Minggu, 17 Mei 2015

Barat dan Timur

Sayd Nursiba:

“Bagaimana tanggapan anda dengan fenomena epistemenologi berikut? Dunia barat sekarang ini telah mencpai kemajuan yang pesat. Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis dan variatif, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.

Barat yang dikenal maju itu sebenarnya diwakili Amerika Utara dan Eropa Barat. Dua belahan wilayah inilah yang membwa gerbong lokomotif kemajuan Barat, sehingga kemajuan yang dicapai tersebut mempengaruhi seluruh negara dan wilayah di saentero dunia. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan di samping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya. Kemajuan Barat tersebut berupaya diadaptasi dengan melakukan modifikasi-modifikasi tanpa meninggalkan cara budaya nasionalnya sendiri, seperti yang ditempuh jepang.

Ada kalanya kemajuan tersebut diadaptasi secra total walaupun gagal, seperti yang dialami Turki, terutama modernisasi yang digerakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dua negara ini menjadi objek yang menarik bukan? Karena hasilnya justru bertolak belakang. Jepang yang mempertimbngkan budaya lokal ‘ideologi samurai’ dalam mengadaptasi sains dan teknologi barat, ternyata mampu mengejar, bahkan di bidang elektro berhasil mengugulinya. Tapi, Turki yang membuang tradisinya sendiri guna mengikuti barat secara keselurahan malah justru masih ketinggalan dari Barat alias ‘bobok’. Hahaha.

Kunci rahasia yang penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan epistimenologi yang dikuasai Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Temuan baru menjadi penyempurna temuan lama atau temuan baru menentang temuan lama. Epistemonologi yang dikembangkan ilmuwan Barat ini mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia dengan pengenalan sosialisasi sains dan teknologi mereka.

Epistemonologi ini dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan masing-masing negara, akhirnya secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahuan dan sebagainya. Sadar atau tak sadar mereka terbelenggu oleh pengaruh yang memikat. Padahal epistemenologi yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang mewujudkan dinamika pemikiran, berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. Seolah-olah hanya ada satu model berfikir yang mesti diikuti. Kondisi ini makin membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi imprealisme epistemologi Barat terhadap pemikiran masyarakat dunia.

~

Irfan Mashuri: “Bagaimana jika saya menyebutkan ini penindasan/penjajahan intelektual kaum muslim?”

Zia Ul Haq: “Wah! Penjajahan Pemikiran, Ghozwul Fikr.. Maka memang benar kita harus mengasah dan membenahi cara berpikir kita, agar tidak terseret arus..”

Zainal Muhidin: “Wah.. Jepang itu spiritualitas, kerja keras, tanpa meninggalkan identitas..”

Sayd Nursiba: “Agar bisa keluar dari penjara tahan pemikiran pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemenologi barat perlu diluruskan untk menghindari kesalah pahaman dan tindakan yang lebih parah lagi adalah membentuk epistimenologi sendiri yaitu epistemenologi Islam. Caranya gimana, Men? Mari kita bersama bahu membahu, tambal menambal dalan merekontruksi epistemenologi Islam. Diskusi Selingkar sebagai pintu gerbang menuju dunia baru Islam. Ayo piye carane ngurumuske konsepe? Hahaha..”

Zia Ul Haq: “1. Kenapa Barat dikonfrontasikan dengan Islam? Bukankah Islam mencakup timur dan barat, selatan dan utara, atas dan bawah? 2. Jangan-jangan sudah ada rumusan epistemologi islam??? Ayo cari tahu!”

Zainal Muhidin: “Wah.. Islam itu dunia dan akhirat, Men..”

Zia Ul Haq: “Nah, jangan-jangan, Epistemologi Barat itu juga termasuk dalam khazanah Islam?? Hayoh?”

MO HA: “Kita harus belajar tenteng metode ilmiah mereka,”

Zia Ul Haq: “Nah, maka dari itu, musti diperjelas dulu, epistemologi keilmuan Barat ki koyok opo? cirinya bagaimana? kemudian kita sandingkan dengan nilai-nilai keislaman, sesuai atau tidak. Sebagaimana ketika kita melihat hal-hal baru dalam Islam, ya disandingkan dulu dengan nilai-nilai keislaman, baru kita bisa menentukan sikap; menerima, menolak, menyaingi, membentengi diri, atau membiarkan.

Sayd Nursiba: “Selama ini epistemenologi barat selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan keyakinan secara apriori. Dalam batas-batas tertentu, keunggulan sains barat dibanding kawasan-kawasan lain sekarang ini memang harus diakui secara jujur, tetapi ketika terjadi upaya membentuk keyakinan, bahwa Barat adalah segala-segalanya bagi ukuran pengetahuan yang dapat dipercaya kedalamannya, bilamana mengikuti mekanisme kerja berfikir model Barat sesungguhnya adalah upaya memasung atau mbeleh para ilmuwan pemikir.

Ujung-ujungnya mereka akan terbiasa meyakini sesuatu yang dianggap baku, padahal mestinya masih bisa dikembangkan atau bahkan bisa dipertentangkan dngan cara-cara kerja ilmiah model lainnya. Akibatnya Men, mereka akan terbelenggu daya kreatifitasnya dengan sekedar mengharap produk-produk sains Barat. Pendekatan-pendekatan epistemenologi Barat yang telah melakukan imprealisme masyarakat dunia dapat dilihat:

a. Pendeketan skeptis; ciri skeptis adalah keraguan yang menjadi warna dasar epistemenologi Barat. Segala sesuatu harus diragukan Tuhan dan agama, manusia, langit, bumi, sosial. Kemudian jadilah teori setelah didapat kebenarannya atau kebenaran yang dapat dibuktikan.

b. Pendekatan Rasional-Empirik. Dalam kerja epis barat, penggunaanya rasio menjadi mutlak dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggung jawbkan tanpa mendapatkan pembenaran rasio.

c. Pendekatan dikotomik dapat dilihat pemahaman filsafat Renaissance di Barat.

d. Pendekatan positif objektif. Dipengaruhi filsafat positivisme. Bagaimana dngan epistemenologi Islam? Benar apa yang disampaikan Zia, logikanya setiap epistemenolog Barat termasuk epistemenenologi Islam tapi tidak setiap epistemonologi Islam termasuk epis Barat.

Wahyu sebagai sumber mengandung kebenaran absolut, sedang sains tidak absolut atau berubah sesuai perkembangan. Usaha menyinkronkan kedua ini perlu rumusan yang benar-benar serius Men. Hahaha. Benar Zia, kita memang sudah punya epistemenologi sendiri, inilah yang perlu kita sadari. Islam itu maju bahkan jauh lebih maju dari Barat, tapi fakta praktisnya kita masih tertinggal. Apa yang menjadi faktor ketertinggalan?

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Cuk , Cukup kau tenangkan hidupmu saja dengan Pangeran..”

Irfan Mashuri: “Perbedaan mendasar yang perlu kita pahami tentang keilmuan Barat dan keilmuan Islam yakni keilmuan islam terdapat nilai estetika, sedangkan keilmuan Barat hanya memandang itu pada ranah empiris dan logis semata. Dan implementasi kedua wilayah keilmuan tersebut menjadi tolak ukur. Menjadi pertanyaan besar buat saya pribadi atau kita semua, mengapa keilmuan Barat lebih maju dari keilmuan Islam dan kenapa keilmuan kita sepertinya stagnan. Padahal keilmuan Islam terdapat nilai-nilai luhur, bisa dikatakan begitu, apakah konsep kita salah atau umat Islam sendiri sudah salah?”

Irfan Wahyu Adi Pradana: “Pusing ya? Bersandar di pundakku sini.”

Eristheo Dune: “Iya fanturbasi, plis pinjamkan pundakmu. Atau pupumu. Asal jangan anumu.”

Irfan Mashuri: “Berkaitan dengan terjadinya imperialisme intelektual oleh dunia Barat ke seluruh dunia dan khususnya pada dunia Islam, hal ini disebabkan periodisasi pengetahuan. Bila mana kita tengok kembali sejarah masa keemasan Islam (the golden age), dulu kenapa kita berjaya khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dikarenakan saat itu pemerintahan Islam berperan besar dalam perkembangan pendidikan tapi yang paling implisit adalah para ilmuan telah mengembangkan pengetahuan dari bangsa Yunani kuno, menterjemakan kebahasa arab dan mereka menitikberatkan pada bidang filsafat.

Nah ini kunci utama keberhasilan ilmu pengetahuan khusus dalam bidang sains dan teknologi. Kemudian setelah beberapa abad lamanya (berkisar 1 atau 2 abad) muncullah tokoh islam yakni Imam al-Ghazali dulunya dia adalah pakar filsafat, beliau menjadi mufti di Madrasah Nizhamiyah (madrasah yang paling terkenal pada masa itu). Pada akhir masa beliau, Imam al-Ghazali ini membuat statement secara tidak langsung untuk tidak belajar filsafat, nah ini awal mulanya pergolakan dinamika keilmuan Islam.

Dilihat dari karekteristik al-Ghazali yang sufisme dan nama besar beliau yang mendunia sehingga banyak orang-orang mengikuti paradigma beliau secara garis besarnya saja. Nah setelah al-Ghazali inilah banyak permasalahan dalam bidang keilahian dan keakhiratan terus diperdebatkan. Ini membuat kemajuan pengetahuan sains dan tenologi kita stagnan dan tidak berkembang-kembang.

Faktor yang lain adanya pembakaran buku dan karya-karya Islam oleh bangsa Mongol dan penjarahan buku-buku Islam oleh bangsa Barat. kemudian bangkitnya dunia Barat (Renaissance). Dunia Barat terus mengembangkan sains dan teknologinya sedangkan dunia Islam terus mengembangkan tasawufnya (perdebatkan ilmu kalam) tentang adanya Tuhan, melihat Tuhan, pahala dan dosa padahal itu adalah ranah Allah bukan ranah manusia.

Kemudian para cendikiawan muslim mulai sadar akan ketertinggalan kita dari dunia barat muncullah pembaharu Islam contohnya Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Jadi mengapa kita terus tertinggal dan bangsa Barat menjadi maju, dikarenkan kita meninggalkan filsafat dan tidak mengembangkannya. Selanjutnya bahwasanya sekarang ini epistimologi barat menjadi acuan dasar keilmuan dunia dikarenakan epistimologinya empiris logis dan dapat dipertanggungjawabkan dan juga isinya mengandung nilai-nilai keislaman sehingga kita tidak bisa mengotak atik begitu saja, artinya teori-teori yang dikembangakan itu ada dalam nilai-nilai keislaman. Kita bisa mengubah hanya namanya saja dan dikasih embel-embel Islam contohnya psikologi diganti psikologi Islam dan semacamnya.

Jadi perlu kajian dan teori baru untuk mengubah epistimologi Barat dan itu menjadi PR buat umat Islam khususnya generasi muda ini. Tpi yang ingin saya garis bawahi; keilmuan Islam harus mengandung unsur etika dan estetika agar menjadi pembeda dari keilmuan Barat dan etika dan estetika itu diambil dari nilai-nilai keislaman.”

Zia Ul Haq: “Sik sik sik, mocone mumet aku, hahaha, *loading*”

Zainal Muhidin: “Irfan Mashuri asuuuu, nak komen seng simpel wae! Nak kowe ra gelem dihalalke darahmu!”

Zia Ul Haq: “Piye iki? Sayd Vandyas karo Ervan Mashoery arep dihalalke wae po darahe? Ngelak aku… *ngelap iler*”

Eristheo Dune: “Cukk, nambahi mumes ndate..”

Irfan Mashuri: “Tadi saya telah menyinggung penyebab kemunduran kita dan bila ditelisik ini akan menjadi jawaban atas sebab musababnya, yakni faktor umat Islam sendiri yang masih meperdebatkan adanya Tuhan, dzat Tuhan, sifat-sifat-sifat Tuhan, dosa dan pahala, neraka dan surga. Nah ini menyebabkan kemunduran umat ini, kita hanya memprioritaskan bahwasanya kita akan mati besok dan tidak menyadari kita akan hidup selamanya.

Kemudian terjadinya penjajahan baik material maupun intektual oleh bangsa Barat hampir di seluruh negeri Islam hingga berabad-abad membuat kita terninabobokan. Dan ketergantungan kita akan pemikiran maupun karya tokoh-tokoh Islam zaman dulu yang sedang berjaya-jayanya hingga di zaman era globalisasi ini kita masih mendapatkan kitab-kitab mereka yg masih dipelajari sehingga warnanya menjadi tambah kuning kekuningan.

Maksud saya adalah kita tidak berani memperbaharui pemikiran ulama terdahulu yang sudah ketinggalan zaman dan memperbaharui pemikirannya dengan pemikiran kita yang baru ini. Suatu hal yang tabu di masyarakat bila mengkritisi pemikiran ulama terdahulu, dan melekatnya paradigma umat Islam bahwa ijtihad ulama terdahulu itu adalah bagaikan anak dari Al- Qur'an maupun Sunnah, sehingga kita tidak berani mengotak-atiknya.”

Zainal Muhidin: “Iki ncen asu kabeh, A. Kenapa Barat maju? B. Kenapa Islam mundur (sedang bangkit)? Jawab: A dan B sama; TAKOKKE DEWE RO AWAKMU!”

Eristheo Dune: “Kalo pengen maju, kerahkan semua rakyat untuk berpikir sama denganmu. Terserah caramu piye. Hal simpel itu tak semudah yang kita pikir.”

Irfan Mashuri: “Sesuatu hal yang kita pikir itu bukan hal yang simpel.”

Zia Ul Haq: “Nek jawabanku singkat wae; mengapa keilmuan Islam terkesan mundur? Karena kita dijejali produk pemikiran tanpa dituntun bgaimana cara berpikir (filsafat). That's all. Maka dari itu kita ber-Selingkar! *ketok palu ning ndase Mukid; tok-tok-tok*”

Sayd Nursiba: “Hehehehe, asik..”

Irfan Mashuri: “Mas Zia, betul sekali, berarti yang salah pendidikan kita ya, bagaimana pendapat Anda selaku cendekiawan pendidikan Islam, tentang pendidikan kita, apa yang harus direvisi dan dikritisi. Hehehehe..

Zia Ul Haq: “Kopet ah.. kekekekeke, yaaa gunakan 'otak', jangan hanya 'buku', that's all.”

[o]

0 komentar:

Posting Komentar