Selasa, 03 Maret 2015

Gerakan Pemberkuasaan Desa

Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah, Kalibening Salatiga | Selasa 3 Maret 2015 | Penyaji: Bapak Ahmad Bahruddin

Selasa malam (3/4/2015), sambil meneguk kopi hangat dan menikmati salak-salak gemulai, kami menyimak tumpahan ide-ide Pak Ahmad ‘Freire’ Bahruddin, Kepala Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah Salatiga. Beliau menyampaikan gagasan-agasan filosofis dan praktis tentang apa yang diimplementasikan di KBQT maupun pandangan-pandangan umum tentang pemberdayaan desa, konsep guru sebagai pendamping, serta fasilitasi siswa. Berikut ini beberapa percik gagasan Pak Din.
Desa Berdaya

“Qoryah Thoyyibah itu apa?”

“Sarekat petani. Aslinya sarekat paguyuban petani. SPPQT, Sarekat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah. Berdirinya tahun ‘99. Kalau Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah atau KBQT baru pada 2003, empat tahun kemudian. Jadi aslinya paguyuban-paguyuban petani yang bersarekat, ya kelembagaan civil society di aras desa.

Mayoritas penduduk desa ‘kan petani, jadi organisasinya berbasis petani, merepresentasikan civil society. Namanya itu Qoryah Thoyyibah, tepat sekali, ya ‘kan memang di desa to. Mbangun ‘qoryah thoyyibah’, memberdayakan desa. Lalu desa yang thoyyibah itu bagaimana? Ya bukan yang mengeksploitasi, tapi yang mengkonservasi sumber dayanya, berkarakter secara budaya. Termasuk pendidikan.

Desa yang berdaya ketika ada lembaga pendidikan, atau ada penyelenggaraan pembelajaran yang belajar tentang desanya sendiri. Itu menjadi pelengkap indikator desa yang ‘thoyyibah’. Terus kehadiran KBQT ini melengkapi indikator desa yang berdaya itu. Gathuk-gathuke ngono, walaupun dulu ya nggak kepikiran begitu.

Lha yang kasih nama Qoryah Thoyyibah itu Pak Raymond, orang Katolik. Dia yang mengusulkan. Waktu itu Pak Raymond saya undang dari Yayasan Pakem, Kaliurang. Dia sendiri waktu itu pemred The Jakarta Post.

Jadi Qoryah Thoyyibah ini sebenarnya gerakan pemberkuasaan desa, pemberdayaan desa.”

Jamaah Produksi

“Kemudian saya lontarkan ini dengan kepala desa, kemudian terus ke atas. Ganjar Pranowo mau jadi gubernur ta’ tantang bikin ini bikin itu, sebagai kontrak politik. Jokowi ke sini juga saya sampaikan gerakan pemberdayaan desa.

Sekarang gerakan ini terintegrasi di program Jamaah Produksi. Kata kuncinya ‘produktif’, bukan konsumtif. Pernah juga saya temui Marwan Djafar, menteri desa. Saya sampaikan juga tentang pemberdayaan desa itu. Di tim transisi ketemu sama pokja reformasi pendidikan, juga ketemu sama pokja desa. Pokja desa ‘kan Sutoro Eko, dan pokja reformasi Sidik Setiawan. Ya saya sampaikan juga. Terus Sutoro Eko bilang, nanti pembelajaran di sekolah-sekolah dasar harus berintegrasi dengan desa.

Embuh prakteknya. Yang penting terus kita suarakan.

Karena desa-desa bisa berdaya hanya jika di desa-desa itu sudah ada kebersamaan, berjamaah, menggarap mengelola sumber daya, di RT-RT ada semua. Saya malah melontarkan angka. Kelompok produksi itu, per-RT bisa dapat dana 100 juta. Dihitung-hitung, seluruh Indonesia ini menyentuh angka 100 triliun. Itu sedikit.

Kalau dibuat tahapan, lima tahun pertama misalnya sebagai pilot project beberapa tempat. Setelah tahun kelima, semua RT seluruh Indonesia mendapat kapital 100 juta dari negara. Itu kecil. Kalau mau ekstrim, ya satu milyar per-RT untuk Jamaah Produksi. Wah itu sudah bikin wegah merantau ke Jakarta, apalagi jadi TKI. Koar-koar saya malah gini, nanti kita bisa membutuhkan tenaga kerja dari luar. Dari Amerika atau dari India misalnya.”

Sumber Daya

“Sumber daya kita melimpah luar biasa. Kita hanya punya dua musim. Musim semi hampir sepanjang tahun. Kalau di negara-negara dengan empat musim, itu kalau musim dingin kita sudah tak bisa apa-apa. Saya di Inggris bulan November-Desember, itu minus dua, dinginnya minta ampun, itu kalau teringat rumah kayak teringat surga. Kita ini luar biasa. Kok malah beli kedelai ke Amerika, beli apel ke Amerika. Padahal untuk transport apel saja sudah dua bulan.

Kok bisa-bisanya. Padahal peluang untuk budi daya sendiri itu lebih besar. Itu ‘kan lucu. Sudah terlalu lama kita terlena dan ketipu, kita dipaksa harus mengikuti cara berpikir mereka. Ya mungkin cara berpikir itu pas buat mereka. Lha kita kok ngikuti, lha yang salah itu yang mengikuti.”

Guru sebagai Pendamping“Di sini adanya pendamping, fungsinya semacam guru kelas. Tapi bukan mengajar. Ya dia harus tahu anak-anak yang didampinginya bisa apa. Bukan sebagai guru yang mengajar.

Kan aneh, di sekolahan, anak-anak itu senang kalau jam kosong, libur. Meski tidak terucap, itu sudah terukir di hati. Itu ‘kan jadi indikator. Kalau selalu dirindukan murid. Gampang saja ‘kan kalau mau menilai guru itu. Sampaikan ke anak-anak kalau Pak Anu nggak bisa hadir, kalau mereka kemudian bersorak senang berarti ada yang nggak beres.

Guru selalu menyalahkan anak-anak yang tidak memperhatikan, yang mbolos. Padahal problemnya bukan pada anak. Problemnya ya pada guru. Lha wong memang dianya tidak menarik kok menyalahkan orang yang tidak tertarik, ‘kan lucu.

Harusnya bertanya, kenapa saya nggak menarik? Apalagi kalau masih muda. Sebenarnya cukup gampang membuat pribadi yang menarik. Selalu support, apresiatif, menyemangati. Itu pilihan-pilihan. Ketika fasilitatif ‘kan lebih nyaman. Ini sering saya sampaikan di kampus-kampus pendidikan, biang keroknya ya mata kuliah metode pembelajaran, harusnya diganti metode fasilitasi. Jadi ketika saya di kelas, semangat saya bukan untuk mengajar, tetapi memfasilitasi.

Fasilitasi kayak pembantu umum. Melayani.

“Berarti posisinya di bawah, ya Pak?”

“Paling tinggi sejajar. Kalau membimbing itu berarti saya positioningnya di atas, mengarahkan. Pernyataan ‘Begini lho, Nak!’ itu seakan-akan kita sudah klaim sesuatu yang benar untuk mereka ikuti. Tapi kalau pernyataannya ‘Bagaimana kalau begini, Nak?’ maka kita memberi kesempatan mereka berpikir dan memutuskan. Kita sebagai pengusul, bukan penentu.

Ini ‘kan tesis dari kita. Diharapkan ada antitesis dari anak, sehingga nanti muncul sintetis, jadilah praktek yang dialektis, itu ‘kan dinamis jadinya. Kita jadi pengusul, dia yang menentukan. Makanya posisi kita di bawah, paling tinggi ya sejajar.

Ada anak yang suka menggambar, corat-coret. Saya potret itu gambar-gambarnya. Saya apresiasi, saya semangati. Saya bukukan. Dan kelihatan perkembangannya. Mulai dari yang polos. Saya sendiri nggak bisa menggambar, tapi ‘kan saya harus bisa mengapresiasi. Kalau saya posisikan diri sebagai pengajar, malah amburadul. Kalau saya bisa menggambar punlalu posisi saya jadi mengajar, saya jangan sampai membuat dia menjadi seperti saya.”

Karya Produktif“Bagaimana mengukur pencapaian siswa?”

“Ya karya dia. Jangan ke capaian-capaian yang sudah kita atur, itu sekolahan banget. Harus mencapai sesuatu yang sudah kita bentuk, mirip cetakan, ya anak semakin tercerabut karena tidak menjadi dirinya sendiri. Kita harus apresiasi karyanya. Misal mau pentas drama, ya bisa pakai naskah orang, tapi kalau bisa ya anak-anak bikin karya sendiri. Yang penting mereka berkarya.

Semua anak-anak di sini, dari hal A sampai Z, keputusannya di tangan anak. Akirnya juga enak, kita nggak usah stress, tinggal menikmati.

Ada banyak komunitas-komunitas, di situ anak-anak sini bisa belajar. Bisa mereka datang ke sini, atau anak-anak yang ke sana. Ada musik, teater, ngelukis, macam-macam. Anak yang suka bikin komik, dia kemudian kemana-mana, ikut ini ikut itu, even-even komik, ya saya bebaskan. Kalau di sekolahan ‘kan anak ini dianggap mbolos. Tapi ‘kan yang penting dia produktif dengan karyanya.

Siapapun harus jadi orang bermanfaat, ya dengan karya itu. Dengan apresiasi, diskusi, anak-anak akan jadi produktif.”

Ujian“Ketika anak di kelas, anak sebelahnya pun diposisikan sebagai musuh. Maka dia beranggapan harus mengalahkan, harus ranking sekian, semua harus dikalahkan. Itu ‘kan kekerasan, internalisasi kejahatan. Waktu tes anak-anak tidak boleh saling memberi tahu, lho, diskusi kok tidak boleh. Hahaha.

Mereka tidak dididik untuk saling bekerja sama, saling berbagi, tidak ada yang harus dikalahkan.

Di sini ‘kan setiap periode ada tes juga. Ada kiriman soal-soal dari dinas.”

“Itu diapain, Pak?”

“Ya saya bagikan ke anak-anak. Dianggap aja kayak buku TTS buat didiskusikan. Ya syukur-syukur mau mengkritisi pertanyaan, itu malah bagus. Lumayan lah, ada orang kasih soal-soal ya disyukuri. Begitu ‘kan nambah pengetahuan anak-anak juga. Terus ya nggak usah ada pengawas.

Ujian di sekolah seantero Indonesia ini malah diawasi. Itu ‘kan kejahatan demi kejahatan. Jadi, biaya sekitar 600 milyar itu hanya internalisasi nilai-nilai kejahatan. Belum mantap, para pengawas itu diawasi oleh polisi. Walah.

Apalagi sekarang ujian tidak menjadi penentu kelulusan. Wis enak. Bukan faktor utama penentu kelulusan. Bocah yang baik itu ya yang mau terus berusaha, berusaha memahami, berusaha berkarya. Mengukurnya bukan diuji dengan pertanyaan A-B-C-D. Apalagi pertanyaannya sama sekali tidak sesuai dengan konteks desa.”

Orang Tua“Kalau ada komplain dari orang tua?”

“Didiskusikan. Bagaimanapun, orang tua adalah guru yang pertama dan utama, terutama ibu. Kalau di sekolah ‘kan peran orang tua diambil alih. Sekolah ‘kan menempatkan anak sebagai terhajar, guru sebagai penghajar. Orang tua malah mendukung penghajar.

Selama ini ‘kan anggapannya, orang tua yang baik adalah orang tua yang ngejar-ngejar anaknya nggarap PR dari sekolahan. Padahal PR seharusnya ‘kan dari rumah untuk proses pembelajaran. Di sini anak-anak masuknya tidak pagi-pagi, agak siang saja. Pagi dimanfaatkan dengan keluarga, untuk cuci piring atau apapun. Itu lebih manfaat. Apalagi kalau ada temuan-temuan persoalan di rumah, bisa didiskusikan di sini. Jadi PR-nya dibawa dari rumah, bukan sebaliknya.

Di sekolah malah orang tua bergandengan tangan dengan penghajar. Kasihan anak-anak, dikeroyok jadi bulan-bulanan. Luar biasa kalau kita melihat pelampiasan sebab internalisasi kejahatan itu. Tawuran, corat-coret, dan macem-macem, itu ‘kan pelampiasan.”

Makhluk Berakal“Anak-anak susah diajak berpikir, Pak. Apa solusinya?”

“Ah jangan begitu. Gini, manusia sejak lahir itu makhluk berpikir. Kalau tidak berpikir berarti bukan manusia. Dasarnya dari; hayawanun nathiq, begitu istilahnya, iya ‘kan? Jadi ya mampu berpikir. Anak SD ya anak SD, senangnya corat-coret ya corat-coret. Pernah ngobrol tentang ini dengan kepala sekolah, kepala SD dari pedalaman Kalimantan. Lalu suatu hari ketemu saya lagi, dia menunjukkan pada saya satu buku, isinya tulisan-tulisan anak-anak SD. Nah, sekarang penulis-penulisnya itu ‘kan sudah besar-besar, terus pada main ke sini.

Jadi ya harus diberi kesempatan, didukung, bukan dimarahi. Yang manusiawi itu ya harus memberi kesempatan untuk berpikir itu.”

“Bagaimana cara membaca potensi anak?”

“Kesenangannya apa. Anak itu suka gerak, berarti ini arahnya kinestetis. Ada yang kesenangannya coret-coret, berarti visual. Sudah jelas. Bakat nyanyi ya ndilalah nyanyi. Qiroah itu analisis. Membaca, bukan membunyikan simbol bacaan, tapi to analyze.”

Nakal

“Bagaimana mengatasi anak nakal?”

“Nakal. Duh gini ya, pendidikan kita malah cenderung nakal. Anak harus dipaksa. Ini ‘kan sebenarnya internalisasi nilai kejahatan. Anak ngantuk dimarahi. Yang tidak nakal, yang kasih sayang, ya kalau anak ngantuk ya dikasih bantal. Ekstrimnya ‘kan gitu. Hahaha.

Sederhananya gini. Kalau ingin anak besok jadi preman, tukang pukul, ya dari kecil pukuli saja dia. Jadi akibat. Tapi kalau yang dia terima kasih sayang, dia nanti juga akan menebar kasih sayang. Di sekolah, anak kok justru dihadap-hadapkan berlawanan dengan anak yang lain.

Kadang-kadang cara berpikir kita aneh. Ada anak-anak nakal, maka harus dididik biar jadi baik. Ada program pengentasan anak-anak jalanan Jakarta. Tempatnya di Cisarua, Bogor. Masa’ anak jalanan kok dipesantrenkan. Logikanya, mereka masuk kesitu terus diperbiki. Fasilitasnya wuah, ada kasur, makanan bergizi, tiap hari dikasih uang saku. Tapi ya aturannya sangat memaksa, mungkin untuk ukuran anak-anak jalanan, itu ya kekerasan. Akhirnya ya pada kabur. Dari 40 tinggal 18, belum ada dua bulan.

Saya tanya, mereka jawab, di luar itu bebas, ngamen sehari bisa dapat 50 ribu, di sini cuma dikasih sangu 5 ribu. Buat apa cara semacam itu. Mending dampingi saja mereka ngamen, diarahkan bagaimana biar lagu dan muskinya bisa lebih produktif, dengan ukuran mereka tentunya ya. Itu semua ya harus disupport.

Asumsinya ‘kan anak-anak di jalan itu jelek. Tidak pernah ditelusuri latar belakang mereka. Padahal kan harus kita mulai dari yang positif. Anak berani di jalanan berarti ‘kan dia punya sisi positif, pemberani. Itu tinggal diarahkan, jangan dihentikan begitu saja. itu kekerasan namanya.”

Kesetaraan

“Sekolah paket bisa menggunakan ruangan sekolah-sekolah dasar, yaitu memanfaatkan waktu siang. Pas to? Sekolah dasar pagi sampai siang, jam satu digunakan belajar lagi, setara SMP dan SMA. ‘Kan manfaat. Gedungnya ‘kan manfaat. Daripada jam satu ke atas dianggurkan, lebih baik dimanfaatkan saja.

Pembelajarannya juga diubah, jangan hanya bergantung pada indikator-indikator yang ditentukan oleh pusat, jangan hanya dari kementerian pendidikan. Kalau ada program dari kementerian pertanian, atau perikanan, atau program PNPM dan apapun, nah itu garap aja. Wah itu jadi pembelajaran gratisan. Itu jadi belajar kontekstual, wis top banget. Dan semua seneng, bisa lintas sektor.

Jadi ya nggak usah mbangun gedung lagi. Tambahi saja koneksi internet. SD-nya itu tambah seneng, ya to? Ada koneksi internet, wireless, luar biasa. Dan masyarakat desa akan bisa memanfaatkan. Ini menjadi centre of excellence.

Di sini juga pernah mendapat sumbangan untuk pembangunan ruang-ruang kelas. Tapi ya kita berhitung kemanfaatannya. Yang lebih manfaat ya ta’ bagi-bagikan buat para orang tua, buat memperbaiki rumah-rumah mereka. Ya karena semua rumah di desa jadi kelas. Ya karepku to yo. Hahaha.”

Hitung-hitungannya begini. Setahun satu milyar untuk satu desa, misalnya, ‘kan kecil untuk ukuran penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Berarti ‘kan hanya butuh 74 triliun, karena ada 74 ribu desa. Itu sa’ Indonesia. Itu baru dari kementerian pendidikan, belum dari kementerian lain-lainnya. Simulasi APBN tahun 2014 semestinya 104 triliun. Walah wis luar biasa itu. Asumsi saya baru satu milyar untuk satu desa, untuk seluruh Indonesia, ya tentunya bertahap. Itu angka yang kecil. Lha potensi yang ‘hilang’ di laut saja sampai 300 triliun kok, dicolongi karo …… hahaha.”

“Turah akeh yo Pak?”

“Lha iyo. Sebenarnya ini momentum buat kita. Ini selalu saya usulkan ke pemerintah. Ya mau dilakukan atau tidak yang penting sudah saya sampaikan.”

Berani

“Butuh keberanian besar untuk melakukan perubahan ya, Pak?”

“Saya sering dituduh pemberani. Haha. Padahal itu nggak ada urusan sama takut dan berani. Orang punya gagasan ‘kan ya nikmat gitu lho. Punya ide kok takut, ’kan nggak begitu to? Punya ide ‘kan ya nikmat!”

~

Kesimpulannya, dalam gerakan pemberkuasaan desa harus ada integrasi antara gotong royong (berjamaah) dan pendidikan berwawasan kearifan lokal terhadap penduduknya sendiri. Langkah pendidikan itu pun harus mandiri dan manusiawi. Dalam prakteknya, guru sebagai pendamping yang fasilitatif harus mampu mendampingi murid untuk berkarya sebagai ukuran pencapaiannya. Semoga bermanfaat.


[o]

0 komentar:

Posting Komentar