“Heh Cuk, sesuk libur mergo hari opo?” tanya Irfan.
“Lha koe kok ‘cak cuk cak cuk’ maring aku!?” sahut Pram, sensi.
“Yo iyo wees, sesuk libur ngopo Maas?” sambung Irfan menggoda.
“Lha yo ora ngerti aku!” jawab Pram ketus.
“Ah koe ki ncen ra ngerti opo-opo kok, goblok..” hina Irfan.
“Gelut wae yuh!” tantang Pram, emosi.
“Wani po??!” lawan Irfan.
“Ta’ dengkul ngglodak wolung meter koe!” kejar Pram memperagakan jurusnya.
“Ah cangkeman!” potong Irfan sambil pasang tampang menyebalkan.
Begitulah salah satu dialog yang sering mereka lontarkan, saya sampai hapal. Dan lucunya, sampai hari ini tidak pernah terjadi adu jotos betulan, padahal itu yang paling teman-teman tunggu. Hehehe. Sangkin gemesnya dengan kelakuan mereka berdua, akhirnya kami putuskan untuk menggelar sidang klarifikasi terhadap hubungan aneh itu.
Memang awalnya kami mengobrolkan gonjang-ganjing
Menurut Said, alangkah beruntungnya Pram memiliki teman semacam Irfan yang suka menglok-oloknya
Hal ini berbeda jauh dengan lingkungan pertemanan yang nyaman. Hanya bertabur pujian, tidak ada sikap kritis, tidak ada pengingat, tidak ada misuh, tidak ada ketegangan, tentu tidak akan mendewasakan. Belum lagi banyak model teman yang justru mengajak ke hal-hal negatif nan menjerumuskan, pergaulan khas anak-anak muda labil di tengah gemerlap Jogja.
Pendapat ini diamini Mukid. Menurutnya, hubungan antara Irfan dan Pram bagai kambing dan rumput. Irfan kambingnya, Pram rumputnya. Si Kambing menginjak-injak
Mendengar ini, dada Irfan membusung dan mukanya tambah sengak.
“Rungokno kui Cuk!” katanya. Pram hanya mendengus kesal.
Dalam sidang ini, dua penasehat dihadirkan, yakni Mbah Rijal dan Mbah Yasin. Keduanya memberi nasehat bagi masing-masing calon mempelai; Irfan dan Pram. Sebagai manusia, tujuan hidup adalah suatu hal yang esensial, demikian menurut Mbah Rijal. Maka Pram semestinya memahami tujuan hidupnya, lebih sempit lagi, tujuannya merantau dari Wonosobo ke Yogyakarta, tentu agar dirinya tidak terbuai oleh gemerlap-gemerl
Mbah Yasin lebih mengarahkan kritikan pada sikap Irfan. Menurutnya, memang injakan dan berbagai macam intimidasi mental itu perlu, namun musti ‘empan papan’, tahu tempat dan paham kondisi. Karena tidak semua orang siap ditempa semacam itu. Pada saat perasaan seseorang cerah ceria mungkin umpatan sepedas apapun serasa biasa saja. Namun ketika orang yang sama sedang bad mood, sindiran sepele saja bisa menggoreskan luka.
“Nyoh! Rungokke kui Ro, Coro!” seru Pram sambil menuding-nuding
Misuh berbeda dengan misuhi, begitu kata Mbah Yasin. Misuh adalah mengungkapkan gemerundel-geme
Akhirnya kami menginsafi bahwa kedewasaan dan kematangan diri hanya bisa digapai dengan proses kegoncangan, ketegangan, dan berbagai kondisi ketidaknyamanan
“Persahabatan bagai kepompong.. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu..”
Sidang klarifikasi diakhiri jam dua belas malam dengan simbolisasi perdamaian dan saling memaafkan antara dua kubu. Yakni dengan salaman setulus hati antara Irfan dan Pram. Keduanya berjanji untuk saling melengkapi sehidup semati, menjalani suka duka kehidupan bersama hingga anak cucu nanti. Ooh, so sweeet. "Keeetcaaaww!" seru Mukid.
Tak berapa lama, datang Sutri untuk gabung diskusi, serta merta kami pun langsung membubarkan diri.
~
Krapyak, Ahad 10 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar