Sabtu, 31 Januari 2015

Nyawa Tumbuhan

“Aku bisa ngobrol sama tumbuhan,” kata Sutri. Aku yang lagi santai menikmati kehangatan mentari pagi sambil menyiram kembang pun terperanjat, “Tenane Sut?! Ente bisa ngomong sama tanduran?!” cecarku. “Bukan, tapi bapaknya temenku bisa ngobrol sama tanaman-tanaman,” sahutnya. Oalaah. Tokoh kita satu ini ngomongnya memang kadang tak jelas. Entah karena lidahnya keseringan salto atau kebanyakan ngemut knalpot, bicaranya jadi kayak ibu-ibu arisan; ribet.
Pagi itu kondisiku sudah lumayan segar meski masih lemas dan pegal-pegal, sisa kumat GERD malam sebelumnya. Dua malam lalu, aku muntah-muntah, pusing dan tak bisa tidur sampai dini hari gara-gara masuk angin overdosis sehingga memicu asam lambungku naik. Nah, saat itulah Sutri ini yang jadi dewa penolong, sigap ngerok dan mijet sampai aku bisa tertidur lelap.

“Jadi gini,” lanjut Sutri yang lebih suka dipanggil Cahyo, “Di kampung, aku punya temen main, nah temenku itu punya bapak. Lha bapaknya temenku itu bisa ngobrol sama tumbuhan.”

“Ente pernah liat?”

“Nggak sih. Si Bapak itu ngobrolnya kalau lagi sepi aja. Tapi keluarganya itu sering mergoki pas dia lagi ngobrol sama pohon atau bunga-bunga. Temenku itu cerita begitu.”

“Wow.. Terus apa yang diobrolin?”

“Ya nggak tau lah.”

“Itu Bapaknya stress atau gimana, Sut?”

“Ngawur! Normal yoooh! Bapaknya itu baik banget malah, kalau kami mampir dolan ke rumahnya pasti kenyang. Ya memang keluarga berkecukupan, tapi ya nggak kaya banget. Dia punya usaha jagal dan ngajar ngaji juga di surau. Pas meninggalnya, orang sekampung liat wajah Si Bapak mencorong dan tersenyum.”

Sutri mengucapkan kata terakhir sambil mempraktekkan senyumnya yang cetar membahana. Kawan-kawan memang melabelinya dengan sebutan ‘Shohibul Mesem’ sangkin overdosisnya dia mesem. Lalu aku bertanya lagi,

“Kalau cerita itu benar, berarti tumbuhan juga bernyawa ya, Sut? Atau jangan-jangan Si Bapak ngobrol sama jin yang kebetulan menghuni tumbuh-tumbuhan itu?”

“Oh bukaan! Beliau itu memang ngobrol sama tumbuhan. Karena segala makhluk itu juga bertasbih berdzikir kepada Allah dan bernyawa. Termasuk tumbuhan. Kamu tahu nggak, dulu itu banyak pepohonan yang meliuk menaungi Kanjeng Nabi Muhammad. Bahkan ada wali yang bisa mengetahui manfaat suatu tumbuhan karena dikasi tahu oleh tumbuhan itu sendiri,” terang Sutri bersemangat, mirip motivator.

“Lhah Sut,” sambungku, “Katanya orang-orang yang ngrowot itu nggak boleh makan makhluk bernyawa, yaitu hewan. Berarti tumbuh-tumbuhan termasuk makhluk tak bernyawa dong?”

“Ooh bukan begitu, berarti kamu salah paham, ckckck,” sanggahnya dengan muka sengak.

“Lha njur piye?”

“Maksudnya makhluk bernyawa dan tak bernyawa itu bukan seperti yang kamu pahami. Maksudnya makhluk bernyawa dan nggak boleh dimakan sama yang ngrowot itu adalah makhluk yang musti disembelih dulu sebelum dikonsumsi. Misalnya kamu mau makan paha ayam, ya kamu harus sembelih ayamnya dulu. Kalau kamu langsung potong kakinya dan biarkan si ayam hidup, ya kasihan dong. Maka kamu harus sembelih dulu. Dengan memotong satu bagian tubuh, merugikan seluruh bagian makhluk itu. Nah, kalau yang dimaksud dengan makhluk tak bernyawa semisal tumbuhan itu ya sebaliknya. Kamu bisa mengonsumsi daun singkong tanpa merugikan si pohon singkong. Bahkan bagus, dengan dipetiknya si daun singkong maka si pohon singkong bisa jadi lebih subur dari sebelumnya. Dengan memotong satu bagian makhluk itu, tidak menganiaya seluruh bagiannya yang lain. Begitu..” papar Sutri panjang lebar.

Aku manggut-manggut saja. Masih merasa ada sesuatu yang janggal tapi enggan kuutarakan. Bisa berabe kalau ngeyel di hadapan Sutri pagi-pagi cerah begini. Tiap argumen yang kulempar bisa jadi bumerang yang justru nggepuk kepalaku sendiri. Dia memang cocok jadi pengacara. Lagipula pagi hari nggak cocok buat eyel-eyelan. Cocoknya buat dengerin irama kicau burung-burung, menikmati hinggapan manja kupu-kupu, menemani kembang-kembang yang ‘ngulet’ baru bangun, dan suap-suapan sarapan buah sama kamu, Dek. *aa.. aa.. aaeem..*

Bicara tumbuhan, berarti bicara senior kita di muka bumi. Untuk membuktikan secara saintifik ada atau tidaknya nyawa dalam tumbuhan sama sulitnya membuktikan ada-tidaknya nyawa dalam diri manusia. Sutri meyakini bahwa tumbuhan dan makhluk apapun memang bernyawa, tidak hanya manusia. Sedangkan nyawa yang dimaksud di sini adalah energi kehidupan yang ditiupkan oleh Tuhan. Maka tidak sepatutnya manusia memperlakukan tumbuhan seenaknya. Sutri seringkali sewot kalau melihatku nyiram kembang kesiangan, dzalim katanya.

Ah daripada ngeyel, aku lebih memilih menceritakan kepada Sutri tentang satu buku keren yang membahas hal ini, yakni ‘Secret Life of Plant’ karya Peter Tompkinn dan Christopher Bird. Juga tentang ilmuwan yang konsen dalam bidang ‘metafisik tumbuhan’, sosok eksentrik asal Jerman; Gustav Theodor Fechner.

Nah, Pak Fechner ini sebenarnya adalah dokter merangkap profesor fisika di Universitas Leipzig. Dia mulai tertarik mengamati sisi metafisik tumbuhan sebab suatu pengalaman menarik. Pada tahun 1989, Fechner mulai memandangi matahari dengan mata telanjang, niatnya hendak mempelajari fenomena after-image, yakni gambar-gambar aneh yang tampak tetap ada di retina mata meski telah hilangnya stimulus pandangan normal. Beberapa hari melakukan hal ini, ia kaget ketika menyadari bahwa matanya mulai buta. Iseng banget dia. 


Merasa terguncang karena tak bisa melihat lagi dan letih menumpuk, ia menyendiri untuk beristirahat dalam sebuah kamar gelap dan mengenakan topeng di wajahnya. Dalam ruangan itu, ia terus menerus berdoa sebagai seorang pemeluk Kristen. Berapa lama dia menyendiri? Tiga tahun saudara-saudara! Mengapa tidak ada yang menemaninya? Ah entahlah, mungkin karena dia jomblo.

Keajaiban terjadi. Pagi hari di musim semi tiga tahun kemudian, ketika merasakan penglihatannya telah pulih, Fechner keluar menuju cahaya. Dengan bahagia ia berjalan sepanjang sungai Mulde dan seketika menyadari bahwa bunga-bunga dan pohon-pohon sepanjang tepi sungai menyapanya. Ia menyebutnya dengan istilah ‘be-souled’ (diberi jiwa).

“Ketika aku berdiri di tepi air dan memandangi sekuntum bunga, seakan-akan aku melihat jiwanya naik dari kumpulan bunga, melayang-layang melintasi kabut, hingga nampak jelas bentuknya. Ia bertengger di atas kuncupnya, mungkin agar dapat lebih menikmati cahaya matahari,” tutur Fechner.

Ia pun mulai tertarik dengan kawan-kawan barunya, ya, tumbuh-tumbuhan. Dan makin tak tertarik dengan pergaulan sesama manusia. Fechner menulis sekumpulan kesan-kesannya selama berinteraksi dengan tumbuhan dalam sebuah buku bombastis berjudul ‘Nanna or The Soul-Life of Plants”, diterbitkan di Leipzig tahun 1848 dan –tentu saja- ditertawakan para ilmuwan. Judul buku ini terinspirasi dari sebuah kisah mitologi Teutonic Jerman, yakni ketika Si Baldur, dewa cahaya, iseng-iseng ngintip putri bunga yang bernama Nanna lagi mandi. Karena terpesona, perkawinan antara cahaya dan bunga pun dilangsungkan. Nama ini mengingatkanku pada nama istrinya Mbah Kamijo, jangan-jangan nama asli simbah adalah Baldur.


Pola komunikasi dengan makhluk hidup selain manusia memang masih asing bagi kita. Seperti kisah bapak temannya Sutri maupun pengalaman Mister Fechner. Bahkan cenderung ditertawakan, semisal ngobrol dengan marmut, bincang pagi dengan pohon jati, atau gendu-gendu roso sama genderuwo. Apalagi bagi yang memakai pendekatan sains polos, tanpa menggunakan perspektif lain. Meskipun belakangan muncul istilah Zona Kesadaran Kuantum tentang kemungkinan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lain termasuk tumbuhan.

Ah repot amat, kalau aku sih percaya saja. Tapi ya sekedar percaya, bukan untuk apa-apa. Segala keberadaan makhluk yang nisbi di alam raya ini masih dalam garis kemungkinan, atau istilahnya; jaa-iz. Bisa iya, bisa tidak. Tidak aneh dan biasa saja. Tidak lantas digumuni berlebihan apalagi dipuja-puja dan dijunjung-junjung. Namun hal yang musti kita sadari adalah bahwa kita tidak sendirian di alam raya ini, kita semua saudara kandung dari rahim ketiadaan. Segalanya saling terhubung dalam suatu sistem yang rumit nan cantik.

Sebagai penutup, ada pemikiran menarik dari Fechner dengan pandangannya yang unik. Dalam buku ‘Little Book of Life After Death’, ia mengemukakan gagasan bahwa kehidupan manusia berada pada tiga tingkatan. Pertama, tidur terus menerus, yakni sebelum dilahirkan. Kedua, ngelilir atau setengah terbangun, yaitu ketika hidup di alam dunia. Dan ketiga, terbangun sepenuhnya, inilah masa setelah mati. Teori yang mirip ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib; “An-naasu niyaamun wa idzaa maatuu intabahuu (manusia dalam keadaan tidur, ketika mati, terbangunlah mereka).”

Fechner juga mengungkapkan gagasan menarik dalam ‘Comparative Anatomy of the Angels’. Wuih judule nggilani dab! Dalam buku itu, ia torehkan bagaimana upayanya melacak jejak evolusi mulai dari organisme bersel satu melalui manusia menuju makhluk yang –secara anatomi- lebih tinggi berupa malaikat. Bentuknya menyempurna semakin utuh dan mampu melihat gravitasi universal sebagaiana manusia mampu melihat sinar. Makhluk yang berkomunikasi bukan dengan getaran suara melainkan dengan simbol-simbol cahaya. Ini persis yang diungkapkan Rumi dalam puisinya;

"Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan,
untuk membumbung bersama para Malaikat."

Sampai berbusa mulutku pagi itu bercerita kepada Sutri tentang psikofisik, universalitas ciptaan, filosofi bunga dan beberapa potong isi buku Petuah Pohon (ngiklan nih, hihi). Eh orangnya malah selonjor ngorok. Ncen su og!

~
Krapyak, 31/01/2015

0 komentar:

Posting Komentar