Rabu, 04 Maret 2015

Desaku Sekolahku

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah, Kalibening Salatiga | 4 Maret 2015 | Penyaji: Warga KBQT

SOWAN

Seperti biasa, Adam yang masih kuliah pascasarjana di Malang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selama pulang di Jogja. Tidak seperti Selingkar yang dulu rutin ngumpul diskusi santai tiap Kamis sore, sekarang penDuduk bisa setiap saat berdiskusi. Minimal sebulan sekali kami berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul, membincangkan problem riil yang kami hadapi saat ini.

Hari itu Adam menyambangi kosanku di wetan Kandang Menjangan. Kami ngobrol ngalor ngidul, termasuk tentang aplikasi pendidikan efektif yang kebetulan menjadi studinya sekaligus problem yang dihadapinya di rumah. Obrolan sampai pada komunitas belajar legendaris di Salatiga yang –konon- sempat menjadi salah satu dari tujuh komunitas ajaib di dunia.
“Qoryah Thoyyibah? Itu sih aku juga tahu, sudah terkenal. Eh, di mana tempatnya to?” tanya Adam.

“Salatiga, katanya sih Desa Kalibening,” jawabku.

“Ayo kesana! Mumpung ada kesempatan. Kita ajak juga temen-temen yang mau ikut.”

“Mangkaat!”

Selasa siang (03/3) kami berkumpul di Desa Drono, Sleman. Butuh empat puluh menit dari Krapyak menuju kampung Drono, hujan deras mengguyur Jogja bagian utara beserta penghuninya. Kami basah kuyup namun tetap ganteng dan bahagia.

Jam dua siang, Adam, Syafak, Mukid, Sutri, Salis, dan aku siap berangkat. Jalur yang kami tempuh dari Jalan Magelang via Kopeng sampai ke Salatiga memakan waktu tiga jam perjalanan. Selama perjalanan, kami membincangkan komunitas belajar yang akan kami kunjungi serta menata apa saja yang ingin kami timba dari sana.

“Ada tiga hal yang bakal kita angkut dari Kalibening,” ucapku.

“Opo wae?” Salis bertanya.

“Pertama, konsep filosofis Qoryah Thoyyibah. Ini nanti kita obrolkan bareng Pak Ahmad Bahruddin, pendirinya. Kedua, kita gali informasi tentang tata manajerial di Qoryah Thoyyibah, yakni tentang bagaimana pengelolaan komunitasnya, pembiayaan, hubungan dengan dinas pendidikan, penyetaraan dan semacamnya. Nanti kita ketemu sama Mbak Nurul untuk ngobrolin itu. Dan ketiga..”

“Plastik! Aku njaluk plastik!” seru Sutri di jok belakang memotong kalimatku. Lalu bertumpah ruahlah isi perutnya di sekantong plastik. Muntah dia. Mungkin gara-gara belum makan siang dan masuk angin. Atau mungkin gara-gara overdosis kangen dengan pacarnya.

“Yang ketiga,” sambungku, “Kita amati suasana belajar dan aplikasi praktis di Qoryah Thoyyibah. Nah nanti kita bisa lihat-lihat secara langsung bagaimana temen-temen di sana belajar. Kita minta tolong sama Mbak Fina nanti.”

“Sip! Biar nanti bisa diterapkan di sini ya,” sahut Adam sang sopir, merujuk pada yayasan pesantren panti asuhan yang dikelolanya.

Kami mampir di Kopeng untuk menenangkan gejolak lambung Sutri, sekalian shalat Ashar. Tepatnya di sebuah masjid asri tepat di sebelah gereja. Sesampai di alun-alun Salatiga, pas sebelum Maghrib, kami beristirahat di Masjid Raya Darul Amal sambil mengusir angin-angin di tubuh pemuda kekar satu ini.

Tanggap Tantangan
Diantar Kafi, mahasiswa IAIN Salatiga, kami menuju Qoryah Thoyyibah, Desa Kalibening Kecamatan Tingkir. Sekitar 4 kilometer dari pusat kota, tepat saat Isya kami sampai di sana. Halaman dan rumah-rumah masih basah bekas hujan deras. Kami disambut oleh Fina, salah seorang pengabdi di Qoryah Thoyyibah sekaligus wasilah kami bisa sampai di tempat itu.

Kami diantar masuk ke rumah Pak Ahmad Bahruddin, pendiri dan kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga, dan disambut dengan hangat di sana. Suguhan kopi hitam makin menghangatkan kami yang kedinginan. Di ruang tamu, berjajar tropi dan jajaran buku-buku karya anak-anak Qoryah Thoyyibah. Terpampang pula foto seorang tokoh progresif asal Brasil yang tak asing di dunia pendidikan, sosok yang berjuang dengan prinsip pedagogi pembebasannya, Paulo Freire!

Tentang Pak Ahmad Bahruddin yang gondrong dan keren ini, kami sudah banyak tahu dan tidak asing lagi. Ketika muncul di Kick Andy beberapa tahun lalu, beliau mengungkapkan ide-ide tentang pendidikan yang tak biasa. Menurut Fina, sejak beberapa hari lalu banyak tamu tak berhasil ketemu Pak Din –sapaan akrab beliau- yang sibuk. Maka kami beruntung bisa ngobrol dengan Pak Din hingga tiga jam lebih malam itu.

“Sudah lama kami ingin sowan kemari, Pak,” ungkapku membuka percakapan, “Namun baru kali ini bisa datang. Kebetulan di antara kami, Mas Adam, Mas Syafak dan Mas Salis ini, diamanahi mengelola lembaga pendidikan di tempatnya masing-masing. Maka malam ini kami ingin ngaji sama Njenengan tentang pendidikan.”

“Semuanya berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hayawanun Nathiq. Maka pendidikan yang diterapkan kepada manusia seharusnya ya memperlakukannya sebagai makhluk berpikir yang merdeka,” terang Pak Din.

Kemudian beliau mengemukakan gagasan-gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan. Bahwa sesungguhnya manusia berhak belajar tentang apa yang ingin diketahuinya, bukan dipaksa untuk mengetahui dan mempelajari apa yang menjadi tren pasar. Itu sama saja dengan penindasan.

Maka di Qoryah Thoyyibah, anak-anak dibebaskan mempelajari apa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak disuapi dengan tuangan-tuangan pengetahuan oleh pengajar. Bahkan di tiap kelas Qoryah Thoyyibah tidak ada pengajar!

“Di sini tidak ada guru sebagai pengajar, adanya pendamping. Tugasnya ya mendampingi anak-anak mempelajari apa yang menjadi minat mereka, menyalurkan potensi dan bakat mereka, serta mengapresiasi karya-karya mereka. Posisi pendamping bukan sebagai pembimbing, tapi lebih sebagai pembombong (membuat bahagia). Kedudukan pendamping dengan anak-anak ya paling tinggi sejajar, tidak bisa melebihi itu,” terang Pak Din.

“Lalu darimana anak-anak menggali ilmu yang ingin mereka pelajari, Pak?” tanyaku.

“Ya dari sumber-sumber belajar yang bisa diakses. Kalau materi-materi pelajaran bisa diakses di buku-buku dan internet. Untuk skill bisa datang ke orang-orang yang berkecimpung di bidang-bidang tertentu, atau kami datangkan ke sini. Begitulah fungsi pendamping, yakni sebagai fasilitator. Tugasnya memfasilitasi anak-anak untuk mengasah bakatnya,” jawab Pak Din, “Oiya, di kampus masih ada mata kuliah Strategi dan Metode Pembelajaran?”

“Masih, Pak.”

“Wah, seharusnya diubah jadi Strategi dan Metode Fasilitasi. Karena memfasilitasi berbeda dengan mengajar. Jadi, mahasiswa mustinya tidak berlatih bagaimana gaya yang menarik untuk menyuapi siswa, tapi lebih kepada penempaan diri sebagai pendamping,” tukas Pak Din.

Beliau memang sangat menekankan konsep pendampingan atau fasilitasi ini. Setahuku, Pak Din tak begitu sepakat dengan gerakan Indonesia Mengajar a la Pak Anies Baswedan, semestinya ya ‘Indonesia Belajar’. Menurut Pak Din, program yang dikembangkan Pak Anies –dengan segala hormat atas ketulusan niatnya- sama sekali tidak mengubah sistem, tidak mengubah kurikulum, tidak mengubah apa yang selama ini menjadi problem mendasar dalam pendidikan. Tidak ada kesempatan bagi anak untuk berkembang mengolah potensinya. Spiritnya masih memintarkan mereka yang (dianggap) bodoh.

Belum lagi masalah ukuran pencapaian yang diseragamkan secara nasional (standarisasi). Padahal setiap sekolah di masing-masing kampung memiliki karakter anak didik yang berbeda-beda. Tak bisa diseragamkan dengan standar baku tertentu.

“Di seluruh Indonesia,” kata Pak Din, “Ada ribuan desa. Dan rata-rata ada dua sekolah di setiap desa. Sedangkan antara desa yang satu dengan desa lainnya memiliki perbedaan budaya. Masa’ mau diseragamkan? Muatan lokal pun yang menentukan kabupaten, bukan berbasis desa. Itupun sekolah masih menjadi tembok tebal. Ketika siswa masuk gedung sekolahan, ia seakan-akan masuk ke alam lain yang terpisah dari desanya. Ia diajari bermacam-macam wawasan dan tak sedikitpun diarahkan untuk mengenal desanya. Siswa jadi tercerabut dari akarnya.”

“Jadi tiap sekolah seharusnya melek lingkungan sekitar, begitu Pak?”

“Ya harus! Contohnya, di Kalibening sini ada mata air Belik Luwing. Maka anak-anak Qoryah Thoyyibah kami arahkan untuk mengenal mata air itu. Kemudian memahami fungsinya bagi masyarakat. Lalu menelaah ada problem apa di sana. Akhirnya bersama-sama mengupayakan solusinya, atau setidaknya membantu warga untuk mengatasinya. Itu ‘kan namanya melek lingkungan. Kita tidak mau menjadi pembatas antara anak-anak di dalam dengan realitas di luar.”

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah memang menerapkan kurikulum berbasis kebutuhan. Apa yang dibutuhkan siswa, itulah yang dipelajari. Apa yang menjadi problem di sekitar, itulah yang diselami. Aku jadi teringat tiga hambatan mendasar dalam manajemen kurikulum di sekolah-sekolah formal. Pertama, ketidaksinambungan pendidik di lapangan dengan penentu kebijakan, apalagi jika sudah dikaitkan dengan pengaruh politik. Kedua, keterbatasan sarana, dan ketiga, lemahnya pengawasan guru sehingga menjadikan tingkat kedisiplinan rendah.

Nah, tiga problem mendasar ini berhasil dieliminasi di Qoryah Thoyyibah. Tidak akan ada ketimpangan antara penentu kebijakan dan pelaksana lapangan, karena pendamping beserta anak-anak menjadi penentu kebijakan bagi kurikulumnya sendiri. Sarana dan prasarana tak menjadi masalah pokok, itu semua tersedia bebas, tinggal ada kemauan mencari atau tidak. Pengawasan guru pun menjadi hal yang mudah, karena di Qoryah Thoyyibah, pendamping dan anak-anak menjadi pengawas bagi kelas dan dirinya sendiri.

“Apakah tidak terjadi gesekan dengan sekolah-sekolah formal sekitar sini, Pak? Atau mungkin ada tawaran dari pemerintah agar komunitas ini dijadikan bentuk sekolah formal?” tanya Adam.

“Kita gali kembali, apa tujuan sekolah? Kalau tujuannya untuk mencerdaskan anak bangsa dan menempa karakter kepribadian mereka, komunitas ini terbukti berhasil. Justru sekolah formal yang masih dipertanyakan keberhasilannya.”

Lalu Pak Din menyinggung tentang pemaksaan penyeragaman di sekolah formal. Mulai dari pakaian hingga materi yang dituangkan. Semua ‘pemaksaan’ itu menjadi model penjajahan terselubung. Apalagi pada saat ujian nasional.

“Siswa-siswi disuruh mengerjakan soal-soal ujian, diawasi dengan ketat. Belum cukup sampai situ, pengawasnya pun diawasi lagi oleh aparat. Hahaha. Itu semua gamblang menggambarkan ketidakberesan mendasar. Terus menerus siswa diperlakukan seperti itu, hakekatnya menjadi internalisasi kejahatan pada diri mereka. Maka wajar saja jika muncul pelampiasan-pelampiasan berupa kenakalan remaja yang mengerikan, ketika lulus pun mereka mengekspresikan kegembiraan bagai keluar dari penjara, konvoi, corat-coret, pesta, hura-hura. Itu bukan salah mereka, tapi sistem yang membentuk seperti itu, iya ‘kan?” sesal Pak Din, kami mengiyakan.

“Tapi di sini ada ujian juga, Pak?” tanya Salis.

“Tidak ada. Tolak ukur yang kami gunakan di sini adalah karya,” ujar Pak Din. “Berangkat dari pemahaman bahwa komunitas belajar harus melek lingkungan, maka kami harus berkontribusi terhadap lingkungan. Dan itu dimulai dengan karya. Masing-masing anak diarahkan untuk membuat satu karya setiap bulannya. Itulah tolak ukur kami. Di sini, bakat anak diapresiasi. Apa yang menjadi keinginannya untuk dibuat, ya kami dampingi untuk mewujudkannya, tentu harus realistis ya.”

Kemudian Pak Din menunjukkan kepada kami beberapa karya tulis anak-anak Qoryah Thoyyibah. Ada kumpulan cerpen, novel, dan komik. Beliau juga menunjukkan satu buku dokumentasi gambar-gambar salah seorang siswa Qoryah Thoyyibah. Terlihat dalam buku itu perkembangan coretan-coretan si anak. Semakin hari semakin matang. Tentu hal ini disebabkan oleh apresiasi terus menerus yang dilakukan pendamping. Sungguh membanggakan.

“Ada anak yang berbakat nggambar. Dia suka bikin komik,” kisah Pak Din, “Ya kami fasilitasi di sini. Semakin berkembang, dia ikut berbagai macam event komik di berbagai daerah. Ya kami persilakan. Berhari-hari dia pergi ya monggo. Tidak ada istilah bolos di sini. Wah, kalau di sekolah formal, anak seperti itu pasti sudah dimarahi gurunya. Apalagi kalau menjelang ujian nasional, pasti aktivitas nggambarnya bakal dijegal habis-habisan demi belajar buat ujian.”

Kami mengangguk setuju, sekaligus menggeleng heran. Coba bayangkan bagaimana kami mengangu sambil menggeleng.

“Ujian paket kesetaraan di sini tetap ada ‘kan, Pak?” tanya Salis lagi.

“Ya tetap ada. Kami sering dapat soal-soal dari dinas pendidikan. Kalau di sekolah formal, soal-soal jadi horor bagi siswa. Kalau di sini kami biarkan anak-anak berdiskusi, menggarap sama-sama. Karena kami sadar, tidak semua anak bisa matematika, tidak semuanya bisa bahasa Inggris. Makanya di sini konsepnya saling berbagi, belajar bersama. Ya lumayanlah, soal-soal itu juga bikin anak-anak belajar juga.”

 “Selama ini kendala apa yang menghambat proses belajar di Qoryah Thoyyibah?” tanyaku.

“Tidak ada kendala,” jawab Pak Din mantap. Aku mengernyitkan dahi, masa’ iya?

“Karena bagi kami,” lanjut Pak Din, “Masalah-masalah yang muncul itu bukan kendala atau hambatan. Itu semua adalah tantangan. Paradigma semacam ini membentuk sikap yang berbeda. Kalau kita menganggap masalah sebagai hambatan, kita cenderung akan berusaha menghilangkannya. Tapi kalau anggapan kita adalah tantangan, maka kita akan berupaya menghadapinya.”

Edan! Aku terkesima. Aku baru menyadari sedang berbincang dengan filsuf.

“Sepertinya di sini siswa dibebaskan begitu merdeka. Lalu batasannya apa, Pak? Adakah kontrol aturan-aturan dari Njenengan?” tanyaku lagi.

“Kalau kontrol formal tidak ada,” terang beliau, “Peran saya sebagai pendamping dan pengarah saja. Aturan-aturan kedisiplinan mereka sendiri yang bikin, ada kesepakatan kelas. Di komunitas belajar ini masing-masing anak diarahkan untuk bersikap dewasa. Memang bebas berekspresi, tapi tetap ada batasannya. Batasan kebebasan bagi seseorang adalah kebebasan orang lain. Kalau dikira bisa mengganggu hak-hak kebebasan orang lain, itulah batasan kebebasan kita.”

“Saya penasaran, Pak,” tanya Syafak, “Bagaimana sih memacing agar anak-anak itu berekspresi. Kadang anak-anak malah susah ketika disuruh mengemukakan ide.”

“Alah Maas,” sahut Pak Din, “Semua manusia sejak lahir itu pada dasarnya berkemampuan mikir. Seperti yang saya bilang tadi; hayawanun nathiq. Tapi sebab terus menerus dijajah dengan sistem yang membelenggu, mereka pun jadi lambat. Maka hal pertama yang musti dilakukan adalah pembebasan dari kungkungan itu. Kalau anak-anak susah mengemukakan ide ketika disuruh, ya karena kita menyuruh mereka menjadi seperti kita. Kita tidak mengapresiasi ide yang ingin mereka tuangkan. Di sekolah formal, guru seakan-akan mengarahkan anak-anak menjadi seperti dirinya, bukan menggali jati diri masing-masing. Itu ‘kan bahaya. Sistem semacam itu, kalau pakai probabilitas empat puluh siswa, paling pol cuma sepuluh persen yang sesuai harapan si guru. Berarti cuma empat orang, lalu lainnya bagaimana?”

“Nah, untuk melihat potensi anak itu caranya bagaimana Pak? Dari sekian banyak anak, tentu susah untuk menentukan apa passionnya ‘kan?” tanya Adam.

“Wah nggak usah njlimet-njlimet Mas. Untuk mengetahui potensi anak, Anda tak perlu jadi ahli psikologi atau orang sakti, hehehe,” jelas Pak Din diiringi tawa kami, “Cukup lihat saja anak itu senangnya apa. Kalau dia suka polah, berarti arahnya ke kinestetis. Ya begitulah, kita pakai kepekaan saja, nggak perlu yang rumit-rumit.”

Mukid yang sedari tadi diam menyimak mulai membuka mulutnya. Aku sempat deg-degan ketika dia mulai menggerakkan bibirnya. Bagaimana tidak, tokoh absurd kita satu ini kadang melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang mengkhawatirkan. Aku cemas kalau dia tanya, “Pak, di desa ini ada Kolor Ijo, nggak?” atau semacamnya.

“Begini Pak, kemarin saya diajak teman-teman ke Salatiga sini,” kata Mukid dengan nada innocent, betul-betul bikin was-was. “Nah, kata teman-teman, kami akan mengunjungi Qoryah Thoyyibah,” katanya lagi, aduh, aku tahan napas. “Akhirnya sampai di sini, sebenarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Qoryah Thoyyibah. Memangnya Qoryah Thoyyibah itu apa sih, Pak?”

Aku menghembuskan nafas lega. Ffiiuuuuuh.

“Jadi gini Mas, Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya nama Serikat Paguyuban Petani, dibentuk tahun 1999. Di situ menjadi serikat bagi paguyuban-paguyuban petani yang ada di sini. Nah, nama Qoryah Thoyyibah ini dipilih atas usulan Raymond Toruan, seorang Batak Katolik. Sekarang dia masih duduk di posisi Dewan Pertimbangan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). Artinya, desa yang sejahtera,” terang Pak Din, sabar.

“Mayoritas penduduk desa ini petani,” lanjut Pak Din, “Maka organisasi yang merepresentasikan desa adalah organisasi yang berbasis petani. Setelah Serikat Paguyuban Petani, didirikan pula Komunitas Belajar dengan nama yang sama, sebagai pelengkap indikator desa yang berdaya. Adapun ide tentang komunitas belajar ini sudah lama sebenarnya.”

“Desa berdaya?”

“Ya maksud desa berdaya seperti konsep Sukarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.”

“Oh, Trisakti!” gumamku.

Menyinggung bahasan desa berdaya, Pak Din memaparkan gerakannya tentang Jamaah Produksi. Yakni lingkaran berantai dari produktivitas desa sesuai sumber daya hingga pemanfaatan dan pemasaran. Beliau menceritakan obrolannya dengan Abraham Samad, Ganjar Pranowo, Joko Widodo, serta beberapa pejabat pemerintahan lainnya yang memiliki wewenang, baik dalam ranah pendidikan, pertanian maupun ketenagakerjaan. Juga tentang pemberdayaan sekolah-sekolah non-formal yang sebenarnya bisa optimal tanpa harus merepotkan sarana fisik. Banyak ide-ide konseptual dan pragmatis, mulai dari landasan filosofis hingga tawaran nominal anggaran yang beliau curahkan saat itu.

“Jadi yang tepat bukanlah ‘ketahanan pangan’,” ujar Pak Din, “Yang kita upayakan adalah ‘kedaulatan pangan’. Artinya, kita merdeka dan berdaulat atas kebutuhan dasar kita sendiri. Tidak tergantung kepada orang lain, apalagi impor. Sangat lucu negara sesubur Indonesia kok malah impor kedelai?! Dengan ukuran iklim di Eropa, musim semi di Indonesia berlansung sepanjang tahun, baik saat kemarau apalagi hujan. Kalau Jamaah Produksi ini bisa diterapkan optimal, kita malah bisa butuh tenaga kerja dari luar. Jadi mereka bakal datang kemari bukan sebagai bos, tapi sebagai pekerja.”

Beliau kemudian menunjukkan salah satu produk berdaya sarekat petani, yakni pupuk organik cair yang memanfaatkan metabolisme cacing. Secara kualitas, pupuk ini tergolong ampuh. Secara produksi, relatif efisien karena cukup memanfaatkan tingkah alami cacing tanah. Produksi pupuk ini dikerjakan oleh warga desa, penggunaannya pun oleh mereka, hasilnya pun untuk mereka. Inilah salah satu contoh kedaulatan.

“Untuk melaksanakan ide-ide Njenengan, kemudian melakukan gerakan radikal semacam ini, tentu membutuhkan keberanian yang tinggi ya, Pak?” tanyaku serius.

“Hahaha,” sahut Pak Din ketawa. “Saya ini sering difitnah orang sebagai pemberani. Katanya, untuk melakukan suatu perubahan, realisasi ide, butuh keberanian yang tinggi. Ah tidak juga! Bukankah pelaksanaan gagasan merupakan suatu hal yang wajar. Bukankah itu nikmat?” tutur Pak Din retoris.

“Radikal ya, Pak,” gumamku. Beliau menyinggung praktek pendidikan Tamansiswa hari ini yang –menurutnya- tidak sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara dahulu. Alangkah disayangkan konsep Ki Hajar tentang pawiyatan dan pendidikan dialektika pedagogik tidak dilaksanakan dengan baik. Beliau menceritakan betapa mengerikannya dampak pendidikan ala sekolah formal terhadap pola pikir anak-anak muda. Fanatisme adalah salah satu efek sampingnya. Hal ini berdasarkan pengalaman beliau ketika mengunjungi salah satu sekolah menengah atas di Jogja. Berbeda jauh dengan konsep yang diterapkan Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah yang menjunjung multikulturalisme dan kemanusiaan.

“Lalu, Pak,” sela Syafak, “Kebetulan saya diamanahi untuk mengelola madrasah diniyyah yang bernaung di bawah yayasan pesantren dan panti asuhan. Apakah mungkin diterapkan model pendidikan seperti di sini?”

Pak Din tersenyum dan berujar, “Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang betul-betul merdeka dan berdaulat. Dia bisa dan harus menentukan nasibnya sendiri tanpa pengaruh dari manapun, bahkan dari pemerintah sekalipun. Maka lucu kalau ada pesantren yang sudah begitu merdeka kemudian malah meniru-niru persekolahan formal. Sehingga dia jadi terbelenggu.”

“Jadi, mungkin ya Pak?”

“Jawabannya ya bukan ‘mungkin’, tapi ‘harus’! Termasuk madrasah, itu juga lembaga yang semestinya kita kelola dengan optimal, buatlah agar melek dengan kearifan lokal desa sekitar.”

Makin lama mengobrol, makin tambah tanda tanya yang muncul di kepala. Masih banyak pertanyaan yang berseliweran, namun mungkin Pak Din melihat rona lelah dan ngantuk di wajah kami, terutama Sutri yang mulai pucat sebab mabok perjalanan sore tadi. Maka percakapan pun kami akhiri jam sepuluh malam. Beliau memanggil Dedi, salah satu siswa di Qoryah Thoyyibah, untuk mengantar kami ke Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, setengah kilometer ke utara. Di sanalah kami menginap malam itu.

‘Dug! Dug! Dug! Dug! Dug!’ bunyi hentakan kayu di lantai pondok bertalu-talu, pertanda pengurus sedang membangunkan para santri yang masih terlelap. Namun sepertinya tak berpengaruh pada kawan-kawan tamu yang kecapekan. Mereka masih tetap ngiler dan baru bangun menjelang fajar.

Subuh itu begitu dingin, memang menggoda untuk tetap meringkuk berkemul, namun masjid pondok tetap ramai oleh warga dan santri. Selepas shalat berjamaah, para santri mulai mengaji kitab di ruang utama masjid, ada pula beberapa santri putri yang mengaji di ruang kelas madrasah. Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien yang diasuh oleh KH Abda’ Abdul Malik ini bertipe salaf namun tetap mempersilakan santri untuk belajar di luar.

Ba’da subuh kami manfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Lingkungannya asri, bersih, dan rapi. Pepohonan merindang di halaman tiap rumah. Saling tegur sapa dan tukar senyum pun bukan hal yang aneh, khas orang desa. Di depan setiap rumah, tersedia sepasang tong sampah; satu untuk sampah organik, selainnya untuk sampah anorganik. Tentu hal ini menunjukkan ada pengelolaan sampah yang tertata di desa ini, berupa bank sampah ataupun daur ulang.

Setelah agak terang kami sowan ke ndalem pengasuh pesantren, beberapa puluh meter di barat masjid. Saat itu Kiai Abda yang tak lain adalah kakak kandung Pak Din sedang duduk santai di ruang tamu, mengenakan gamis dan sorban putih. Memang kami sudah bertemu beliau sebelumnya di masjid.

“Rombongan dari mana ini, Mas-mas?” tanya beliau setelah mempersilakan kami duduk di ruang tamu yang semarak dengan kicauan burung-burung peliharaan.

“Dari Jogja, Yai,” sahut Adam.

“Krapyak?” tanya Kiai lagi.

“Njih, Yai,” sahut Sutri yang memang santri Krapyak.

“Wah, saya jadi teringat almarhum Mbah Ali,” ucap Kiai Abda’. Sosok yang beliau maksud adalah KH Ali Maksum, pengasuh periode kedua pesantren Krapyak Yogyakarta. Beliau berkisah tentang Mbah Ali yang masyhur dengan sikap moderatnya. Di awal masa menjadi rais ‘aam PBNU, Mbah Ali pernah menyambangi Kalibening. Saat itu masjid belum megah seperti saat ini. Mbah Ali mendorong Kiai Abda untuk membangun kembali masjid Al-Muttaqin, “Masjid kok koyok rempeyek,” begitu canda Mbah Ali.

“Kalau ingat kiai-kiai sepuh dahulu, kita selalu saja kangen,” kenang Kiai Abda. “Dahulu, ketika pertama kali saya mengajar di sini, tidak ada santri yang mukim karena saya sendiri belum mampu. Memang dulu zaman ayah saya, sudah ada santri, namun ketika beliau wafat dan saya masih mengembara, santri-santri habis.”

Sambil mengepulkan asap rokok, Kiai Abda mempersilakan kami minum teh manis hangat yang terhidang.

“Lalu ketika saya sowan Mbah Muslih Mranggen (Demak), beliau malah menyuruh saya untuk menerima santri yang mau mukim; pokoknya harus mukim, katanya. Padahal saat itu saya bahkan belum punya pekerjaan. Tapi ya saya nurut saja. Lagipula, Mbah Muslih menyuruh saya untuk melanggengkan Asmaul Husna tiap ba’da Shubuh dan bada Maghrib. Itu memang ampuh untuk hal-hal rizki maupun magnet santri. Maka sayapun mantap bila sosok sekaliber Mbah Muslih sudah menitahkan demikian,” lanjut beliau.

Kekuatan doa dari hati yang jernih nan terlatih memang ampuh. Selaras dengan wejangan baku Kanjeng Nabi bahwa doa adalah senjata orang beriman. Maka tak heran muncul keramat-keramat dari pribadi-pribadi saleh seperti para kiai-kiai sepuh terdahulu, ‘hanya’ dengan lantaran doa.

“Saya jadi ingat Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda. Maksud beliau adalah KH Hasan Asy’ari (Mangli, Magelang) yang terkenal dengan ketawadhuan dan ketinggian derajatnya. “Saya punya kenalan, akademisi, pinter, tapi sama sekali tak percaya dengan yang namanya karomah. Setelah lama saling berargumen, saya ajak saja dia berkunjung ke Magelang, ketemu Mbah Mangli. Orang seperti itu memang tak bisa diajak bicara, harus lihat langsung buktinya.”

“Lalu, Kiai?” sambut Mukid, ia nampak antusias dengan kisah ini.

“Lalu kami berangkat dari sini ke Magelang. Di jalan, kami mampir makan di warung. Ibu-ibu penjual menanyakan tujuan kami. Setelah tahu bawa kami hendak sowan ke Mbah Mangli, si ibu bertanya; istri Mbah Mangli berapa? Satu atau dua? Karena banyak kiai yang beristri lebih dari satu, si ibu penasaran. Kawan saya pun akhirnya ikut penasaran, bertanya-tanya tentang hal itu. Jujur saat itu saya tidak tahu.”

Setelah makan, mereka melanjutkan perjalanan ke Magelang. Sesampainya di gapura desa Mangli, tak dinyana mereka sudah ditunggu Mbah Hasan Asy’ari di sana. Belum sempat hilang rasa kaget, Mbah Mangli seketika menghardik,

“Mau satu, mau dua, apa urusanmu, memangnya kamu yang menafkahi?! Ayo ikut saya!”

Mereka berdua tercengang bukan main. Di rumah Mbah Mangli yang sederhana, sang tamu masih dibuat terkesima. “Di rumah Mbah Mangli,” tutur Kiai Abda, “Bertumpuk koran-koran harian terbaru. Padahal saat itu masih pagi dan rasanya mustahil koran-koran terbaru bisa sampai di pelosok kampung sepagi itu. Di sana juga berjajar buku-buku pengetahuan umum yang aneh-aneh, dalam berbagai macam bahasa asing. Teman saya terpukau dan kemudian berbisik bahwa sekarang dia nyerah dan percaya terhadap karomah.”

Kemudian beliau menerangkan tentang konsep mukjizat para nabi, karomah para wali, ma’unah kaum mukminin, hingga istidraj orang-orang lalim. Menurut beliau, orang-orang yang hatinya bersih dan mengalami proses penerangan batin (istanaar) akan mampu melakukan hal-hal di luar nalar manusia pada umumnya.

Setelah melepas gamis dan sorban di belakang, Kiai Abda kembali duduk berbincang bersama kami dengan tema yang sama sekali berbeda. Beliau bicara politik. Tentang polemik yang menimpa KPK dan Polri, aksi pembakaran tabloid ‘Obor Rakyat’ (http://www.harian7.com/2014/06/pengasuh-ponpes-hidayatul-mubtadiin.html) di pesantrennya semasa pemilu kemarin, pengalaman saat menduduki kursi dewan pada masa Gus Dur, perjalanan pembangunan masjid dan pesantren, hingga konsolidasi ulama dalam pemenangan kepala daerah muslim di Salatiga yang terlanjur dicap sebagai ‘Daarun Nashara’.

Kami sangat bersemangat menyimak dan menanggapi penuturan pengalaman Kiai Abda. Banyak hal yang bisa kami gali tanpa direncanakan sebelumnya. Namun karena tidak tega melihat paras Salis yang sepertinya menahan kebelet, maklum masih pagi, maka kuputuskan untuk pamit undur diri. Di penghujung sowan, kami mohon doa dan wejangan kepada Kiai Abda.

“Tidak ada jalan mundur,” ujar Kiai, “Seperti halnya Khalid bin Walid yang membakar kapal-kapal tentara kaum muslimin saat ekspansi ke Eropa. Sehingga mereka tak lagi bisa mundur, tak ada pilihan lain selain maju bertempur. Maka begitulah semestinya pemuda, kalian-kalian ini, perjalanan masih panjang. Jangan sampai patah semangat! Dalam hidup tidak ada jalan mundur.”

SHARING

Selama berkeliling Kalibening, Dedi menjadi pemandu kami. Dia adalah santri di Pesantren Hidayatul Mubtadiin dan siswa di Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah (KBQT). Kalau disejajarkan dengan sekolah formal, Dedi setara dengan kelas 3 SMA. Darinya kami mendapat banyak keterangan tentang gaya belajar di KBQT.

“Waduh Mas, saya sudah telat!” kata Dedi setuntas mengantar kami sarapan. Saat itu jam setengah sembilan.

“Telat kemana?”

“Masuk kelas.”

“Wah maaf ya. Kalau telat dihukum nggak?”

“Iya dihukum, nanti aku musti push-up dua puluh kali.”

“Waduh. Semua kalau telat juga push-up?”

“Enggak sih. Kebetulan itu sudah jadi kesepakatan kelas. Masing-masing anak punya kesepakatan sendiri. Dan kebetulan aku jadi seksi hukuman.”

“Hah? Seksi hukuman?”

“Iya. Nanti aja mas-masnya ke sana ya, bisa ketemu teman-teman yang lain. Saya berangkat dulu.”

Dedi berlalu dengan meninggalkan beragam pertanyaan di kepala kami. Maka setelah bersih-bersih badan, kami pamit ke pengurus pondok untuk kembali ke area KBQT. Tepat jam setengah sepuluh pagi kami meluncur.

Belajar Bersama

Tidak seperti malam sebelumnya yang gelap, pagi itu suasana KBQT nampak lebih jelas. Ada rombongan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap warga KBQT. Dari jas almamater yang mereka kenakan, jelas mereka mahasiswa UKSW Salatiga.

Di sebelah timur rumah Pak Din, ada bangunan yang berisi jajaran komputer, persis warnet. Di situlah anak-anak KBQT bebas mengakses informasi dan pengetahuan yang ingin mereka pelajari. Di sebelah barat rumah, ada gedung bertingkat yang disebut Resource Centre (RC). Di tempat ini anak-anak KBQT biasa mengelar Gelar Karya (semacam pentas seni) tiap bulan. Di sebelah barat RC ada Masjid al-Mustashfa yang bermakna ‘penjernih’ atau ‘pembening’, selaras dengan nama kampung ini; Kalibening.

Nah, di serambi masjid inilah kami nDuduk Selingkar dengan teman-teman KBQT. Kami ngobrol dengan Fina yang nampak sedang sibuk menata setumpuk buku warna-warni. Fina adalah salah satu siswa pertama KBQT yang kini menjadi pendamping belajar di sana. Bersama Fina, ada juga Taufik, dia juga salah satu pendamping di sini.

“Ini buku report anak-anak di kelas ini,” terang Fina.

“Semacam laporan hasil belajar seperti di sekolah-sekolah formal, begitu?”

“Iya. Tapi di sini anak-anak sendiri yang mengisi buku reportnya masing-masing. Bukan orang lain. Diisi tiap awal pekan. Dan isinya juga bukan pencapaian nilai-nilai akademik.”

“Lhah, kalau bukan nilai-nilai, lalu isinya apa?”

Ditunjukkanlah buku-buku report itu di hadapan kami. Sampulnya warna-warni, tertulis nama pemilik di sampul depan, hardcover, dan tertoreh kata-kata bijak di sampul belakang.

“Ini bikin sendiri?”

“Iya, temen-temen bikin sendiri. Tiap anak dipersilakan mendesain reportnya masing-masing,” jawab Taufik.

Di halaman awal tertulis identitas buku, yakni “Report Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah”. Kemudian di bawahnya tertulis nama pemilik buku beserta alamat email dan akun facebook. Ya, akun facebook! Halaman berikutnya berisi identitas anak, berupa kolom Nama, Nomor Induk, Jenis Kelamin, Orang Tua, Nomor Telepon, Alamat Asal, Alamat Tinggal, Aktif di KBQT (Tahun, Bulan, Tanggal, dan jenjang Kelas), ruang tanda tangan Kepala Komunitas Belajar, serta foto close up anak. Ya, close up! Bukan pas foto!

Halaman selanjutnya berisi tabel Target Semester, berupa kolom tentang apa saja target yang ingin dipelajari siswa selama satu bulan ke depan dan kapan deadline-nya. Siswa sendiri yang menentukan. Misal, untuk bulan ini Dedi memiliki target belajar berenang, menulis arsip cerpen, menambah pemahaman nahwu-shorof, praktek photoshop dan vegas pro, serta menambah berat badan lima kilogram. Maka Dedi musti menentukan deadline-nya sendiri. Dan dia bertanggung jawab merealisasikan hal itu.

“Contohnya begini,” terang Fina, “Ada anak yang punya passion ke tata busana. Nah, bulan ini dia punya target membuat satu stel baju. Maka dia akan menuliskan targetnya itu di tabel Target Semester. Dia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan proyeknya itu, disaksikan oleh teman-teman sekelas dan pendamping. Nanti pendamping bakal memantau progres target si anak, pekan pertama sudah sampai pada pembuatan pola, pekan kedua pemotongan bahan, pekan ketiga penjahitan, pekan keempat finishing.”

Setelah Target Semester, halaman selanjutnya berisi tabel-tabel tentang Target, Capaian dan Ide Mingguan. Di sini, anak-anak KBQT mengisi kolom-kolom dengan ide-ide mereka tentang apapun. Artinya, mereka harus menuangkan ide mereka secara naratif dan dipresentasikan di tengah kelas. Selama seminggu, mereka akan memikirkan dan mengeksplorasi apapun untuk mematangkan ide tersebut.

Lalu tabel berikutnya berisi kolom Laporan Naratif Semester. Diisi karya apa saja yang sudah dicapai anggota KBQT. Nah, catatan tentang karya-karya inilah pencapaian mereka, bukan angka-angka nominal seperti di sekolah-sekolah formal. Di halaman terakhir, ada kolom Laporan Pendamping yang akan ditandatangani pendamping dan wali siswa. Maka orang tua siswa akan melihat apa saja ketertarikan anaknya, serta karya apa saja yang anaknya telah buat.

Pagi itu ada empat kelas yang sedang ngumpul belajar. Di teras rumah Pak Din, di teras gedung RC, di bawah pohon halaman gedung RC, dan di serambi masjid. Masing-masing kelas duduk melingkar sambil berbincang santai. Tiap lingkaran terdiri dari 6 orang. Suasana santai semacam ini mengingatkanku pada forum diskusi santai Selingkar kami di Jogja. Asyik sekali!

Komunitas ini praktis tidak membutuhkan gedung khusus sebagai ruang kelas, karena ruang kelas mereka adalah semua tempat yang memungkinkan. Mereka bisa belajar di teras rumah, serambi masjid, pematang sawah, pinggir kali, atau di rumah masing-masing anggota kelas secara bergiliran.

Kalau sekolah formal punya beban jam belajar yang ditetapkan oleh pusat dan ‘membelenggu’ murid dan guru, di KBQT semua berbasis kesepakatan kelas. Hari apa dan jam berapa mau berkumpul, terserah kesepakatan.

Umumnya, dalam satu hari, siswa-siswa dan pendamping di KBQT berkumpul selama dua jam saja. Di sana mereka membincangkan ide. Masing-masing anak bebas menuangkan idenya di tengah kelas untuk dibahas. Setiap kelas punya nama masing-masing, semisal ‘Oryza Sativa’ yang merupakan nama latin padi, ada pula yang memberi nama kelas dengan alat pengukur pacu jantung; ‘Elektrokardiograf’.

“Ukuran mahasiswa saja kadang melongo kalau disuruh menuangkan ide. Apa di sini juga pernah mengalami macet ide?” tanyaku penasaran. Fina ketawa dan mengiyakan.

“Kadang anak-anak juga hening beberapa saat karena memang lagi macet ide,” tuturnya.

“Tapi menurutku malah di sini tidak bakal ada macet ide,” potong Mukid, berhasil meraih perhatian kami semua. Katanya, “Ketika anak-anak mengalami kebuntuan ide, maka mereka kemudian akan berpikir untuk memunculkan ide. Misalnya, ada yang berpikir untuk membuat topi anti macet ide. Bukankah itu juga termasuk ide?”

Tawa pun pecah membumbui keakraban kami pagi itu. Betul juga kata Mukid. Ide selalu akan ada, meskipun terkadang ada momen-momen blank. Semua ide anak-anak KBQT dituangkan dalam bentuk narasi tulisan dan diarsipkan dengan rapi. Ide-ide yang muncul bisa berupa apa saja. Ada kalanya tentang permasalahan di rumah, kemudian dibahas di kelas. Kalau sekolah formal membawa PR dari sekolah ke rumah, di KBQT mereka membawa masalah dari kehidupan masing-masing anak untuk diselesaikan di kelas. Betul-betul jungkir balik!

Nah, dalam seminggu itulah mereka mematangkan ide dan evaluasi di minggu berikutnya. Sebulan sekali, seluruh kelas di KBQT berkumpul untuk mengadakan Gelar Karya. Di gedung RC, semua anggota kelas dipersilakan mempresentasikan karyanya masing-masing yang telah dipersiapkan sebulan sebelumnya. Maka unsur kreativitas berkelanjutan sangat terasa dalam momen ini.

Ada tiga hal global yang dibahas dalam setiap kesempatan ngumpul kelas. Pertama, keilmuan, yakni asupan-asupan kognisi yang ingin dipelajari masing-masing anak serta darimana saja sumber belajarnya. Kedua, skill, yakni kemampuan apa saja yang ingin dikuasai serta bagaimana mewujudkannya. Ketiga, karya, yakni apa yang ingin dibuat dan depresentasikan sebulan ke depan serta bagaimana proses kreatifnya. Ah, komunitas belajar ini betul-betul khayal!

“Lalu bagaimana dengan pelajaran-pelajaran umum seperti yang dipelajari di sekolah-sekolah formal?” tanya Sutri antusias.

“Ya di sini juga dipelajari. Tapi itu diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Mau atau tidak,” jawab Dedi.

“Kamu sendiri bagaimana? Belajar Matematika nggak?”

“Nggak. Aku nggak suka sih Mas.”

“Lhoh, lalu bagaimana saat ujian?”

“Ujian apa? Ujian kami di sini ya saat Gelar Karya,”

“Mungkin maksudnya ujian kesetaraan dari pemerintah gitu ya, Mas?” sela Taufik.

“Iya, itu. Kalian ujian juga ‘kan?”

“Iya, Mas. Kami di sini juga ujian kesetaraan setiap masa kelulusan sesuai jadwal sekolah-sekolah formal. Ya sebagai formalitas gitu.”

“Nah, bagaimana kalian bisa mengerjakan soal-soal ujian kesetaraan padahal tidak pernah belajar tentang materi pelajaran yang diujikan?”

“Ya kami tetap belajar untuk ujian itu.”

“Hasilnya?”

“Yaaa seadanya, hehehe.”

“Kalau nilainya jeblok bagaimana?”

“Memangnya kenapa?”

“Lhoh?”

Sutri mulai bingung dengan komunitas belajar yang ajaib ini. Ukuran-ukuran nominal akademik sama sekali tidak menjadi perhatian mereka, karyalah yang menjadi tolak ukurnya. Bahkan menurut Taufik, ada juga anak-anak KBQT yang enggan mengambil ijazah kesetaraannya, buat apa. Pendaftaran di komunitas belajar ini pun tak dibatasi waktu. Tiap siswa dipersilakan mendaftar kapan saja.

Baru sebentar kami mengobrol, konsep-konsep di kepalaku mendadak jadi usang. Selama ini kulihat betapa repotnya para guru di sekolahan menyiapkan tetek bengek materi ajar, mulai dari kurikulum, silabus, target pancapaian kognitif afektif psikomotor, hingga teknis rencana pelaksanaan pembelajaran. Belum lagi beban-beban belajar tanggungan siswa yang diharuskan memahami berbagai rupa mata pelajaran tanpa memedulikan bakat dan kecenderungannya. Setelah melihat KBQT, semua itu nampak jadi usang, kuno, dan primitif.

Di KBQT, anak-anak yang belajar betul-betul menjadi ‘murid’. Sebagaimana kita tahu, makna ‘murid’ dalam Bahasa Arab adalah ‘orang yang menghendaki’. Artinya, si muridlah yang berperan aktif dalam proses belajar. Dia menghendaki belajar suatu tema, kemudian ia pula yang mencari sumber-sumbernya.

“Awalnya, kami sama dengan sekolah-sekolah formal,” tutur Fina mulai berkisah. “Dulu, komunitas belajar kami persis sekolah terbuka. Posisi guru sebagai pengajar ilmu-ilmu dan siswa-siswa menadah itu semua. Dengan proses pembelajaran yang asyik membuat kami bisa menikmati apa yang kami pelajari. Hasilnya, prestasi akademik kami pun bisa bagus-bagus, bahkan tak kalah dengan sekolah-sekolah formal unggulan.”

“Lalu?”

“Seiring perjalanan, kami siswa-siswa di KBQT sadar, ternyata bukan itu yang kami cari. Bukan hal-hal semacam itu yang menjadi tujuan kami.”

“Maksudnya bukan pencapaian-pencapaian akademik?”

“Ya, begitulah. Maka kami mulai mengubah gaya belajar menjadi seperti sekarang ini. ya seperti yang Mas-mas lihat ini,” tutur Fina dengan senyumnya. Kulihat ekspresi Taufik dan Dedi pun tersenyum bahagia.

Memang iya. Qoryah Thoyyibah yang sempat kubaca artikelnya di sebuah buku beberapa tahun lalu berbeda dengan Qoryah Thoyyibah yang kulihat langsung hari itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepada mereka masih terkungkung konsep-konsep yang kami bawa dari sekolahan dan fakultas pendidikan. Begitupun dengan ukuran-ukuran yang kami ajukan. Eh ternyata, mereka punya ukurannya sendiri. Mereka punya karakternya sendiri.

“Kalian tau nggak,” kataku pada mereka, “Setelah lihat Qoryah Thoyyibah, semua konsep praktek pembelajaran di kepalaku jadi bubrah!”

Teman-teman tertawa. Lalu Mukid menyela dengan segala keabsurdannya,

“Kalau aku sih nggak bubrah Zi,” katanya, “Lha wong di kepalaku nggak ada konsep apa-apa sama sekali.”

Hahaha. Dasar Mukid.

“Nah, bagaimana bila ada anak-anak yang ingin melanjutkan kuliah?” tanya Adam.

“Ya tinggal melanjutkan saja tho, Mas,” sahut Taufik.

“Ada?”

“Ya banyak,” jawab Fina, “Ada yang di UI, UGM, di UIN juga ada, anak komunikasi. Ada juga anak KBQT sini yang lanjut ke Australi dengan mempresentasikan karyanya.”

“Apa bentuk karyanya?”

“Desain grafis.”

Wah. Belum apa-apa kami sudah berdecak kagum dengan anak-anak KBQT ini. Bagaimana tidak, budaya dialog terbuka nan santai serta saling berbagi ide yang jarang dimiliki anak-anak sekolah, bahkan mahasiswa sekalipun, sudah sangat biasa bagi mereka. Konsep filosofis progresif dan idealisme yang menjadi barang mewah bagi kalangan intelektual sudah dipraktekkan dengan penuh kesadaran oleh remaja-remaja di sini. Penciptaan hingga pagelaran karya yang sering dirasa repot di luar sana, justru menjadi agenda rutin di komunitas belajar ini.

“Apakah alumni KBQT masih sering kontak dengan anak-anak di sini?” tanya Salis.

“Kayaknya kami nggak ada alumni deh, Mas,” sahut Taufik.

“Di sini konsepnya belajar seumur hidup. Kelasku namanya Oryza Sativa, masih sering kumpul sebulan sekali. Masing-masing anak sudah punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan saat kumpul itu ya kami belajar bareng,” papar Fina.

“Makanya kami sering bingung juga kalau ditanya orang dari luar; kelas berapa, sudah lulus atau belum, hehe..” sela Taufik.

“Bahkan di akhir periode belajar pun kami tidak menggunakan istilah ‘perpisahan’,” kata Fina, “Kami menggunakan kata ‘tasyakkuran’ sebagai gantinya.”

“Jadi walau sudah bertahun-tahun kalian masih sering ngumpul sekelas?”

“Iya, seringnya sih di sini saat gelar karya. Atau di tempat lain sesuai kesepakatan, ya janjian dulu lah kalau mau ketemu,”

“Tak sedikit alumni sekolahan yang sudah sekian tahun dinyatakan lulus menjadi asing dengan almamaternya. Nah, kalau kalian ngumpulnya di sini, apa nggak merasa asing?”

“Sama sekali enggak tuh. Ya karena kami pakai konsep belajar seumur hidup, jadi ya kelas kami nggak terbatas ruang dan waktu,” sahut Fina, filosofis praktis.

Betul-betul mempesona. Kami penDuduk Selingkar baru menyadari pentingnya landasan filosofis dalam setiap tindakan, serta perlunya out of te box semacam ini sejak rutin berdiskusi santai dua tahunan lalu, sementara mereka sudah mempraktekkannya secara riil selama bertahun-tahun! Kami ketinggalan jauh!

“Jadi, guru bagi masing-masing anak di sini bisa siapa saja ya?” tanya Syafak.

“Iya, namun setiap kelas punya pendamping yang mendampingi temen-temen belajar dari awal sampai akhir,” sahut Taufik.

“Lalu apa fungsi pendamping secara riil?”

“Nah, tugas pendamping mengapresiasi ide yang dituangkan oleh anggota kelas. Lalu menyalurkan kemana dan bagaimana si anak belajar tentang proyek yang akan dia kerjakan, karena pendamping bukanlah guru yang tahu segala ilmu. Maka ia hanya menghubungkan anak-anak KBQT dengan sumber-sumber belajar, apapun dan siapapun. Misal, ada anak yang condong ke lukis, maka kami akan hubungkan dengan seniman-seniman lukis yang bisa kami temui. Bagi yang mau belajar nulis, kami hubungkan dengan para penulis. Bagi anak-anak yang suka film, kami hubungkan dengan komunitas penikmat dan pembuat film,” papar Fina.

“Jadi model KBQT ini kuat di jaringan ya?”

“Yak begitulah,” jawab Fina menggangguk, “Pendamping juga memantau progres pencapaian target yang dibuat setiap anggota kelas.”

“Kalau target itu tidak terlaksana? Terbengkalai misalnya?”

“Ya si anak kena sanksi.”

“Apa hukumannya?”

“Terserah si anak yang bersangkutan. Hukuman sudah disepakati di awal pertemuan. Ada yang menyepakati push-up, ada juga lari keliling halaman, ada juga yang sepakat membuat satu cerpen jika target tak tercapai, dan macam-macam.”

“Ooo,” kami ber-o panjang. Sama sekali belum terpikir sanksi produktif semacam itu. Fina juga memaparkan kegiatan anak-anak KBQT yang berkaitan dengan lingkungan desa Kalibening. Salah satunya, beberapa waktu ke depan teman-teman KBQT akan membantu warga meluncurkan program sumur resapan.

Persis seperti yang dikatakan Pak Din malam sebelumnya, kebanyakan sekolah justru menjadi tembok penghalang antara siswa dan lingkungannya. Tapi Qoryah Thoyyibah mencoba mengintegrasikan seluruh unsur di tengah masyarakat. Wadahnya ya komunitas belajar itu.

Hebat!

Mendampingi dengan Hati

Lingkaran sharing makin ramai. Selain Fina, Taufik dan Dedi, hadir pula Hana, Isna, Hasni, Isa dan Isma. Ada juga ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni, mereka pendamping senior yang sudah bertungkus lumus dan kenyang asam garam pengalaman di komunitas belajar ini.

“Sebenarnya Mas-mas ini kumpulan apa sih?” tanya Isa kepada kami, penuh tanda tanya di atas kepalanya. Salah seorang siswa KBQT malah menyebut kami mirip Yakuza (preman Jepang), mungkin sebab tampang yang seram dan busana hitam-hitam. Waduh, aku pun memperkenalkan rombongan kami biar tak terjadi kesalahpahaman, kalau kami dikira artis dari ibukota ‘kan bahaya.

Ada Mukid Purwodadi, perenung liar yang sedang merampungkan skripsinya. Ada Sutri Lampung, hafidz Al-Qur’an yang bercita-cita terjun di masyarakat kampungnya yang masih belum sadar pendidikan. Ada Adam Sleman, mahasiswa pascasarjana yang mengelola pesantren panti asuhan Zuhriyyah di desanya. Ada Syafak Malang, kepala madrasah diniyyah yang bernaung di bawah payung yayasan Zuhriyyah. Ada Salis Purworejo, mahasiswa pascasarjana yang diamanahi membimbing para santri di salah satu pesantren Jogja. Dan ada aku, Zia Tegal, entah siapa.

“Kami ini satu jurusan di kampus, fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,” jelasku, “Namun kami merasa ada luapan-luapan gagasan dan kegelisahan yang tidak bisa ditampung di ruang-ruang kelas perkuliahan. Maka kami pun menggelar forum diskusi santai di luar kelas dengan tema yang ingin kami pelajari dan pahami, tidak terikat oleh kurikulum kampus. Ya walaupun kadang kami membincangkan materi-materi perkuliahan juga, tentu dengan format yang asyik dan santai, demokratis.

Forum diskusi santai ini kami beri nama ‘Selingkar’. Di situ kami membahas keingintahuan tentang apa saja. Pernah kami ingin memahami lokalisasi di Jogja, maka kamipun turun ke sana, berdialog dengan beberapa pelaku di sana, lalu mendiskusikan itu, kemudian mengambil sari hikmahnya. Kami ingin tahu tentang rokok, maka kami mendatangkan teman yang pernah magang di perusahaan rokok, lalu kami diskusi dan belajar mengarifi isu-isu tentang rokok. Kami juga kerap mengunjungi acara-acara kreatif yang bertebaran di seantero Jogja, kemudian berbincang santai di sana. Ya macem-macem tema kami diskusikan. Jadi, apa yang kami diskusikan berdasarkan apa yang ingin kami pelajari. Sumber-sumbernya kami buru dan cari sendiri,”

Penjelasanku tentang Selingkar terasa serasi dengan apa yang sudah kami lihat dan dengar di KBQT. Kami datang ke tempat ini murni sebab ingin belajar, bukan tuntutan apa-apa dari siapa-siapa. Keakraban di antara kami saat itu menyiratkan kecocokan. Kami merasa berada pada frekuensi yang sama dengan warga KBQT sehingga nyambung dan enjoy. Keserasian frekuensi itu pula yang mendorong kami berkunjung ke Kalibening. Betapa Tuhan Maha Menakdirkan.

“Selama ini yang kami pahami, di kelas harus ada guru. Tapi di sini memakai konsep ‘pendamping’, bagaimana prosesnya?” tanya Adam kepada ‘Bu’ Eli.

“Panjang, Mas. Kalau diceritakan dari awal, saya bisa mrebes mili.”

Suasana jadi hening seketika. Mendung menggelayut langit Salatiga. Lentingan biola bernada hampa terdengar dari langit di atas sana. Air mata mengalir dimana-mana. Hehe, nggak ding, itu hiperbola. Hahaha.

“Sebagai pendamping,” terang ‘Bu’ Eli, “Kami harus berusaha memahami karakter masing-masing anak, sekaligus potensi dan passion yang ada pada diri mereka. Kami menemani mereka menuangkan ide, membaca kecenderungannya masing-masing, dan memfasilitasi masing-masing anak berkarya serta mewujudkan idenya.”

“Di komunitas belajar yang bebas ekspresif ini, pernahkah terjadi keliaran-keliaran ekspresi anak-anak yang bisa dianggap over?” tanyaku penasaran. Mendadak teman-teman KBQT kompak menengok ke arah Hasni, remaja putri yang begitu aktif.

“Heh! Kenapa pada nengok ke sini?!” sergah Hasni. Semua ketawa geli.

“Ya tentu saja ada, Mas,” tutur ‘Bu’ Eli. “Dulu pernah ada siswa sini yang kelewat nakal. Bolos ke Jakarta buat nonton bola. Di sana malah kenal minuman keras, kenal rokok. Maka saya harus menggunakan pendekatan personal, kami ngobrol empat mata. Saya sambangi juga orang tuanya. Awalnya memang sempat ada ketegangan, namun ternyata berhasil. Anak itu malah bersyukur dan berterima kasih atas sikap saya itu.”

“Kalau di sekolah-sekolah formal, biasanya guru ditagih orang tua murid tentang pencapaian anak-anaknya di sekolah. Di sini bagaimana?” tanya Salis yang disebut Hasni dengan nama baru; ‘Sales’.

“Iya Mas,” kata ‘Bu’ Eli. “Untuk itulah komunikasi personal sangat penting. Kadang orang tua memiliki estimasi tertentu buat anak-anaknya, dan estimasi itu disetarakan dengan pencapaian di sekolah-sekolah umum. Misalnya bisa matematika, bahasa Inggris, atau semacamnya. Maka kami sebagai pendamping harus memberikan pemahaman tentang tujuan KBQT, tentang potensi anaknya, serta kecenderungan karya mereka. Dan alhamdulillah, para orang tua bisa memahami dan malah bersyukur.”

“Adakah trik khusus untuk menjalin komunikasi dalam rangka memahamkan wali murid?” Syafak bertanya. Maklum, sebagai kepala madrasah diniyah, kesehariannya memang harus sering-sering berhubungan dengan wali murid.

“Kalau trik khusus sih nggak ada ya, Mas. Tapi yang penting ya unggah-ungguh sebagaimana lazimnya orang Jawa saja,” jawab ‘Bu’ Eli.

Sepanjang perjalanannya mendampingi anak-anak di KBQT, ‘Bu’ Eli dan ‘Mama’ Heni menekankan pentingnya proses serta pengertian seorang pendamping terhadap murid-muridnya. Satu kesadaran yang perlu dipahami adalah bahwa tidak hanya anak-anak yang belajar dan berproses, para pendamping juga mengalami hal serupa. Latar belakang mereka dahulu adalah pengajar di lembaga formal, maka ketika mulai mengabdikan diri sebagai pendamping di KBQT, mereka mulai belajar dan berproses menemukan formula yang tepat untuk menemani anak-anak.

Syafak menjeda sejenak obrolan kami. Ia mengajak kami semua menghirup dalam-dalam udara segar Kalibening dan menyerap baik-baik tumpahan pengalaman para pendamping.

“Kunci dari pendampingan ini adalah hati. Hubungan yang terjalin dengan teman-teman maupun orang tua adalah hubungan dari hati ke hati, memahami watak dan selalu bersikap manusiawi,” pungkas ‘Bu’ Eli.

Pertanyaan kemudian menjurus pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pengelolaan. Bagaimana tata kelola kelas, pendaftaran dan pendataan siswa, kaitan dengan dinas pendidikan setempat, pembiayaan komunitas, hingga hubungan komunitas dengan aktivitas-aktivitas warga sekitar. Namun Mbak Nurul, orang yang menangani hal-hal tersebut, belum bisa kami temui hari itu. Beliau super-duper sibuk dan saat itu sedang ada urusan di kota. Sayang sekali, semoga lain waktu kami bisa ngobrol dengan beliau.

“Ini Mas-masnya dari pesantren ya?” tanya ‘Bu’ Eli.

“Iya, Mbak,” sahutku. “Empat dari kami santri Krapyak, sedangkan yang dua alumni Tebuireng.”

“Wah, bagus sekali kalau model semacam ini bisa diterapkan di pesantren lho Mas. Dahsyat!” kata ‘Bu’ Eli.

Aku jadi teringat oret-oretanku yang berisi konsep mentah tentang lembaga pendidikan cita-citaku dahulu. Sebuah bentuk penyelenggaraan pendidikan ‘umum’ di pesantren tanpa harus mengorbankan ciri salafiah dan tetap optimal, tak sekedar formalitas.

Tentang hal ini, aku coba berbincang dengan Fina, kira-kira bisa atau tidak model KBQT diterapkan di pesantren. Corak pendidikan KBQT yang begitu ekspresif dengan konsep pendampingan sangat kontras dengan gaya pesantren yang sangat kental nuansa ketundukan kepada guru. Kata Fina, bisa saja. Ada beberapa pesantren yang sudah mencobanya.

Mungkin kapan-kapan aku dan kawan-kawan perlu berkunjung dan belajar di pesantren-pesantren itu. Masalahnya, tak sedikit pesantren yang menutup diri dari dunia luar sehingga terasing tanpa memperhatikan potensi murid. Di sisi lain, banyak pesantren yang latah perkembangan lalu mendirikan sekolah formal di dalam lingkungan pesantrennya sehingga kikis identitas salafiahnya. Belum lagi melihat beban yang ditanggung santri dan begitu memberatkan, sehingga menjadikan ketidakteraturan bentuk dan kementahan kemampuan mereka. Tentang konsep ini, sudah kutuangkan secara sederhana di tulisan tentang Sekolah Rakyat ala Pesantren Salaf.

Meski tidak berhasil memahami detail pengelolaan KBQT, setidaknya kami sudah mendapatkan gambaran umumnya. Itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ditambah tuangan konsep filosofis dari Pak Din, genjotan semangat dari Kiai Abda, dan limpahan pengalaman dari teman-teman pendamping. Kami betul-betul merasa sedang panen raya!

Apa yang kami pahami di sini mungkin tak bisa diterapkan seratus persen di lingkungan pengabdian kami masing-masing. Namun konsep dan pandangan tentang kemerdekaan berpikir, kesetaraan kesempatan, dan ketulusan pendampingan adalah ilmu tingkat tinggi yang wajib kami amalkan.

Setelah dua jam lebih berbincang, kami berkeliling sekitar KBQT. Melihat-lihat gedung RC yang difungsikan sebagai markas mereka. Nampak anak-anak KBQT sedang berlatih gitar, bermain catur, nonton film dan baca buku. Ada rak-rak buku, perangkat musik, hingga peralatan rekaman.

Ba’da Dzuhur, anak-anak KBQT bersama pendamping berkumpul di serambi masjid. Agendanya adalah Tawashi. Yakni suatu forum ngaji dan menasehati. Dalam forum ini mereka akan mengaji Al-Qur’an, lalu salah satu ‘bocah’ (pinjam istilah Fina) akan didaulat untuk menyampaikan nasehat. Begitu bergantian tiap harinya.

Pukul setengah satu siang kami pamit pulang. Kebetulan Pak Din sedang bersiap-siap hendak pergi ke luar. Rasanya berat hati dan kaki kami meninggalkan tempat penuh kebahagiaan ini. Sebelumnya, Buku Duduk Selingkar dan Petuah Pohon sudah kuserahkan kepada Fina sebagai kenang-kenangan.

Mengunjungi Kalibening seharian menimbulkan satu paradoks unik. Di satu sisi, kami merasa hati kami terlengkapi dengan berbagai jamuan ilmu yang begitu berharga. Namun di sisi lain, seakan ada lubang besar menganga di hati kami saat berlalu pergi. Ah, mudah-mudahan kelak bisa berkunjung ke tempat ini lagi.

Kami lanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati panorama cerah gunung Merbabu, menyapa para pengguna jalan dan tukang becak antik dengan kostum bolanya. Sesampainya di Magelang, kami mampir di galeri seni rupa OHD Museum. Itu pun sempat nyasar sebab navigasi Mukid yang –seperti biasanya- absurd. Untung ada adik-adik manis dan Pak Haji yang menjadi penunjuk jalan. Lepas Maghrib kami sampai di Drono, membawa oleh-oleh berupa semangat bak bara api yang menyala-nyala di dalam hati.

“Bagaimana menurutmu tentang Kalibening, Kid?” tanyaku pada Mukid sambil rebahan, capek. Seperti biasa, di momen-momen santai kami membincangkan kembali apa yang sudah kami liat dan dengarkan.

“Wah, aku suka semua tentang Kalibening. Udaranya, pepohonannya, airnya, dan orang-orangnya,” sahut Mukid menerawang langit-langit.

“Menurutku,” sela Sutri, “Ini baru pendidikan yang benar-benar mendidik. Kalau ingin merdeka ya tak harus sekolah, tapi belajar, belajar, belajar, dan berekspresilah!”

“Kalau menurutmu gimana, Lis?”

“Keren! Komunitas Belajar ini salah satu bentuk nyata pendidikan humanis. Humanisasi ini adalah proses terbaik. Setiap individu diberdayakan dan dioptimalkan fitrah bawaannya. Sehingga dengan keinginan sendiri bisa menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya,” jawab Salis.

“Setuju Lis!” sambar Syafak, “Praktek belajar yang dilakukan di KBQT persis nama facebook-ku; Manjadda Wajada, hehehe, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil. Di KBQT ini, jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan mendapat hasil. Di sini siswa tidak disuapi guru, tapi siswa mencari sendiri. Menjadikan anak semakin mandiri, berpikiran luas, menghargai sesama dan tidak fanatik.”

“Suasana di Qoryah Thoyyibah sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang bertahun-tahun kita terkurung di dalamnya,” sambung Adam, “Kita terbelenggu dan tak mengenal siapa sejatinya diri kita. Mengunjungi Qoryah Thoyyibah, kita mendapat nilai-nilai yang sangat berharga. Semoga dapat kita kembangkan di daerah kita masing-masing sesuai dengan konteks masing-masing pula.”

Betul apa kata Adam. Kunjungan kami ke Kalibening bukan untuk memenuhi tugas kuliah, penelitian skripsi maupun observasi formal dari institusi. Kami betul-betul ingin menggali ilmu di sana untuk diterapkan di lingkungan kami masing-masing. Yak! Aku sepakat dengan kawan-kawanku. Rasanya bahagia mendengar pendapat-pendapat mereka.

Kalau kesanku pribadi, ah, suatu anugerah bisa menyimak paparan konsep filosofis dan idealisme Pak Din, menikmati dinginnya hawa berbalut kehangatan relijius warga desa sana, mengamati asyiknya proses belajar para siswa Qoryah Thoyyibah, serta menyelami ketulusan pengabdian para pendamping. Ah, tak bisa disangkal, hatiku nyangkut di Kalibening!

[o]

0 komentar:

Posting Komentar