Senin, 15 Juni 2015

Surau dan Intan

“Dab! Dab! Dab! Tolong aku Dab! Tolong aku!” todong Irfan tergesa menyerbu kamarku sore itu. Aku pura-pura tidur saja, seharian mencumbui papan ketik membuatku ngelu. Lagipula, paling-paling perkara absurd yang dia bawa.

Melihatku yang nampak tertidur pulas, Irfan mulai geser muka menghadap laptop. Entah apa yang ia cari di laptopku itu. Gelagatnya yang begitu serius dan gelisah membuatku iba. Aku pun pura-pura ngulet seakan-akan baru bangun.

“Oaaaaahm, weh teko kapan, Pan?” gayaku.

“Wah iki, Zi! Nduwe file iku ora?” sosor Irfan.

“Ika iku opo? Sing genaah!” sahutku malas-malasan.

“Konsep kurikulum Qoryah Thoyyibah utowo Salam?” lanjutnya bertanya.

Aku termenung sejenak. Mikir. Lama. Irfan makin ndlongop menunggu jawaban. Aku makin serius mikir, bukan mikir tentang konsep kurikulum yang ia tanyakan. Melainkan tentang ocehan Pram, bahwa wajah Irpan pas bingung begitu memang persis coro.

“Heh! Duwe oraa?!” bentaknya.

“Wah, ora Dab,” jawabku, “Lha piye emange?”

“Besok aku harus presentasi!”

Jiaaaamput! Aku baru ingat. Anak muda ini memang beberapa minggu lalu bercerita bahwa akan ada beberapa ‘orang penting’ sambang ke rumahnya. Keluarga Irfan memang sedang mengelola taman pendidikan Al-Qur’an plus di rumah dan surau kecilnya. Di taman belajar yang disemati nama ‘Nurul Kawakib’ ini, anak-anak sekitar diajak ngaji Qur’an tiap petang, sambil belajar bersama tentang hal-hal baru, menyimak dan mendongeng, serta berlatih membuat kerajinan-kerajinan sederhana. Nah, ‘orang-orang penting’ itu hendak menilik pelaksanaan pendidikan di sana.

Sudah belasan hari dia mengajakku untuk merumuskan filosofi mendasar taman belajar ini, eh baru datang sekarang, pas sore sebelum presentasi esok hari. Kacau tenan cah iki. Konsep yang dicarinya adalah bentuk pendidikan alternatif semacam Qoryah Thoyyibah (QT) atau Sanggar Anak Alam yang pernah kami kunjungi. Dia merasa cocok dengan bentuk pendidikan manusiawi semacam itu dan hendak mengikuti konsep-konsep dasarnya.

“Tapi, Fan,” ujarku, “Kalaupun sekarang aku punya kurikulum QT atau Salam, gak bisa juga dong langsung copy paste. Tiap komunitas menghadapi masalah khasnya sendiri-sendiri.”

“Lha iki mendesak je. Yo nggak kutiru semua, hanya garis besarnya gitu lho,” tukas Irfan gugup. Aku heran, dia ini orang yang biasa presentasi di hadapan khalayak, tapi memang sih, presentasi tanpa persiapan bisa bikin orang panik.

“Oke, gini aja. Sekarang kita telaah surau belajarmu itu, mulai dari sejarah, proyeksi, bentuk, kegiatan, hingga kendalanya. Lalu kita rumuskan apa saja yang perlu dipresentasikan besok, gimana?” tawarku.

“Ayo!” seru Irfan berapi-api. Lubang hidungnya yang berukuran XL jadi kelihatan lebih melar dari biasanya. Kami pun mulai berdiskusi tentang Surau Nurul Kawakib ini, sambil menggarap slide power point dan merancang presentasi.

Taman Pendidikan Al-Quran di sekitar lingkungan Irfan tinggal memang sudah vakum, begitupun masjid-masjidnya. Selepas sekolah pagi, anak-anak kecil keluyuran tanpa ada wadah untuk belajar mempraktekkan ajaran agama. Begitu pula tingkah laku dan unggah-ungguh anak-anak yang dirasa makin merosot. Indikasi-indikasi sederhana semisal cara berjalan, sopan santun saat melewati orang tua, bahasa lisan maupun gerak-gerik, mencerminkan betapa menyedihkannya adab dan kesusilaan generasi penerus di lingkungan itu. Ini bahaya, ujar Irfan.

Maka sejak empat tahun lalu, orang tua Irfan sekeluarga membuka rumah mereka, digelar menjadi tempat berkumpul anak-anak setiap petang. Bakda maghrib, mereka belajar beribadah dan mengeja kitab suci. Awalnya, hanya tiga-empat anak yang mau diajak ngaji. Lama kelamaan anak-anak itu mengajak teman-temannya yang lain, hingga kini sudah ada empat puluhan anak-anak kampung yang mengaji di tempat itu.

Dari empat puluh anak, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelas kecil didampingi ibu Irfan. Kelas menengah didampingi Irfan sendiri, dan kelas besar didamping ayahnya. Dalam satu minggu, tiga kali pengajian digelar. Pada awalnya memang hanya mengaji IQRA dan Al-Quran, namun seiring waktu, pengajian juga diisi dengan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mengembangkan potensi anak-anak. Semisal berbagi dongeng, membuat kerajinan tangan, hingga belajar membaca dan berhitung bersama. Sesekali dihadirkan narasumber untuk berkisah, mendongeng, berbagi pengalaman ataupun keahlian.

Namun sasaran utama di surau ini adalah pengarahan unggah-ungguh anak-anak. Yakni agar tetap menjaga sopan santun, bertata krama kepada orang tua dan sesama. Semua itu merupakan bentuk mendarahdagingkan akhlak islami dalam kehidupan sehari-hari. Fasilitas yang disediakan berupa teras dan ruang tamu yang diluangkan, jajaran bangku-bangku mungil, alat-alat tulis dan buku-buku gambar, serta buku-buku bacaan untuk anak-anak. Di surau ini, tidak sepeserpun rupiah ditarik sebagai ‘biaya pendidikan’.

“Di sini lebih ke aktivitas yang enjoy buat anak-anak,” terang Irfan, “Soalnya ‘kan mereka sudah dibebani berbagai materi di sekolah-sekolah masing-masing, makanya di sini kami nggak nuntut apa-apa. Absen pun nggak ada. Tapi konsekuensinya kami musti menciptakan atmosfer agar anak-anak merasa nyaman di sini, kangen, dan butuh untuk ngaji.”

“Yang jadi ustadz cuma sekeluarga saja?” tanyaku.

“Iya. Bapak, ibu, aku, masku ya kadang mbantu.”

“Lhah pemuda kampungmu gimana?”

“Wah angel, Dab. Pemuda sekarang susah diajak gerak beginian. Nggak bisa konsisten. Dianggapnya gerakan sepele, padahal sangat penting. Pernah ada yang kuajak, cuma bertahan berapa hari, terus mental,” papar Irfan.

Tumben pikiran Si Coro ini agak njalur, pikirku. Sejak beberapa kali diskusi Selingkar di berbagai lokasi dan tema, beberapa kali kunjungan dan menggali pengalaman, memang banyak yang berubah pada diri para penDuduk. Semua itu menjadi bahan rekonstruksi berpikir kami. Khususnya tentang pendidikan dan pergerakan. Memang ada kecenderungan anak-anak pergerakan sekarang –menurut Irfan- lebih suka melakukan aksi-aksi monumental, populer, massal maupun festival sentris. Jarang yang mau terjun ke ranah pergerakan sederhana, kecil, sepele, sunyi dan melelahkan namun punya efek jangka panjang semisal pendidikan berbasis komunitas.

Ahad, 7 Juni 2015, Irfan berdandan rapi. Tak lupa, peci hitam necis bertengger di kepala sebagai peneguh keustadzannya, hahaha. Di hadapan perwakilan Dinas Pendidikan dan pembesar Tamansiswa, Irfan mempresentasikan Surau Nurul Kawakib dengan apik. Bersenjatakan slide yang kami susun malam sebelumnya, ia memaparkan akar sejarah, filosofi, anatomi, kegiatan, hingga kendala yang dihadapi selama empat tahun mengelola taman belajar itu.

“Nurul Kawakib artinya cahaya bintang-bintang. Maksudnya, setiap bintang memiliki cahayanya sendiri-sendiri,” jelas Irfan mempresentasikan nama suraunya, “Meskipun mereka nampak kecil, namun nampak begitu indah di gelapnya langit malam. Begitupun dengan anak-anak. Mereka punya potensi dan karakter bawaannya sendiri, di sini kami ingin mendampingi agar setiap anak bisa bersinar terang seperti halnya bintang-bintang.”
Foto-foto kegiatan surau ditayangkan. Ekspresi keceriaan dan keakraban anak-anak memang sanggup membuat siapapun terpukau. Tak terkecuali para penilik itu. Mereka hanyut dan merasa bangga masih ada orang-orang yang peduli kepada pendidikan masyarakat. Apalagi bila dia masih muda, jomblo, kere, belum lulus kuliah pula. Lima belas rol tissue toilet habis untuk menyeka air mata mereka. Hehehe.

“Di lingkungan tengah kota begini memang paling tepat untuk mengupayakan pendidikan adab dan kesusilaan. Namun itu tidak gampang, sangat berat. Maka saya kagum surau ini sudah empat tahun berjuang,” puji Bapak Sutikno, salah seorang tokoh Tamansiswa dan keturunan Ki Hajar Dewantara, “Semoga terus bertahan. Saya harap nanti kamu lanjut presentasi ke tingkat nasional. Dan menitikberatkan pada dua hal itu; adab dan kesusilaan, sebagaimana ajaran Kiai Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara.”

Dari lima belas wali santri yang hadir, salah seorang ibu menyampaikan kebungahannya. “Saya sangat bersyukur. Dulu saya sudah putus asa gimana caranya ngajari anak saya biar sopan. Tapi sekarang saya bahagia. Saya sampai ‘capek’ njawab salam anak. Masuk rumah, salam. Keluar sebentar, salam. Ketemu papasan, salam. Dan santunnya itu lho, duh, bahagia saya.”

Memang perubahan drastis telah nampak setelah beberapa tahun belakangan. Geng-geng anak-anak pengacau yang sebenarnya kurang kegiatan sudah punah. Umpatan-umpatan yang biasa terlontar dari mulut mungil bocah-bocah sudah menghilang. Sebaliknya, ucap salam ditebar dimana-mana. Sikap santun bangkit kembali sebagai identitas khas Jawa. Dan tentu saja, sore hari di kampung tengah kota ini semarak oleh anak-anak yang saling sahut-menyahut berangkat ngaji. Sungguh pemandangan yang sudah semakin langka.

“Wah wah wah, kenapa Sampean nggak ngajuin proposal, Mas? Nanti ‘kan bisa kami bantu,” tanya orang dari Dinas Pendidikan.

“Mbok kiro aku ngemis-ngemis Pak?! Sorry la yau!” jawab Irfan dalam hati. Tentu saja dia hanya cengengas cengenges ditanya seperti itu.

“Berarti selama empat tahun ini dari mana asal pembiayaan surau ini?” Pak Dinas bertanya lagi.

“Ya semuanya ditanggung penuh orang tua saya,” tutur Irfan.

“Wah! Memangnya pekerjaan orang tua apa?” gumun Pak Dinas.

“Usaha Intan!” sambar Irfan, gagah.

“Intan?!” Pak Dinas kaget.

“Iya! In-tan-shurullooha yanshurukum (kalau engkau ‘menolong’ Allah maka Allah akan menolongmu). Hehehe,” sahut Irfan, santai.

~

Yogyakarta, 15 Juni 2015
Tulisan ini menjadi arsip laporan diskusi serta pergerakan penDuduk Selingkar di bidang dan wilayahnya masing-masing. Sebagaimana laporan pada umumnya, tulisan ini berfungsi sebagai wadah dokumentasi dan wacana evaluasi bagi gerakan yang diupayakan. Bukan untuk mengangkat, memproyek, maupun melebih-lebihkan si penggerak atau siapapun. Barangkali informasi yang dituangkan dalam tulisan ini bermanfaat, tentu lebih bagus lagi. Siapa tahu di antara kawan-kawan ada yang menghadapi persoalan serupa di lingkungan masing-masing, maka informasi ini bisa menjadi inspirasi, tentu dengan pembacaan masalahnya sendiri-sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar