan ekspresionisme, atau saat bercakap dengan Bung Said –pemuda mandiri- tentang implementasi keilmuan dalam era modern, atau saat berbincang dengan Bung Adam –gus- tentang keliaran dunia malam, atau saat berbincang dengan Bung Syafak –pembimbing madrasah- tentang manajemen komunikasi masyarakat, atau saat berbincang dengan Bung Yasin –ustadz pesantren- tentang korelasi masa lampau dan masa depan, atau saat berbincang dengan Bung Bastian –pengamat personaliti- tentang kematangan kepribadian, atau saat berbincang dengan Bung Muhid –pemikir filosofis- tentang keseimbangan intelektual dan spiritual, serta perbincangan-perbincangan lain bersama kawan-kawan lain di momen-momen tertentu, memperlihatkan kepada saya adanya potensi kecemerlangan ide dalam setiap obrolan.

Sementara itu, kami tidak punya wadah yang cukup luas untuk menampung tumpahan-tumpahan ide jika dibatasi dengan tembok kelas yang formal. Sedangkan, letupan-letupan ide jika didiamkan, justru akan mematikan tempat tumbuhnya ide tersebut, yakni pikiran. Maka dari itu, sejak Kamis (18/10/2012) kami mulai duduk bersama dalam satu lingkaran, bertukar pikir tentang apa saja.
Ide menggelar Diskusi Santai nan Absurd Selingkar pertama kali tercetus di pendopo kaki Gunung Api Purba Nglanggeran (Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta). Tepatnya pada pagi hari Ahad Legi, 9 September 2012 / 22 Syawal 1434. Yakni setelah delapan pemuda jomblo koplak melakukan pendakian dan cangkeman di puncak gunung semalaman bertema; "Melarung Kegalauan".
Kami berdiskusi dalam rangka menajamkan kembali pemahaman terhadap suatu wacana, serta memadukan satu wacana dengan wacana-wacana lain agar tidak sempit pemahaman. Bukankah semakin luas sudut pandang kita, makin bijak pula dalam penilaian terhadap berbagai hal? Dan tukar wacana hanya bisa terjadi dalam suatu diskusi.

Ini adalah Duduk Selingkar, ya, Selingkar. Karena tidak ada yang di depan, kami semua di depan. Juga tidak ada yang di belakang, kami semua di belakang. Setiap orang berhak mendengarkan maupun berbicara. Setiap pikiran boleh menerima sebaik menyangkal. Hanya ada satu aturan di sini; respek terhadap pendapat lain.

Selingkar hanya mengandalkan kebersamaan. Selingkar tidak menjadikan peselingkar menjadi apa-apa selain dirinya sendiri. Selingkar bukan ajang unjuk gigi, hanya satu upaya mengenal jati diri melalui diskusi. Karena dalam setiap diskusi pasti ada titik temu maupun perbedaan. Nah, proses inilah yang kemudian akan mengasah kedewasaan dalam persamaan maupun perbedaan.

Apa yang pernah diobrolkan di Selingkar jangan sampai hilang dari ingatan, tak seperti diktat-diktat atau makalah-makalah kuliah di dalam kelas. Untuk itulah blog ini dibangun. Orang Barat bilang; verba volant scripta manent; kata-kata menguap, tulisan abadi. Orang Timur berujar; qayyid al-'ilma bil qalam; ikat pengetahuan dengan pena.

Alangkah sayang jika tumpahan-tumpahan gagasan masa muda itu dibuang begitu saja. Maka dengan niat menghindari kemubaziran, semua rekaman tertulis diskusi didokumentasikan yang semoga akan jadi memorabilia bagi mereka dan anak-cucunya.

Blog ini memuat notulensi dan reportase diskusi penDuduk di berbagai titik kota Jogja, transkrip obrolan online di grup facebook, potongan dokumentasi gambar, dan beberapa torehan pelengkap lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat dan semoga rahmat Tuhan senantiasa mengucur deras kepada lingkaran anak-anak muda ini. Amin.


Jogja, 28 Rajab 1435

Notulen Duduk Selingkar,
Zia Ul Haq

0 komentar:

Posting Komentar