Minggu, 10 Mei 2015

KEPOMPONG

Ada yang unik antara dua penDuduk Selingkar ini, Tuanku Irfan (Coro) dan Paduka Pramono (Hulk). Keduanya menjalin hubungan mesra yang aneh. Setiap kali bertemu, pasti ribut, hampir tarung fisik atau sekedar cekcok mulut. Namun selalu berakhir dengan cengengas cengenges.


“Heh Cuk, sesuk libur mergo hari opo?” tanya Irfan.

“Lha koe kok ‘cak cuk cak cuk’ maring aku!?” sahut Pram, sensi.

“Yo iyo wees, sesuk libur ngopo Maas?” sambung Irfan menggoda.

“Lha yo ora ngerti aku!” jawab Pram ketus.

“Ah koe ki ncen ra ngerti opo-opo kok, goblok..” hina Irfan.

“Gelut wae yuh!” tantang Pram, emosi.

“Wani po??!” lawan Irfan.

“Ta’ dengkul ngglodak wolung meter koe!” kejar Pram memperagakan jurusnya.

“Ah cangkeman!” potong Irfan sambil pasang tampang menyebalkan.

Begitulah salah satu dialog yang sering mereka lontarkan, saya sampai hapal. Dan lucunya, sampai hari ini tidak pernah terjadi adu jotos betulan, padahal itu yang paling teman-teman tunggu. Hehehe. Sangkin gemesnya dengan kelakuan mereka berdua, akhirnya kami putuskan untuk menggelar sidang klarifikasi terhadap hubungan aneh itu.

Memang awalnya kami mengobrolkan gonjang-ganjing
kraton, bersama Kang Fadoli, pengantin baru yang lama berkecimpung di dunia jurnalistik. Kami rasan-rasan mulai dari keampuhan zaman Sultan Agung, hawa spiritual trah kraton yang diturunkan dari generasi ke generasi, hubungan kesultanan dengan pesantren yang makin renggang, mengganasnya proyek-proyek kapitalis beberapa tahun belakangan, munculnya mall-mall besar dan minimarket-minimarket yang jelas mematikan pasar lokal, hingga tetek bengek sabdaraja yang dikeluarkan Sultan baru-baru ini. Namun kami lebih tertarik membahas problem riil yang sedang hot di tengah lingkaran kami: persahabatan Pram dan Irfan.

Menurut Said, alangkah beruntungnya Pram memiliki teman semacam Irfan yang suka menglok-oloknya itu. Karena dengan olok-olokan itu, mentalnya jadi terbangun. Dan itu terbukti dengan semakin matangnya kedewasaan Pram bila dibandingkan beberapa tahun lalu saat ia masih berpikir dan bersikap seperti bocah. Apalagi belakangan, Irfan bersikap seperti itu agar Pram segera menggarap skripsi yang masih nol besar.

Hal ini berbeda jauh dengan lingkungan pertemanan yang nyaman. Hanya bertabur pujian, tidak ada sikap kritis, tidak ada pengingat, tidak ada misuh, tidak ada ketegangan, tentu tidak akan mendewasakan. Belum lagi banyak model teman yang justru mengajak ke hal-hal negatif nan menjerumuskan, pergaulan khas anak-anak muda labil di tengah gemerlap Jogja.

Pendapat ini diamini Mukid. Menurutnya, hubungan antara Irfan dan Pram bagai kambing dan rumput. Irfan kambingnya, Pram rumputnya. Si Kambing menginjak-injak rumput, memakannya, mengunyahnya, kemudian mengisinginya. Namun tanpa disadari, hal itu justru menyebabkan Si Rumput menjadi tumbuh subur dan lebih hijau.

Mendengar ini, dada Irfan membusung dan mukanya tambah sengak.

“Rungokno kui Cuk!” katanya. Pram hanya mendengus kesal.

Dalam sidang ini, dua penasehat dihadirkan, yakni Mbah Rijal dan Mbah Yasin. Keduanya memberi nasehat bagi masing-masing calon mempelai; Irfan dan Pram. Sebagai manusia, tujuan hidup adalah suatu hal yang esensial, demikian menurut Mbah Rijal. Maka Pram semestinya memahami tujuan hidupnya, lebih sempit lagi, tujuannya merantau dari Wonosobo ke Yogyakarta, tentu agar dirinya tidak terbuai oleh gemerlap-gemerlap duniawi berupa harta, tahta, dan wanita.

Mbah Yasin lebih mengarahkan kritikan pada sikap Irfan. Menurutnya, memang injakan dan berbagai macam intimidasi mental itu perlu, namun musti ‘empan papan’, tahu tempat dan paham kondisi. Karena tidak semua orang siap ditempa semacam itu. Pada saat perasaan seseorang cerah ceria mungkin umpatan sepedas apapun serasa biasa saja. Namun ketika orang yang sama sedang bad mood, sindiran sepele saja bisa menggoreskan luka.

“Nyoh! Rungokke kui Ro, Coro!” seru Pram sambil menuding-nuding Irfan. Yang dituding melengos sambil garuk-garuk jenggot.

Misuh berbeda dengan misuhi, begitu kata Mbah Yasin. Misuh adalah mengungkapkan gemerundel-gemerundel hati dan segala kekeruhan di dalamnya dalam bentuk kata-kata umpatan, sehingga plong jadinya. Sedangkan misuhi adalah mengumpat suatu obyek di luar dirinya, baik orang maupun keadaan. Nah, baik ‘misuh’ maupun ‘misuhi’ harus ‘empan papan’. Berbeda dengan sikap ‘ngece’ (menghina/mencela) yang nertendensi merendahkan martabat, hal ini sebaiknya kita jauhi betul-betul terhadap siapapun.

Akhirnya kami menginsafi bahwa kedewasaan dan kematangan diri hanya bisa digapai dengan proses kegoncangan, ketegangan, dan berbagai kondisi ketidaknyamanan. Termasuk dalam hal persahabatan. Setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan khas, namun segala macam gesekan sepatutnya menjadi proses agar potensi yang dimiliki masing-masing bisa terus berkembang dan berkilau bak batu akik. Sepertinya memang benar lirik lagu ceria satu itu:

“Persahabatan bagai kepompong.. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu..”

Sidang klarifikasi diakhiri jam dua belas malam dengan simbolisasi perdamaian dan saling memaafkan antara dua kubu. Yakni dengan salaman setulus hati antara Irfan dan Pram. Keduanya berjanji untuk saling melengkapi sehidup semati, menjalani suka duka kehidupan bersama hingga anak cucu nanti. Ooh, so sweeet. "Keeetcaaaww!" seru Mukid.

Tak berapa lama, datang Sutri untuk gabung diskusi, serta merta kami pun langsung membubarkan diri.

~
Krapyak, Ahad 10 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar